Tinjauan Pustaka Pola Mengajar Guru (Studi Etnografi Mengenai Pola Mengajar Para Guru di SMPN 10 Medan)

Namun, ada juga guru-guru yang kemampuan teoritis dan praktiknya terbatas sehingga sulit memahami maksud dan tujuan dalam kurikulum. Bukan sebatas di pihak guru, dari kurikulum sendiri terkadang turut menimbulkan persoalan. Kurikulum seharusnya disusun dengan memberikan ―ruang gerak‖ yang sedikit longgar kepada para guru. Guru tidak perlu terlalu terikat terhadap pakem- pakem pengajaran yang ditawarkan kurikulum sehingga guru mampu berimprovisasi dalam proses belajar-mengajar. Kurikulum yang diperbarui hendaknya memungkinkan guru mengajarkan suatu materi pada berbagai taraf kecanggihan dan melalui berbagai jenis penyampaian modes of delivery. Dengan demikian, guru merasa lebih nyaman, percaya diri dan menikmati proses pengajaran. Mengetahui begitu banyaknya permasalahan-permasalahan pendidikan yang tidak terlepas dari peran guru, maka membuat penulis tertatik untuk mengkaji bagaimana pola mengajar para guru di sekolah khususnya di SMPN 10 Medan.

1.2. Tinjauan Pustaka

Ralph Linton 1962:29 mendefenisikan kebudayaan adalah seluruh pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu kelompok tertentu. Dalam pengertian tersebut ada kata ―diwariskan‖, diwariskan berarti memiliki muatan diteruskan. Dalam prosesnya, pewarisan itu akan dilakukan melalui sosialiasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, disadari maupun tidak disadari. Universitas Sumatera Utara Pendidikan merupakan kebudayaan manusia yang ada di setiap kelompok masyarakat. Pendidikan adalah proses sosial yang dijadikan alat dan sarana mempertahankan keberlangsungan kelompok masyarakat tersebut. Pendidikan itu sebagai suatu proses verb dan sekaligus suatu hasil noun 5 . Tolstoy dalam Freire, 2004:491 menyebutkan pada dasarnya pendidikan tidak mempunyai sasaran puncak di luar pendidikan itu sendiri. Tujuannya semata- mata hanya berasal dari prosesnya dan istilah terbaik untuk menyebutnya adalah pemahaman. Namun seiring perkembangan zaman masa kini, pendidikan tidak lagi dipandang sebatas untuk memahami, tetapi ada pencapaian lain yang diharapkan dari itu atau bahkan mungkin bukan memahami itu yang menjadi tujuan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Aristoteles dalam Freire, 2004:491 yang beranggapan bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk membantu mencapai kehidupan yang baik, kebahagiaan dan keadaan yang final. Pola fikir seperti inilah yang terbentuk di tengah masyarakat Indonesia kini. Persepsi terhadap pendidikan bersekolah telah berubah. Hakikatnya bersekolah itu untuk memperoleh ilmu dengan cara memahami berbagai macam pengetahuan yang diberikan. Namun kini, bersekolah itu bukan sekedar untuk belajar tapi ada nilai-nilai utilitarian lain yang menjadi fokusnya, misalnya untuk mencapai profesi tertentu. Keluarga khususnya orangtua turut berperan dalam pembentukan realitas ini. Keluarga merupakan lingkungan belajar 5 H.A.R Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 28. Universitas Sumatera Utara informal yang pertama dan yang paling utama dalam proses sosialisasi anak. Di dalam keluarga, anak akan diajarkan pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan untuk pertama kalinya. Orangtua akan mulai memberikan motivasi kepada anaknya agar mau mempelajari pola fikir, perilaku atau apa saja yang mereka anggap benar transmisi kebudayaan. Orangtua ―mengontrol‖ anak harus seperti apa dan bagaimana, sehingga dalam prosesnya diupayakan tidak melenceng dari apa yang diharapkan. Bagi orangtua, ada keinginan yang tidak bisa mereka capai secara langsung. Misalnya, agar si anak menjadi dokter — apabila si anak turut berkeinginan menjadi dokter pula —, orangtua tidak bisa langsung menjadikan anak tersebut menjadi dokter, sebab ada proses yang harus dilalui dan ditamatkan oleh lembaga pendidikan formal yang sah yang disebut sekolah. Dengan kata lain, orangtua memberikan kepercayaan kepada sekolah untuk membentuk anaknya —dan dianggap akan sesuai harapan. Namun, mungkinbisa saja sekolah merupakan media yang dijadikan orangtua sebagai alat penegasan dan pengukuhan atas apa yang mereka inginkan terhadap anaknya itu adalah benar dan tepat, terutama di hadapan anak itu sendiri —jika seandainya si anak tadi tidak ingin jadi dokter. Sekolah adalah lembaga yang menjadi tempat didikan bagi anak —selain keluarga tentunya. Sekolah merancang pembelajaran anak murid di bawah pengawasan guru. Guru merupakan salah satu komponen primer di dunia pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan Keputusan Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk Universitas Sumatera Utara melaksanakan pendidikan di sekolah. Tugas-tugas pokok guru adalah mencari cara menjadikan bahan pelajaran bermakna bagi murid, memberi motivasi belajar dan menyediakan kepuasan belajar sehingga persekolahan murid akan menyenangkan baginya 6 . Namun, tugas guru tidak hanya sekedar mengajarkan mata pelajaran bersifat formal tetapi guru juga berperan dalam mengajarkan akhlak, moral dan budi pekerti bersifat informal. Menurut Thomas Lickona dalam Tilaar, 2002:76, guru haruslah menjadi seorang model dan sekaligus menjadi mentor murid dalam mewujudkan nilai-nilai moral di dalam kehidupan di sekolah. Dengan demikian, seharusnya proses pendidikan di sekolah bukan semata hanya proses belajar-mengajar mata pelajaran dalam kurikulum tetapi lebih merefleksikan segala aspek yang menjadi visi suatu masyarakat yang akan diwujudkan oleh generasi penerusnya 7 ― khususnya dalam hal akhlak, moral dan budi pekerti tadi. Mengingat pentingnya peranan guru terhadap perkembangan peserta didik, terkadang guru mengintervensi terlalu jauh terhadap pembelajaran murid. Proses pendidikan masih berupa proses pembentukan anak menurut konsepsi tentang ―manusia ideal‖ di benak guru maupun orangtua. Apa yang dipelajari di sekolah seharusnya menyiapkan murid untuk menghadapi realitas di dunia. Dirasa terlalu berlebihan jika anak hanya diajarkan dan dipersiapkan untuk 6 Tolstoy dalam Paul Freire, et.al, Menggugat Pendidikan, alih bahasa Omi Intan Naomi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 492. 7 H.A.R Tilaar, Op. Cit., hal. 23. Universitas Sumatera Utara memasuki peran atau profesi tertentu untuknya — lagi-lagi berdasarkan keinginan orangtua dan guru. Dengan memahami hal tersebut, seharusnya juga tidak ada lagi bidang-bidang studi yang disakralkan atau tidak ada stigma bidang studi tertentu dianggap lebih penting dibanding yang lain. Bahkan tidak perlu ada persepsi seperti, guru mata pelajaran bahasa Jerman jauh lebih bergengsi daripada guru mata pelajaran bahasa Indonesia, karena pada dasarnya setiap apa pun bidang studinya basic memiliki nilai-nilai penting dan keunggulannya masing-masing serta tidak bisa disubstitusi.. Guru sebagai pengajar membantu perkembangan intelektual, afektif dan psikomotorik, melalui cara menyampaikan pengetahuan, pemecahan masalah, latihan-latihan afektif dan keterampilan. Pada waktu guru menyampaikan pengetahuan, memberi nasihat dan motivasi, tidak mungkin terlepas dari upaya mendewasakan muridnya, dan upaya tersebut diwujudkan salah satunya melalui proses mengajar di ruangan kelas 8 . Upaya pendewasaan itu dilakukan untuk menghasilkan peserta didik yang berkualitas. Hasil Penelitian Pusat Informatika Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa guru yang berkualitas seharusnya mampu menghasilkan peserta didik yang berkualitas 9 . Kualitas kerja para guru juga merupakan indikasi dari adanya komitmen guru yang tinggi atas nilai keprofesionalannya sebagai pendidik. Dalam UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 disebutkan bahwa guru adalah 8 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005, hal. 252. 9 Sumber elektron ik: ―pendidikan dan kebudayaan‖ www.kemendiknas.go.idkemendikbudsitesfiles diakses 1 Febuari 2014 Universitas Sumatera Utara pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Guru yang profesional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugasnya, yang ditandai dengan keahliannya dalam mengajar dan mendidik. Keahlian tersebut juga turut terlihat dari berbagai bentuk apresiasi misalnya, sertifikasi, lisensi atau penghargaan dari pihak lain yang juga berkutat dalam dunia pendidikan. Hal tersebut juga jelas dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah PP Nomor 74 tahun 2008 tentang guru. Di dalamnya disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademi, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam tugasnya untuk mengajar, guru berarti harus berupaya menyajikan ide, problem atau pengetahuan dalam bentuk yang sederhana sehingga dapat dipahami oleh murid. Mengajar bukan aktivitas yang dilakukan sekali saja, melainkan berulang-ulang dan membentuk pola-pola tertentu. Bukan hanya guru dengan aktivitas mengajarnya saja, sejumlah orang atau pelaku yang berbeda-beda juga melakukan praktik sosialnya di sekolah dari hari ke hari —baik yang secara langsung maupun tidak langsung— dan turut mempengaruhi pengajaran 10 . Dengan kata lain, guru bukan satu-satunya pihak 10 Fikarwin Zuska, Membangun Kultur Akademis Di Sekolah Dengan Menimbang Relasi Kuasa Antar Murid, Pendidik dan Masyarakat Di Kota Medan Medan: Universitas Sumatera Utara, 2009, hal.24. Universitas Sumatera Utara yang membentuk pola pengajaran itu seperti apa dan bagaimana, tetapi ada intervensi berbagai pihak dengan kepentingannya masing-masing. Baik itu dari pemerintah yang diwakilkan oleh Dinas Pendidikan melalui kurikulum dan kebijakan lainnya, kepala sekolah, orangtua murid, masyarakat di sekitar sekolah bahkan pihak-pihak lain yang terkait dengan persekolahan. Dengan demikian, pola pengajaran itu dikonstruksikan oleh mereka-mereka yang berpartisipasi di dalamnya. Konstruk atau cara individu mempersepsikan, memaknai dan mendefenisikan kehidupan sehari-hari itulah yang akan menentukan format kehidupan nyata di dalam persekolahan. Bagaimana individu yang bergerak dalam dunia pendidikan itu memahami, mengkonstruk, memaknai dan mengkonsepsi realitas di sekitarnya itulah yang akan dikaji. Namun konstruk yang ada tidak terbentuk begitu saja, ada ―struktur‖ yang turut ikut menciptakan. Struktur merupakan seperangkat hubungan yang menjalin keterkaitan individu-individu dalam kelompok 11 . Keterkaitan itu dihasilkan oleh adanya peranan-peranan yang dimainkan oleh tiap individu dalam hubungan mereka satu sama lain. Struktur itulah yang menjadi acuan sekaligus batasan bagi setiap pelakon. Struktur itu tidak bersifat statis melainkan dinamis, sesuai dengan perubahan-perubahan kepentingan kekuasan dari para pelakon dan intervensinya dalam persekolahan tersebut. 11 Radcliffe-Brown dalam Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, hal. 170. Universitas Sumatera Utara

1.3. Rumusan Masalah