Kebebasan Pers HASIL KEBIJAKAN POLITIK DALAM NEGERI

30 Pemberian gelar pahlawan reformasi merupakan hal positif yang dianugerahkan oleh pemerintahan Presiden B.J Habibie, penghargaan ini mampu melegitimasi Habibie sebagai bentuk penghormatan kepada perjuangan dan pengorbanan mahasiswa sebagai pelopor gerakan Reformasi. Pemberian gelar pahlawan kepada korban trisakti juga sebagai upaya pemerintah menjalankan reformasi yang dikehendaki oleh rakyat, selain itu sebagai upaya yang dilakukan oleh Presiden B.J Habibie untuk mengambil simpati dan kepercayaan rakyat yang kurang mempercayai dirinya dalam menjalankan reformasi.

C. Kebebasan Pers

Dalam permasalahan ini, pemerintahan Presiden B.J Habibe mengeluarkan kebijakan mengenai kebebasan pers di Indonesia. Pada masa Pemerintahan Orde Baru pergerakan pers sangat dibatasi dan hanya digunakan sebagai alat pemerintahan untuk menyelenggarakan kepentingannya. Pers pada masa Orde Baru adalah sarat dengan muatan berbagai kepentingan. Kebebasan pers sangat dibatasi, kebebasan pers ditekan dan dikuasai oleh negara, bahkan wartawan bisa dibeli. Pers yang bisa dibreidel sewaktu-waktu oleh pemerintah bila berita yang ditulis tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah. Pembreidelan pers pada masa Orde Baru terjadi pada surat kabar tempo,kompas dan detik. Pembereidelan Tempo terjadi Pada 12 April 1982, di usia yang ke-12 tahun, Tempo dibreidel oleh Departemen Penerangan melalui surat yang 31 dikeluarkan oleh Ali Moertopo Menteri Penerangan. Tempo dianggap telah melanggar kode etik pers. Ide pembreidelan itu sendiri datang dari Persatuan Wartawan Indonesia PWI yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan harian Pos Kota. Diduga, pembreidelan tersebut terjadi karena Tempo meliput kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, yang berakhir rusuh. Presiden Soeharto, yang notabene motor partai Golkar, tidak suka dengan berita tersebut. Pembreidelan kedua terjadi Pada 21 Juni 1994, Tempo kembali dibredel bersama saudara tirinya yaitu Editor Detik. Kali ini penyebabnya adalah berita Tempo terkait pembelian pesawat tempur eks Jerman Timur oleh BJ Habibie. Berita tersebut tidak menyenangkan para pejabat militer karena merasa otoritasnya dilangkahi. Namun, diduga, penyebab dasarnya adalah karena Presiden Soeharto tidak suka Tempo dari dulu; berita BJ Habibie hanyalah alasan pembenaran. 43 Selain pembreidelan terhadap media masa, pembreidelan dan larangan penerbitan buku-buku juga dilakuakan masa Orde Baru. Antara lain Di Bawah Lentera Merah yang merupakan tesis sarjana muda Soe Hok Gie pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Juga buku Tan Malaka yang merupakan disertasi doktor ahli sejarah Harrye Poeze yang kini menjabat sebagai Direktur KITLV di Belanda. Militer dan Politik di Indonesia karya Harold Crouch. Kapitalisme Semu karya Yoshihara Kunio. Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer. Theologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya yang merupakan skripsi Frater Wahono 43 Winarso, http:jejaksejarah.weebly.comjejak-sejarahjejak-sejarah-di-balik-pembredelan-pers- konflik-dan-pembredelan-majalah-tempo, diakses pada 19 Maret 2015. 32 Nitiprawiro. Amir Sjarifoeddin Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan yang merupakan tesis Frederick Djara Wellem. Indonesia the Rise of Capital karya Richard Robison yang masih belum diterbitkan dalam edisi Indonesia. Alasan pelarangan itu nyaris seragam: merupakan tulisan yang menyesatkan, memutarbalikkan sejarah, merendahkan pemerintah Orde Baru dan pimpinan nasional. Sayangnya suatu proses peradilan yang bersifat akademis tak pernah digelar. Demikian juga para guru besar atau dosen pembimbing dan pejabat kampus tak ada satu pun yang memberikan reaksi. 