Analisis Kadar Debu Jatuh (Dust Fall) Di Kota Banda Aceh Tahun 2008

(1)

ANALISIS KADAR DEBU JATUH (DUST FALL)

DI KOTA BANDA ACEH

TAHUN 2008

T E S I S

Oleh

JUNAIDI

057004010/PSL

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

ANALISIS KADAR DEBU JATUH (DUST FALL)

DI KOTA BANDA ACEH

TAHUN 2008

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

JUNAIDI

057004010/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : ANALISIS KADAR DEBU JATUH (DUST FALL) DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2008

Nama Mahasiswa : Junaidi Nomor Pokok : 057004010

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Harlem Marpaung) Ketua

(Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS) Anggota

(Drs. Chairuddin, M.Sc) Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 11 Mei 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Harlem Marpaung

Anggota : 1. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS 2. Drs. Chairuddin, M.Sc

3. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc 4. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S


(5)

ABSTRAK

Ada empat parameter debu yaitu: partikel materi < 10 m (Pm10), partikel materi ukuran > 2,5 m (Pm2,5), TSP dan debu jatuh. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh tsunami terhadap kadar debu daerah yang terkena tsunami maupun yang tidak terkena tsunami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa kadar debu jatuh pada daerah tsunami dan yang tidak terkena tsunami di Kota Banda Aceh. Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah perbedaan kadar debu jatuh yang terkena tsunami dibandingkan dengan daerah yang tidak terkena tsunami. Ada perbedaan kandungan Pb dan perbedaan parameter DHL, TDS, dan TSS di daerah tsunami dan daerah yang tidak terkena tsunami.

Berdasarkan jenis penelitian, penelitian ini merupakan jenis eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kadar debu di Kota Banda Aceh. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel independen terdiri dari kadar debu, kadar Pb, parameter pH, DHL, TDS, dan TSS, serta variabel dependen yaitu daerah yang terkena tsunami.

Alat uji statistik yang digunakan untuk menganalisa data dalam penelitian ini adalah uji Anova dengan uji lanjut Duncan 5%. Pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen diuji dengan uji F dan uji t pada tingkat kepercayaan (confidence level) 95% atau significant level α = 0,05. Setelah sampel diambil di lapangan, dianalisa di laboratorium kimia analitik FMIPA USU untuk parameter kadar debu pH, DHL, TDS dan TSS dan kandungan Pb di laboratorium sentral Fakultas Pertanian USU Medan.

Hasil uji serempak dalam penelitian ini terdapat pengaruh yang sangat nyata dari kadar debu pada titik 3 minggu pertama yaitu 0,5873 g/m2/hari yaitu melebihi ambang batas daerah pemukiman sebesar 0,333 g/m2/hari. Sedangkan kadar Pb tidak melebihi ambang batas yang telah ditetapkan yaitu sebesar 0,06 mg/m2.

Hendaknya Pemerintah membatasi tahun operasional kendaraan bermotor yang tak layak uji petik tidak diizinkan operasional di jalan raya sehingga dapat mengurangi kadar Pb diudara. Penghijauan perlu dilakukan untuk mengurangi kadar debu dan kadar Pb diudara dengan memilih pohon yang ditanam dapat mengurangi kadar debu jatuh dan kadar Pb.


(6)

ABSTRACT

There are four dust parameters, they are: material particle < 10 m (Pm10),

material particle with size > 2,5 m (Pm2,5), TSP and dust-fall. The problem pointed

in this research is how the affect of tsunami to the dust-fall value both the area suffering tsunami and do not. This research is aimed to know how many the dust-falls in both areas in Banda Aceh Town. The hypothesis in this research is the discriminate of dust-fall value in area suffering Tsunami and unsuffering. There is difference of Pb contents and DHL, TDS and TSS parameters in area suffering tsunami and unsuffering.

According to the type of research, then this research is experiment type. The population in this research is total of dust-falls value in Banda Aceh Town. The variable in this research are independent variable consist of dust value, Pb value, pH, DHL, TDS and TSS parameters, and dependent variable that is the area suffering tsunami.

Statistical test media is to be used in order to analyze data in this research is Anova test with Duncan continued test 5%. The impact of independent variable to dependent variable is tested with F and t tests in confidence level 95% or significant level α = 0.05. After the sample is taken from the field, then, it is analyzed in the analytic chemical laboratory of FMIPA USU for the parameter of pH, DHL, TDS and TSS dust-fall values and Pb contents in central laboratory of the Agriculture Department in North Sumatra University.

The uniform test result in this research, there is very significant impact gaining from dust values in point early 3 weeks, they are 0.5873 g/m2/day, it is in excess of threshold in living territory for 0.333 g/m2/day. While Pb content do not excess of threshold that has been determined is for 0.06 mg/m2.

It is expected that the Government limit the operational lisence of vehicles in order to reduce Pb value at the athmosphere. The reforestation must be performed to minimize both dust and Pb values.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya, penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul “Analisis Kadar Debu Jatuh (Dust Fall) di Kota Banda Aceh Tahun 2008” ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membantu Pemerintah Daerah untuk mengurangi kadar debu di kawasan Kota Banda Aceh.

Banyak pihak yang memberi bantuan moral maupun materil selama proses pembuatan tesis berlangsung, oleh karena itu ungkapan terima kasih yang sedalam-dalamnya ditujukan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU Medan.

2. Prof. Dr. Harlem Marpaung, sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang memberi banyak masukan sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS, sebagai Pembimbing II yang seikhlas hati memberi kelapangan waktu dalam berdiskusi bagi kesempurnaan tesis ini.

4. Drs. Chairuddin, MSc, sebagai Pembimbing III atas kesabaran dan perhatiannya secara terus-menerus sehingga penulis mampu menyelesaikan dan menyempurnakan tesis ini.

5. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H, M.S, sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana USU.

6. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, sebagai Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana USU.

7. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc dan Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan masukan yang berharga tentang materi tesis ini.


(8)

8. Seluruh staf pengajar dan pegawai Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana USU yang telah banyak membantu dalam proses perkuliahan maupun kelancaran administrasi.

9. Teman-teman PSL Angkatan 2005, Syamsul, Eka, Edo, Pinem, Sagala, Lita, Ira, Uci, Gunmas, Endi dan lain-lain yang tak dapat penulis sebut satu persatu. Terima kasih untuk semuanya.

10.Ayahanda tercinta Tuah (Alm) dan Ibunda Salamah (Almh) yang telah membesarkan, mendidik dan membimbing penulis sehingga dapat mencapai pendidikan sesuai dengan penulis cita-citakan.

11.Ayahanda mertua Lukman Sunyoto dan Ibunda mertua Mariani yang telah memberikan semangat dan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. 12.Saudara-saudara yang teramat kusayangi Junia dan Zulpan yang memberikan

motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

13.Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada isteri tercinta Sri Mulatsih, SE, Ak, atas segala kesabaran dan ketabahannya selama ini dalam mendampingi penulis serta dorongan dan dukungannya, tesis ini dapat diselesaikan. Demikian pula kepada anak tersayang Idha Putri Arastika yang selalu memberikan motivasi dan semangat selama penyelesaian tesis ini.

Akhir kata penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Semoga penulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Junaidi 2. Agama : Islam

3. Tempat/Tanggal lahir : Takengon, 25 Mei 1965 4. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil 5. Nama Ayah : Alm. Tuah

Nama Ibu : Almh. Salamah

6. Pendidikan : a. SD Negeri No. 7 Banda Aceh, Lulus Tahun 1977 b. SMP Negeri 7 Banda Aceh, Lulus Tahun 1980 c. SMA Swasta Banda Aceh, Lulus Tahun 1984 d. D-I Sanitarian, Lulus Tahun 1985

e. D-III LPPU ITB, Lulus Tahun 1991 f. S-1 FKM USU, Lulus Tahun 2001

g. S-2 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana USU, Lulus Tahun 2009.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ...

i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ...

v

DAFTAR ISI ...

vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ...

x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Hipotesis ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

1.6. Kerangka Berpikir... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Pencemaran Udara ... 6

2.2. Sumber Pencemaran Udara ... 7

2.3. Efek Pencemaran Udara pada Kesehatan... 11

2.4. Upaya Penanggulangan Pencemaran Udara... 16

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 19


(11)

3.4. Definisi Operasional ... 23

3.5. Teknik Pengolahan Data ... 26

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 27

4.1. Deskripsi Wilayah Studi ... 27

4.2. Analisis Debu Jatuh ... 35

BAB V PEMBAHASAN ... 43

5.1. Derajat Keasaman pada Sampel ... 43

5.2. Perbedaan Daya Hantar Listrik (DHL) ... 44

5.3. Perbedaan Residu Terlarut Tersuspensi ... 45

5.4. Konsentrasi Timah Hitam (Pb) ... 46

5.5. Kadar Debu Jatuh (Dust Fall) ... 49

5.6. Pemanfaatan Taman Penanggulangan Debu Udara ... 51

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

6.1. Kesimpulan ... 53

6.2. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(12)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 2.1. Persentase Komponen Pencemar dari Sumber Transportasi... 7 2.2. Persentase Komponen Pencemar dari Sumber Industri ... 8

2.3. Pengaruh Kadar COHb dalam Darah terhadap Kesehatan ..

15

2.4. Data Ekuilibrium antara COHb di dalam Darah dengan CO di Udara 15 3.1. Defenisi Operasional Penelitian ... 25 4.1. Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kota Banda

Aceh Tahun 2005 ... 28 4.2. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan ... 29 4.3. Perbandingan Jumlah Kendaraan Bermotor dan Penduduk di Kota

Banda Aceh ... 30 4.4. Hasil Pengamatan Rata-Rata Jumlah Kendaraan Bermotor Berdasar

Lokasi ... 31 4.5. Hasil Pengamatan Rata-Rata Jumlah Kendaraan Bermotor Berdasar

Jenis... 31 4.6. Luas Tanah Pertamanan dan Jenisnya ... 34 4.7. Jenis-Jenis Tanaman yang Ditanam di Taman-taman Kota Banda

Aceh ... 34 4.8. Rata-rata pH Larutan Debu Akibat Bencana Tsunami ... 36 4.9. Rata-rata Daya Hantar Listrik Larutan Debu Akibat Bencana

Tsunami ... 37 4.10. Rata-rata Residu Larutan Debu Akibat Bencana Tsunami ... 38 4.11. Rata-rata Residu Tersuspensi Debu Akibat Bencana Tsunami ... 39 4.12. Rata-rata Konsentrasi Timbal dalam Debu Akibat Bencana

Tsunami... 40 4.13. Rata-rata Kadar Debu Jatuh Akibat Tsunami ... 42


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1.1. Kerangka Berpikir... 5 4.1. Rata-Rata Jumlah Kendaraan Bermotor di 3 Lokasi Penelitian

Berdasar Jenis Kendaraan... 33

4.2. Hubungan Antara Konsentrasi Pb Debu dengan Jarak dari

Daerah


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Peta Kota Banda Aceh ... 58

2. Daftar Regresi ... 59

3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium FMIPA USU... 63

4. Baku Mutu Udara Ambien ... 65

5. Data Jumlah Kendaraan Bermotor ... 66

6. Foto-foto Daerah yang Terkena Tsunami ... 68

7. Foto-foto Daerah yang Tidak Terkena Tsunami... 70


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 terdapat empat parameter debu, yaitu: Partikel Materi ukuran <10 µm (PM10), Partikel Materi

berukuran <2.5 µm (PM2,5), Total Suspended Partikulat (TSP) atau debu dan Dusfall (debu jatuh).

PM10 dan PM2,5 merupakan sumber parameter debu yang melayang-layang di udara dengan yang kadarnya ditentukan sebagai banyaknya (µg) debu dalam setiap 1 m3 udara (µg/Nm3). Total Suspended Partikulat (TSP) atau debu memiliki ukuran diameter ± 100 mikron, dalam udara ambient. Sumber utamanya yaitu emisi kenderaan bermotor yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi kenderaan bermotor terhadap pencemaran TSP di udara sekitar 44,1% selebihnya dari rumah tangga 33%, industri sekitar 14,6%, pembakaran sampah 8,4% (Martono, 2007).

Dust fall adalah debu jatuh akibat dari pengaruh gravitasi maupun yang terikut air hujan yang diukur setelah pengambilan contoh uji berupa air hujan menggunakan peralatan “Deposite Gauge” yang dipaparkan di udara selama 1 bulan. Penentuan debu jatuh dinyatakan sebagai total debu yag tidak larut ditambah debu yang terlarut dalam air hujan (ton/km2/bulan).


(16)

Debu yang dihisap melalui udara pernafasan 55% diantaranya mempunyai ukuran 0.25 sampai 6 mikron, 15 sampai 95% akan mengalami retensi dan proporsi retensi berhubungan langsung dengan ukuran, kepadatan dan kebasahan partikel tersebut.

Berdasarkan atas sifat-sifat fisik suspensi partikel debu yang terdapat di udara dan struktur anatomi sistem pernafasan, dapat diprediksikan bahwa partikel yang memiliki ukuran lebih dari 10 mikron dapat dikeluarkan kembali melalui hidung atau melalui saluran pernafasan atas, partikel yang berukuran 5-10 mikron mengalami penahanan terutama pada saluran pernafasan atas, partikel yang berukuran 1-2.5 mikron dapat mencapai kebagian pernafasan yang lebih dalam yaitu mengendap di alveoli sedangkan partikel yang lebih kecil dari 0,1 mikron dapat keluar kembali bersama udara pernafasan.

Masuk dan tertimbunnya debu di dalam paru-paru dapat memberikan rangsangan pada organ tersebut, yaitu partikel debu dapat menstimulir otot polos sikuler pada saluran pernafasan sehingga dapat menimbulkan kontraksi penyempitan saluran pernafasan.

Partikel debu yang mengendap pada permukaan alveoli akan merangsang pengarahan makrophag, pada keadaan kronis dapat merangsang sel-sel fihsroblas yang terdapat pada jaringan interstisil (jaringan pejangga) bila dalam waktu yang lama akan terjadi fibrosis.

Pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sehingga menyebabkan di NAD, terutama di Kota Banda


(17)

Aceh banyak ruang tanah yang terbuka tanpa pohon pelindung akibat arus tsunami. Hilangnya pohon dan tumbuhan penutup tanah menyebabkan suhu kota semakin panas dan meningkatnya kadar debu di udara yang dapat mengganggu kesehatan. Kegiatan pembangunan kembali (rekonstruksi) dan perbaikan (rehabilitasi) perumahan, perkantoran, sarana pendidikan tempat-tempat peribadatan sektor infra struktur seperti sarana transportasi saat ini ada yang telah selesai dilaksanakan dan ada juga yang sedang dalam tahap pembangunan yang sedan berlangsung. Pembangunan tersebut menggunakan alat-alat berat dan kendaraan-kendaraan besar sehingga menambah peningkatan kadar debu terutama debu jatuh di lingkungan Kota Banda Aceh. Debu jatuh akan mengganggu estetika kesehatan dan mempengaruhi tanaman karena menutupi permukaan daun sehingga mengganggu proses fotosintesis. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dikaji kadar debu jatuh (Dust Fall) serta kandungan Pb dalam debu jatuh, yaitu membandingkan kadar debu jatuh dari daerah yang terkena tsunami dengan daerah yang tidak terkena tsunami di Kota Banda Aceh.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Berapa besar perbedaan kadar debu jatuh pada daerah yang terkena tsunami dan daerah yang tidak terkena tsunami.


(18)

2. Apakah kandungan timbal dalam debu daerah yang terkena tsunami jauh lebih tinggi dibanding dengan daerah yang tidak terkena tsunami.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui berapa kadar debu jatuh pada daerah yang terkena tsunami dan daerah yang tidak terkena tsunami.

2. Untuk mengetahui kadar Pb dalam debu di daerah terkena tsunami dan daerah yang tidak terkena tsunami.

3. Untuk mengetahui parameter keasaman debu (pH), Daya Hanar Listrik (DHL), TDS dan TSS debu yang dilarutkan dalam air di daerah tsunami dan daerah tidak terkena tsunami.

1.4. Hipotesis

1. Ada perbedaan kadar debu jatuh di daerah yang terkena tsunami dibandingkan dengan daerah yang tidak terkena tsunami.

2. Ada perbedaan kandungan Pb pada debu jatuh di daerah yang terkena tsunami dan daerah yang tidak terkena tsunami.

3. Ada perbedaan parameter pH, DHL, TDS dan TSS di daerah terkena tsunami dan tidak terkena tsunami.


(19)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui banyaknya kadar debu jatuh di daerah yang terkena tsunami dan daerah yang tidak terkena tsunami sehingga dapat mengendalikan dampak negatif terhadap penduduk setempat.

2. Dapat mengantisipasi dampak negatif debu terhadap kesehatan penduduk setempat.

3. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Banda Aceh dalam mengurangi masalah pencemaran udara.

1.6. Kerangka Berpikir

Tsunami

Daerah yang Tidak Terkena Tsunami

Daerah yang Terkena Tsunami

Peningkatan Kadar Debu di Udara

Transportasi Perusakan Infra struktur/terbuka lahan

hilang vegetasi


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Udara

Masuknya substansi atau kombinasi dari berbagai substansi kedalam udara yang mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan manusia atau bentuk kehidupan yang lebih rendah, bersifat menyerang dan atau merugikan bagian luar atau dalam tubuh manusia atau karena keberadaan baik secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan pengaruh buruk terhadap kesejahteraan manusia (Soedjono, 1991).

Apabila komposisi udara normal mengalami perubahan dan melebihi persyaratan yang ditetapkan maka udara tersebut dikatakan sudah tercemar. Menurut Achmadi (1983), yang dimaksud pencemaran udara adalah perubahan komposisi udara normal dalam waktu dan komposisi tertentu dapat menimbulkan akibat buruk pada manusia, binatang, tumbuhan dan benda-benda lainnya.

Pencemaran udara dapat diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan komposisi udara dari keadaan normalnya dan jika kehadiran bahan-bahan asing ini di udara dalam jumlah tertentu dan waktu yang cukup lama akan mengganggu kehidupan makhluk hidup (Wardhana, 1995).

Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan makhluk hidup dan keberadaan benda-benda lainnya. Udara merupakan sumber daya alam


(21)

yang harus dilindungi untuk hidup dan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan generasi sekarang dan yang akan datang.

Udara di alam tidak pernah ditemukan dalam keadaan bersih tanpa polutan sama sekali. Peningkatan jumlah penduduk, pemukiman, industri atau pabrik dan peningkatan sektor transportasi di daerah perkotaan mengakibatkan limbah yang berupa gas pencemar semakin tinggi, sehingga kualitas udara bersih semakin menurun.

2.2. Sumber Pencemaran Udara

Sumber polusi yang utama dari transportasi, 6.3% (CO), 8.1% (NOx), 0.85 (SOx), 16.6% (HC), partikel 1.2% (Elektro Indonesia).

Menurut Fardiaz (1992), bahwa sumber polusi yang utama berasal dari transportasi di mana hampir 60% polutan yang dihasilkan terdiri dari karbon monoksida dan sekitar 15% terdiri dari hidrokarbon. Persentase komponen pencemar yang bersumber dari transportasi adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1. Persentase Komponen Pencemar dari Sumber Transportasi Komponen Pencemaran Persentase

CO NOx SO2

Hidrokarbon Partikel

70.56% 8.89% 0.88% 18.34%

1.33%

Total 100.00% Sumber: Wardhana, 1995.


(22)

Perkiraan persentase tersebut di atas didasari dengan anggapan bahwa gas buangan dari hasil pembakaran yang keluar dari knalpot kendaraan transportasi memenuhi persyaratan teknis pembakaran yang benar. Komposisi di atas akan berubah sesuai dengan keadaan kendaraan. Komponen pencemar dari sumber industri adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2. Persentase Komponen Pencemar dari Sumber Industri Komponen Pencemaran Persentase

CO NOx SO2

Hidrokarbon Partikel

33.10% 0.68% 24.91% 15.71% 23.60%

Total 100.00% Sumber: Wardhana, 1995.

Menurut Wicaksana (2002), bahwa pembentukan oksidan dalam pembakaran adalah sebagai berikut:

2.2.1. Pembentukan Nitrogen Oksidan (NOx) Melalui Pembakaran

Nitrogen Oksidan (NOx) adalah bahan pencemar udara berupa campuran anrtara NO dan NO2, yang merupakan bahan untuk terbentuknya oksidan fotokimia NOx ini terbentuk pada temperatur tinggi dan pada kondisi kaya akan oksigen. Sumber pembentuk NOx dari sumber bergerak adalah pembangkit tenaga dan boiler.

Dalam proses pembakaran bahan bakar kehadiran oksigen bersumber dari udara di mana nitrogen adalah merupakan bahan yang dominan. Pada pembakaran temperatur tinggi akan mendorong terbentuknya atom-atom oksigen yang dapat melakukan reaksi rantai sebagai berikut:


(23)

O + N2å NO + N N+ O2 å NO + O

Apabila dari kedua persamaan tersebut dijumlahkan, akan diperoleh hasil secara keseluruhan:

N2 + O2 å 2NO

Dengan demikian, pada temperatur tinggi dapat mendorong terbentuknya nitrogen monoksida. Jika pada saat pembakaran pada temperatur tinggi dan pada kondisi oksigen berlebih, maka akan terbentuk NO2.

Dalam pembakaran hidrokarbon, kehadiran radikal CH dapat menuju terbentuknya HCN:

CH + N2å HCN + N

Yang kemudian akan dirubah menjadi CN dan atom nitrogen dan akan dioksidasi menjadi NO. Jika dalam bahan bakar mengandung beberapa senyawa nitrogen organik, ini dapat dirubah menjadi amonium atau hydrogen cyanide, yang kemudian dioksidasi menjadi NO.

2.2.2. Pembentukan Sulfur Oksida (SOx) Melalui Pembakaran

Penggunaan bahan bakar yang berasal dari petrokimia dan batu bara yang kaya sulfur telah meningkat disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan akan energi. Sulfur yang terkandung dalam bahan bakar dalam bentuk anorganik (pyrite) atau organik mudah teroksidasi dalam sistem pembakaran dan akan membentuk SO2 dan SO3. Oksida-oksida sulfur (SOx) yang dihasilkan selama pembakaran menimbulkan dua masalah yaitu: (1) bahan pencemar tersebut diemisikan ke udara akan


(24)

menyebabkan terjadinya pencemaran udara, (2) bahan pencemar tersebut juga penyebab korosi terhadap peralatan pembakaran seperti turbin dalam sistem pembakaran.

Gas SO3 yang terbentuk akan semakin meningkat apabila dalam sistem pembakaran terdapat oksigen yang berlebihan. Dalam kondisi bahan bakar berlebih, maka kemungkinan terbentuknya hydrogen sulfida (H2S), carbonyl sulfida dan elemental sulfida.

Keseimbangan yang terjadi antara sulfur dioksida dan sulfur trioksida ditunjukkan dalam persamaan sebagai berikut:

SO2 + 1/2O2 SO3

SO3 mempunyai afinitas yang besar terhadap air (H2O) pada suhu rendah dan dengan segera terbentuk kabut asap.

2.2.3. Pembentukan Oksida Pb dalam Kendaraan Bermotor

Timah hitam (Pb) telah lama digunakan sebagai zat tambahan (aditif) berupa Tetra Etil Lead (TEL) dengan rumus kimia (C2H5)4Pb, yang berfungsi untuk meningkatkan kadar oktan bensin. Timah hitam hanya ditemukan pada sisa pembakaran bahan bakar bensin. Terta Etil Lead merupakan senyawa garam metal organik yang tercampur dalam bensin dan ikut terbakar. Pada saat pembakaran, TEL tersebut mengalami dekomposisi secara termis membentuk oksida Pb dengan mekanisme sebagai berikut:

PbO + OH åPbO(OH) PbO(OH) + OH åPbO2 + H2


(25)

Bahan bakar bensin mengandung sampai 2.5 ml Pb per galonnya. Pencemaran udara oleh adanya Pb di udara, di kota-kota besar akan meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor.

2.3. Efek Pencemaran Udara pada Kesehatan

Profil kesehatan DKI Jakarta 2004 menunjukkan bahwa sekitar 46% penyakit gangguan pernafasan terkait dengan pencemaran udara (ISPA 43%, iritasi mata 1.7% dan asma 1.4%) dan sekitar 32% kematian mungkin terkait dengan pencemaran udara (penyakit jantung dan paru-paru 28.3% dan pneumonia 3.7%) (Langit Biru).

Efek-efek pencemaran udara pada kehidupan manusia dapat dibagi menjadi efek umum, efek terhadap ekosistem, efek terhadap kesehatan, efek terhadap tumbuhan dan hewan, efek terhadap cuaca dan iklim dan efek terhadap sosial ekonomi. Menurut Muhadhar (2002) bahwa partikel yang mempengaruhi kesehatan dalam udara ambien adalah sebagai berikut:

2.3.1. Pengaruh Debu terhadap Kesehatan

Debu yang dihisap melalui udara pernafasan 55% diantaranya mempunyai ukuran 0.25 sampai 6 mikron, 15 sampai 95% akan mengalami retensi dan proporsi retensi berhubungan langsung dengan ukuran, kepadatan dan kesehatan partikel tersebut.

Berdasarkan atas sifat-sifat fisik suspensi partikel debu yang terdapat, partikel yang di udara dan struktur anatomi sistem pernafasan, dapat diprediksikan bahwa partikel yang memiliki ukuran lebih dari 10 mikron dapat dikeluarkan kembali


(26)

melalui hidung atau melalui saluran pernafasan atas, partikel yang berukuran 5-10 mikron mengalami penahanan terutama pada saluran pernafasan atas, partikel yang berukuran 1-2.5 mikron dapat mencapai kebagian pernafasan yang lebih dalam yaitu mengendap di alveoli sedangkan partikel yang lebih kecil dari 0.1 mikron dapat keluar kembali bersama udara pernafasan.

Masuk dan tertimbunnya debu di dalam paru-paru dapat memberikan rangsangan pada organ tersebut, yaitu partikel debu dapat menstimuli otot polos sikuler pada saluran pernafasan sehingga dapat menimbulkan kontraksi penyempitan saluran pernafasan.

Partikel debu yang mengendap pada permukaan alveoli akan merangsang, pengarahan makrophag. Pada keadaan kronis dapat merangsang sel-sel fihsroblas yang terdapat pada jaringan interstisil (jaringan pejangga) bila dalam waktu yang lama akan terjadi fibrosis.

Secara umum penimbunan partikel debu paru-paru dapat menimbulkan antara lain:

a. Sedikit atau tidak ada reaksi apa-apa.

b. Produksi dan sekresi mukos yang berlebihan. c. Pembesaran kelenjar mukos.

d. Pengerahan sel-sel makrophag

e. Proliferasi kronik atau reaksi peradangan. f. Retikulinosis.


(27)

h. Metaplaslin atau keganasan.

2.3.2. Pengaruh Timbal (Pb) terhadap Kesehatan

Timbal diserap tubuh melalui saluran pernafasan (paru-paru) dan diedarkan melalui darah. Delapan puluh lima persen tersimpan ditulang, 10% beredar dalam darah, sisanya terdeposit dalam jaringan lunak. Pengeluaran timbal terjadi melalui ginjal, menyebabkan organ ini rentan terhadap kerusakan. Timbal akan merusak enzim karena kelompok disulfida atau mendenaturasi protein dan mengubah struktur tersier enzim.

Sasaran anatomis dari timbal adalah darah, sistem saraf, saluran pencernaan dan ginjal. Perubahan awal pada keracunan timbal akan teramati pada sel-sel darah merah. Timbal akan berikatan dengan enzim. ALA-D (asam aminolevulinik dehidratase) dan fereketolase, yang keduanya berfungsi menggabungkan besi pada molekul hemo, akibatnya besi menghilang dan terjadi pembentukan zinkprotoporfirin. Peninggian zinkprotoporfirin atau produknya serta protoporfirin-eritrosit bebas berperan sebagai parameter darah pada keracunan timbal. Dampaknya akan terjadi anemi mikrolitik, hipokromik atau anemi hemolitik.

Pada sistem saraf, keracunan timbal kronis akan menyebabkan odema otak yang nyata, sehingga girus otak menjadi mendatar dan sulkus menjadi sempit. Pada anak-anak timbul gejala gangguan sensorik, motorik, psikologi dan kecerdasan (penurunan IQ). Selain terjadi gangguan kemampuan belajar, juga terdapat gangguan perkembangan psikomotorik, kebutaan dan dalam kasus berat akan terjadi psikosis seizur dan koma. Efek-efek tersebut biasanya akan menetap. Pada orang dewasa lebih


(28)

sering terdapat adanya neuropati perifer terutama pada persarafan motorik otot-otot yang sering dipakai, sehingga otot-otot, ekstensor lengan dan jari tangan merupakan yang pertama kali terpengaruh diikuti oleh paralysis otot-otot peroneal.

2.3.3. Dampak Senyawa CO terhadap Kesehatan

Karbon monoksida (CO) adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, mempunyai waktu tinggal (recidence) yang panjang antara beberapa bulan sampai beberapa tahun (Fardiaz, 1991).

Karbon monoksida memiliki kemampuan mengikat hemoglobin darah 200-300 kali lebih besar dari pada oksigen (Setiadi, 1985), hal ini menyebabkan bila terpajan dengan CO maka CO dengan cepat berpindah dari plasma ke sel-sel darah merah dan berikatan dengan hemoglobin. Adanya CO dalam tubuh akan mengganggu proses oksigenase, akibatnya organ-organ tubuh yang peka terhadap kekurangan oksigen seperti otak, susunan syaraf pusat, paru-paru dan jantung terganggu. Bagian yang sangat rentan terhadap kandungan CO dalam darah adalah janin, anak kecil, individu bronchitis kronik dan empesema. Tabel di bawah ini menggambarkan hubungan gejala kesehatan dengan kadar COHb dalam darah.


(29)

Tabel 2.3. Pengaruh Kadar COHb dalam Darah terhadap Kesehatan

No Persen COHb Gejala

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100

Tidak ada keluhan

Rasa berat di kepala, sedikit sakit di kepala Menusuk pada pelipis

Lemas, dizzness, pandangan jadi kabur Syncope, nadi dan pernafasan menjadi cepat Koma, kejang dan intermitter

Depresi jantung dan pernafasan

Nadi lemah, nafas lambat dan kegagalan pernafasan dapat meninggal dalam beberapa jam

Meninggal dalam waktu kurang dari beberapa jam Meninggal dalam waktu beberapa menit

Sumber: Muhadhar, 2002.

Tabel ekuilibrium antara COHb di dalam darah dengan CO di udara:

Tabel 2.4. Data Ekuilibrium Antara COHb di dalam Darah dengan CO di Udara No Konsentraso CO di Udara (ppm) Konsentrasi Ekuilibrium COHb

di dalam Darah (%) 1 2 3 4 5 10 20 30 40 50 2.1 3.7 5.3 8.5 11.7 Sumber: Fadiaz, 1992.

2.3.4. Dampak SOx terhadap Kesehatan Manusia

Pengaruh utama senyawa SOx terhadap kesehatan manusia adalah iritasi sistem pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi sistem pernafasan terjadi pada konsentrasi 5 ppm dan pada individu yang sensitif iritasi terjadi pada konsentrasi 1-2 ppm. Sulfur oksida sangat beresiko terhadap orang yang menderita penyakit kronis pada sistem pernafasan dan kardiovaskuler.


(30)

2.4. Upaya Penanggulangan Pencemaran Udara

Salah satu polutan yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor adalah CO. Gas tersebut paling banyak dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan dapat menyebabkan kematian pada konsentrasi tinggi.

Di wilayah perkotaan dengan pertumbuhan polutan yang cepat kualitas udara perkotaan semakin buruk, oleh sebab itu diperlukan pengendalian pencemaran udara. Sebab apabila tidak dikendalikan dengan baik hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan. Dengan melihat porsi terbanyak pencemaran udara dari emisi gas buangan kendaraan bermotor, maka sudah saatnya kontrol polusi juga dilakukan pada emisi gas setiap kendaraan bermotor (Susanto, 2006).

Penanggulangan dampak kualitas udara yang disebabkan kegiatan industri dan transportasi dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:

a. Pengendalian pencemaran debu yang diemisikan dari sumber tidak bergerak ke atmosfir dilakukan dengan alat penagkap debu. Contohnya Cyclon, Scrubber, Electrostatic precipitor dan Fabric filler.

b. Pengendalian zat pencemar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) dilakukan dengan menggunakan bahan bakar yang mengandung sulfur rendah, mempertinggi cerobong dan menggunakan alat pengendalian pencemaran udara seperti desulfurisasi dan denitrifikasi.

c. Menanam pohon-pohon sebagai penyerap gas dan debu di sekitar kegiatan dan jalan-jalan.


(31)

Akan tetapi sebaik apapun kebijaksanaan maupun peraturan yang ada, tanpa peran serta masyarakat sebagai pelaku maupun yang terkena dampak, maka upaya penanggulangan pencemaran udara tidak akan berhasil dengan baik.

Upaya pencegahan pencemaran udara di Indonesia, berdasarkan periode waktunya, terbagi menjadi dua:

1. Jangka Pendek

Kegiatan-kegiatan jangka pendek di Indonesia untuk mencegah terjadinya pencemaran udara antara lain:

a. Sosialisasi melalui media cetak dan elektronik berkaitan dengan bahaya pencemaran udara bagi kelanggengan hidup manusia dan perubahan ekosistem pada alam semesta.

b. Relokasi kawasan industri yang berada ditengah kota ke daerah pinggiran kota dan pengembangan suatu daerah hijau (green belt) yang mengitari kawasan industri yang akan dibangun.

c. Penyelenggara analisis dampak lingkungan (Amdal) secara rutin di pabrik-pabrik yang berada di tengah kota atau didekat lokasi pemukiman penduduk. d. Penyelenggara uji emisi gas buangan dari kendaraan bermotor secara berkala

dan pembentukan sistem pemantauan pencemaran udara di setiap sudut kota. e. Perbaikan sarana transportasi darat terutama armada angkutan kota agar lebih

manusiawi (aman, nyaman dan murah) sehingga dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.


(32)

f. Penerapan program 3 in 1 pada kendaraan pribadi selama jam-jam sibuk, terutama di jalan-jalan protokol di pusat kota.

g. Pengawasan dan pelanggaran pembakaran hutan terutama saat musim kemarau yang pada kenyataannya terjadi hampir setiap tahun.

2. Jangka Panjang

Upaya jangka panjang di Indonesia untuk mencegah terjadinya pencemaran udara antara lain:

a. Perencanaan tata ruang kota yang mengacu pada wawasan kesehatan lingkungan.

b. Mengganti bahan bakar untuk industri dan kendaraan bermotor dengan bahan bakar yang ramah lingkungan misalnya bahan bakar gas dan biosolar yang berasal dari minyak kelapa sawit.


(33)

BAB III

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banda Aceh pada 5 (lima) titik lokasi yang dianggap telah mewakili untuk pengambilan kadar debu jatuh di udara ambien. Lokasi pengambilan sampel ditentukan secara purposive sampling dengan tujuan agar dapat membedakan kadar debu jatuh di daerah yang tidak terkena tsunami dengan daerah yang terkena tsunami. Waktu penelitian dimulai pada bulan September sampai dengan bulan November 2007.

3.2. Metode Pengumpulan Data

a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan dengan cara pengukuran debu jatuh (Dust Fall).

b. Data sekunder meliputi gambaran lokasi penelitian yang diperoleh melalui regristrasi, laporan Bapedalda Dinas Tata Kota dan Kantor Walikota.

3.2.1. Bahan Penelitian

a. Debu udara yang bercampur dengan air hujan.

b. HNO3pekat p.a. (E. Merck) c. Akuades.


(34)

3.2.2. Alat Penelitian

a. Spektrofotometer Serapan Atom BUCK 205

b. Neraca Analitis Mettler A.E. 200

c. Hot plate Fisons

d. Oven Fisher

e. Alat-alat Gelas Pyrex f. Pipet Tetes

g. Corong

h. Botol Akuades

i. pH Meter Hanna

j. Kertas Saring Whatman No. 42 k. Conductivity Meter Fisher

3.3. Analisa Data

Data yang telah berhasil dikumpulkan, diolah dan dianalisa dengan memperhitungkan kadar debu serta diuji kemaknaannya.

a. Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi atau besarnya proporsi menurut berbagai karakteristik variabel yang diteliti, baik untuk variabel bebas maupun variabel terikat.


(35)

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Dari hasil analisa diketahui variabel bebas manakah yang berhubungan bermakna secara statistik dengan variabel terikat. Jenis data adalah kuantitatif maka teknik analisis yang digunakan adalah rancangan acak kelompok non faktorial dengan 5 perlakuan dan masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan. Adapun perlakuan adalah sebagai berikut:

Faktor L : Lokasi penelitian (L) yang terdiri dari 5 taraf, yaitu: 1. Lokasi 1 = 10 m dari pantai

2. Lokasi 2 = 100 m dari pantai 3. Lokasi 3 = 500 m dari pantai

4. Lokasi 4 = 500 m dari daerah yang tidak terkena tsunami 5. Lokasi 5 = 1000 m dari daerah yang tidak terkena tsunami Persamaan linier dari rancangan tersebut adalah:

Yijk = µ + ti + k + ijk Keterangan:

Yijk = pengamatan percobaan pada perlakuan ke – I dan kelompok ke K µ = rataan umum

ti = pengaruh perlakuan lokasi ke – i k = pengaruh kelompok ke – i


(36)

3.3.1. Penyediaan Sampel

Pengambilan sampel debu jatuh dilakukan dengan cara meletakkan botol gelas yang dilengkapi corong di atasnya pada ketinggian 1,5 meter dari permukaan tanah. Setelah 10 hari corong dibilas dengan air destilat (pH=7,0) dan dianalisis di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA-USU untuk parameter pH, DHL, TDS, dan TSS dan kandungan logam Pb di Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian USU Medan.

3.3.2. Pengukuran Total Padatan Tersuspensi (TSS)

Sampel debu jatuh yang bercampur dengan air, disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 42 yang telah diketahui beratnya kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105oC selama semalam lalu didinginkan di dalam desikator selama 20-30 menit, kemudian kertas saring tersebut ditimbang menggunakan neraca analitis dengan ketelitian tiga desimal. Filtrat ditampung dalam beaker gelas yang sudah diketahui beratnya untuk mengukur TDS-nya.

3.3.3. Pengukuran Total Padatan Terlarut (TDS)

Filtrat hasil penyaringan yang terdapat di beaker gelas diuapkan di atas

hotplate hingga beaker gelas kering, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 20 – 30 menit kemudian beaker gelas ditimbang menggunakan neraca analitis dengan ketelitian tiga desimal.


(37)

3.3.4. Penentuan Kadar Logam Timbal (Pb) pada Sampel

Kertas saring dari pengukuran TSS dimasukkan ke dalam beaker gelas dari pengukuran TDS, kemudian ditambahkan 35 mL HNO3 pekat kemudian dipanaskan di atas hotplate selama 1 jam sampai terbentuk larutan kuning jernih lalu didinginkan. Hasil destruksi disaring dengan kertas saring Whatman No. 42 kemudian filtrat diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dalam labu takar 50 mL. Kandungan Pb dianalisis dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom pada panjang gelombag λspesifik = 283,3 nm.

3.4. Definisi Operasional Variabel independen (bebas): 1. Pengukuran

a. Kadar debu adalah banyaknya debu yang tertampung dalam botol pengambilan sampel di lapangan dalam ukuran μg/m3.

b. Timah hitam (Pb) yaitu timbal yang mencemari udara diperoleh dari pengambilan sampel dalam satuan μg/m3.

c. Derajat keasaman (pH) adalah derajat keasaman atau basa yang ada pada debu dari pengambilan sampel.

d. Daya hantar listrik (DHL) kemampuan unsur debu dalam sampel untuk menghantar listrik dalam satuan μmhos/cm.


(38)

e. Total dissolved solid (TDS) keseluruhan partikel yang terlarut dalam air hujan yang tertampung pada botol sampel dalam satuan mg/l.

f. Total suspended solid (TSS) adalah jumlah berat dalam mg/l kering debu yang ada dalam air hujan setelah mengalami penyaringan.

2. Pengaruh iklim

a. Cuara, keadaan dalam pada saat pengambilan sampel biasanya mendung, hujan, panas yang diukur dalam satuan oC.

b. Temperatur, keadaan suhu ada yang diukur pada saat pengambilan sampel dalam satuan oC.

c. Kelembaban, basa atau kering iklim pada saat pengambilan sampel yang biasanya diukur dalam RH atau %.

d. Kecepatan angin, kekuatan angin yang berhembus dalam pengambilan sampel yang diukur dalam satuan km/jam.

Variabel independen (terikat)

1. Daerah terkena tsunami, daerah yang dilanda tsunami yaitu meliputi 6 kecamatan.

2. Daerah yang tidak terkena tsunami, daerah yang tidak sampai air laut yaitu meliputi 3 kecamatan.


(39)

Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian

Variabel Cara Ukur/Alat Ukur Hasil Ukur Skala Independen:

Pengukuran:

1. Kadar Debu Metode analisa μg/m3 Kadar debu Ordinal 2. Timah hitam (Pb) AAS Kadar Pb Ordinal 3. Derajat keasaman (pH) Potensiometrik Derajat

keasaman

Ordinal 4. Daya Hantar Listrik

(DHL)

Potensiometrik

Conductivity meter μ

amhous/cm Ordinal 5. TDS (Total Dissolved

Solid)

Gravimetrik

Timbangan analitik dan kertas saring

Mg/l Ordinal

6. TSS (Total Suspended Solid)

Gravimetrik

Timbangan analitik dan kertas saring

Mg/l Ordinal

Pengaruh Iklim

Variabel Cara Ukur/Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1. Cuara Pengukuran oC Ordinal

2. Temperatur Pengukuran oC Ordinal 3. Kelembaban Pengukuran RH % Ordinal

4. Kecepatan angin Anemo meter km/jam Ordinal

Variabel Independen

Variabel Cara Ukur/Alat Ukur Hasil Ukur Skala 1. Daerah terkena

tsunami

Pengamatan Luas Wilayah Ordinal 2. Daerah tidak terkena

tsunami


(40)

3.5. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah dikumpul selanjutnya akan diolah dengan tahapan sebagai berikut:

a. Editing (pemeriksaan data)

Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan hasil pengukuran di lapangan.

b. Entry (pemasukan data komputer)

Setelah semua data hasil pengukuran, maka dilakukan pemasukan data ke komputer untuk diolah.


(41)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Deskripsi Wilayah Studi

Kota Banda Aceh merupakan salah satu dari 23 kabupaten/kota di NAD dengan luas daerah sekitar 61,36 km2. Kota ini merupakan pusat pemerintahan Propinsi NAD yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Besar di sebelah Utara, Selatan, Barat dan Timur.

Kota Banda Aceh terletak antara 2° - 6° Lintang Utara dan 95° - 98° Lintang Selatan dengan ketinggian 1,5 - 2,5 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Kota Banda Aceh merupakan dataran rendah yang merupakan tempat pertemuan dua sungai penting, yaitu Sungai Krueng Aceh dan Krueng Daroy.

Kota Banda Aceh mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun Blang Bintang pada tahun 2008 berkisar antara 22,5°C – 24,5°C dan suhu maksimum berkisar antara 30,6°C – 33,9°C. Kelembaban udara di wilayah Kota Banda Aceh rata 83% dan kecepatan angin rata 0,45 m/sec sedangkan rata-rata total laju penguapan tiap bulannya 111,26 mm. Hari hujan di Kota Banda Aceh pada tahun 2008 rata-rata 17 hari dengan rata-rata curah hujan per bulannya antara 173,58 – 184,33 mm (BPS dan Perencanaan Pembangunan Daerah NAD, 2008).

Kota Banda Aceh terdiri dari 9 kecamatan dan 90 desa dengan jumlah dan kepadatan penduduk yang terus-menerus bertambah dari tahun ke tahun seperti yang terdapat dalam tabel berikut:


(42)

Tabel 4.1. Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kota Banda Aceh Tahun 2005

Tahun

Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Laju Pertumbuhan Penduduk (%)

Luas wilayah (Km2)

Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km)

2003 223.829 1,25 61,36 3.669

2004 239.146 1,50 61,36 3.920

2005 177.881 1,19 61,36 2.916

2006 179.266 1,18 61,36 2.939

2007 219.659 1,23 61,36 3.582

Sumber: BPS dan Perencanaan Pembangunan Daerah NAD, 2008.

Laju pertumbuhan penduduk di Kota Banda Aceh pada tahun 2003 sampai tahun 2008 cukup signifikan yaitu berkisar antara 1,18 sampai 1,50%. Kepadatan penduduk Kota Banda Aceh terus berkurang yaitu pada tahun 2005 sebesar 2.916 jiwa/km hingga tahun 2007 berjumlah 3.582 jiwa/km.

Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi merupakan faktor penyebab pencemaran udara yang penting di perkotaan. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi mendorong pengembangan wilayah perkotaan yang semakin melebar ke daerah pinggiran kota/daerah penyangga. Sebagai akibatnya mobilitas penduduk dan permintaan transportasi semakin meningkat. Jarak dan waktu tempuh perjalanan sehari-hari semakin bertambah karena jarak antara tempat tinggal dan tempat kerja atau aktivitas lainnya semakin jauh dan kepadatan lalu lintas yang tinggi menyebabkan waktu tempuh makin lama.

4.1.1. Jumlah Kendaraan Bermotor di Kota Banda Aceh

Kota Banda Aceh yang mempunyai julukan “Daerah Modal” dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pembangunan fisik berupa


(43)

gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel dan tempat hiburan semakin banyak dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh ataupun pihak swasta sehingga menjadikan Kota Banda Aceh memiliki fungsi regional yang luas sebagai pusat kegiatan pemerintahan, sosial dan perekonomian yang meliputi bisnis dan jasa yang selalu ramai dikunjungi masyarakat.

Seiring dengan kemajuan Kota Banda Aceh dari tahun ke tahun semakin bertambah pula jumlah kendaraan bermotor yang merupakan sarana transportasi bagi masyarakat, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum seperti yang tertuang dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.2. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan Tahun Mobil Penumpang

(Unit)

Mobil Gerobak (Unit)

Bus (Unit)

Sepeda Motor (Unit)

Jumlah (Unit) 2005 11.409 5.067 1.248 53.494 71.198 2006 13.061 5.739 1.248 68.831 88.879 2007 15.338 3.647 1.248 75.749 95.982 Sumber: Dinas Perhubungan, 2007.

Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Kota Banda Aceh cukup tinggi.

Jumlah sepeda motor mempunyai persentase terbesar dari total keseluruhan kendaraan bermotor yang ada di Kota Banda Aceh. Dari 95.982 unit kendaraan bermotor yang ada pada tahun 2007, sebanyak 75.749 unit (78,92%) adalah sepeda motor, selanjutnya adalah mobil pengangkut sebesar 15.338 unit (15,98%), mobil


(44)

gerobak sebesar 3.647 unit (3,79%) dan yang paling sedikit adalah bus sebesar 1.248 unit (1,38%).

Jumlah sepeda motor ini setiap tahunnya mengalami peningkatan rata-rata di atas 69%, hal ini disebabkan karena sepeda motor merupakan alat transportasi alternatif yang harganya terjangkau masyarakat luas dan adanya kemudahan yang ditawarkan oleh lembaga pembiayaan kepada masyarakat untuk membeli sepeda motor seperti cicilan dengan bunga ringan atau tanpa uang muka.

Jika dibandingkan antara jumlah kendaraan bermotor dengan jumlah penduduk maka rasio kendaraan bermotor, jumlah penduduk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup tinggi seperti yang tertuang dalam tabel berikut: Tabel 4.3. Perbandingan Jumlah Kendaraan Bermotor dan Penduduk di Kota

Banda Aceh Tahun Jumlah Kendaraan

Bermotor (Unit)

Jumlah Penduduk (Jiwa)

Rasio Kendaraan/Penduduk (%)

2005 71.198 177.881 0,40

2006 88.879 179.266 0,49

2007 95.982 219.659 0,44

Sumber: BPS dan Perencanaan Pembangunan Daerah NAD, 2008.

Pada tahun 2005 rasio jumlah kendaraan – jumlah penduduk adalah sebesar 0,40% hingga pada tahun 2007 meningkat menjadi 0,44%. Hal ini berarti bahwa pada tahun 2007 dalam 100 orang penduduk terdapat jumlah kendaraan 44 unit. Dari sisi tingkat kemakmuran masyarakat, hal ini tentunya sangat menggembirakan, namun jumlah kendaraan yang semakin meningkat tersebut akan memberikan dampak negatif yaitu menyumbang polusi terhadap lingkungan.


(45)

Dari pengamatan yang dilakukan selama bulan Februari 2008 rata-rata jumlah kendaraan bermotor yang melintas atau melewati tiga lokasi penelitian dituangkan dalam tabel berikut:

Tabel 4.4. Hasil Pengamatan Rata-rata Jumlah Kendaraan Bermotor Berdasar Lokasi

Titik Lokasi Pengamatan Rata-rata Jumlah Kendaraan Bermotor/Hari

1 Pinggir laut 0

2 Sp.Darussalam, Jl. T. Nyak Arif 5.126 3 Sp. Prada, Jl. T. Nyak Arif 6.109 4 Sp. Peniti, Jl. T. Chik Ditiro 8.720 5 Sp. Surabaya, Jl. T. Chik Ditiro 10.157 Sumber: Pengamatan Lapangan, 2008.

Berdasarkan Tabel 4.4 diperoleh bahwa jumlah rata-rata kendaraan bermotor di lokasi penelitian yang tertinggi adalah di Sp. Surabaya, Jl. T. Chik Ditiro sebesar 10.157 unit/hari, menyusul Sp. Peiti, Jl. T. Chik Ditiro sebanyak 8.720 unit/hari dan terendah di Sp. Darussalam, Jl. T. Nyak Arif sebanyak 5.126 unit/hari.

Tabel 4.5. Hasil Pengamatan Rata-rata Jumlah Kendaraan Bermotor Berdasar Jenis

Rata-rata Jumlah Kendaraan Bermotor/Hari

Titik Lokasi Pengamatan

Roda 2 Roda 3 Roda 4 Roda >4 Total

1 Pinggir laut 0 0 0 0 0

2 Sp. Darussalam, Jl. T. Nyak Arif

2.122 241 2.754 9 5.126

3 Sp. Prada, Jl. T. Nyak Arif

2.648 285 2.812 364 6.109

4 Sp. Peniti, Jl. T. Chik Ditiro

3.780 407 4.014 519 8.720

5 Sp. Surabaya, Jl. T. Chik Ditiro

4.773 410 4.375 599 10.157

Berdasar jenis kendaraan, dari Tabel 4.5 di atas terlihat bahwa di Sp. Darussalam Jl. T. Nyak Arif yang mendominasi adalah kendaraan roda 4 baik


(46)

kendaraan pribadi ataupun mobil penumpang dengan jumlah 2.754 unit, menyusul sepeda motor sebanyak 2.122 unit, becak mesin sebanyak 241 unit dan truk 9 unit.

Di Sp. Prada Jl. T. Nyak Arif kendaraan yang paling banyak adalah kendaraan roda 4 sebesar 2.812 unit, kemudian sepeda motor sebanyak 2.648 unit, truk 364 unit dan becak mesin sebanyak 285 unit. Banyaknya truk yang melewati lokasi ini karena jalan ini merupakan salah satu ruas jalan lingkar Selatan Kota Banda Aceh yang merupakan penghubung antara daerah di luar Kota Banda Aceh. Truk-truk yang berasal dari luar Kota Banda Aceh selalu melewati jalan ini menuju arah ke Aceh Besar.

Lokasi Sp. Surabaya Jl. T. Chik Ditiro kendaraan yang mendominasi adalah sepeda motor sebanyak 4.773 unit, disusul kendaraan roda 4 sebanyak 4.375 unit, truk sebanyak 599 unit dan becak mesin 410 unit. Tingginya jumlah sepeda motor yang melewati lokasi ini karena daerah Jl. T. Chik Ditiro dan sekitarnya merupakan daerah rekonstruksi dan rehabilitasi yang sebagian besar mengendarai sepeda motor.

Rata-rata jumlah kendaraan bermotor di lokasi pengamatan disajikan dalam Gambar 4.1 berikut:


(47)

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 Ju m la h ( U n it ) Sp.Darussalam Jl. T. NyakA rif

S p. Prada Jl. T. Nyak Arif

S p. Peniti Jl. T.Chik Ditiro

Sp. Surabaya

Jl.T.Chik Ditiro Lokasi

Rata-rata Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis

Roda 2 Roda 3 R oda 4 Roda >4

Gambar 4.1. Rata-rata Jumlah Kendaraan Bermotor di 3 Lokasi Penelitian Berdasar Jenis Kendaraan

4.1.2. Luas Taman Kota Banda Aceh

Taman merupakan salah satu bagian dari ruang terbuka hijau yang sangat besar peranannya baik sebagai penyerap polutan atau partikel beracun dan sebagai paru-paru kota karena tanaman-tanaman yang membentuk taman tersebut dapat menghasilkan oksigen yang sangat bermanfaat bagi manusia.

Pemda Kota Banda Aceh sangat memperhatikan keindahan kota dengan membangun taman-taman di seluruh Kota Banda Aceh. Pemda Kota Banda Aceh menganggarkan dana cukup besar setiap tahunnya untuk pembuatan taman dan untuk biaya pemeliharaannya. Data luas taman di Kota Banda Aceh tertuang dalam tabel berikut ini.


(48)

Tabel 4.6. Luas Tanah Pertamanan dan Jenisnya

No. Jenis Taman Luas (Ha)

1. Taman Sari 4 Ha

2. Taman Putro Phang 5,9 Ha

3. Blang Padang 10 Ha

4. Ruang Terbuka Hijau/Pom 3.000 Meter 5. Ruang Terbuka Hijau Depan Mesjid Raya 3.500 Meter 6. Ruang Terbuka Hijau Kerchop (Pecut) 6 Ha 7. Bantaran Sungai Krung Cut 4,5 Ha 8. Ruang Terbuka Hijau Kuta Alam 3.000 Meter 9. Ruang Terbuka Hijau Simpang Tiga 3.200 Meter 10. Ruang Terbuka Hijau Taman Ratu Sapiatudin 3.000 Meter Sumber: Dinas Pertamanan dan Kebersihan, 2008.

Jenis tanaman yang ditanam di taman-taman Kota Banda Aceh sangat beragam. Pemilihan jenis tanaman ini disesuaikan dengan kondisi geografi dan keadaan tanah di areal pertamanan. Berdasarkan pengamatan, jenis-jenis tanaman hias yang ditanam di taman-taman Kota Banda Aceh adalah sebagai berikut:

Tabel 4.7. Jenis-jenis Tanaman yang Ditanam di Taman-taman Kota Banda Aceh

No Nama Umum Nama Latin

1. Asam Jawa Tamarandus indica, L.

2. Angsana Pterocarpus indicus, Wild

3. Balik Angin Mallothus biaceae

4. Bakung Cainum asiaticum

5. Bayam Merah Iresine herbstii

6. Bougenville Bougainvillea spectabilis

7. Cemara Udang Casuarina equisetifolia

8. Cente Lantana camara

9. Drasena Dracaena sanderiana

10. Glodokan Tiang Polyathea sp

11. Hanjuang Dracaena fragans

12. Lidah Mertua Sanseviera trifasciata

13. Lili Paris Chlorophytum comosum

14. Mawar Rosa hybrida


(49)

Lanjutan Tabel 4.7

No Nama Umum Nama Latin

16. Mirten Malphigia coccigera

17. Nolina Beaucarnea recurvata

18. Palem Botol Mascarena revaughanii

19. Palem Ekor Tupai Wodyetia bifurcata

20. Palem Kuning Chrysalidocarpus lutescens

21. Palem Phoenix Phoenix roebelinii

22. Palem Putri Veitchia merillii

23. Palem Raja Oreodosca regia

24. Pandan Pandanus veitchii

25. Pisang Hias Heliconia schiedeana

26. Pulai Alstonia scholaris, R.Br

27. Puring Codiaeum variegatum

28. Rumput Paitan Axonopus cumpressus

29. Rumput Manila Zoyzea matrella

30. Soka Ixora sp

31. Tanjung Mimusops elengi, L

32. Tricolor Tradescantia tricolor

Daun penghijauan yang hidup ditepi jalan yang terpapar pada waktu tertentu dapat dijadikan indikator besarnya akumulasi timbal yang dihasilkan oleh aktivitas kendaraan bermotor pada suatu tempat tertentu, kadar logam berat pada berbagai jaringan daun tanaman yang diuji tertinggi pada tanaman daun asam jawa, diikuti oleh daun angsana, mahoni, tanjung dan yang paling rendah terdapat pada daun tanaman pulai.

4.2. Analisis Debu Jatuh

Analisis debu jatuh meliputi pH, DHL,TDS,TSS dan Pb yang masing-masing dianalisa dilaboratorium setelah itu data dianalisis secara statistik di mana hasil statistika adalah sebagai berikut:


(50)

4.2.1. Keasaman Debu (pH H2O)

Data dan sidik ragam pH larutan debu pada pada jarak 10 – 2000 m dari pantai dapat dilihat pada Tabel 4.8. Hasil analisis statistik terhadap data pH debu menunjukkan bahwa pengaruh jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang tidak terkena tsunami berpengaruh tidak nyata terhadap pH larutan debu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Rata-rata pH Larutan Debu Akibat Bencana Tsunami Jarak (L) Derajat Kemasaman (pH)

L1 (10 m) L2 (500 m) L3 (1000 m) L4 (1500 m) L5 (2000 m)

6.80 6.80 6.78 6.77 6.82

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata (Uji Duncan 5%)

Dari Tabel 4.8 dapat diketahui jarak dari daerah yang terkena tsunami (L1 sampai L3) dengan yang tidak terkena tsunami (L4 dan L5) pada jarak L5 yaitu daerah yang tidak terkena tsunami menunjukkan pH larutan debu tertinggi dan diikuti oleh perlakuan L1 dan L2 (daerah yang terkena tsunami) dan terendah pada jarak L4 tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan yang lainnya (daerah yang terkena dan tidak terkena tsunami).


(51)

Data dan sidik ragam DHL larutan debu pada pada jarak 10 – 2000 m dari pantai dapat dilihat pada Tabel 4.9. Hasil analisis statistik terhadap data DHL debu menunjukkan bahwa pengaruh jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang tidak terkena tsunami berpengaruh tidak nyata terhadap DHL debu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Rata-rata Daya Hantar Listrik Larutan Debu Akibat Bencana Tsunami

Jarak (L) Daya Hantar Listrik (DHL) μmh/cm L1 (10 m)

L2 (500 m) L3 (1000 m) L4 (1500 m) L5 (2000 m)

860.00 a 866.67 a 1143.33 a 10616.67 a

573.33 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata (Uji Duncan 5%)

Dari Tabel 4.9 dapat diketahui jarak dari daerah yang terkena tsunami (L1 sampai L3) dengan yang tidak terkena tsunami (L4 dan L5) pada jarak L4 yaitu daerah yang tidak terkena tsunami menunjukkan DHL larutan debu tertinggi dan diikuti oleh perlakuan L3 (daerah yang terkena tsunami) dan terendah pada jarak L5 tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan yang lainnya (daerah yang terkena dan tidak terkena tsunami).

4.2.3. Residu Terlarut (TDS)

Data dan sidik ragam TDS larutan debu pada pada jarak 10 – 2000 m dari pantai dapat dilihat pada Tabel 4.10. Hasil analisis statistik terhadap data TDS larutan


(52)

debu menunjukkan bahwa pengaruh jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang tidak terkena tsunami berpengaruh tidak nyata terhadap TDS larutan debu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10. Rata-rata Residu Larutan Debu Akibat Bencana Tsunami Jarak (L) Residu Terlarut mg/L

L1 (10 m) L2 (500 m) L3 (1000 m) L4 (1500 m) L5 (2000 m)

294.66 684.45 2034.61 1198.03 1136.94

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata (Uji Duncan 5%)

Dari Tabel 4.10 dapat diketahui jarak dari daerah yang terkena tsunami (L1 sampai L3) dengan yang tidak terkena tsunami (L4 dan L5) pada jarak L3 yaitu daerah yang terkena tsunami menunjukkan TDS larutan debu tertinggi dan diikuti oleh perlakuan L4 (daerah yang tidak terkena tsunami) dan terendah pada jarak L1 tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan yang lainnya (daerah yang terkena dan tidak terkena tsunami).

4.2.4. Residu Tersuspensi (TSS)

Data dan sidik ragam TSS larutan debu pada pada jarak 10 – 2000 m dari pantai dapat dilihat pada Tabel 4.11. Hasil analisis statistik terhadap data TSS larutan debu menunjukkan bahwa pengaruh jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan


(53)

yang tidak terkena tsunami berpengaruh tidak nyata terhadap TSS larutan debu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11. Rata-rata Residu Tersuspensi Larutan Debu Akibat Bencana Tsunami

Jarak (L) Residu Tersuspensi (TSS) mg/L L1 (10 m)

L2 (500 m) L3 (1000 m) L4 (1500 m) L5 (2000 m)

18.72 a 381.91 a 278.51 a 55.89 a 36.29 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata (Uji Duncan 5%)

Dari Tabel 4.11 dapat diketahui jarak dari daerah yang terkena tsunami (L1 sampai L3) dengan yang tidak terkena tsunami (L4 dan L5) pada jarak L2 yaitu daerah yang terkena tsunami menunjukkan TSS debu tertinggi dan diikuti oleh perlakuan L2 (daerah yang terkena tsunami) dan terendah pada jarak L1 juga daerah yang terkena tsunami tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan yang lainnya (daerah yang terkena dan tidak terkena tsunami).

4.2.5. Konsentrasi Timbal (Pb) dalam Debu

Data dan sidik ragam Pb debu pada pada jarak 10 – 2000 m dari pantai dapat dilihat pada Tabel 4.12. Hasil analisis statistik terhadap data Pb dalam debu menunjukkan bahwa pengaruh jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang


(54)

tidak terkena tsunami berpengaruh nyata terhadap konsentrasi Pb dalam debu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12. Rata-rata Konsentasi Timbal dalam Debu Akibat Bencana Tsunami Jarak (L) Konsentrasi Pb (mg/L)

L1 (10 m) L2 (500 m) L3 (1000 m) L4 (1500 m) L5 (2000 m)

0.43 c 0.65 bc

0.97 b 1.17 ab

1.46 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata (Uji Duncan 5%)

Dari Tabel 4.12 dapat diketahui jarak dari daerah yang terkena tsunami (L1 sampai L3) dengan yang tidak terkena tsunami (L4 dan L5) pada jarak L5 yaitu daerah yang tidak terkena tsunami menunjukkan konsentrasi Pb dalam debu tertinggi dan berbeda nyata dengan konsentrasi Pb pada daerah yang terkena tsunami (L1, L2 dan L3), tetapi berbeda tidak nyata dengan L4 dan konsentrasi Pb terendah pada jarak L1.

Berdasarkan hasil analisa regresi dapat diketahui bahwa hubungan jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang tidak terkena tsunami terhadap konsentrasi Pb dinyatakan dengan persamaan regresi linier yaitu = 0.432 + 0.0005L dengan nilai r = 0.9978. Hubungan jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang tidak terkena tsunami terhadap konsentrasi Pb debu dapat dilihat pada Gambar 4.2.


(55)

Y = 0.4232+ 0.0005L r = 0.9978

0.00 0.40 0.80 1.20 1.60

0 500 1000 1500 2000

Jarak dari pantai (m)

K

o

n

s

en

tr

asi

P

b

(m

g

/l

)

Gambar 4.2. Hubungan antara Konsentrasi Pb Debu dengan Jarak dari Daerah yang Terkena dan Tidak Terkena Tsunami

Pada Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa hubungan konsentrasi Pb debu dengan jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang tidak terkena tsunami bersifat linier.

4.2.6. Kadar Debu Jatuh (Dust Fall)

Data dan sidik ragam kadar debu jatuh pada jarak 10 – 2000 m dari pantai dapat dilihat pada Tabel 4.13. Hasil analisis statistik terhadap menunjukkan bahwa pengaruh jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang tidak terkena tsunami berpengaruh tidak nyata terhadap kadar debu jatuh. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.13.


(56)

Tabel 4.13. Rata-rata Kadar Debu Jatuh Akibat Tsunami Jarak (L) Residu Tersuspensi (TSS) mg/L L1 (10 m)

L2 (500 m) L3 (1000 m) L4 (1500 m) L5 (2000 m)

313,38 a 1066,36 a 2313,12 a 1253,92 a 1173,23 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata (Uji Duncan 5%)

Dari Tabel 4.13 dapat diketahui jarak dari daerah yang terkena tsunami (L1 sampai L3) dengan yang tidak terkena tsunami (L4 dan L5) pada jarak L3 yaitu daerah yang terkena tsunami menunjukkan kadar debu jatuh tertinggi dan diikuti oleh perlakuan L4 (daerah yang tidak terkena tsunami) dan terendah pada jarak L1 juga daerah yang terkena tsunami tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan yang lainnya (daerah yang terkena dan tidak terkena tsunami).


(57)

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Derajat Keasaman pada Sampel

Setelah data diolah secara statistik dapat diketahui bahwa daerah yang terkena tsunami berbeda tidak nyata dengan pH larutan debu pada daerah tidak terkena tsunami. Tidak adanya perbedaan pH larutan debu di dua daerah tersebut hal ini diduga bahwa daerah yang terkena tsunami yang dekat pantai walaupun sumber kation basa terutama Na yang bersumber dari air laut pada saat terjadinya tsunami di mana air laut masuk dalam jumlah relatif besar tetapi bila tidak terjadi akumulasi kation basa tersebut di dalam tanah dan tidak membentuk persenyawaan basa tidak dapat merubah pH secara nyata dan diketahui banyak faktor yang mempengaruhi naik turunnya pH tanah yaitu curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan pH tanah menurun akibat terjadinya pencucian kation-kation basa sehingga yang tertinggal adalah kation-kation asam seperti Al dan Fe, secara tidak langsung juga akibat pembakaran tidak sempurna yang mengakibatkan tingginya kadar CO dan bila bereaksi dengan air baik air hujan akan mengakibatnya terbentuknya senyawa asam yang bisa menyebabkan pH tanah juga menurun. Hal ini sejalan dengan pendapat (Hakim, dkk, 1986), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pH tanah adalah macam kation yang terjerap dalam koloid tanah, bila tanah tersebut mengandung natrium lebih tinggi akan menyebabkan nilai pH tanah lebih tinggi walaupun kejenuhan basa tanahnya sama. Hal ini disebabkan oleh koloid yang kaya Na sukar


(58)

mendisosiasikan ion hidrogen sehingga sumbangan ion hidrogen rendah sekali dalam larutan tanah. Bila dilihat rata-rata pH hasil analisa masih termasuk pH yang tidak masam, sedangkan pada umumnya pH tanah di daerah tropis umumnya masam (pH< 6,5) yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan dijumpai pada daerah tropis yang mengakibatkan proses pencucian besar. Kemasaman tanah juga sangat dipengaruhi jenis pupuk yang digunakan bila tanah sering dipupuk dengan pupuk yang bereaksi masam maka pH tanah juga akan semakin masam dan begitu juga sebaliknya.

5.2. Perbedaan Daya Hantar Listrik (DHL)

Daya hantar listrik debu berbeda tidak nyata dengan daya hantar listrik pada daerah yang terkena maupun tidak terkena tsunami. Hal ini diduga bahwa kation-kation basa di daerah yang terkena dan tidak terkena tsunami tingkat akumulasi tidak jauh berbeda. Hal ini kemungkinan disebabkan pada daerah yang terkena tsunami walaupun kation-kation basa terbawa bersamaan dengan air laut, akan tetapi bila proses pencucian tinggi maka kation-kation basa tersebut tidak terakumulasi dalam jumlah yang besar di dalam tanah. Peningkatan daya hantar listrik sejalan dengan peningkatan kation basa di dalam tanah di mana kation basa tersebut dapat bereaksi dengan Cl – dan SO42- membentuk senyawa garam, sehingga daya hantar listrik tanah dapat meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian (Afrida E, 1998 dan pendapat Jacson, 1958 dalam Sutarta, 1990), bahwa dengan penambahan garam NaCl dan KCl ke dalam tanah dapat meningkatkan daya hantar listrik tanah secara nyata dibanding tanpa pemberian NaCl dan KCl dan bila kita bandingkan dengan kadar daya hantar


(59)

listrik tanah menurut Hakim, N, dkk, 1986, bahwa daya hantar listrik tanah pada jarak 1000-1500 m dari daerah pantai tergolong sangat tinggi dan dari titik nol sampai dengan jarak 500 m DHLnya tergolong tinggi, sedangkan pada jarak 2000 m tergolong sedang.

5.3. Perbedaan Residu Terlarut Tersuspensi

Residu terlarut dan tersuspensi berbeda tidak nyata di daerah yang terkena tsunami dan daerah yang tidak terkena tsunami. Hal ini disebabkan bahwa banyaknya residu zat terlarut dan tersuspensi sangat tergantung kepada beberapa faktor yaitu curah hujan dan jenis zat yang dilarutkan. Kita ketahui bahwa pencemaran tanah, udara dan air ada yang berfase padat dan juga ada yang berfase gas. Seperti halnya dengan belerang oksida yang banyak dihasilkan dari pembakaran bahan bakar seperti minyak, bensin dan premium apabila bahan bakar tersebut terbakar akan menghasilkan belerang dioksida yang merupakan oksida yang bersifat masam dan gas tersebut sangat larut dalam air hujan yang bisa mengakibatkan air hujan bersifat masam dan akan berkorelasi dengan pH tanah. Dan ini juga dapat kita hubungkan bahwa tingginya residu terlarut menunjukkan lebih rendah walaupun tidak berbeda nyata dengan yang lainnya. Bila kita bandingkan dengan banyaknya residu yang terlarut di daerah yang terkena tsunami pada jarak 10-5000 m dari pantai jauh lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang terkena tsunami pada jarak 100 m dan pada daerah yang tidak terkena tsunami, hal ini diduga bahwa kandungan debu di daerah yang tidak terkena tsunami lebih banyak zat dalam bentuk terlarut yang berasal dari


(60)

aktivitas transportasi yang jumlah kendaraan roda dua dan empat jauh lebih banyak dan insentif dibandingkan dengan daerah yang terkena tsunami. Sebaliknya kandungan zat yang tersuspensi lebih tinggi di daerah yang terkena tsunami dibanding dengan daerah yang tidak terkena tsunami. Namun demikian melihat tingginya zat yang tersuspensi dan juga DHL yang tinggi akan memberikan peluang yang sangat besar dalam menimbulkan polusi bagi udara, air dan tanah.

5.4. Konsentrasi Timah Hitam (Pb)

Konsentarsi Pb berpengaruh nyata di daerah yang terkena tsunami dengan daerah yang tidak terkena tsunami. Rata-rata konsentrasi Pb tertinggi dijumpai pada daerah yang tidak terkena tsunami. Tingginya konsentrasi Pb dijumpai pada daerah yang tidak terkena tsunami adalah akibat jumlah dan aktivitas kendaraan bermotor jauh lebih banyak dan insentif dijumpai pada daerah yang tidak terkena tsunami. Di mana Pb tersebut paling banyak dihasilkan dari pembakaran kendaraan bermotor. Tinggi rendahnya kadar Pb disuatu lokasi sangat dipengaruhi oleh kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor dan banyaknya aktivitas pembakaran minyak bumi oleh mesin-mesin bermotor. Akibat aktivitas lalu lintas kendaraan yang padat dan aktivitas industri dapat menyebabkan 80% logam berat Pb terdapat dalam atmosfir dalam bentuk terta ethyl lead dan tersebar secara luas dalam biosfer. Senyawa tersebut bersifat mobil, sehingga dapat diserap oleh akar tanaman yang mengakibatkan toksin dan dapat mempengaruhi metabolisme kalsium serta menghalangi kerja sistem enzim (Mengel dan Kirby, 1987).


(61)

Hal ini juga sesuai dengan pendapat Palar (1994), Setiawan (1992) dan Jamal (1988) bahwa sejalan dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya arus transportasi maka penggunaan bensin menjadi meningkat. Pada gilirannya timbal yang dikeluarkan oleh knalpot kendaraan bermotor pun akan meningkat pula. Akan tetapi kepentingan ekonomis dari timbal dan beberapa senyawa memberikan efek fisiologis yang sangat merugikan bagi kehidupan dan kesehatan manusia, tumbuhan dan hewan. Dikuatirkan konsentrasi timbal yang tinggi akibat proses akumulasi di dalam jaringan tumbuhan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang bersifat akut maupun kronis. Di udara kota yang padat lalu lintas kendaraan bermotor konsentrasi timbal yang tinggi dapat menyebabkan polusi udara terutama akibat dari hasil pembakaran bahan bakar besin.

Dari hasil penelitian Supriatno dan Borran, bahwa konsentrasi Pb sangat tinggi dijumpai di daerah Banda Aceh di mana konsentrasi Pb jauh di atas batas normal (0.05 mg/l) yang menyatakan bahwa Kota Banda Aceh kandungan udaranya telah mengandung logam Pb yang sangat tinggi dan apabila hal ini tidak segera diatasi akan mengakibatkan kehidupan yang fatal bagi semua makhluk hidup yang ada di sekitar.

Melihat hasil analisa pH, DHL,TDS,TSS larutan debu dan konsentrasi Pb dalam debu umumnya rata-rata tertinggi kita jumpai pada daerah yang tidak terkena tsunami. Hal ini membuktikan bahwa dampak polusi yang terjadi bukan akibat terjadinya tsunami melainkan akibat adanya gangguan ekosistem dalam periode waktu yang sudah lama, di mana salah satu faktor meningkatnya arus transportasi


(62)

kendaraan bermotor. Tetapi walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan diikuti oleh daerah yang terkena tsunami dan bahkan tingkat polusi juga mungkin bisa lebih tinggi disebabkan dengan telah terjadi tsunami yang mengakibatkan terjadinya endapan lumpur di daerah-daerah yang terkena tsunami. Di mana endapan tersebut akan memacu tingginya polusi udara bila daerah tersebut semakin padat dan juga arus transportasi juga akan meningkat. Untuk itu maka perlu penanganan yang tepat agar masalah tersebut tidak mengganggu kehidupan dan kesehatan manusia.

Sebagaimana halnya dengan pH tanah di mana pH tanah sangat erat kaitannya dengan kelarutan unsur hara tanah, bila pH tanah masam ketersediaan unsur hara akan terbatas sehingga akibatnya pertumbuhan dan produksi tanaman baik tanaman pangan maupun tanaman pelindung akan terganggu, dengan demikian penyerap polutan akan terbatas yang semakin membahayakan keselamatan makhluk hidup yang ada di sekitar lokasi. Tingginya daya hantar listrik atau konsentrasi garam terlarut baik di daerah yang terkena dan tidak terkena tsunami akan mengakibatkan efek yang sangat buruk terhadap makhluk hidup di sekitarnya terutama bagi pertumbuhan tanaman. Bila dari hasil analisa DHL yang diperoleh bahwa tingkat DHL nya dari tinggi sampai sangat tinggi di mana menurut (Hakim, dkk, 1985).

DHL yang demikian digolongkan dalam C3 dan C4 dengan tingkat salinitas yang tinggi sampai sangat tinggi pengunaannya sangat terbatas. Di mana penggunaan tanahnya sangat terbatas dan harus benar-benar permiabilitas tanah harus tinggi dan perlu dilakukan kontrol salinitas yang insentif agar daerah tersebut bisa dilakukan reboisasi untuk mencegah polusi yang semakin meningkat.


(63)

Tingginya konsentrasi zat terlarut dan tersuspensi dan Pb akan berakibat buruk bagi kehidupan makhluk hidup yang ada di sekitar lokasi untuk itu harus dilakukan pengelolaan yang serius dengan menggunakan teknologi akrab lingkungan seperti reboisasi agar polusi dapat ditekan, mengurangi jumlah kendaraan bermotor.

5.5. Kadar Debu Jatuh (Dust Fall)

Dari pengamatan yang dilakukan di lima titik diperoleh data kandungan debu jatuh (dust fall) seperti tersebut dalam hitungan di bawah ini:

Luas Diamater Corong

2 2 2 m 0,0177 10000 177 cm 177 7,5 x 7 22 = = = Minggu I

Titik 1. 0,0533g/m /hari 1000

mg/l/hari 53,285

10 mg/l

532,85 = = 2

Titik 2. 0,1812g/m /hari 1000

mg/l/hari 181,113

mg/l

1811,13 = = 2

Titik 3. 0,5873g/m /hari 1000

mg/l/hari 587,23

mg/l 3

5872, = = 2

Titik 4. 0,1229g/m /hari 1000

mg/l/hari 122,888

mg/l

1228,88 = = 2

Titik 5. 0,1829g/m /hari 1000

mg/l/hari 182,922

mg/l


(64)

Minggu II

Titik 1. 0,0205g/m /hari 1000 mg/l/hari 20,456 10 mg/l 204,56 2 = =

Titik 2. 0,1275g/m /hari 1000 mg/l/hari 127,445 10 mg/l 1274,45 2 = =

Titik 3. 0,1003g/m /hari 1000

mg/l/hari 100,246

10 mg/l

1002,46 = = 2

Titik 4. 0,03368g/m /hari 1000

mg/l/hari 36,793

10 mg/l

367,93 = = 2

Titik 5. 0,0295g/m /hari 1000

mg/l/hari 29,412

10 mg/l

294,12 = = 2

Minggu III

Titik 1. 0,0203g/m /hari 1000

mg/l/hari 20,272

10 mg/l

202,72 = = 2

Titik 2. 0,0012g/m /hari 1000 mg/l/hari 1,135 10 mg/l 11,35 2 = =

Titik 3. 0,0065g/m /hari 1000 mg/l/hari 6,46 10 mg/l 64,6 2 = =

Titik 4. 0,2145g/m /hari 1000

mg/l/hari 214,497

10 mg/l

2144,97 = = 2

Titik 5. 0,1396g/m /hari 1000

mg/l/hari 139,645

10 mg/l

1396,45 = = 2

Berdasarkan hasil perhitungan di atas diperoleh bahwa kandungan debu jatuh dari berbagai waktu pemaparan dan ada lima lokasi penelitian menunjukkan


(65)

perbedaan yang sangat nyata. Terlihat bahwa udara dipenuhi oleh debu yang kadarnya ada yang melebihi baku mutu yang ditetapkan pada PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yaitu pada daerah pemukiman sebesar 10 ton/km2/bulan dan bila baku mutu dikonversi dalam satuan g/m2/hari yaitu sebesar 0,333 g/m2/hari.

Kandungan debu jatuh (dust fall) yang paling tinggi terjadi pada titik 3 yaitu Jalan T. Nyak Arif (Simpang Prada) pada Minggu I yaitu sebesar 0,5873 g/m2/hari berarti telah melewati ambang batas untuk daerah pemukiman yaitu sebesar 0,333 g/m2/hari. Besarnya kandungan debu jatuh pada daerah tersebut disebabkan pada waktu pengambilan sampel sepuluh hari pertama tidak ada turun hujan sehingga kadar debu cukup tinggi.

Di mana daerah tersebut juga daerah yang terkena tsunami sehingga banyak daerah terbuka dan banyak pohon pelindung yang hilang menyebabkan kadar debu cukup tinggi.

Kandungan debu jatuh di Simpang Prada pada Minggu II yaitu 0,1003 g/m2/hari pada Minggu ke II ini kadar debu tidak melebihi ambang batas dikarenakan curah hujan pada Minggu II cukup tinggi sehingga kadar debu berkurang.

5.6. Pemanfaatan Taman Penanggulangan Debu Udara

Luas hutan Kota Banda Aceh hanya 3,14 km setara dengan 5,18% dari 61,36 km seluruh luas wilayah Kota Banda Aceh. