Teknik Analisis Data METODE PENELITIAN

parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 5 lima persen dari realisasi penerimaan retribusi parkir. Rasio efisiensi retribusi parkir, dapat dihitung dengan rumus Halim 2008: 234: Rasio efisiensi = parkir retribusi penerimaan Realisasi parkir retribusi Pemungutan Biaya X 100 “Kinerja pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari satu atau dibawah seratus persen. Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintah daerah semaki n baik” Halim 2008: 234. Rasio efisiensi retribusi parkir ditunjukkan pada tabel 2 yang telah dijelaskan sebelumnya di halaman tiga puluh tiga 33, berikut rasio efisiensi retribusi parkir tersebut: Tabel 5: Kriteria Efisiensi Retribusi Parkir Rasio efisiensi Kriteria 90 Sangat Efisien 90 s.d. 99 Efisien 100 Cukup Efisien 100 Tidak efisien Sumber: Mahmudi 2015: 111 2. Kontribusi Kontribusi digunakan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi yang dapat disumbangkan dari penerimaan retribusi parkir terhadap retribusi daerah. Kontribusi retribusi parkir dapat diketahui dengan mengambil data realisasi penerimaan retribusi parkir dan realisasi penerimaan retribus daerah. Kontribusi retribusi parkir dapat dihitung dengan rumus halim 2004: 163: Kontribusi = Y X X 100 Keterangan: X : Realisasi Penerimaan Retribusi Parkir Y : Realisasi Penerimaan Retribusi Daerah Dalam menentukan kontribusi retribusi parkir dalam kategori potensial atau tidak potensial, peneliti mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Haning dan Radianto 2005. Kategori kontribusi retribusi parkir ditentukan dengan mengambil rata-rata kontribusi dari enam belas retribusi daerah sebagai tolok ukur dan kemudian dibandingkan dengan kontribusi retribusi parkir. Rata-rata kontribusi retribusi daerah dapat diketahui dengan mengambil data kontribusi retribusi daerah dari tahun 2010-2014 kemudian dibagi dengan banyaknya frekuensi retribusi daerah yaitu enam belas retribusi daerah. Rata-rata kontribusi retribusi daerah dapat diketahui dengan rumus Boedijoewono 2007: 75: N X X Keterangan: X = Notasi dari rata-rata Jumlah X = nilai dari data X 1.... sampai X n N = Jumlah Frekuensi Kontribusi retribusi parkir dikatakan potensial apabila memberikan kontribusi lebih besar dari rata-rata kontribusi dari enam belas retribusi daerah, dan dikatakan tidak potensial apabila memberikan kontribusi lebih kecil dari rata-rata kontribusi dari enam belas retribusi daerah. 3. Laju Pertumbuhan Laju pertumbuhan retribusi parkir dapat diketahui dengan mengambil data realisasi penerimaan retribusi parkir pada tahun tertentu dan data realisasi penerimaan retribusi parkir pada tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan retribusi parkir dapat dihitung dengan rumus Halim 2004:163: Gx = 1 1 t t t X X X X 100 Keterangan: Gx : Laju pertumbuhan retribusi parkir X t : Realisasi penerimaan retribusi parkir pada tahun tertentu X t-1 : Realisasi penerimaan retribusi parkir pada tahun sebelumnya Tujuan perhitungan laju pertumbuhan retribusi parkir tersebut untuk mengetahui laju pertumbuhan penerimaan retribusi parkir selama lima tahun terakhir yaitu tahun 2010- 2014 positif atau negatif. “Laju pertumbuhan retribusi parkir dikatakan positif apabila penerimaan retribusi parkir dari tahun 2010 ke tahun 2011, dari tahun 2011 ke tahun 2012, dari tahun 2012 ke PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tahun 2013, dan dari tahun 2013 ke tahun 2014 mengalami kenaikan, dan dikatakan negatif apabila penerimaan retribusi parkir dari tahun 2010 ke tahun 2011, dari tahun 2011 ke tahun 2012, dari tahun 2012 ke tahun 2013, dan dari tahun 2013 ke tahun 2014 mengalami penurunan” Adi 2013: 59. 4. Matriks Potensi Tujuan menggunakan analisis matriks potensi adalah untuk menentukan retribusi parkir masuk dalam kategori prima, potensial, berkembang, atau terbelakang. Peneliti mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Haning dan Radianto 2005, dalam menentukan kriteria retribusi parkir tersebut. Adapun kriteria matriks potensi tersebut yaitu sebagai berikut: a. Prima, jika tingkat pertumbuhan positif dan kontribusinya potensial. Laju pertumbuhan retribusi parkir dikatakan positif apabila penerimaan retribusi parkir dari tahun 2010 ke tahun 2011, dari tahun 2011 ke tahun 2012, dari tahun 2012 ke tahun 2013, dan dari tahun 2013 ke tahun 2014 mengalami kenaikan, dan Kontribusi retribusi parkir dikatakan potensial apabila kontribusi retribusi parkir lebih besar dari rata-rata kontribusi seluruh retribusi daerah. b. Potensial, jika tingkat pertumbuhan negatif dan kontribusinya potensial. Laju pertumbuhan retribusi parkir dikatakan negatif apabila penerimaan retribusi parkir dari tahun 2010 ke tahun 2011, dari tahun 2011 ke tahun 2012, dari tahun 2012 ke tahun 2013, dan dari tahun 2013 ke tahun 2014 mengalami penurunan, dan Kontribusi retribusi parkir dikatakan potensial apabila kontribusi retribusi parkir lebih besar dari rata-rata kontribusi seluruh retribusi daerah. c. Berkembang, jika tingkat pertumbuhan positif dan kontribusinya tidak potensial. Laju pertumbuhan retribusi parkir dikatakan positif apabila penerimaan retribusi parkir dari tahun 2010 ke tahun 2011, dari tahun 2011 ke tahun 2012, dari tahun 2012 ke tahun 2013, dan dari tahun 2013 ke tahun 2014 mengalami kenaikan, dan kontribusi retribusi parkir dikatakan tidak potensial apabila kontribusi retribusi parkir lebih kecil dari rata-rata seluruh kontribusi retribusi daerah. d. Terbelakang, jika tingkat pertumbuhan negatif dan kontribusinya tidak potensial. Laju pertumbuhan retribusi parkir dikatakan negatif apabila penerimaan retribusi parkir dari tahun 2010 ke tahun 2011, dari tahun 2011 ke tahun 2012, dari tahun 2012 ke tahun 2013, dan dari tahun 2013 ke tahun 2014 mengalami penurunan, dan kontribusi retribusi parkir dikatakan tidak potensial apabila kontribusi retribusi parkir lebih kecil dari rata-rata seluruh kontribusi retribusi daerah. Setelah data didapatkan, data tersebut dimasukkan kedalam rumus tabel Kriteria matriks potensi retribusi parkir pada tabel tiga 3 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di halaman 37, berikut kriteria matriks potensi retribusi parkir tersebut: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Tabel 6: Kriteria Matriks Potensi Retribusi Parkir Pertumbuhan Kontribusi Potensial Tidak Potensial Positif Prima Berkembang Negatif Potensial Terbelakang Sumber: Haning dan Radianto, 2005 50

BAB IV GAMBARAN UMUM

A. Sejarah Kota Yogyakarta

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya perjanjian Gianti pada tanggal 13 februari 1755 yang ditandatangani kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua: setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram Yogyakarta, Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede, dan ditambah daerah mancanegara yaitu: Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan. Setelah selesai Perjanjian pembagian Daerah itu, Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada didalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta Yogyakarta. Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755. Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, dan disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabat hutan tadi untuk didirikan kraton. Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati Pesanggrahan Ambarketawang daerah gamping, yang tengah dikerjakan juga. Pesanggrahan tersebut diresmikan pada tanggal 9 Oktober 1755, dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan. Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya, dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945.

B. Kondisi Geografis

1. Batas Wilayah Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 empat daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten. Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah utara : Kabupaten Sleman Sebelah timur : Kabupaten Bantul Sleman Sebelah selatan: Kabupaten Bantul Sebelah barat : Kabupaten Bantul Sleman Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110 o 24 I 19 II sampai 110 o 28 I 53 II Bujur Timur dan 7 o 15 I 24 II sampai 7 o 49 I 26 II Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan laut.