44 Kehidupan pers di Indonesia pada masa Pemerintahan Orde Baru sangat mengkhawatirkan. Turut campurnya pemerintah dalam pers, membuat pers dikontrol oleh pemerintah, sehingga tidak adanya kebebasan bagi pers. Terdapatnya Persatuan Wartawan Indonesia PWI tidak membawa perubahan yang signifikan bagi kehidupan pers. PWI yang seharusnya memperjuangkan kehidupan pers di Indonesia justru dijadikam media bagi Pemerintah Orde Baru. Hal ini terlihat ketika terjadi pembredelan beberapa media nasional oleh pemerintah, PWI yang seharusnya membela pers dan melakukan tuntutan terhadap pembreidelan tersebut justru memberikan pernyataan dapat memahami dan menyetujui tindakan pemerintah tersebut. Kontrol pemerintah terhadap pers tidak dapat diragukan lagi, begitu juga dengan pengaruhnya. Kebijakan – kebijakan yang dikeluarkan pemerintah orde baru sangat tidak mendukung keberadaan pers. Salah satu contohnya adalah kebijakan SIUPP, yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers, 44 Stanley, http:tempo.co.idangmin0129kolom3.htm, diakses pada 19 Maret 2015 33 yang mana sangat tidak pro-pers. Pers mengalami kesulitan saat dituntut untuk melasanakan fungsi –fungsi yang secara alamiah melekat padanya, khususnya fungsi mereka bagi masyarakat. Fungsi pers bagi masyarakat adalah menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi, dengan didominasi subyek negara serta kecenderungan pers untuk lebih berat ke sisi negara harus dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis. 45 Setelah berakhirnya Pemerintahan Orde baru, Presiden B.J Habibie membuat kebijakan mengenai kebebasan pers di Indonesia. Pers pada masa pemerintahan B.J Habibie diberikan perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebarluaskan, pencetakan dan penerbitan surat kabar, majalah, buku atau material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Kebebasan pers masa pemerintahan Presiden B.J Habibie diikuti pula dengan kebebasan berasosiasi organisasi pers, sehingga banyak bermunculan organisasi-organisasi pers alternatif. Selama pemerintahan Presiden B.J Habibie tidak didapati pembreidelan-pembreidelan media masa seperti saat masa Orde Baru. Pers bebas memberitakan mengenai segi potif dan negatif kinerja pemerintah yang menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam rangka melaksanakan kebebasan pers, B.J Habibie mencabut ketentuan pembatalan SIUPP Surat Izin Usaha Penerbitan Pers yang selama ini menghantui wartawan terhadap 45 Putra, A, https:andhikafrancisco.wordpress.com20130621makalah-perbandingan- kebebasan-pers-pada-masa-orde-baru-dan-masa-reformasi-di-indonesia , diakses pada tanggal 27 Maret 2015 34 pemberedelan surat kabar dan majalah. 46 Akibat kemudahan memperoleh SIUPP tersebut, jumlah pemohon SIUPP membengkak lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan dengan masa Orde Baru. Euforia kebebasan berdampak luas bagi perkembangan di Indonesia, dampak kebebasan pers tidak hanya berdamak positif akan tetapi juga dapat berdampak negatif. Dampak positif kebebasan pers antara lain adalah 1 Pemberitaan bebas mengulas suatu masalah Ilmu pengetahuan dan tehnologi serta pengetahuan dan informasi lainnya sehingga semua orang berhak tahu dan mengerti apa yang sedang terjadi sekarang ini dari berita ilmu pengetahuan, politikpemerintah dan lain-lain yang akan membuat individu menjadi maju cara berpikirnya. 2 Tiap-tiap individu secara bebas dapat menyampaikan pendapatnya melalui media masa sehingga membantu dan memicu tiap individu untuk berkreasi menyampaikan pendapat dengan adanya kolom kontak pembaca, serta setiap wartawan mengulas suatu masalah yang beraneka ragam. 3 Memberikan kesempatan tiap individu untuk mencoba berani bagi yang ingin mencoba bisnis dalam mass media terbukti munculnya produksi media baru Terbit, Adil dan lain-lain serta membuka lapangan pekerjaan. Dampak negatif kebebasan pers antara lain: 1 Gambar kekerasan yang ditampilkan baik dalam media massa cetak maupun dalam audio visual dalam menyampaikan berita dengan makin berani dan gamblang misalnya kegiatan demonstrasi yang brutal dan lain-lain. 2 Penampilan gambar setengah porno 46 Tuk Setyohadi, Op. Cit, hlm. 184 35 dalam media cetak yang menampilkan foto-foto wanita yang berpakaian amat minim dengan pose yang sangat merangsang seperti pada isi gambar Tabloid lipstik. 3 Berita yang mengulas suatu masalah yang belum tentu benar. 4 Berita yang dapat menimbulkan pemahaman tertentu, menghasut ataupun mengadu domba. 5 Mengkritik tanpa etika.

D. Penghapusan Istilah Pribumi dan Non Pribumi