Gejala Klinis Diagnosis Karakteristik Penderita Rinosinusitis Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011

Rinosinusitis akut biasanya terjadi karena infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas. Infeksi ini lebih umum terjadi pada individu yang memiliki faktor-faktor predisposisi yang telah dijelaskan sebelumnya. Infeksi tersebut akan menyebabkan pembengkakan mukosa hidung sehingga mengakibatkan oklusi atau obstruksi ostium sinus Benninger, 2008. Apapun penyebabnya, sekali saja ostium mengalami oklusi, hipoksia lokal akan terjadi pada kavum sinus dan sekresi sinus menjadi terakumulasi. Kombinasi antara keadaan hipoksia dan sekresi yang tertumpuk tadi akan menyebabkan tumbuhnya bakteri patogen di dalam sinus Lane, 2003. Peradangan juga menyebabkan mukus menjadi lebih kental dan gerakan silia lebih lambat daripada normal. Alergi sangat berperan penting pada kejadian rinosinusitis. Reaksi antigen- antibodi pada keadaan alergi menyebabkan pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin. Mediator-mediator ini meningkatkan permeabilitas vaskular, edema mukosa, dan pada akhirnya mengakibatkan obstruksi ostia. Walaupun agen infeksius dapat menjadi penyebab utama inflamasi sinus, mereka juga ditemukan sebagai infeksi sekunder pada individu yang mengalami rinitis alergi Benninger, 2008. Berbeda dengan rinosinusitis akut, patofisiologi rinosinusitis kronik masih belum dapat diketahui secara jelas, namun faktor predisposisi lebih berperan penting, misalnya seperti penyakit sistemik dan lingkungan Shah, 2008. Pada pasien rinosinusitis kronis yang penyebabnya bakteri patogen, organisme terbanyak adalah Staphylococcus sp. 55 dan Staphylococcus aureus 20. Beberapa studi lain menyebutkan prevalensi yang tinggi ditemukan dengan infeksi enterobakter, bakteri anaerob, bakteri gram-negatif, dan jamur Benninger, 2008.

2.6. Gejala Klinis

Berdasarkan data Rhinosinusitis Task Force of the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery 1997, gejala dan tanda rinosinusitis dibagi menjadi kriteria mayor dan minor. Gejala mayor antara lain : obstruksi hidungsumbatan, adanya sekret hidung yang purulen, gangguan penghidu seperti Universitas Sumatera Utara hiposmiaanosmia, dijumpai sekret purulen pada pemeriksaan hidung, nyeri wajah seperti tertekan, kongesti wajah penuh, dan demam hanya pada rinosinusitis akut. Sedangkan gejala minor antara lain : sakit kepala, demam non-akut, halitosis, lemahletih, nyeri gigi, batuk, nyeri telinga seperti ditekan dan merasa penuh di telinga. Untuk diagnosis rinosinusitis dibutuhkan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor Benninger, 2008.

2.7. Epidemiologi Rinosinusitis

2.7.1. Distribusi Rinosinusitis Berdasarkan Orang

Penelitian Hedayati, et al tahun 2010 di Rumah Sakit Boo Ali Iran, didapatkan proporsi penderita rinosinusitis kronik tertinggi yaitu pada kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 21 orang 42. Penderita terdiri dari 26 laki-laki 52 dan 24 perempuan 48, dimana keluhan terbanyak yaitu hidung tersumbat pada 48 orang 96. Hasil penelitian Sogebi, et al 2002-2006 di Sagamu Nigeria didapatkan 110 penderita rinosinusitis kronik dengan distribusi umur yaitu 18 tahun 21 orang 19,1 dan ≥ 18 tahun 89 orang 80,9. Penderita terdiri dari 54 laki-laki 49,09 dan 56 perempuan 50,91, dimana lokasi rinosinusitis terbanyak yaitu sinus maksila 70,51. Penelitian Multazar tahun 2008 di RSUP H. Adam Malik Medan, didapatkan proporsi penderita rinosinusitis kronis tertinggi pada kelompok umur 28–35 tahun 20,61, umur diatas 18 tahun 88,18, dengan proporsi laki-laki 42,91 dan perempuan 57,09. Keluhan utama ialah hidung tersumbat 75,3. Pada pemeriksaan foto polos SPN didapatkan proporsi single rinosinusitis 87,8, sedangkan multisinusitis pada pemeriksaan CT Scan SPN 44,4. Penatalaksanaan medikamentosa 77,36, sedangkan operasi BSEF 80,6 Multazar, 2011. Penelitian Darmawan dkk tahun 2005, jumlah penderita rinosinusitis pada anak di RSCM Jakarta tahun 1998-2004 adalah 163 orang, terdiri dari 90 lelaki 55,2 dan 73 perempuan 44,8. Kelompok umur terbanyak yaitu 6 tahun 113 orang 69,3 dan manifestasi klinis terbanyak adalah batuk 152 orang Universitas Sumatera Utara 93,3. Asma ditemukan pada 84 orang 51,5 dan rinitis alergi 44 orang 27 Frisdiana, 2011. Penelitian Eko tahun 2008 di Yogyakarta dengan menggunakan desain Case Control , hasil analisis statistik menunjukkan rinitis alergi berhubungan secara bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik p=0,003 dan diperoleh nilai OR=3,95 CI 95=1,55-10,11. Penelitian Primartono tahun 2003 di Semarang dengan menggunakan desain Cross Sectional, hasil analisis statistik menunjukkan deviasi septum berhubungan secara bermakna dengan kejadian rinosinusitis maksila kronik p=0,019 dan diperoleh nilai RP=4,90 CI 95=1,19-20,11.

2.7.2. Distribusi Rinosinusitis Berdasarkan Tempat dan Waktu

Rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika. Menurut National Ambulatory Medical Care Survey NAMCS, sekitar 14 penderita dewasa mengalami rinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya. Prevalensi rinosinusitis kronik di Kanada tahun 1997 pada perempuan yaitu 5,7 dan laki-laki 3,4. Prevalensi rinosinusitis kronik di Skotlandia Utara dan Karibia Selatan tahun 1999 yaitu 9,6 dan 9,3 Frisdiana, 2011. Penelitian Staikuniene et al 2000-2005 di Lithuania, dari 121 penderita rinosinusitis kronik didapatkan 84 orang 69,4 menderita polip hidung dan 48 orang 39,6 menderita asma. Penelitian See Goh, et al April 2001 – Agustus 2002 di Malaysia didapatkan 30 penderita rinosinusitis kronik dimana 8 orang 26,7 disebabkan oleh infeksi jamur yang diagnosisnya ditegakkan dari spesimen pembedahan.

2.8. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Mangunkusumo, 2010. Anamnesis yaitu dengan cara menanyakan riwayat dan perjalanan penyakit apakah sudah berlangsung selama lebih dari 12 minggu serta didapatkan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dengan 2 gejala minor Benninger, 2008. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior Universitas Sumatera Utara dan posterior. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal atau di meatus superior pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid Mangunkusumo, 2010. Meatus medius sering dapat diinspeksi dengan baik setelah pemberian dekongestan Shah, 2008. Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis Mangunkusumo, 2010. Naso-endoskopi kaku maupun fleksibel sangat penting dalam evaluasi rinosinusitis. Pada acute bacterial rhinosinusitis ABRS, naso-endoskopi bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis sekaligus mendapatkan sekret dari meatus media untuk dikultur Shah, 2008. Untuk mengurangi kontaminasi dari hidung, kultur dari meatus media dapat dilakukan melalui aspirasi sinus maksila yang merupakan gold standard untuk diagnosis ABRS Benninger, 2008. Pemeriksaan penunjang pilihan utama untuk menilai gambaran sinus adalah CT-scan. Kelebihannya ialah mampu memberi gambaran sinus pada rinosinusitis kronis yang gejalanya tidak sesuai dengan pemeriksaan klinis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan atau tanpa naso-endoskopi. Namun, CT-scan memiliki keterbatasan yaitu sulit membedakan rinosinusitis dengan infeksi virus saluran pernafasan bagian atas, kecuali jika sudah timbul komplikasi. Visualisasi optimal didapatkan dengan coronal scans Shah, 2008. Pemeriksaan penunjang yang lain adalah foto polos, yaitu dengan posisi Waters, PA dan lateral. Biasanya foto tersebut hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal Mangunkusumo, 2010. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior dan dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. MRI hanya dilakukan jika ada kecurigaan komplikasi pada orbita dan intrakranial Shah, 2008.

2.9. Terapi