Hubungan Sebab-Akibat Dalam Persekolahan

BAB IV KONSEKUENSI POLA MENGAJAR

4.1. Hubungan Sebab-Akibat Dalam Persekolahan

Bradley AU Levison berpendapat bahwa antropologi pendidikan adalah suatu pusat yang mempelajari upaya untuk mendidik anggota kelompok sosial untuk membayangkan memiliki rasa sosial yang tinggi dan melaksanakan partisipasi setiap orang sebagai warga negara yang demokratis 14 . Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik pengertian bahwa Antropologi itu memiliki ruang untuk menilik permasalahan pendidikan di tengah masyarakat, terutama di sekolah ―terkait perannya sebagai pusat yang mempelajari upaya untuk mendidik. Sesuai dengan tema tulisan ini, permasalahan pendidikan di sekolah itu bisa terbentuk karena dipengaruhi oleh hal-hal dari dalam dan luar lingkungan sekolah itu sendiri. Hal serupa turut pula diungkapkan George Splinder melalui karya-karyanya yang menunjukkan sebuah sistem yang saling berhubungan dan saling bergantung dari sistem edukatif sekolah dimana guru, siswa dan warga sekolah lainnya dipengaruhi oleh pengalaman baik dari dalam dan dari luar sekolah. 15 Dalam analisis Antropologis, permasalahan dari dalam lingkungan sekolah bisa saja terbentuk dari konflik peran di lingkup internal sekolah, yang mana 14 Bradley AU Levison dalam P utri Ananda, ―Budaya Pendidikan‖, Skripsi Sarjana Antropologi, FISIP-USU, Medan, 2012, hal. 77. 15 Ibid. Universitas Sumatera Utara disebabkan adanya rangkaian hak dan kewajiban dari tiap personil sekolah. Tentu saja dalam hal ini sumbangsih teori Antropologi cukup berguna dalam memberian gambaran tentang ―lingkaran konflik‖ yang terbentuk di lingkungan sekolah dalam kaitan dengan pertentangan antarperan. Berdasarkan struktur organisasi yang terbentuk, guru bertugas sebagai pelaksana pengajar kepada siswa, supervisor berfungsi membina para guru dan tugas formal administrasi sekolah ialah mengkoordinasikan dan menentukan berbagai raga aktivitas dalam lingkungan sekolah. Masing-masing pemegang posisi mempunyai hak dan kewajiban tertentu dalam hubungan dengan posisi lain. Sudah tentu kompleksitas peranan menimbulkan nilai sosial yang berbeda dan apabila ditarik dalam suatu prospek tujuan, maka akan melibatkan bermacam-macam penafsiran. Hal ini pula yang terjadi di SMPN 10 Medan. Setiap warga sekolah dalam persekolahan memiliki perannya masing-masing. Peran-peran itu saling terkait dan terhubung. Misalnya antara guru dan kepala sekolah, antara guru dan murid, antara guru dan orangtua, antara guru dan Disdik melalui penyediaan fasilitas sarana-prasarana, kurikulum, dll bahkan antar sesama guru. Hubungan tersebut tidak selalu berjalan mulus, tentu dapat terjadi pergesekan yang menimbulkan masalah. Untuk tiap warga sekolah terutama para guru, masalah-masalah yang timbul itu berusaha diredam bahkan dihilangkan melalui solusi-solusi yang mereka buat versi mereka sendiri. Hal itulah yang membentuk bagaimana pola mereka mengajar. Universitas Sumatera Utara Sesuai dengan pendapat Tolstoy yang menyatakan bahwa tugas-tugas pokok guru adalah mencari cara menjadikan bahan pelajaran bermakna bagi murid, memberi motivasi belajar dan menyediakan kepuasan belajar sehingga persekolahan murid akan menyenangkan baginya 16 . Tapi pada kenyataan menurut hampir keseluruhan murid yang saya tanyai, mereka mengungkapkan tidak semua para guru di SMPN 10 Medan mampu melakukan hal itu. Ada guru-guru yang dianggap sangat membosankan bahkan juga memupuskan semangat belajar siswa. Misalnya, guru yang malas mengajar, guru yang mengajar hanya dengan model berceramah tanpa mendengarkan aspirasi murid, guru yang selalu menyuruh presentasi dan guru-guru yang mendiskriminasi murid ―misalnya, guru itu hanya akan dekat dengan murid yang satu suku dengannya atau yang pintar saja. Murid-murid yang tidak berminat