ekonomi pemb ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

(1)

KABUPATEN SLEMAN DALAM MASA OTONOMI DAERAH TAHUN 2000 - 2004

Di Susun Oleh

Nama : Tri Suprapto

Nomor Mahasiswa : 01313082

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Yogyakarta, Desember 2006 Telah disetujui dan disahkan oleh

Dosen Pembimbing,

Dra. Priyonggo Suseno, M.Sc.


(2)

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam referensi. Dan apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyatan ini tidak benar maka saya sanggup menerima hukuman/sanksi apapun sesuai peraturan yang berlaku.”

Yogyakarta, 20 Januari 2007 Penulis,

Tri Suprapto


(3)

Seiring rasa syukurku, karya ini

kupersembahkan untuk:

Ayahanda dan Ibundaku tercinta,

Papi, Mami….aku bisa seperti ini

karena Papi dan Mami……..

Kakak-kakakku dan Adikku

Istri KU Tercinta dan tersayang yang

memberiku arahan dan semangat

untuk keberhasilanku………….


(4)

Orang yang pandai adalah yang merendah diri  dan beramal sebagai persiapan setelah mati 

Sedang orang bodoh adalah yang memperturutkan hawa nafsunya  namun kemudian berharap muluk kepada Allah. 

(HR. Turmudzi. Ibnu Majal dan Ahmad)   

Masa lalu yang terburukpun jangan kau toleh lagi,   karena tak ada kata terlambat untuk berbenah diri. 

      (Penulis)   

Cinta sejati adalah jika kita selalu memikirkannya 

dan memberi perhatian dengan tulus, jika kita tetap peduli padanya  walau dia sudah lupa dan tidak lagi peduli sama kita 

dan kita tetap tersenyum ketika dia bersama orang yang dicintainya. 

( KHALIL GIBRAN)   


(5)

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirobbil’alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ““ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SLEMAN DALAM MASA OTONOMI DAERAH TAHUN 2000 – 2004”. Tak lupa shalawat serta salam penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.

Skripsi ini merupakan suatu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Ekonomi jurusan Ekonomi Pembangunan dari Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.

Skripsi ini dapat diselesaikan berkat adanya bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan pikiran, waktu dan tenaga serta bantuan moril dan materiil, khususnya kepada :

1. Bapak Drs. H . Suwarsono, MA selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.


(6)

3. Semua dosen dan karyawan khususnya di jurusan Ekonomi Pembangunan. 4. Seluruh karyawan/staf perpustakaan di Fakultas Ekonomi, BPKKD Sleman,

yang telah membantu dalam pengumpulan data-data dan bahan skripsi ini. 5. Ayahanda H.Sugimin dan Ibundaku Hj.Maryamah terima kasih atas do’a

yang tiada henti untukku, kasih sayang dan bimbingan yang sangat berharga. Almarhumah “Mbah Kakung dan Mbah Putri”, Mbah..Tri sudah lulus.

6. Kakak-kakakku tersayang, Dwi Sugiarti,akbid , Sri Widiyati, Sri Setyawati, Dicky Ibrahim, Murtiyah, Komariyah dan Adikku Tersayang Suprapti Wisma Ningsih, terima kasih atas dorongan, bantuan tenaga dan pikiran serta kebersamaan kita dalam suka maupun duka.

7. Ila Kurniasih, terima kasih atas kesabaran, dan dengan semangat, cinta serta kasih sayang untukku, jadilah yang terbaik didalam hidupku.

8. Sobat-Sobatku yang selalu menjadi ‘teman’ terbaikku, terimakasih atas petuah-petuah bijakmu, Mas Hendro+Calon Istri Erna, Ari Begenk+Calon Istri Kusum, Ujang+Istri, Rojali+Istri, Imam Malih, Aday, Edy, Rozak, Angga, end banyak lagi, sekali lagi Thanks All Best friend


(7)

Mas Topan. Spesial thanks for Ita end Bakwan You are my best friend in Yogya

10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa, sebagai manusia dengan kelebihan dan kekurangannya, masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi suatu karya yang berguna bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Yogyakarta, Januari 2007 Penulis

Tri Suprapto


(8)

DAFTAR TABEL... ii

BAB I PENDAHULUAN 1.0 Latar belakang masalah... 1

1.2Rumusan masalah ... 6

1.3Tujuan penelitian ... 6

1.4Manfaat penelitian ... 7

1.5 Sistematika Penulisan………..7

BAB II GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN 2.1Keadan Umum Kabupaten Sleman ... 10

2.2Prioritas pembangunan daerah Kabupaten Sleman... 11

2.3Bidang Pemerintahan………. ... 13

2.4Bidang ekonomi dan pembangunan ... 15

2.5Sumber Pendapatan Anggaran Daerah……….17

2.6Bidang kesejahteraan masyarakat ... 27

2.7Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah ... ... 30

2.8APBD Dalam Era Otonomi Daerah… ... 31

BAB III TELAAH PUSTAKA BAB IV LANDASAN TEORI 4.1Otonomi daerah... 41

4.2Keuangan daerah dalam masa otonomi... 48


(9)

5.1 Jenis penelitian ... 62

5.2 Lokasi penelitian dan sumber data... 62

5.2.1 Data yang dicari/dibutuhkan ... 63

5.2.2 Teknik pengumpulan data ... 63

5.2.3 Teknik analisis data... 64

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis data… ... 72

6.1.1 Tingkat kemandirian Kabupaten Sleman ... 73

6.1.2 Efektivitas Pendapatan Asli Daerah... 82

6.1.3 Efisiensi Pendapatan Asli Daerah ... 86

6.2Pembahasan... 91

6.2.1 Perkembangan Tingkat Kemandirian Daerah………...91

6.2.2 Perkembangan Efektivitas Keuangan Daerah……... 95

6.2.3 Perkembangan Efisiensi Keuangan Daerah…… ... 99

6.2.4 Prediksi Perkembangan kemandirian ,Rasio Efektivitas dan Efisiensi tahun 2005-2010 Kabupaten Sleman…...101

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1Kesimpulan……… ... 102

7.2Saran……... 103

7.3 Keterbatasan Penelitian... 104


(10)

Tabel 2.2 Perkembangan Realisasi APBD Kabupaten SLeman Tahun 2004

Tabel 2.3 Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sleman tahun 2004

Tabel 2.4 Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten SlemanTahun 2004

Tabel 2.5 Banyaknya perusahaan industri kecil dan besar-menengah di Kabupaten Sleman tahun 2004

Tabel 2.6 Jumlah penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Sleman tahun 2004 Tabel 2.7 Jumlah Produksi tanaman pangan di Kabupaten Sleman tahun 2004 Tabel 2.8 Produksi tanaman perkebunan di Kabupaten Sleman pada tahun 2004 Tabel 2.9 Populasi ternak besar, ternak kecil dan unggas di Kabupaten Sleman p

tahun 2004

Tabel 2.10 Data panjang jalan dan status jalan di Kabupaten Sleman tahun 2004 Tabel 2.11 Banyaknya sekolah, kelas. Guru dan siswa SD,SMP, SMA Negri dan

Swasta di Kabupaten Sleman

Tabel 2.12 Jumlah pencari kerja di Kabupaten SlemanTahun 2004 Tabel 2.13 Jumlah Pemeluk Agama di Kabupaten SlemanTahun 2004

Tabel 2.14 Ringkasan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten SlemanTahun 2004


(11)

Tabel 6.2 Ringkasan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten SlemanTahun 2001

Tabel 6.3 Ringkasan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten SlemanTahun 2002

Tabel 6.4 Ringkasan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten SlemanTahun 2003 dan Tahun 2004

Tabel 6.5 Tingkat kemandirian Kabupaten Sleman Tahun anggaran 2000-2004 Tabel 6.6 Trend Perkembangan Tingkat Kemandirian Kabupaten Sleman Tahun

Anggaran 2000-2004

Tabel 6.7 Proyek Perkembangan Tingkat Kemandirian Kabupaten Sleman Tahun Anggaran 2005-2010

Tabel 6.8 Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sleman Tahun anggaran 2000-2004

Tabel 6.9 Trend Perkembangan Rasio Efektivitas Kabupaten Sleman Tahun Anggaran 2000-2004

Tabel 6.10 Proyeksi Rasio Efektivitas Kabupaten Sleman Tahun Anggaran 2005- 2010


(12)

(13)

2. Struktur Organisasi BPKKD

3. Perhitungan Trend Perkembangan Tingkat Kemandirian Kabupaten Sleman 4. Perhitungan Trend Perkembangan Efektivitas Kabupaten Sleman

5. Perhitungan Trend Perkembangan Efisiensi Kabupaten Sleman 6. Realisasi PAD 2000

7. Realisasi PAD 2001 8. Realisasi PAD 2002 9. Realisasi PAD 2003 10. Realisasi PAD 2004

11. Total Penerimaan PAD 2000 12. Total Penerimaan PAD 2001 13. Total Penerimaan PAD 2002 14. Total Penerimaan PAD 2003 15. Total Penerimaan PAD 2004 16. Target Penerimaan PAD 2000 17. Target Penerimaan PAD 2001 18. Target Penerimaan PAD 2002 19. Target Penerimaan PAD 2003 20. Target Penerimaan PAD 2004 21. Biaya Pemungutan PAD 2000 22. Biaya Pemungutan PAD 2001 23. Biaya Pemungutan PAD 2002 24. Biaya Pemungutan PAD 2003 Biaya Pemungutan PAD 2004


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Kabupaten Sleman merupakan salah satu daerah tingkat II yang dijadikan proyek percontohan uji coba otonomi daerah. Pemilihan daerah tingkat II untuk dijadikan proyek percontohan otonomi daerah ini didasarkan pada kemampuan dan potensi daerah untuk mandiri secara ekonomi, artinya pada saat otonomi daerah, daerah yang bersangkutan harus mampu melaksanakan seluruh tugas-tugas pemerintah didaerahnya termasuk menggaji pegawai yang sudah dilimpahkan dari pusat kepada daerah tingkat

Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket Undang-undang yaitu UU No. 22 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.


(15)

Kebijakan pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia yang berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Kedua, Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.

Desentralisasi fiskal merupakan pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan serta kewenangan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (task assignment) maupun aspek pengeluaran (expenditure assignment). Desentralisasi fiskal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik. Dengan demikian, desentralisasi fiskal akan memberi keleluasaan pada daerah untuk menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam kerangka keseimbangan fiskal. Berkenaan dengan desentralisasi fiskal tersebut ada tiga pilihan. Pertama, memberikan seluruh basis pajak kepada daerah kemudian mewajibkannya untuk menyetor sebagian dari hasil pajak tersebut kepada tingkat pemerintah yang lebih tinggi untuk membiayai pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua, merupakan kebalikan dari pilihan


(16)

pertama, yaitu seluruh kewenangan perpajakan berada pada pemerintah pusat, kemudian membiayai pemerintah daerah dengan sistem hibah atau transfer, baik melalui bagi hasil seluruh penerima maupun melalui bagi hasil penerimaan pajak-pajak tertentu. Ketiga, merupakan kombinasi dari pilihan satu dan dua, yaitu memberi beberapa kewenangan pemungutan pajak kepada daerah. Apabila terjadi ketimpangan vertikal karena pemberian kewenangan ini maka untuk melengkapi eksistensi pajak daerah tersebut diberikan pula bagi hasil atau transfer dari pemerintah pusat.

Untuk terciptanya kemandirian pemerintah daerah, pemerintah pusat memberikan otonomi kepada pemerintah daerah agar dapat menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sehingga pembangunan di daerah diarahkan agar lebih mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah , setiap Pemerintah Daerah diberi Kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan semua urusan pemerintah mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama, dan kewenangan lain yang diyeyapkan Peraturan pemerintah. Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas, setiap pemerintah


(17)

daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerah yaitu potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan potensi sumber daya keuangan secara optimal.

Sesuai dengan bunyi pasal 155 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan:

1. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah

2. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah di daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah

3. Administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintah sebagaimana maksud pada nomor (1) dilakukan secara terpisah dari administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintah sebagaimana maksud pada nomor (2)

Hal ini pun seperti yang dicantumkan Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggung jawaban Keuangan Daerah menyebutkan pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara tertib, taat


(18)

pada peraturan perundang-undangan yang beralaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatuhan. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan sosial masyarakat.

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang mendukung pelaksanaan Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan juga Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, sudahlah disebut lengkap bahwa pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diukur kinerjanya. Dengan kelengkapan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah diperlukan analisis kinerja pemerintah dalam mengelola keuangan daerahnya dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah ditetapkan dan dilaksanankannya. Hasil analisis rasio keuangan ini selanjutnya digunakan untuk tolok ukur dalam : menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi


(19)

daerah, mengukur efektifitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah (http://www.feuhamka.com/artikel22.htm).

Berdasarkan uraian di atas, perlu diteliti mengenai kinerja keuangan daerah di Kabupaten Sleman dalam masa otonomi daerah. Oleh karena itu penulis mengambil judul “ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SLEMAN DALAM MASA OTONOMI DAERAH TAHUN 2000 - 2004”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan tingkat kemandirian keuangan daerah kabupaten Sleman dalam masa otonomi daerah selama tahun anggaran 2000 – 2004 dan prediksi sampai dengan tahun 2010?

2. Bagaimana perkembangan efektivitas keuangan daerah Kabupaten Sleman dalam masa otonomi daerah selama tahun anggaran 2000-2004 dan prediksi sampai dengan tahun 2010?

3. Bagaimana perkembangan efisiensi keuangan daerah Kabupaten Sleman dalam masa otonomi daerah selama tahun anggaran 2001 – 2004 dan prediksi sampai dengan tahun 2010?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perkembangan tingkat kemandirian daerah Kabupaten Sleman dalam masa otonomi daerah selama tahun anggaran 2000 – 2004 dan prediksi sampai dengan tahun 2010


(20)

2. Untuk mengetahui perkembangan efektivitas daerah Kabupaten Sleman dalam masa otonomi daerah selama tahun anggaran 2000 – 2004 dan prediksi sampai dengan tahun 2010

3. Untuk mengetahui perkembangan efisiensi daerah Kabupaten Sleman dalam masa otonomi daerah selama tahun anggaran 2000 – 2004 dan prediksi sampai dengan tahun 2010

1.4. Manfaat penelitian

1. Bagi Pemerintah Kabupaten Sleman

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi tentang kebijakan keuangan daerah.

2. Bagi Universitas

Hasil penelitian ini dapat memberi masukan bagi pihak-pihak yang ingin memperdalam pengetahuan tentang keuangan daerah.

3. Bagi Penulis

Penulis memperoleh tambahan wawasan, pengalaman, dan pengetahuan dalam mempraktekan ilmu dan teori yang diperoleh selama kuliah.

1.5. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari tujuh bab, setiap bab dapat dirinci ke dalam sub-sub bab yang relevan dengan pembahasan bab. Secara garis besar, terdiri dari bab dengan urutan sebagai berikut:


(21)

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang Masalah penulisan skripsi ini, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II. GAMBARAN UMUM KABUPATEN SLEMAN

Bab ini akan membahas tentang Struktur dan Karakteristik Fisik Dasar, Keadaan Sosial Kependudukan, Keadaan Ekonomi, Badan Keuangan Daerah (BKD).

BAB III. TELAAH PUSTAKA

Bab ini menguraikan mengenai penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Dimana hasil penelitian tersebut menjadi acuan untuk penelitian berikutnya khususnya penelitian ini.

BAB IV. LANDASAN HUKUM DAN TEORI

Bab ini membahas tentang Sumber-sumber Pendapatan Daerah Otonomi Daerah, kinerja keuangan Daerah.jenis rasio yang digunakan sebagai tolak ukur di Kabupaten Sleman


(22)

Bab ini berisi tentang sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dan metode analisis untuk memperoleh jawaban dari masalah yang telah dirumuskan.

BAB VI. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang Analisis Data, Penerimaan PAD dan menganalisis kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dalam masa otonomi daerah serta Analisis Perkiraan Penerimaan Daerah di Kabupaten Sleman dimasa yang akan datang.

BAB VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari penelitian dan implikasi kebijakan yang dasarankan.


(23)

BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

2.1. Keadaan Umum Kabupaten Sleman

Kabupaten Sleman adalah salah satu dari 5 kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berada di sisi utara. Wilayah Kabupaten Sleman membentang ke arah lereng Gunung Merapi, gunung berapi yang termasuk 10 besar teraktif di dunia dan berketinggian 2.968 meter. Dengan posisi tersebut, wilayah Kabupaten Sleman merupakan wilayah hulu propinsi DIY.

Pengembangan wilayah Kabupaten Sleman tidak terlepas dari kondisi Sleman sebagai bagian integral dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Sesuai dengan kondisi, potensi wilayah dan social ekonomi masyarakat, pengembangan pembangunan Kabupaten Sleman diarahkan sebagai pusat pendidikan, pusat kebudayaan, penghasil pangan, daerah tujuan wisata, pengembangan industri kecil, agro industri dan industri jasa. Bahkan dalam perkembangannya, Kabupaten Sleman diibaratkan miniatur Indonesia, karena latar belakang budaya masyarakat Sleman yang berasal dari berbagai suku di Indonesia. Walaupun demikian kehidupan masyarakat Sleman baik penduduk asli dan pendatang sehari-hari tetap menjujung tinggi nilai budaya Yogyakarta, dengan cirri khas sikap gotong royong yang tinggi dan sikap ramah tamah.


(24)

Kabupaten Sleman secara geografis terletak di antara 107o 15‘ 03 “ dan 100o 29‘ 30“ Bujur Timur, 7o 34‘ 51“ dan 7 o 47‘ 03‘’ Lintang Selatan. Jarak terjauh Utara-Selatan 32 Km, Timur-Barat 35 Km.

Wilayah Kabupaten Slemna seluas 18%dari luas wilayah Propinsi DIY atau seluas 57.482 ha. Dari luas wilayah tersebut termanfaatkan untuk tanah sawah seluas 23.426 ha (40,75%), tanah tegalan seluas 6.429 ha (11,18%), tabah pekarangan seluas 18.794 ha (32,69%), hutan rakyat seluas 1.592 ha (2,77%), hutan negara seluas 1.335 ha (2.32%), kolam seluas 370 ha (0,64%) dan lain-lain seluas 5.536 ha (9,63%).

Batas-batas wilayah Kabupaten Sleman adalah sebagai berikut: Sebelah Utara :Kabupaten Boyolali Jateng

Sebelah Timur :Kabupaten Jateng

Sebelah Selatan :Kabupaten Bantul dan Kotamadya Yogyakarta

Sebelah Barat :Kabupaten Kulon Progo, Propinsi DIY dan Kabupaten Magelang, Jateng.

Iklim di wilayah Kabupaten Selman termasuk tropis dengan musim hujan antara November – April dan musim kemarau antara Mei – Oktober. Curah hujan rata-rata bekisar antara 1500-3000.

2.2. Prioritas Pembangunan Daerah Kabupaten Sleman

Prioritas pembangunan daerah di Kabupaten Sleman dirumuskan sebagai beriku. (BPK kabupaten Sleman)


(25)

a. Mewujudkan Perintahan Derah Yang Baik

Prioritas pembangunan untuk mewujudkan pemerintahan daerah/kabupaten yang baik dilakukan melalui pembangunan dibidang hukum, bidang politik, bidang penyelenggaraan pemerintahan, bidang komunikasi, informasi dan media masa, bidang ketentraman dan ketertiban.

b. Meningkatkan Kegiatan Ekonomi Daerah

Untuk meningkatkan kegiatan ekonomi daerah, priortas pembangunan dibidang ekonomi meliputi industri, pertanian dan kehutanan, sumber daya air dan irigasi, perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah, pengembangan usaha dan keuangan daerah, transportasi, pertambangan, energi dan parwisata.

c. Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat

Prioritas pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dilakukan melalui pembangunan bidang agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pemuda dan olah raga, kependudukan, keluarga berencana, tenaga kerja dan transmigarsi, kesehatan dan kesejahteraan social, pemberdayaan perempuan, kebudayaan dan kesenian.


(26)

Prioritas pembangunan dalam rangka meningkatkan kapasitas pengembangan potensi wilayah dilaksanakan melalui pembangunan bidang pedesaan dan perkotaan, pemanfaatan ruang, pertanahan, perumahan dan pemukiman, wilayah perbatasan serta sumber daya alam dan lingkungan hidup.

2.3. Bidang Pemerintahan

Bidang Pemerintahan Kabupaten Sleman meliputi: wilayah administrasi, penduduk, aparat pemerintahan, pemerintah daerah, pemerintahan umum, keamanan dan ketertiban, serta pertanahan. a.Wilayah Administratif

Secara administratif Kabupaten Sleman terbagi 86 desa dan 17 kecamatan. Pembagian wilayah administrasi Kabupaten Sleman sebagai berikut:


(27)

Tabel 2.1

Pembagian Wilayah Administratif Kabupaten Sleman Tahun 2004

Banyaknya No Kecamatan

Desa Dusun Luas Km2

1. Moyudan 4 65 2.765

2. Godean 7 77 2.684

3. Minggir 5 68 2.727

4. Gamping 5 59 2.925

5. Seyegan 5 67 2.663

6. Turi 4 54 4.309

7. Tempel 8 98 3.249

8. Sleman 6 83 3.132

9. Ngaglik 5 87 3.852

10. Mlati 5 74 2.852

11. Depok 3 58 3.555

2. Cangkringan 5 73 4.799

13. Pakem 5 61 4.384

14. Ngemplak 5 82 3.571

15 Kalasan 4 80 3.584

16. Berbah 4 58 2.299

17. Prambanan 6 68 4.135

Jumlah 86 1.212 57.482

Sumber data: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman tahun 2004

Untuk membantu pelaksanaan pemerintah desa di Kabupaten Sleman terdapat 1.212 dusun, 3.010 RW dan 7.391 RT. Dengan mempertimbangkan status Kabupaten Sleman sebagai hiterland dari kota Yogyakarta maka dari 86 desa yang ada 27 desa terkategorikan sebagai desa pedesaan dan 59 desa merupakan desa perkotaan.


(28)

Menurut registrasi penduduk pada akhir tahun 2004, jumlah penduduk Sleman tercatat 884.727 jiwa, terdiri dari 427.967 laki-laki dan 446.760 perempuan. Dengan luas wilayah 57.482 km2 , maka kepadatan Penduduk Kabupaten Sleman adalah 1.539 jiwa per km2 . Beberapa kecamatan yang relatif padat penduduknya adalah Depok dengan 3.238 jiwa per km2 , Mati dengan 2.469 jiwa per km2 serta Gamping dan godean dengan masing-masing 2.408 jiwa dan 2.210 jiwa per km2 .

c.Aparat Pemerintahan

Jumlah pegawai instansi otonom pada tahun 2004 sebanyak 13.014 orang. Dari jumlah tersebut 192 orang adalah pegawai golongan I, 2.258 orang pegawai golongan II, 6.776 pegawai golongan III, dan 3.791 orang adalah pegawai golongan IV. Menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan pegawai otonom terdiri dari 316 pegawai berijasah SD, 525 berijasah SMP, 4.144 pegawai berijasah SMA, 4.327 pegawai berijasah DI, DII dan 3.705 pegawai berijasah DIV-S2.

Jumlah pegawai instansi vertikal yang ada di Kabupaten Sleman adalah sebanyak 1.572 orang, terdiri dari 6 golongan I, 291 pegawai golongan II, 982 pegawai golongan III dan 293 pegawai golongan IV. Bila dilihat dari pendidikannya pegawai instansi vertikal tersebut terdiri dari 17 pegawai berijasah SD, 36 pegawai berijasah SMP, 376 pegawai berijasah SMA, 468 pegawai berijasah DIII dan 666 berijasah S1, S2.


(29)

Pada tahun 2004 DPRD Kabupaten Sleman menyelenggarakan 110 kali rapat komisi, menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang menunjukkan angka 129. Sedangkan sidang panitia diselenggarakan 133 kali, juga lebih rendah dari tahun sebelumnnya yang diselenggarakan sebanyak 146 kali. Keputusan yang diterapkan oleh DPRD pada tahun 2004 sebanyak 103 keputusan, sedangkan kunjungan kerja yang dilakukan 22 kali. Komisi A paling banyak melakukan kunjungan kerja yaitu 7 kali, sedangkan komisi E paling sedikit yaitu 2 kali.

2.4.Bidang Ekonomi dan Pembangunan a. Keuangan Daerah

Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah urusan yang harus dikelola Kabupaten Sleman sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah, beban pembiayaan semakin berat. Perkembangan realisasi APBD selama 5 tahun adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2.

Perkembangan Realisasi APBD Kabupaten Sleman Tahun 2004

Tahun APBD (Rp)

2000 128.038.616.420 2001 308.531.584.637 2002 383.093.699.115 2003 452.878.625.018 2004 520.548.874.863

Sumber : Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kab. Sleman Tahun 2004


(30)

Peningkatan realisasi APBD Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun juga diikuti dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai gambaran kondisi Pendapatan Asli Daerah selama 5 tahun terakhir adalah sebagai berikut:

Tabel 2.3.

Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sleman tahun 2004 Tahun Realisasi PAD (Rp)

2000 17.889.886.435 2001 29.571.153.214 2002 38.908.192.768 2003 52.972.697.478 2004 70.499.050.998

Sumber : Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kab. Sleman Tahun 2004

Dari Realisasi Pendapatan Asli Daerah yang tergali tersebut dapat tergambarkan kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD adalah sebagai berikut:

Tabel 2.4.

Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten Sleman Tahun 2004

Tahun Anggaran

Kontribusi Pada APBD

2000 13.97% 2001 9.58% 2002 10.2% 2003 11.7% 2004 13.54%

Sumber : Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kab. Sleman Tahun 2004


(31)

2.5. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Sumber PAD yang menjadi andalan dari sector pajak adalah pajak hotel dan restoran, pajak penerangan umum serta pajak air bawah tanah dan air permukaan.

a. Industri

Industri menurut Bidang Perindustrian dikelompokkan ke dalam 2 sektor yaitu Sektor Industri Kecil dan Sektor Industri Besar-Menengah. Kelompok sektor industri kecil merupakan perusahaan yang mempunyai nilai asset kurang dari Rp. 200 juta, sedangkan perusahaan yang mempunyai nilai asset lebih dari Rp. 200 juta dikelompokkan menjadi sektor industri Besar-menengah.

Tabel 2.5.

Banyaknya Perusahaan Industri Kecil dan Besar-Menengah di Kabupaten Sleman

Tahun Industri Kecil

Industri Besar menengah 2002 16.633 perusahaan 64 perusahaan 2003 14.764 perusahaan 71 perusahaan 2004 14.842 perusahaan 77 perusahaan Sumber data: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman tahun 2004

Pada tahun 2004 banyaknya industri kecil di kecamatan Moyudan mempunyai kontribusi terbesar, yaitu 1.773 perusahaan, disusul kecamatan Godean sebanyak 1.730 perusahaan, sedangkan untuk industri besar-menengah paling banyak di kecamatan Depok yaitu 14 perusahaan. Sementara jika dilihat dari perusahaan yang menyerap tenaga kerja terbesar


(32)

adalah kecamatan Gamping, yaitu 7.506 orang, disusul kecamatan Sleman sebanyak 6.752 orang.

Tabel 2.6.

Jumlah penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Sleman tahun 2004

Tahun Jumlah Penyerapan

Tenaga Kerja

2002 59.133 orang

2003 59.885 orang

2004 60.922 orang

Sumber data: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman tahun 2004

Sementara jika dilihat dari perusahaan yang menyerap tenaga kerja terbesar adalah kecamatan Gamping, yaitu 7.506 orang, disusul kecamatan Sleman sebanyak 6.752 orang.

b. Pertanian

Visi pembangunan sektor pertanian Kabupaten Sleman adalah pembangunan pertanian menciptakan pertanian modern, tangguh, efektif dan efisien, berbudaya, industri berwawasan agrobisnis serta tetap mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup guna meningkatkan kesejahteraan petani.

Sedangkan misi pertanian tanaman pangan adalah upaya tetap melestarikan swasembada pangan sekaligus meningkatkan gizi masyarakat, meningkatkan pengelolaan sumber daya alam/lahan pertanian secara optimal, meningkatkan kualitas sumber daya manusia/petani, meningkatkan


(33)

pemanfaatan iptek, mengembangkan agribisnis, mengembangkan hortikultura dan upaya pengentasan kemiskinan

c. Tanaman Pangan

Tanaman pangan meliputi padi, palawija dan holtikultura. Tanaman palawija mencakup komoditas jagung, ubi kayu, kacang tanah, kedelai serta kacang hijau. Adapun hotikultura terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat-obatan.

Tabel 2.7.

Jumlah Produksi tanaman pangan di Kabupaten Sleman tahun 2004

No Tanaman Pangan Jumlah Produksi

1. Padi sawah dan padi lading 253.873 ton 2. Palawija:

- Ubi kayu - Jagung

- Kacang Tanah - Ubi Jalar - Kedelai - Kacang Hijau

28,20 ribu ton 22,56 ribu ton 5,35 ribu ton 4.305 ton 755 ton 11 ton 3. Hortikultura :

- Melindjo - Cabe merah - Kacang panjang - Tanaman Mawar - Tanaman Anggrek - Krisan - Anthurium - Jahe - Kunyit - Temulawak - Laos - Lempuyang - Temuireng 50.900 kwintal 45.465 kwintal 40.471 kwintal 36.378 tangkai 22.794 tangkai 19.528 tangkai 15.439 tangkai 49.969 kg 21.298 kg 16.841 kg 16.969 kg 16.518 kg 15.419 kg


(34)

d. Perkebunan

Visi bidang perkebunan adalah mewujudkan keluarga pertanian dan kehutanan yang professional, mampu bersaing dan memenangkan persaingan. Untuk itu misi yang diemban adalah memberdayakan SDM pertanian dan kehutanan secara professional, mengelola SDM secara optimal dan lestari, serta meningkatkan kesejahteraan dan membangun daerah.

Tabel 2.8.

Produksi tanaman perkebunan di Kabupaten Sleman pada tahun 2004 No Tanaman

Perkebunan

Jumlah

1. Tebu 642.872 kwintal

2. Kelapa 84.659 kwintal

3. Mendong 30.279 kwintal

4. Tembakau Rakyat 12.273 kwintal Sumber data : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman Tahun 2004

e. Kehutanan

Sasaran pembangunan kehutanan di Kabupaten Sleman adalah terciptanya kondisi hutan dan sumber daya aalam hayati lainnya yang dapat terjamin keberadaannya serta dapat berfungsi secara optimal. Dengan demikian tingkat prroduktivitas dan kualitas yang dihasilkan harus cukup tinggi untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalam negri, tingkat erosi tidak melewati ambang batas dan terkendali, debit sungai yang relative


(35)

stabil, terpeliharanya keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup serta tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar di hutan yang cukup tinggi.

Potensi kehutanan di Kabupaten Sleman adalah relative kecil. Hal ini karena dari sekitar luas Kabupaten Sleman 57.482 hektar hanya memiliki hutan seluas 5.089 hektar atau 8,85%. Kawasan hutan tersebut terdiri dari 3.360 hektar hutan rakyat dan selebihnya merupakan hutan Negara yakni sekitar 1.728 hektar. Letak hutan rakyat tersebar di beberapa kecamatan dengan kawasan hutan terluas di Kecamatan Prambanan seluas+1.350 hektar.

Sedangkan sebagian besar hutan Negara berlokasi di Kecamatan Pakem yang digunakan sebagai hutan wisata dengan luas +118,61 hektar, hutan lindung seluas +193,117 hektar dan hutan cagar alam seluas +163,64 hektar,

f. Peternakan

Pembangunan peternakan diprioritaskan pada pengembangan peternakan rakyat guna mendorong diversivikasi pengan dalam rangka mencukupi kebutuhan protein hewani yaitu daging, telur dan susu melalui kegiatan pemuliaan ternak dan inseminasi buatan.


(36)

Tabel 2.9.

Populasi ternak besar, ternak kecil dan unggas di Kabupaten Sleman pada tahun 2004

No Jenis Ternak Jumlah

1. Ternak Besar: - Sapi Potong - Sapi Perah - Kerbau - Kuda

+ 38.785 ekor + 7.502 ekor + 3.855 ekor + 282 ekor 2. Ternak Kecil:

- Domba - Kambing - Babi

48.657 ekor 27.010 ekor + 3.907 ekor 3. Unggas:

- Ayam Buras - Ayam potong - Ayam Petelur

+ 133 juta ekor + 986 juta ekor + 796.670 ekor

Sumber data : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman Tahun 2004

Selain produksi daging, kegiatan peternakan di Kabupaten Sleman juga menghasilkan telur dan susu. Pada tahun 2004, susu yang dihasilkan mencapai 6.976 ton. Sebagian besar dihasilkan oleh peternakan yang dikelola oleh perusahaan dan hanya sebagian kecil dihasilkan dari peternakan rakyat.

Untuk produksi telur pada tahun 2004 tercatat sebesar 7.639 ton, turun sekitar 0.65 % dibanding produksi tahun 2003 yang mencapai + 7.689 ton. Produksi ikan di Kabipaten Sleman didominasi oleh budidaya di kolam air tawar, yaitu 4.022.600 kg. Budidaya mina padi dan perairan umum hanya menghasilkan masing-masing 175.300 kg dan 157.300 kg.


(37)

g. Pertambangan dan Penggalian

Banyaknya usaha pertambangan bahan galian golongan C di Kabupaten Sleman hanya ada 2, jenis bahan galiannya hanya pasir. Adapun lokasinya berada di kecamatan Kalasan dan Pakem. Jumlah pemegang ijin penggunaan air bawah tanah di Kabupaten Sleman sebanyak 362. Jumlah sumur bor dan gali sebanyak 353 sumur dan terbanyak ada di kecamatan Depok yaitu sebesar 121 sumur.

h. Transportasi

Tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang memadai, merupakan salah satu syarat utama untuk mengembangkan potensi yang dimiliki Kabupaten Sleman. Di Kabupaten Sleman data panjang jalan dirinci menurut status jalan yaitu jalan negara, jalan propinsi, dan jalan kabupaten yang ada di Kabupaten Sleman.

Tabel 2.10.

Data Panjang Jalan dan Status Jalan di Kabupaten Sleman Tahun 2004

Status Jalan Panjang Jalan Negara 61,65 km Jalan Propinsi 139,69 km Jalan Kabupaten 1.085,13 km

Sumber data : Badan Pusat Statistik Kab. Sleman tahun 2004

Dari jalan negara yang ada 55,49 km kondisinya baik dan 9,25 km kondisinya sedang. Untuk jalan propinsi, kondisi jalannya baik hanya


(38)

sepanjang 113,28 km dan kondisi sedang 26,41 km. sedangkan untuk jalan kabupaten hanya 335,80 km saja yang kondisinya baik yaitu sekitar 33%.

Untuk jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di wilayah huku Polres Sleman pada akhir tahun 2004 mencapai 305.529 kendaraan tidak termasuk kendaraan milik TNI. Kondisi ini menunjukkan kenaikan sebesar 12,89% jika dibandingkan pada akhir tahun 2003.

i. Perdagangan

Arah pembangunan perdagangan di Kabupaten Sleman adalah sebagai berikut:

• Peningkatan wawasan manajemen perdagangan bagi pengusaha menuju profesionalisme untuk dapat bersaing di pasara dalam maupun luar negri.

• Pementapan peningktan ekspor barang dan jasa serta diarahkan pada penganekaragaman produk dan mutu komoditas ekspor.

• Pembangunan perdagangan diarahkan untuk meningkatkan iklim dan kepastian berusaha yang konduktif terhadap perkembangan dan peningkatan perekonomian.

• Peningkatan peluang pasar dengan mendorong peningkatan daya saing serta optimalisasi kegiatan promosi yang terstruktur dan terarah.

Realisasi ekspor Kabupaten Sleman tahun 2004 tercatat 50.226.547,89 USD dengan Volume 10.119.991,96 kg. bedasarkan data tersebut, terlihat


(39)

bahwa volume ekspor mengalami kenaikan sebesar 12,50% dan nilai nominalnya naik 27,58%

j. Hotel

Dari hasil pendaftaran banyaknya hotel/penginapan di Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun cenderung menigkat. Dibandingkan tahun 2001 yang tercatat 255 hotel/penginapan, terjadi peningkatan 9,02 % menjadi 278 hotel/penginapan pada tahun 2002. Banyaknya kunjungan wisatawan asing ke wilayah Kabupaten Sleman dari benua Amerika, Asia, Eropa dan Australia selama tahun 2004 seluruhya mengalami penurunan 2,13% (dari Amerika) dan 23,77% (dari Asia).

k. Periwisata

Aktivitas pariwisata di Kabupaten Sleman digerakkan oleh wisata museum, wisata candi, alam serta kegiatan kesenian pentas. Empat museum yang tersebar di Kabupaten Sleman mampu menyedot pengunjung sebanyak 376.926 orang pada tahun 2004. dari kunjungan tersebut diperoleh pendapatan dari karcis masuk sekitar Rp. 666.175 juta.

Wisata candi Kabupaten Sleman mamppu menarik wisatawan 1.031.876 orang yang terdiri dari 976.948 orang wisatawan nusantara dan 54.928 orang wisatawan manca Negara. Aktivitas wisata yang mempertunjukkan seni pentas pada tahun 2004 menggelar pertunjukkan yang ditonton oleh 32.188


(40)

pengunjung. Dari hasil pertunjukkan tersebut diperoleh pendapatan dari karcis masuk sekitar Rp. 1.752.817,-

Untuk wisata alam, Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman mencatat sebanyak 872.926 orang pengunjungpada tahun 2004. sebagian besar adalah wisatawan nusantara sebnayak 869.167 orang dan wisatawan mancanegara hanya 3.759 orang.

2.6 Bidang Kesejahteraan Mayarakat a. Pendidikan

Pendidikan merupakan aspek terpenting dalam pengembangan sumber daya manusia. Kemajuan suatu bangsa banyak ditentukan oleh kualitas pendidkan penduduknya. Beberapa factor yang mendukung penyelenggaraan pendidikan adalah ketersedian sekolah yang memadai dengan sarana prasaranya, pengajar dan keterlibatan anak didik maupun komite sekolah.

Tabel 2.11.

Banyaknya Sekolah, Kelas. Guru dan siswa SD,SMP, SMA Negri dan Swasta di Kabupaten Sleman

Jenjang sekolah

Sekolah Kelas Guru Siswa

SD 503 3.218 3.292 78.747

SMP 105 867 2.623 30.905

SLTA 52 450 1.484 12.943

Sumber data :Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman tahun 2004 b. Tenaga Kerja

Visi Bidang Tenaga Kerja adalah terwujudnya optimalisasi penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja, terwujudnya hubungan


(41)

industrial yang harmonis, meningkatkannya ketrampilan tenaga kerja yang mandiri dan profesional, serta terwujudnya derajad perlindungan dan kesejahteraan pekerja.

Di Kabupaten Sleman dari 15.330 pencari kerja, sebanyak 3.703 orang atau 24.16 % telah ditempatkan bekerja yang tersebar pada berbagai sector. Banyaknya pencari kerja yang mendaftar pada Depnaker Kabupaten Sleman pada tahun 2004 tercatat sebanyak 15.330 orang, yang diantaranya:

Tabel 2.12.

Jumlah Pencari Kerja di Kabupaten Sleman Tahun 2004

Jenjang Pendidikan

Jumlah Pencari Kerja

SD 61 orang

SMP 700 orang

SMU/sederajat 8.874 orang

Sarjana 4.325 orang

Sumber data : Badan Pusat Statistik Kab. Sleman tahun 2004

Sebagian besar yakni sebanyak 1.606 orang terserap pada sector jasa kemasyarakatan, kemudian diikuti sector listrik, gas dan air minum sebanyak 1.903 orang.

• Gerakan Keluarga Berencana

Sebagai upaya untuk mengendalikan banyaknya penduduk, Pemerintah melancarkan program Keluarga Berencana. Program ini di samping untuk menekan ledakan jumlah penduduk, juga dimaksudkan sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.


(42)

Pasangan usia subur (PUS) yang merupakan salah satu sasaran program Keluarga Berencana pada tahun 2004 tercatat sebanyak 136.092 pasangan. Mereka tesebar pada 17 kecamatan dengan jumlah terbesar di Kecamatan Depok sebanyak 14.417 pasangan, disusul Kecamatan Gamping 12.473 pasangan dan Kecamatan Malti sebanyak 11.625 pasangan.

Jumlah pesrta Keluarga Berencana aktif di Kabupaten Sleman pada tahun 2004 tercatat sebanyak 105.999 pasangan.

c. Transmigrasi

Penempatan transmigrasi menurut daerah penempatannya di bedakan dua kawasan yaitu Kawasan Barat dan Kawasan Timur. Kawasan Barat terdiri dari D.I Aceh, Riau, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Sementara di Kawasan Timur terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

d. Agama

Komposisi penduduk menurut agama yang dipeluk di Kabupaten Sleman pada tahun 2004 tercatat sebagai berikut:

Tabel 2.13.

Jumlah Pemeluk Agama di Kabupaten Sleman Tahun 2004

Agama Jumlah Pemeluk

Islam 878.812 orang

Katolik 56.710 orang

Kristen 22.606 orang

Hindu 1.324 orang

Budha 746 orang


(43)

2.7. Badan Pengelolaan Kekuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Kabupaten Sleman

Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Kabupaten Sleman terbentuk pada tahun 2000 yaitu setelah dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 tahun 2000 tentang “Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman”. Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Kabupaten Sleman ini merupakan penggabungan dari Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), Bidang Keuangan (bagian dari Aiaten Administrasi Sekretaris Daerah) dan Bidang Perlengkapan (bagian dari Asisten Adminiatrasi Sekretaris Daerah). Dalam organisasi pemerintahan daerah di Kabupaten Sleman, BPKKD ini berkedudukan sebagai unsur penunjang pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaeis Daerah yang mempunyai tugas pokok untuk membantu Bupati dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dibidang pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah. Dalam menjalankan tugasnya BPKKD mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Perumusan kebijikan teknis di bidang pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah; dan


(44)

Selain mempunyai tugas pokok untuk membantu bupati dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah, BPKKD juga bertugas antara lain:

a. Menyusun program di bidang pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah sesuai dengan rencana strategis pemerintah daerah.

b. Merumukan kebijakan teknis dibidang pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah.

c. Melaksanakan pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah, menyususn perhitungan APBD.

d. Melaksanakan pelayanan penunjangan terhadap penyelenggaraan pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah oleh instansi dilingkungan pemerintah daerah.

e. Memfasilitasi penyelenggaraan pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah pemerintah kabupaten.

2.8 APBD Dalam Era Otonomi Daerah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Menurut Mamesah (1995:20) adalah rencana operasional keuangan Pemerintah Daerah, dimana di satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran tertentu, dan di pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan


(45)

sumber-sumber penerimaan daerah guna meutupi pengeluaran-pengeluaran dimaksud.

Definisi tersebut mengandung unsur sebagai berikut (Mamesah, 19995:20-21): 1. Rencana operasional daerah, yang mengagambarkan adanya aktivitas atau

kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dimana aktivitas tersebut telah diuraikan secara rinci.

2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya yang ada merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksankan.

3. Dituangkan dalam bentuk angka jenis kegiatan dan jenis proyek

4. Untuk keperluan satu tahun anggaran yaitu 1 April dengan 31 Maret tahun berikutnya

Definisi yang dikemukakan oleh Mamesah tersebut merupakan pengertian APBD pada era Orde Baru. Sebelumnya yaitu pada era Orde Lama terdapat pula definisi APBD yang dikemukakan oleh Wajong (1962:81). Menurutnya APBD adalah rencana keuangan yang dibuat jangka waktu tertentu, dalam waktu mana badan legislatif (DPRD) memberi kredit kepada badan eksekutif (Kepala Daerah) untuk melakukan pembiayaan guna pemenuhan kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rancangan yang menjadi dasar penetapan anggaran, dan yang menunjukan semua penghasilan untuk menutup pengeluaran tadi.


(46)

Di Era (pasca) rerformasi, bentuk APBD mengalami perubahan cukup mendasar. Bentuk APBD yang baru didasar pada peraturan-peraturan mengenai Otonomi Daerah terutama UU No. 22/1999 yang telah diubah menjadi UU No. 32/2004, UU No. 25/1999 yang telah diubah menjadi UU No. 33/2004, PP No. 105/.2000. Akan tetapi, karena untuk menerapkan peraturan yang baru diperlukan proses, maka untuk menjembatani pelaksanaan keuangan daerah pada kedua era tersebut dikeluarkan Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.903/2375/SJ tanggal 17 November 2001. Peraturan tersebut dikeluarkan untuk mengakomodasi transisi dari UU No. 5/1974 ke UU No. 22/1999 yang kini telah diubah menjadi UU No.32/2004.

Peraturan-peraturan di era reformasi keuangan daerah mengisyaratkan agar laporan keuangan makin informatif. Untuk itu, dalam bentuk yang baru, APBD diperkirakan tidak akan terdiri dari dua sisi dan akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu Penerimaan, Pengeluaran dan Pembiayaan. Pembiayaan merupakan kategori yang baru yang belum ada di era pra reformasi. Adanya pos pembiayaan merupakan upaya agar APBD makin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari pendapatan daerah. Hal ini sesuai dengan definisi pendapatan sebagai hak pemerintah daerah, sedangkan pinjaman belum tentu menjadi hak pemerintah daerah. Pos pembiayaan ini merupakan alokasi surplus atau sumber penutup defisit anggaran.


(47)

Dalam bentuk APBD yang baru itu pula, penerimaan dibagi menjadi tiga kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Selanjutnya pengeluaran diklasifikasikan menjadi lima kategori yaitu Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan, Pelayanan Publik, Belanja Modal, Belanja Transfer, dan Belanja tak Tersangka.

Tabel 2.14

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2004

NOMOR URAIAN JUMLAH

ANGGARAN

1 2 3

I 1.1 1.1.1 1.1.2 1.1.3 1.1.4 1.2 1.2.1 1.2.2 1.2.3 1.2.4 1.3 II 2.1 2.1.1 2.1.1.1 2.1.1.2 2.1.1.3 2.1.1.4 PENDAPATAN: Pendapatan Asli Daerah

Pajak Daerah Retribusi Daerah

Bagian Laba Badan Usaha Daerah

Lain-lain Pendapatan

Dana Perimbangan

Pos Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak

Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Dana Perimbangan dari Propinsi Lain-lain Pendapatan Yang Sah Jumlah Pendapatan: BELANJA APARATUR DAERAH Belanja Administrasi Umum Belanja Pegawai/Personalia Belanja Barang dan Jasa Belanja Perjalanan Dinas Belanja Pemeliharaan 53.919.261.011 28.327.600.000 19.300.864.000 3.313.387.011 2.977.410.000 373.811.600.000 32.350.000.000 307.330.000.000 9.480.000.000 24.651.600.000 21.240.000.000 448.970.861.011 143.594.709.400 86.241.185.720 75.073.203.947 8.032.957.273 1.387.338.000 1.747.686.500


(48)

2.1.2 2.1.2.1 2.1.2.2 2.1.2.3 2.1.2.4 2.1.3 2.2 2.2.1 2.2.1.1 2.2.1.2 2.2.1.3 2.2.1.4 2.2.2 2.2.2.1 2.2.2.2 2.2.2.3 2.2.2.4 2.2.3 2.2.4 2.2.5 III 3.1 3.2

Belanja Operasi dan Pemeliharaan

Belanja Pegawai/Personalia Belanja Barang dan Jasa Belanja Perjalanan Dinas Belanja Pemeliharaan Belanja Modal PELAYANAN PUBLIK Belanja Administrasi Umum Belanja Pegawai/Personalia Belanja Barang dan Jasa Belanja Perjalanan Dinas Belanja Pemeliharaan

Belanja Operasi dan Pemeliharaan

Belanja Pegawai/Personalia Belanja Barang dan Jasa Belanja Perjalanan Dinas Belanja Pemeliharaan

BELANJA MODAL

Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan

Belanja Tak Tersangka

Jumlah Belanja:

Surplus/(Defisit) PEMBIAYAAN Penerimaan daerah Pengeluaran daerah Jumlah Pembiayaan 31.993.401.130 13.598.365.500 16.276.464.630 765.928.700 1.352.642.300 25.360.122.550 378.147.477.016 260.774.303.426 242.750.129.921 16.814.259.680 10.820.000 1.199.093.825 29.377.080.485 6.327.045.075 9.576.190.340 920.950.000 2.552.895.070 59.211.010.490 25.682.385.600 3.102.697.014 521.742.186.416 (72.771.325.405) 78.673.741.003 5.902.415.598 72.771.325.405


(49)

BAB III

TELAAH PUSTAKA

1. Penelitian yang dilakukan oleh Widodo disusun dalam sebuah paper yang berjudul “Analisis Rasio Keuangan pada APBD Kabupaten Boyolali”. Paper tersebut disunting oleh Abdul Halim yang tergabung dalam buku “Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah Edisi Revisi” tahun 2002. Tujuan Penelitian yang dilakukan Widodo tersebut adalah untuk mengetahui kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya, apakah pemerintah sebagai pihak ynag diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat telah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Untuk menganalisa kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya peneliti menggunakan analisa rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan pemerintah daerah tersebut.

Beberapa Rasio Keuangan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain yaitu Rasio Kemandirian, Rasio Efektifitas dan Efisiensi dan Debt Service Coverage Ratio (sub mengacu pada HalimAbdul,2002). Dari penelitian yang dilakukan oleh Widodo ini diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Analisis rasio keuangan merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menilai kinerja pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah sebagai mana dituangkan dalam APBD.


(50)

2. Kemandirian Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat masih relatif rendah dan bahkan cenderung turun yaitu dari 16,65% pada tahun anggaran 1997/1998 menjadi 9,69% pada tahun anggaran 2000.

3. Sebagian besar pendapatan daerah Kabupaten Boyolali, masih diprioritaskan untuk mencukupi belanja rutin yaitu rata-rata mencapai 80% dari total pendapatan yang diterima.

4. Aktivitas penyerapan dana untuk belanja pembangunan masih terkonsentrasi pada triwulan IV yaitu sebesar 72,96% dari total anggaran pembangunan.

5. Secara potensial apabila terjadi kekurangan dana, maka untuk mencukupi kebutuhan belanjanya, Kabupaten Boyolali memiliki kesempatan untuk melakukan pinjamaman. Hal ini karena pada tahun anggaran 2000 mempunyai DSCR sebesar 11,89, dan pada tahun 2001, menurut penelitian Tim dari LPEM UI, Kabupaten Boyolali dapat melakukan pinjaman dengan maksimum pokok angsuran pinjaman sebesar Rp. 15,055 miliar.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Ruslina Nadaek (2003) disusun dalam sebuah skripsi yang berjudul “Analisis Rasio Keuangan APBD untuk Menilai Kinerja Pemerintah Daerah” studi kasus Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perkembangan rasio kemandirian, rasio efektivitas dan


(51)

rasio efisiensi pada Keuangan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara. Ruslina mengemukakan bahwa tingkat kemandirian daerah Kabupaten Maluku Tenggara yang diukur melalui PAD, hanya mencapai rata-rata sebesar 2,93% untuk setiap tahun anggaran dengan peningkatan tiap tahun sebesar 0,46%. Kondisi ini menunjukan bahwa kemandirian daerah masih sengat jauh dari yang diharapkan. Pendapatan daerah masyarakat Maluku Tenggara sebagian besar masih diprioritaskan untuk mencukupi belanja rutin yaitu rata-rata 56% dari total pendapatan yang diterima. Kondisi ini menunjukan bahwa jika menggunakan indikator PAD, maka Kabupaten Maluku Tenggara dalam rangka melaksanakan otonomi daerah masih belum mampu ditinjau dari aspek kemampuan keuangan daerahnya sebab masih sangat tergantung dengan pemerintah pusat. Rasio efektivitas pemungutan PAD Kabupaten Maluku Tenggara dari tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan tahun anggaran 2002 rata-rata 89,59 dengan peningkatan setiap tahunnya sebesar 7,22%. Dengan demikian pemungutan PAD di Kabupaten Maluku Tenggara cenderung tidak efektif karena kontribusi yang diberikan terhadap target yang ingin dicapai kurang dari 100%. Akan tetapi dari hasil analisis trend dengan metode Least Square terlihat adanya peningkatan rasio efektivitas dari tahun ke tahun yang menunjukkan kinerja pemerintah daereh yang semakin baik. Rasio efisiensi pemungutan PAD Kab. Maluku Tenggara selama lima tahun anggaran yaitu dari tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan 2002 rata-rata sebesar 3,27%


(52)

dan setiap tahun anggaran mengalami penurunan sebesar 0,1%. Hal ini menunjukkan bahwa pemungutan PAD Kabupaten .Maluku Tenggara dari tahun ke tahun semakin efisien karena biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD semakin proposional dengan realisasi PAD yang didapatkan. Hal ini menunujukkan kinerja pemerintah daerah yang semakin baik.

3. Penelitian (Skripsi) karya Fitriyah Nurlaili (2004), dengan judul “Peran Retribusi Pasar Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Jombang”. Dalam analisisnya , penulis menyimpulkan menjadi beberapa kesimpulan yaitu :

a. Besar kontribusi retribusi pasar terhadap PAD Kabupaten Jombang dirasa belum cukup maksimal. Kontribusi pasar pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 mengalami fluktuasi tetapi dua tahun terakhir mengalami penurunan yang cukup berarti. Rata-rata kontribusi retribusi pasar terhadap PAD sebesar 4,57%.

b. Elastisitas retribusi pasar di Kabupaten Jombang terhadap PDRB tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 berfluktuasi. Rata-rata elastisitasnya yaitu sebesar 8,75%.

c. Potensi retribusi pasar dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

d. Perhitungan tingkat upaya pemungutan terlihat tiap tahunnya mengalami kenaikan rata-rata tiap tahunnya sebesar 0,08%.


(53)

e. Efektifitas retribusi pasar terlihat berfluktuasi, meski sebagian besar mengalami penurunan. Efektifitas retribusi pasar di Kabupaten Jombang rata-rata tiap tahunnya sebesar 106,78% dan semuanya digolongkan kinerja yang efektifitasnya sangat efektif.

f. Berdasarkan perhitungan efisiensi retribusi pasar di Kabupaten Jombang terlihat cukup efisien pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 efisiensinya tidak mengalami kenaikan yaitu tetap sebesar 2,99% dan digolongkan dalam tingkat yang efisien. Dan berarti bahwa hanya 2,99% yang dikeluarkan sebagai biaya pemungutan dari total realisasi penerimaan retribusi pasar tersebut.


(54)

BAB IV LANDASAN TEORI 4.1. Otonomi Daerah

1. Pengertian otonomi daerah

Menurut Widarta ( 2001:2 ) dijelaskan bahwa otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Autos dan Nomos. Autos berarti sendiri, dan Nomos berarti aturan. Otonomi bermakna kebebasan dan kemandirian daerah dalam menentukan langkah-langkah sendiri. Ketentuan umum pasal 1 Undang-Undang No.32 tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Daerah otonomi yang dimaksud adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilyah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system negara Kesatuan republik Indonesia.

Menurut Wayang yang dikutip Syafrudin (1984:4), mengatakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan menjalankan kepentingan khusus se-daerah, dengan keuangan sendiri,


(55)

menentukan hukum sendiri, dan berpemerintahan sendiri. Sedangkan Syafrudin sendiri berpendapat bahwa istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atas kemandirian adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat (Nasional) kepada pemerntah lokal atau daerah dan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan aspirasi dan keputusannya dikenal sebagai otonomi daerah. Dengan pemahaman ini, otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi. Jadi yang dimaksud otonomi daerah pada pokoknya selalu melihat otonomi itu sebagai hal, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Dasar Hukum Otonomi Daerah

Semakin kuatnya tuntutan desentralisasi, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah yaitu Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.


(56)

3. Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah

Untuk mencapai tujuan otonomi daerah, maka diperlukan prinsip-prinsip dalam pemberian otonomi daerah antara lain, pelaksanaan otonomi harus didasarkan pada otonomi seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab.

Penjelasan umum Undang-Undang No.22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 mengenai prinsip otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab, yaitu:

a. Otonomi seluas-luasnya berarti daerah diberikan kewenagan mengurus pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

b. Nyata berarati bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasrkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyata-nyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

c. Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan


(57)

daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Sedangkan prinsip-prinsip otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 adalah:

a. Penyelenggaraan otonomi derah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.

d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah.

e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri,


(58)

kawasan perkebunan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan “Peraturan Daerah Otonom”.

f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif saerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atau penyelenggaraan pemerintah daerah.

g. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebaga wakil pemerintah.

h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

4. Tujuan otonomi daerah

Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu:

a. Tujuan politis bahwa pemerintah daerah akan berada pada posisi sebagai instrumen pendidikan politik ditingkat lokal yang secara agregat akan menyumbangkan pendidikan politik secara nasional


(59)

sebagai elemen dasar dalam menciptakan kesatuan dan persatuan berbangsa dan bernegara. Pemberian otonomi dan pembentukan institusi pemerintah daerah akan mencegah terjadinya sentralisasi dan mencegah terjadinya bentuk pemisahan diri. Adanya institusi pemerintah daerah akan mengajarkan kepada masyarakat untuk menciptakan kesadaran membayar pajak dan sebaliknya juga memposisikan pemerintah daerah untuk mempertanggungjawabkan pemakaian pajak rakyat.

b. Tujuan administratif adalah mengisyaratkan pemerintah daerah untuk mencapai efisiensi, efektivitas, dan ekonomis dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

5. Pemantapan pelaksanaan otonomi daerah

Secara kualitatif pelaksanaan otonomi daerah dan dampaknya tersebut dapat dirasakan sebagai berikut :

a. Perkembangan proses demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan semakin meningkat.

b. Peran serta aktif masyarakat dalam proses kepemerintahan, baik dalam penentuan kebijakan, dan pelaksanaan maupun proses evaluasi dan pengawasan semakin meningkat.

c. Munculnya kreativitas dan inovasi daerah untuk mengembangkan pembangunan daerahnya.


(60)

d. Meningkatkan gairah birokrasi pemerintahan daerah, karena adanya keleluasaan untuk mengambil keputusan serta terbukanya peluang karier yang lebih tinggi karena kompetisi professional.

e. Meningkatkan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, baik yang dilakukan masyarakat maupun DPRD, sehingga keinginan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, dan terpercaya sangat didambakan oleh masyarakat.

f. Meningkatkan DPRD, sebagai wahana demokrasi dan penyalur aspirasi rakyat dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. g. Pemberian pelayanan umum kepada masyarakat secara bertahap

semakin meningkat, baik kualitas maupun kuantitas, sejalan dengan meningkatnya tuntutan dari masyarakat aka pelayanan lebih baik.

h. Munculnya semangat kedaerahan yang menjadi faktor pendorong yang kuat bagi pengembangan daerahnya.

Beberapa hal yang perlu mendapat prioritas dalam pemantapan otonomi daerah adalah hal-hal sebagai berikut:

a. Peningkatan kemitraan antar pemerintah kabupaten dan DPRD serta kinerja dan pelayanan aparatur pemerintah kabupaten,

b. Penataan kelembagaan dan sinkronisasi-harmonisasi antara peraturan pemerintah pusat dan daerah,


(61)

d. Peningktan partisipasi masyarakat dan kemitraan sinergis pelaku pembangunan terkait,

e. Peningkatan koordinasi dengan pusat dan propinsi serta kerjasama antar daerah.

4.2. Keuangan daerah dalam masa otonomi

Keuangan daerah mempunyai arti yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan pemerintahan dan kegiatan pembangunan oleh pelayanan kemasyarakatan di daerah, oleh karena itu keuangan daerah diupayakan untuk berjalan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Lahirnya otonomi daerah telah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan Sumber-sumber Penerimaan lainnya. Untuk itu kebijaksanaan keuangan daerah diarahkan pada upaya penyesuaian secara terarah dan sistematis untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah bagi pembiayaan pembangunan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah. Kebijakan ini juga diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip, norma, asas dan standar akuntansi dalam penyusunan APBD agar mampu menjadi dasar bagi kegiatan pengelolaan, pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.


(62)

Tujuan keuangan daerah pada masa otonomi adalah menjamin tersedianya keuangan daerah guna pembiayaan pembangunan daerah, pengembangan pengelolaan keuangan daerah yang memenuhi prinsip, norma, asas dan standar akuntansi serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah secara kreatif melalui penggalian potensi, intensifikasi dan ekstensifikasi. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai keuangan daerah adalah kemandirian keuangan daerah melalui upaya yang terencana, sistematis dan berkelanjutan, efektif dan efisien.

Pada masa orde baru kemampuan daerah dalam menjalankan pemerintahannya didasarkan pada UU. No. 5 / tahun 1974 di samping mengatur pemerintahan daerah, Undang-undang tersebut juga menjelaskan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk bisa menjalankan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang dimilikinya pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan dimana menurut pasal 55, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari tiga komponen besar yaitu;

1. Pendapatan asli daerah yang meliputi: ƒ Hasil pajak daerah

ƒ Hasil retribusi daerah

ƒ Hasil perusahaan daerah (BUMD) ƒ Lain-lain hasil usaha daerah yang sah


(63)

2. Pendapatan yang berasal dari pusat meliputi: ƒ Sumbangan dari pemerintah

ƒ Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan

3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah

Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu pendapatan yang berasal dari pusat merupakan cerminan atau indikator dari ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Di samping itu besarnya dana dari pusat tersebut juga membawa konsekuensi kebijakan proyek pemerintah pusat yang secara fisik implementasinya itu berada di daerah. Sehingga ada beberapa proyek pemerintah pusat melalui APBN tetapi dana itu juga masuk di dalam anggaran pemerintah daerah (APBD). Adapun pembiayaan pemerintah dalam hubungannya dengan pembiayaan pemerintah pusat diatur sebagai berikut:

ƒ Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.

ƒ Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi dibayar dari dan atas beban APBD.

ƒ Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan,


(64)

dibiayai oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau pemerintah daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang menugaskan.

Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi Pemerintah pusat memberikan sejumlah sumbangan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian bagi Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat ajuga mendapat limpahan dari Pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan, dana propinsi tersebut berasal dari pemerintah pusat lewat APBN. Berbagai penelitian empiris yang pernah dilakukan menyebutkan bahwa dari ketiga sumber pendapatan daerah seperti tersebut diatas peranan dari pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan.

Ketergantungan yang tinggi dari keuangan daerah terhadap pusat tersebut tidak lepas dari makna otonomi dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang “Pokok-pokok Pemerintah di Daerah”. Undang-undang tersebut lebih tepat disebut sebagai penyelenggaraan pemerintah yang sentralistik daripada desentralistik. Unsur sentralistik ini sangat nyata dalam pelaksanaan dekosentrasi. Dalam implementasinya dekonsentrasi merupakan sarana bagi perangkat birokrasi pusat untuk menjalankan praktek sentralisasi yang terselubung sehinggga kemandirian daerah menjadi terhambat.

Dengan semakin kuatnya tuntutan desentralisasi pemerintah mengeluarkan satu paket Undang-undang Otonomi Daerah, yaitu UU No. 22


(65)

tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang “Pemerintah Daerah”, dan dan UU No. 25 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah”. Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang-Undang-Undang No.32 tahun 2004, perlu dibarengi dengan pelimpahan keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 25 tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.33 tahun 2004 tanpa adanya otonomi keuangan daerah tidak akan pernah ada otonomi bagi pemerintah daerah. Jadi kedua Undang-undang tersebut saling melengkapi.

Dasar hukum dari sumber-sumber PAD masih mengacu pada UU No. 8 tahun 1997 tentang “Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”. Sebenarnya undang-undang ini sangat membatasi kreativitas daerah dalam menggali sumber penerimaan aslinya karena hanya menetapkan enam jenis pajak yang boleh dipungut oleh kabupaten atau kodya. Dalam sistem pemerintahan sentralistis UU tidak terlalu menjadi masalah, tetapi dalam sistem desentralisasi fiskal seperti dalam UU No. 25 tahun 1999, undang-undang tahun 1997 tersebut menjadi tidak relevan lagi, karena salah satu syarat terselenggaranya desentralisasi fiskal adalah ada kewenangan pemerintah daerah yang cukup longggar dalam memungut pajak lokal. Oleh karena itu tanpa ada revisi


(66)

terhadap Undang-undang ini, peranan PAD di masa mendatang akan tetap menjadi marginal seperti masa orde baru mengingat pajak-pajak potensial bagi daerah tetap menjadi wewenang pemerintah pusat. Pemerintah daerah tingkat II hanya memiliki enam sumber PAD dimana sebagian besar dari padanya dari pengalaman masa lalu sudah terbukti hanya memiliki peranan yang relatif kecil bagi kemandirian daerah (http://www.ideasrespec.org)

4.3. Kinerja keuangan pemerintah daerah

Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan layanan sosial masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak.

Dalam instansi pemerintahan pengukuran kinerja tidak dapat diukur dengan rasio-rasio yang biasa di dapatkan dari sebuah laporan keuangan dalam suatu perusahaan seperti, Return Of Investment. Hal ini disebabkan karena sebenarnya dalam kinerja pemerintah tidak ada “Net Profit”. Kewajiban pemerintah untuk mempertanggung jawabkan kinerjanya dengan sendirinya dipenuhi dengan menyampaikan informasi yang relevan sehubungan dengan hasil program yang dilaksanakan kepada wakil rakyat dan juga kelompok-kelompok masyarakat yang memang ingin menilai kinerja pemerintah.


(67)

Pelaporan keuangan pemerintah pada umumnya hanya menekankan pada pertanggung jawaban apakah sumber yang diperoleh sudah digunakan sesuai dengan anggaran atau perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian pelaporan keuangan yang ada hanya memaparkan informasi yang berkaitan dengan sumber pendapatan pemerintah, bagaimana penggunaannya dan posisi pemerintah saat itu.

Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (http://www.feuhamka.com/artikel22.htm). Hasil analisis rasio keuangan ini selanjutnya digunakan untuk tolok ukur dalam:

a. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelengggaraan otonomi daerah.

b. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.

c. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya.

d. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendaptan dalam pembentukan pendapatan daerah.

e. Melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.


(68)

Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehinggga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan keuangan yang dimiliki oleh perusahaan swasta (Halim, 2002:127-130).

Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehinggga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisis keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD ini adalah:

1. DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)

DPRD adalah badan yang memberikan otorisasi kepada pemerintah daerah untuk mengelola laporan keuangan daerah.


(69)

Badan eksekutif merupakan badan penyelenggara pemerintahan yang menerima otorisasi pengelolaan keuangan daerah dari DPRD, seperti Gubernur, Bupati, Walikota, serta pimpinan unit Pemerintah Daerah linnya. 3. Badan pengawas keuangan

Badan Pengawas Keuangan adalah badan yang melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Yang termasuk dalam badan ini adalah Inspektorat Jendral, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Badan Pemeriksa Keuangan.

4. Investor, kreditor dan donatur

Badan atau organisasi baik pemerintah, lembaga keuangan, maupun lainnya baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang menyediakan sumber keuangan bagi pemerintah daerah.

5. Analisis ekonomi dan pemerhati pemerintah daerah

Yaitu pihak-pihak yang menaruh perhatian atas aktivitas yang dilakukan Pemerintah Daerah, seperti lembaga pendidikan, ilmuwan, peneliti dan lain-lain.

6. Rakyat

Rakyat disini adalah kelompok masyarakat yang menaruh perhatian kepada aktivitas pemerintah khususnya yang menerima pelayanan pemerintah daerah atau yang menerima produk dan jasa dari pemerintah daerah


(70)

7. Pemerintah Pusat

Pemerintah pusat memerlukan laporan keuangan pemerintah daerah untuk menilai pertanggungjawaban Gubernur sebagai wakil pemerintah (Pasal 2 PP No. 108/2000).

4.4. Jenis Rasio berdasarkan data yang bersumber dari APBD

Beberapa jenis rasio yang dapat dikembangakan bedasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD antara lain:

1. Kemandirian

Menurut Halim (2002:128) gambaran citra kemandirian daerah dalam berotonomi dapat diketahui melalui beberapa besar kemampuan sumber daya keuangan untuk daerah tersebut, agar mampu membangun daerahnya disamping mampu pula untuk bersaing secara sehat dengan kabupaten lainnya dalam mencapai otonomi yang sesungguhnya. Upaya nyata didalam mengukur tingkat kemandirian yaitu dengna membandingkan besarnya realisasi PAD dengan total pendapatan daerah

Pendapatan Asli Daerah Tingkat Kemandirian = ---

Total Penerimaan Daerah

Tingkat kemandirian menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi tingkat kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah


(71)

yang merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi pula.

Secara konsepsional, pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, harus dilakukan dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan menimbulkan perbedaaan. Ada empat macam pola yang memperkenalkan “hubungan situasional” yang dapat digunakan dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan undang-undang nomor 25 tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah” (Halim, 2002:168-169), antara lain:

a. Pola hubungan instruktif, peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah. (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah)

b. Pola hubungan konsultatif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksankan otonomi.


(72)

c. Pola hubungan partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi daerah.

d. Pola hubungan delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.

Bertolak dari teori tersebut, karena adanya potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian suatu daerah. Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan daerah dengan kemampuan daerah (dari sisi keuangan) dapat dikemukakan tabel sebagai berikut:

Tabel 4.1.

Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah Kemampuan keuangan Kemandirian % Pola Hubungan Rendah Sekali

Rendah Sedang Tinggi

0% - 25% 25% - 50% 50% - 75% 75% - 100%

Instruktif Konsultatif Partisipatif Delegatif Sumber: Nadeak, 2003:21


(73)

2. Rasio Efektivitas

Rasio efektifitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. (Halim, 2002:129-130)

Realisasi Penerimaan PAD

Rasio Efektivitas = ---Target Penerimaan PAD yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah

Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100 persen. Namun demikian semakin tinggi rasio efektifitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik.

3. Rasio Efisiensi

Rasio efesiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien, apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisien berarti kinerja pemerintah semain baik. Untuk itu pemerintah daerah perlu menghitung secar secermat berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh pendapatan yang


(1)

=11.99+1.68 = 13.67

nilai trend tahun 2009 Y’ = a+bX

= 11,99+0,28(7) =11.99+1.96 = 13.95

nilai trend tahun 2010 Y’ = a+bX

= 11,99+0,28(8) =11.99+2.24 = 14.23

Perhitungan

Trend Rasio Efektivitas Kabupaten Sleman Tahun Anggaran 2000-2004

Tahun anggaran

Rasio Efektivitas

(Y)

X

(tahun) XY X2 Y’(%)

2000 113,01% -2 -226,02 4 109,42 2001 111,10% -1 -111,1 1 113,53

2002 111,65% 0 0 0 117,65

2003 121,79% 1 121,79 1 121,76 2004 130,74% 2 261,48 4 125,88 Total 588,29% 0 41,15 10

Nilai a dan b di cari dengan rumus : ∑Y 588,29

a = --- = --- = 117,65 ∑n 5

∑XY 41,15

b = --- = --- = 4,16 ∑X2 10

nilai trend tahun 2005 Y’ = a+bX

= 117,65+4,16(3) = 117,65+12.46 = 130.11

nilai trend tahun 2006 Y’ = a+bX


(2)

= 117,65+16.64 = 134.29

niali trend tahun 2007 Y’ = a+bX

= 117,65+4,16(5) = 117,65+20.18 = 138.45

nilai trend tahun 2008 Y’ = a+bX

= 117,65+4,16(6) = 117,65+24.96 = 142.61

nilai trend tahun 2009 Y’ = a+bX

= 117,65+4,16(7) = 117,65+29.12 = 146.77

nilai trend tahun 2010 Y’ = a+bX

= 117,65+4,16(8) = 117,65+33.28 = 150.93

Perhitungan

Trend Rasio Efisiensi Kabupaten Sleman Tahun Anggaran 2000-2004

Tahun anggaran

Rasio Efisiensi

(Y)

X

(tahun) XY X2 Y’(%)

2000 10,75% -2 -21,5 4 9,47 2001 6,75% -1 -6,75 1 8,08

2002 6,19% 0 0 0 6,7

2003 5,21% 1 5,21 1 5,31

2004 4,60% 2 9,2 4 3.93

Total 33,5 % 0 -13,84 10 Nilai a dan b di cari dengan rumus:

∑Y 33,5

a = --- = --- = 6,7 n 5


(3)

∑XY -13,84

b = --- = --- = -1,384 ∑X2 10

nilai trend tahun 2005 Y’ = a+bX

= 6,7+-1,384(3) = 6,7+-4.152 = 2.548

nilai trend tahun 2006 Y’ = a+bX

= 6,7+-1,384(4) = 6,7+-5.536 = 1.164

niali trend tahun 2007 Y’ = a+bX

= 6,7+-1,384(5) = 6,7+-6.92 = -0.22

nilai trend tahun 2008 Y’ = a+bX

= 6,7+-1,384(6) = 6,7+-8.304 = -1.604

nilai trend tahun 2009 Y’ = a+bX

= 6,7+-1,384(7) = 6,7+-9.688 = -2.988

nilai trend tahun 2010 Y’ = a+bX

= 6,7+-1,384(8) = 6,7+-11,072 = -4.392


(4)

BAB III TELAAH PUSTAKA

1. Penelitian yang dilakukan oleh Widodo disusun dalam sebuah paper yang berjudul “Analisis Rasio Keuangan pada APBD Kabupaten Boyolali”. Paper tersebut disunting oleh Abdul Halim yang tergabung dalam buku “Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah Edisi Revisi” tahun 2002. Tujuan Penelitian yang dilakukan Widodo tersebut adalah untuk mengetahui kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya, apakah pemerintah sebagai pihak ynag diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat telah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Untuk menganalisa kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya peneliti menggunakan analisa rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan pemerintah daerah tersebut.

Beberapa Rasio Keuangan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain yaitu Rasio Kemandirian, Rasio Efektifitas dan Efisiensi dan Debt Service Coverage Ratio. Dari penelitian yang dilakukan oleh Widodo ini diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Analisis rasio keuangan merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menilai kinerja pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan daerah sebagai mana dituangkan dalam APBD.

2. Kemandirian Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat masih relatif rendah dan bahkan


(5)

cenderung turun yaitu dari 16,65% pada tahun anggaran 1997/1998 menjadi 9,69% pada tahun anggaran 2000.

3. Sebagian besar pendapatan daerah Kabupaten Boyolali, masih diprioritaskan untuk mencukupi belanja rutin yaitu rata-rata mencapai 80% dari total pendapatan yang diterima.

4. Aktivitas penyerapan dana untuk belanja pembangunan masih terkonsentrasi pada triwulan IV yaitu sebesar 72,96% dari total anggaran pembangunan.

5. Secara potensial apabila terjadi kekurangan dana, maka untuk mencukupi kebutuhan belanjanya, Kabupaten Boyolali memiliki kesempatan untuk melakukan pinjamaman. Hal ini karena pada tahun anggaran 2000 mempunyai DSCR sebesar 11,89, dan pada tahun 2001, menurut penelitian Tim dari LPEM UI, Kabupaten Boyolali dapat melakukan pinjaman dengan maksimum pokok angsuran pinjaman sebesar Rp. 15,055 miliar.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Ruslina Nadaek (2003) disusun dalam sebuah skripsi yang berjudul “Analisis Rasio Keuangan APBD untuk Menilai Kinerja Pemerintah Daerah” studi kasus Kabupaten Maluku Tenggara. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perkembangan rasio kemandirian, rasio efektivitas dan rasio efisiensi pada Keuangan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara. Ruslina mengemukakan bahwa tingkat kemandirian daerah Kabupaten Maluku Tenggara yang diukur melalui PAD, hanya mencapai rata-rata sebesar 2,93% untuk setiap tahun anggaran dengan peningkatan tiap tahun sebesar 0,46%. Kondisi ini menunjukan bahwa kemandirian daerah masih sengat jauh dari yang diharapkan. Pendapatan daerah masyarakat Maluku Tenggara sebagian besar masih


(6)

diprioritaskan untuk mencukupi belanja rutin yaitu rata-rata 56% dari total pendapatan yang diterima. Kondisi ini menunjukan bahwa jika menggunakan indikator PAD, maka Kabupaten Maluku Tenggara dalam rangka melaksanakan otonomi daerah masih belum mampu ditinjau dari aspek kemampuan keuangan daerahnya sebab masih sangat tergantung dengan pemerintah pusat. Rasio efektivitas pemungutan PAD Kabupaten Maluku Tenggara dari tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan tahun anggaran 2002 rata-rata 89,59 dengan peningkatan setiap tahunnya sebesar 7,22%. Dengan demikian pemungutan PAD di Kabupaten Maluku Tenggara cenderung tidak efektif karena kontribusi yang diberikan terhadap target yang ingin dicapai kurang dari 100%. Akan tetapi dari hasil analisis trend dengan metode Least Square terlihat adanya peningkatan rasio efektivitas dari tahun ke tahun yang menunjukkan kinerja pemerintah daereh yang semakin baik. Rasio efisiensi pemungutan PAD Kab. Maluku Tenggara selama lima tahun anggaran yaitu dari tahun anggaran 1998/1999 sampai dengan 2002 rata-rata sebesar 3,27% dan setiap tahun anggaran mengalami penurunan sebesar 0,1%. Hal ini menunjukkan bahwa pemungutan PAD Kabupaten .Maluku Tenggara dari tahun ke tahun semakin efisien karena biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD semakin proposional dengan realisasi PAD yang didapatkan. Hal ini menunujukkan kinerja pemerintah daerah yang semakin baik.