Proses Lengsernya Presiden Soeharto

13 seperti shopping mall, apartemen, hotel, perkantoran, real state, lapangan golf, tourist resort dan lain-lain semacamnya. 23

B. Proses Lengsernya Presiden Soeharto

Banyaknya persoalan yang dihadapi Indonesia sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, serta upaya-upaya pemerintah yang dianggap tidak serius dalam mengatasi krisis ekonomi membuat masyarakat terutama mahasiswa tidak mempercayai pemerintahan Presiden Soeharto. Puncak penolakan mahasiswa terhadap Pemerintahan Soeharto terlihat pada saat diadakannya Sidang Umum MPR yang merupakan rutinitas dari mekanisme lima tahunan ketata negaraan Orde Baru. Mahasiswa menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soeharto di depan Sidang Umum MPR. Demonstrasi yang disuarakan mahasiswa meminta pertanggungjawaban pemerintahan Soeharto terhadap terjadinya krisis moneter dan krisis sosial- ekonomi, mahasiswa juga melakukan kritik anti Soeharto yang ditunjukkan pada korupsi di lingkungan keluarga Soeharto serta kedekatan keluarga Cendana dengan para konglomerat. Penolakan mahasiswa mengenai pertanggungjawaban Presiden Soeharto berbanding terbalik dengan MPR. Pidato pertanggungjawaban Presiden diterima secara penuh oleh MPR tanpa catatan, seperti yang semula diusulkan oleh Fraksi PPP. Dalam sidang tersebut juga dipilih kembali Soeharto sebagai Presiden RI masa bakti 1998-2003 dengan didampingi B.J. Habibie sebagai wakil Presiden. MPR juga mengesahkan penetapan No. 23 Ibid., hlm. 173. 14 VMPR 1998 yang isinya memberikan kewenangan kepada presiden untuk mengambil segala langkah yang diperjuangkan guna mengamankan pembangunan. Keputusan MPR pada Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 tersebut membuat ketegangan di masyarakat semakin bertambah, demontrasi penolakan Soeharto dan tuntutan segera diadakannya reformasi semakin meningkat. Setelah terpilih kembali sebagai presiden, Soeharto menyatakan akan memenuhi tuntutan rakyat untuk segera menanggulangi krisis moneter dan ekonomi melalui suatu gerakan reformasi yang sesuai dengan konstitusi. Soeharto segera membentuk kabinet. Akan tetapi kabinet yang dibentuk oleh Soeharto dianggap mengandung muatan politik yang berbau nepotisme, dan tidak profesional. Anggapan ini muncul karena kabinet Soeharto merupakan kumpulan kroni-kroninya. Ditunjuknya B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden, Siti Hardiyanti atau lebih dikenal dengan Mbak Tutut yang merupakan putri Soeharto menjadi Menteri Sosial, Bob Hasan sebagai Menteri Perdagangan, dan hanya sedikit yang dari golongan profesional dan tokoh ICMI yang masuk dalam kabinet. Kabinet Soeharto mendapat kecaman keras dari berbagai pihak di masyarakat terutama dikalangan mahasiswa, mahasiswa menginginkan reformasi politik, dengan menuntut agar Soeharto lengser sebagai presiden. 24 Pada tanggal 15 Januari 1998 ditandatangani Persetujuan kerjasama Indonesia dengan IMF oleh Presiden Soeharto yang disaksikan Direktur 24 M.C. Riclefs, Op. Cit., hlm. 689. 15 Pelaksana IMF Michael Camdessus dalam upaya menangulangi krisis moneter. Pemerintah Indonesia wajib menjalani serangkaian program dari IMF, seperti pengurangan belanja negara, menaikkan pajak, menghapus berbagai subsidi antara lain, kenaikan harga BBM, tarif listrik, telepon, dan sebagainya. 25 Serangkaian program yang digagas IMF tersebut sebagai upaya menekan krisis di Indonesia. Akan tetapi, kebijakan IMF tersebut menyebabkan terganggunya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berbagai demonstrasi dan kerusuhan di masyarakat yang diwakili mahasiswa semakin marak terjadi sebagai imbas dari kebijakan IMF tersebut. Sikap mahasiswa yang menuntut turunnya Presiden Soeharto tercermin dalam pemikiran tentang perubahan politik yang berlangsung sistematik, seperti diungkapkan melalui pernyataan keprihatinan sivitas akademik Universitas Indonesia di Jakarta, bulan Februari 1998, maupun tuntutan Sepultura sepuluh tuntutan rakyat yang dirumuskan yang dirumuskan oleh Amien Rais. Meningkatkan tuntutan-tuntutan tentang perubahan yang berawal dari keprihatinan terhadap krisis moneter dan gejolak ekonomi, sebagian besar disebabkan karena konservatif para pejabat pemerintah dan keacuhan politik yang diperlihatkan oleh lembaga-lembaga politik terhadap tuntutan perubahan yang bersifat reformatoris. Bahkan golkar memiliki sifat dasar yang cenderung menolak refomasi politik. Desakan dilakukannya refomasi politik yang dilakukan mahasiswa akhirnya pemerintah kususnya fraksi-fraksi MPR dalam Sidang Umum 25 Tjipta Lesmana, Dari Sukarno sampai SBY. Intrik Politik dan Lobi Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hlm. 118. 16 menyepakati langkah reformasi politik yang berlangsung gradual. Namun pada penerapannya yang terlibat langsung secara intensif didalam wacana reformasi justru lembaga-lembaga pemerintah tertentu, institusi ABRI, Organisasi Kelompok Partisan OKP dan kelompok-kelompok mahasiswa serta sivitas akademika di kampus-kampus, sedangkan pemerintah sendiri terkesan setengah hati dalam menjalankan reformasi politik. 26 Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan tanggal 20 Mei 1998 direncanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai hari Reformasi Nasional. Ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan diluar dugaan. Pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti yang berlokasi di daerah Grogol, Jakarta Barat terjadi peristiwa penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti. Insiden Trisakti terjadi saat mahasiswa melakukan unjuk rasa ke Gedung DPRMPR, namun aparat keamanan memaksa mahasiswa kembali ke kampus. Tiba-tiba situasi berubah menjadi kekacauan dan aparat melepaskan tembakan yang mengakibatnya empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak peluru tajam aparat keamanan. Keempat mahasiswa Trisakti yang tewas adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Herry Hertanto. Keesokan harinya tanggal 13 Mei, keempat mahasiswa Trisakti yang tewas dimakamkan dengan diantar oleh ribuan mahasiswa serta sanak saudara dan para simpatisan lainnya, lalu peristiwa tersebut dikenal dengan Jakarta kelabu. 26 Anggit Noegroho, M.T Arifin, Rekaman Lensa Peristiwa Mei 1998 di Solo, Solo: PT Aksara Solopos, 1998, hlm. 2. 17 Keesokan harinya setelah penembakan empat mahasiswa Trisakti, suasana Indonesia semakin kacau, kerusuhan dan demontrasi terjadi di berbagai daerah dengan Jakarta dan Surakarta sebagai yang terparah. Di Jakarta menyerbu pertokoan dan perkantoran milik WNI keturunan Tionghoa di kawasan Kota, kawasan Mangga Besar, kawasan Senen, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Gajah Mada, Jalan Daan Mogot dan lain-lain. Perusahaan para cukong dan keluarga Soeharto merupakan sasaran utama pembakaran dan penjarahan. Bank Central Asia BCA milik Liem Sioe Liong merupakan objek serangan utama. Mereka datang dengan sangat beringas untuk melakukan perampokan, penjarahan dan pembakaran serta mereka juga melakukan pelecehan seksual terhadap wanita-wanita keturunan Tionghoa. Yang paling tragis adalah pembakaran Klender Plaza yang menewaskan 200 karyawati pertokoan. 27 Kepada pers, Gubernur DKI Sutiyoso mengumumkan kerusuhan yang terjadi antara tanggal 13-15 Mei 1998 menelan sedikitnya 500 korban jiwa dan kerugian fisik bangunan mencapai Rp 2,5 triliun, belum termasuk isinya. 28 Pada tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto mendarat di Halim Perdanakusuma, setelah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G-15 di Kairo yang berlangsung 13-14 Mei 1998. Akibat meletusnya kerusuhan di tanah air, presiden mempercepat kepulangannya. Soeharto langsung mengadakan konsultasi dengan Menteri Hankam serta dengan Wakil Presiden B.J. Habibie 27 Tuk Setyohadi, Op. Cit., hlm. 176. 28 A. Pambudi, Kontroversi “Kudeta” Prabowo,Yogyakarta: Media Pressindo, 2007, hlm. 10. 18 bersama keempat Menteri Koordinator. Soeharto meminta laporan perkembangan terakhir mengenai keadaan tanah air. Tanggal 16 Mei 1998, Presiden menerima kunjungan dari delegasi Universitas Indonesia guna menyampaikan aspirasinya yang menuntut agar di gelar Sidang Istimewa MPR. Pertemuan Presiden dilanjutkan dengan pembicaraan bersama pimpinan DPR. Dalalm pertemuannya tersebut Presiden Soeharto meminta agar semua penyelesaian disalurkan melelui DPR. Demikian pula Presiden Soeharto menyampaikan bahwa apabila DPR sudah tidak percaya lagi kepada Presiden, beliau bersedia mundur. Presiden juga menyampaikan alternatif untuk mengadakan “reshuffle” kabinet dan bersamaan waktunya juga membentuk Komite Reformasi. 29 Pada hari Senin tanggal 18 Mei 1998 diadakan rapat pimpinan DPR dengan fraksi-fraksi, dalam suasana puluhan ribu mahasiswa dari berbagai daerah telah memasuki halaman dan gedung MPRDPR. Dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, Ketua MPRDPR H. Harmoko membacakan keterangan pers yang berbunyi “Ketua dan Wakil- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan demi persatuan dan kesatuan meminta agar Presiden Soeharto sebaiknya secara arif dan bijaksana mengundurkan diri ”. Saat itu Harmoko didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad. Kejutan yang disambut gembira oleh ribuan mahasiswa tidak berlangsung lama, pada pukul 23.00 WIB Menhankam 29 Tuk Setyohadi, Op. Cit., hlm. 177. 19 Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap pernyatan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan sikap dan pendapat individual, dan tidak memiliki dasar hukum. Menteri Dalam Negeri Hartono juga menyatakan bahwa DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden, sama juga Presiden tidak bisa menjatuhkan DPR. 30 Pada hari yang sama, Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres No. 16 1998 yang memberikan kewenangan untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna mengatasi kekacauan. Inpres ini diberikan kepada Pangab Jenderal Wiranto. 31 Pada tanggal 19 Mei 1998 dalam sebuah pidato nasional, presiden Soeharto secara resmi mengumumkan pembubaran kabinet dan membentuk kabinet baru yang dinamai Kabinet Reformasi. Di tengah-tengah rencana itu, Amien Rais mengordinasikan protes-protes mahasiswa dan mengancam akan menghimpun 1 juta demonstran di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1998 guna menyuarakan pengunduran diri Presiden Soeharto. Rencana Amien Rais tidak jadi dilaksanakan karena terdapat ancaman kekerasan terhadap demonstran, ancaman ini dilakukan oleh militer. 32 Menjelang akhir pemerintahannya, Presiden Soeharto mulai ditinggal oleh para pengikutnya di kabinet. Para menterinya, yang dipimpin oleh Ginandjar Kartasasmita, mengadakan rapat dan menyatakan bahwa mereka tidak bersedia menjabat dalam kabinet reformasi serta mendesak Presiden 30 Abun Sanda, Warisan daripadaSoeharto,Jakarta: Kompas, 2008, hlm. 301 31 A. Pambudi, Op .Cit., hlm. 15. 32 R.P. Soejono, R.Z. Leirissa, Sejarah Nasional Indonesia VI zaman Jepang dan Zaman Republik, Jakarta: Balai Pustaka, 2011, hlm.672. 20 Soeharto untuk turun. Selain itu beberapa tokoh yang diminta Presiden Soeharto untuk duduk dalam Komite Reformasi antara lain Nurcholis Madjid, Gus Dur, Amien Rais dan Malik Fajar menolak. 33 Pada pertemuan di malam yang sama, Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto menyatakan bahwa demi kepentingan bangsa, solusi terbaik adalah mengalihkan kekuasaan secara konstitusional dari Presiden kepada Wakil Presiden. Semakin keras desakan yang menginginkan agar Soeharto mundur sebagai Presiden, menyebabkan semakin lemahnya kekuatan Soeharto dalam pemerintahan. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1998 pukul 23.00 WIB Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Dalam pertemuan tersebut Presiden Soeharto memutuskan untuk turun sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden B.J Habibie sebagai Presiden. Pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB sesuai dengan ketentuan dalam TAP MPR No. VII tahun 1973 di hadapan Mahkamah Agung dilaksanakan penyerahan jabatan presiden berdasarkan pasal 8 UUD 1945. Selain penyerahan kekuasaan presiden, pada saat itu juga sekaligus mengangkat Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi Presiden menggantikan Soeharto. 34 Dalam pidato pengunduran dirinya, Soeharto berkata “saudara- saudara sekarang saya bukan presiden lagi kerena sesuai pasal 8 UUD 1945 dan saran dari Dewan Perwakilan Rakyat, saya telah berhenti. Saya harap 33 Tuk Setyohadi, Op. Cit., hlm. 178. 34 Op. Cit., hlm. 179. 21 saudara-saudara menjaga keselamatan negara dan bangsa, terima kasih”. Pidato tersebut mengakhiri jabatan Soeharto sebagai Presiden dan mengakhiri era Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.

C. B.J Habibie Menjadi Presiden