atau kurang menyukai guru tertentu, akan melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menangkal rasa bosan. Beberapa diantaranya adalah dengan membuat keributan di kelas misalnya mengobrol, memainkan handphone di bawah meja, ada yang melamun, membaca novel, melihat-lihat keluar jendela, menulis-nulis mejanya, dsb., disaat guru sedang menerangkan pelajaran di depan kelas. Siswa-siswa itu berusaha agar tidak kelihatan membangkang ―saya menyebut itu pembangkangan sebab tidak sesuai dengan aturan versi si guru maupun versi sekolah― dengan cara menyembunyikan apa yang sedang mereka lakukan dari pengawasan guru dengan memastikan si guru tidak melihat, atau melakukannya dengan mempergu nakan kedok kegiatan yang sah ―misalnya, saat guru 16 Paulo Freire, Op. Cit., hal. 18. Universitas Sumatera Utara menegur siswa yang sedang ngobrol, salah satu siswa langsung menjawab bahwa ia hanya bermaksud meminta temannya membacakan ulang soal yang diberikan si guru sebelumnya, padahal yang sebenarnya tidak seperti itu. Tetapi, jika mereka ketahuan oleh si guru maka mereka akan mendapatkan hukuman dan biasanya mereka menerima saja celaan, teguran, atau hukuman yang diberikan gurunya tanpa membantah, dan kalau pun berusaha mendebat, itu hanya akan sia-sia. Saya pernah mendengar cerita dari salah seorang guru wali kelas tentang adanya guru yang memarahin siswanya hanya karena si anak memberikan penyelesaian soal Matematika dengan jalan cara yang berbeda namun dengan jawaban akhir yang sama, dan si guru bersikeras bahwa penyelesaian soal itu harus seperti jalan cara yang dibuat olehnya. Dengan kata lain, walaupun siswa berusaha mendebat guru dalam hal yang secara umum dinilai benar, tentu itu dianggap sebuah pelanggaran oleh si guru yang dimaksud. Menurut Martyn Hammersley 1994 hal seperti itulah bukti yang menunjukan hubungan hierarkis yang cukup tajam dalam hubungan sosial di ruang kelas. Tidak sampai disitu saja, pada saat pelajaran mencapai fase pekerjaan tertulis, guru menentukan tugas bagi siswa, yang harus dikerjakan di bangku mereka masing-masing dan mereka diharapkan bekerja sendiri dan dengan sedikit mungkin mengeluarkan suara. Sementara guru memantau di dalam kelas dan menyela bilamana dibutuhkan 17 . 17 Martyn Hammersley, Etnografi Ruang Kelas: Essai Empiris dan Metodologis, alih bahasa Warsono Semarang: IKIP Press, 1990, hal. 74. Universitas Sumatera Utara Pada kenyataannya, sekolah sendiri telah mengkategorikan para murid itu berdasarkan tingkat kemampuannya ke dalam kelas-kelas ―ada kelas ix- a,b,c, dst―, setelah sekolah, guru juga mengkategorikan siswa-siswa tersebut di dalam kelas ―misalnya mana yang paling pintar di dalam kelas itu dan mana yang paling bodoh, mana yang sesuku dengannya dan mana yang tidak. Menurut H. Abdullah Idi 2011:154 implikasi dari pengelompokan ini berakibat terbentuknya polarisasi antarkelompok, baik itu kelompok si bodoh, si kaya, si pandai. Umumnya pendidikguru secara mudah menuruti subjektivitas perasaannya untuk menuruti kelompok anak didik yang menyenangkan perasaannya. Karena hal tersebut maka terjadi kecemburuan sosial di dalam lingkungan kelas 18 . Kelompok murid-murid yang merasa cemburu itu tadi menunjukkan rasa kurang sukanya pada guru-guru tertentu salah satunya dengan cara membuat gelar-gelar ejekan untuk memanggilmenyebut guru yang dimaksud. Beberapa guru di SMPN 10 Medan diberi tanggung jawab untuk menjadi wali kelas. Hubungan wali kelas dengan para murid kelasnya ada yang berjalan harmonis dan ada juga yang tidak. Hubungan yang harmonis itu dapat terlihat dari adanya kepercayaan siswa terhadap si wali kelas. Bentuk-bentuk kepercayaan itu misalnya, para siswa mau mengikuti dan melakukan apa yang diminta wali kelas tanpa terpaksa dan para siswa tidak enggan untuk curhat pada wali kelasnya salah satu contohnya seperti kelas IX-A. Namun jika 18 Prof. Dr. H. Abdullah Idi, M.Ed. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011, hal. 154. Universitas Sumatera Utara hubungan wali kelas dan muridnya tidak berjalan harmonis maka kepercayaan siswa pun tidak lagi ada pada si wali kelas. Bentuk-bentuk ketidakpercayaan itu misalnya, para siswa tidak lagi mau mengikuti apa yang dikatakan, diperintahkan, disuruh oleh wali kelasnya salah satu contohnya seperti kelas VIII-J. Ketika tidak melakukan perintah wali kelas maka ada hukuman- hukuman yang diberikan misalnya saja ancaman seperti tidak akan naik kelas, nilai akan dikurangi, ancaman akan dikeluarkan dari sekolah. Dengan kata lain, proses pengajaran dan didikan masih berupa proses pembentukkan anak menurut konsepsi tentang ―manusia ideal‖ di benak gurunya 19 . Guru-guru lain juga ada yang menghukum siswa jika tidak mengikuti aturannya ataupun melenceng dari aturan sekolah. Tentu saja hukuman yang ada tidak begitu keras, misalnya menyuruh pindah duduk, meminta siswa berdiri sampai pelajaran berakhir atau menyita barang-barang milik siswa seperti handphone. Hukuman semacam ini termasuk umum dan terjadi dengan lebih merata diantara para guru di SMPN 10 Medan. Krisis kepercayaan antara guru dan murid juga terjadi karena hal lainnya, bahkan bukan hanya tidak lagi mempercayai guru, beberapa murid malah tidak lagi menghormati dan menghargai gurunya bahkan terkesan menyepelekkan, tapi itu terjadi bukan tanpa sebab. Seperti yang diceritakan seorang siswi pada saya: ―Kami ada juga kak praktik berenang di kolam, tapi diajarin sama pelatih renang langsung, bukan sama ibu itu. Kalo malas 19 Rousseau dalam Paul Freire, et.al, Menggugat Pendidikan, alih bahasa Omi Intan Naomi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 495. Universitas Sumatera Utara ya nggak usah datang, yang penting bayar. Kadang datang pun kami, nggak turun kami ke kolam. Duduk-duduk ajalah sambil nengok-nengok. Kadang ibu itu mau juga kak ngasih soal kalo kami nggak berenang, tapi kalo kita dekat sama ibu itu nggak dikasih soal kak. Kalo kami nggak mau bayar kan kak karena kami nggak datang, mau ibu itu marah-marah, langsung didatanginnya kami .‖ Sebelum mengetahui cerita itu, saya memang pernah melihat seorang siswa dipanggil oleh guru yang dimaksud. Saya melihat langsung bagaimana si siswa dimarahin habis-habisan hingga menangis lalu masuk ke dalam kelas. Saya bertanya pada salah seorang temannya dan akhirnya saya tahu bahwa anak tersebut dimarahin karena tidak membayar uang berenang dan uang yang tersisa di kantong celananya hanya dua ribu rupiah saja. Dengan murid mengetahui bahwa orientasi si guru adalah uang, siswa tidak lagi takut dan khawatir apabila tidak melakukan kegiatan tertentu yang sebenarnya diharuskan oleh sekolah. Beberapa siswa menganggap bahwa semuanya bisa dibicarakan, dinegosiasikan dan ditolerir melalui uang. Namun tidak semua guru berlaku demikian, masih banyak guru yang benar-benar berjiwa pendidik. Menurut Thomas Lickona dalam Tilaar, 2002:76, guru haruslah menjadi seorang model dan sekaligus menjadi mentor murid dalam mewujudkan nilai-nilai moral di dalam kehidupan di sekolah. Salah satu contohnya seperti apa yang dilakukan oleh guru agama ―peristiwa lebih jelas pada bab III― yang menyuruh murid-murid membawa telur paskah untuk dibagi-bagikan kepada guru dan murid lainnya yang beragama non Kristen. Di tengah sekolah negeri yang mana murid-muridnya berasal dari latarbelakang suku, agama dan status sosial yang berbeda, tentu sangat rentan Universitas Sumatera Utara sekali terjadi pergesekan yang dapat menimbulkan konflik. Menurut si guru agama sendiri, dengan aksi kecil yang nyata seperti demikian maka diharapkan agar kemungkinan pergesekan itu dapat diperkecil atau bahkan jangan sampai terjadi. Penting sekali untuk memperkenalkan siswa tentang rasa tenggang rasa dan toleransi dalam beragama pada masa sekarang ini. Hubungan sesama guru turut juga mengkonstruk pengajaran. Hubungan guru terhadap teman sejawat rekan kerja terbagi menjadi dua yaitu hubungan formal yaitu hubungan yang dilakukan karena ikatan kedinasan dan hubungan informal yang lebih meniti-beratkan hubungan persaudaraan. Kejadian para guru saling menolong ―saat guru yang satu tidak bisa masuk untuk mengajar dan digantikan oleh guru yang lain― itulah yang disebut hubungan informal. Dalam ayat 7 Kode Etik guru disebutkan bahwa ―guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawan sosial‖. Dengan hubungan persaudaraan itu, para guru bisa saling mengingatkan satu dengan lainnya. Walaupun pergesekan tidak dapat dihindari namun dengan hubungan persaudaraan, maka para guru dapat lebih akrab dan dekat satu dengan yang lain. Hubungan yang harmonis antar guru turut juga memberi keuntungan pada siswa. Seperti yang sudah saya paparkan sebelumnya, saat salah seorang guru tidak bisa hadir dan dengan rasa solidaritas tadi, guru lain mau menggantikannya sehingga kelas tetap bisa terawasi dan murid masih mendapat perhatian. Dengan demikian, sebenarnya hal itu dapat dikatakan juga sebagai upaya guru dalam menciptakan dan memelihara suasana sekolah —khususnya sebagai lingkungan kerja — yang menyenangkan. Universitas Sumatera Utara Hubungan kepala sekolah dan para guru juga tidak kalah berperan dalam pembentukan pola mengajar. Keberhasilan kepala sekolah sebagai pemimpin terletak pada efisiensi dan efektivitas dirinya dalam mengkoordinasi dan mengawasi sekolah. Agar terjadi hubungan yang baik dan kerjasama yang lancar antara guru dan kepala sekolah, maka guru harus menyadari kelemahan- kelemahan dan kesalahan-kesalahannya dalam proses persekolahan. Sedangkan kepala sekolah sedapat mungkin tidak sebatas mempersalahkan guru atas tiap kendala yang terjadi dalam proses persekolahan itu sendiri, tetapi bersama-sama menyelidiki dimana letak kelemahan-kelemahan itu. Hal tersebut memang sudah dibuktikan oleh para guru dan kepala sekolah dalam hubungannya sehari- hari. Yang saya amati kepsek dan para guru bersama-sama berusaha membentuk pengajaran terbaik untuk para murid. Misalnya melalui aturan- aturan yang dibuat kepsek untuk mendekatkan dan menjaga hubungan antara guru dan murid. Intervensi orangtua dalam persekolahan anaknya juga turut membentuk pola mengajar para guru di sekolah. Ada orangtua yang langsung datang ke sekolah dan sangat tidak terima jika anaknya dihukum ―apalagi jika bentuk hukuman itu misalnya, dijewer, dicubit atau dipukul― bahkan ada yang hanya mendengar kronologis sepihak dari anaknya. UU PA Perlindungan Anak memang seperti lebih kuat dibanding UU Perlindungan Hukum untuk Guru PHG. Ketika murid dicubit, dijewer, dipukul, langsung menggunakan UU PA sebagai senjata, tetapi ketika guru tidak dihargai, dihormati, diperlakukan tidak pantas oleh siswa, guru bisa apa? Padahal dalam UU No.202003 UU PHG Universitas Sumatera Utara disebutkan bahwa guru tidak dapat diperlakukan sewenang-wenang oleh siapa pun dan pihak manapun yang dapat mengganggu ketenangannya dalam menjalankan tugas. Tetapi yang ada justru UU PHG itu hanya sebatas aturan tertulis yang tidak terasa penerapannya. Malah terkadang, ada ungkapan- ungkapan yang mengatakan ―ya memang begitulah jadi guru, harus sabar, harus begini, begitu ‖. Sepertinya profesi yang diemban, membuat guru memang harus baik, terkontrol, patuh, dan perilaku-perilaku baik lainnya, padahal guru itupun manusia biasa juga. Anak-anak yang orangtuanya komplain tadi karena anaknya dimarahi tidak lagi diperingatkan dengan cara yang sama atau bahkan yang saya lihat sama sekali tidak lagi diperingatkan. Hal itu mengakibatkan tindakan-tindakan anak yang dianggap tidak benar —baik versi sekolah maupun versi si guru— akan semakin menjadi-jadimerajalela. Jika anak tersebut diperlakukan seperti itupun tidak berubah juga, alhasil sudah pasti pada masa kenaikan kelas si anak akan dikeluarkan dari sekolah. Banyak orangtua yang tidak terima dengan hal itu bahkan ada yang sampai menyalahkan guru dan menganggap guru tidak benar dalam mendidik anaknya. Guru dianggap gagal membimbing siswa, padahal orangtua tidak memberikan keleluasaan yang lebih agar anaknya dididik versi si guru. Realitanya diluar konflik peran, permasalahan para guru juga terkait dengan kurikulum dan fasilitas sarana-prasarana sekolah tapi bisa juga hal tersebut dikatakan merupakan bagian dari konflik peran secara tidak langsung antara Disdik dan para guru. Sekolah SMPN 10 Medan menggunakan sistem Universitas Sumatera Utara KTSP. Dalam UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pasal 17 butir 1 dinyatakan: ―Kurikulum tingkat satuan pendidikan SDMISDLB, SMPMTsSMPLB, SMAMASMALB, SMKMAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerahkarakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan peserta didik‖. Dengan demikian, KTSP memang memberikan kesempatan sekolah untuk mengatur sendiri penyelenggaran pembelajarannya sesuai dengan kategori-kategori tersebut. Namun para akhirnya, sistem UN-lah yang menentukan kelulusan siswa dan sistem itu tidak mempertimbangkan kategori- kategori tersebut ―soal-soal UN disamakan seluruhnya. Dengan demikian pula, sekalipun menggunakan sistem KTSP tetap saja sepertinya persekolahan itu masih menggunakan sistem top-down, dengan kata lain apa pun yang dilakukan sekolah memang pada akhirnya pemerintahlah yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil keputusan. Ketakutan dan kekhawatiran menjelang UN bukan hanya dirasakan siswa tetapi turut juga para guru. Sekian tahun siswa dibimbing versi KTSP versi sekolah tetapi pada akhirnya bukan sekolah yang menentukan kelulusan siswa melainkan hasil jawaban dari soal- soal yang dibuat bukan oleh para guru SMPN 10 Medan. Menurut Menurut H. Abdullah Idi 2011:249 kekhawatiran guru terhadap ketidaklulusan siswa dalam UN memberikan dorongan terhadap tumbuhnya tindakan amoral dalam dunia pendidikan, termasuk tindakan terpaksa dan tak berdaya yang dilakukan pendidikguru yang mana sebagian mereka telah membantu menjawab item- Universitas Sumatera Utara item pertanyaan pada soal. Padahal, kualitas pendidikan nasional bukan selalu diukur dengan angka-angka tetapi dikedepankan dengan pentingnya kualitas kepribadiaan, moral, budi pekerti dan akhlak-perilaku, seperti diharapkan dalam konsep tujuan pendidikan nasional 20 . Ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana sekolah juga merupakan permasalahan para guru. Dengan melihat penilaian BAN Sumut 21 , guru SMPN 10 Medan dapat dikatakan dalam kategori guru yang cukup berkualitas dengan perolehan nilai 89. Sangat berbanding jauh dalam kualitas sarana dan prasarana SMPN 10 Medan yang hanya mendapat nilai 67,85. Kenyataannya sekalipun kualitas gurunya cukup baik namun bila tidak didukung ketersediaan fasilitas yang lengkap dan memadai, tetap saja proses belajar-mengajar tidak menghasilkan kualitas murid yang maksimal. Dapat dilihat dari kompetensi lulusannya yang hanya mendapat nilai 81. Ketidak-seragaman penyediaan fasilitas di sekolah-sekolah negeri terutama di Medan saja sudah mempengaruhi kualitas proses belajar mengajar dan itu cukup menjadi masalah, ditambah lagi harus mengikuti tes skala Nasional UN seperti yang telah saya paparkan sebelumnya. Hal tersebut akan semakin menambah beban dan permasalahan guru dalam mengajar. 20 Prof. Dr. H. Abdullah Idi, M.Ed, Op.Cit. hal.83. 21 Tabel 1 pada halaman 15. Universitas Sumatera Utara BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan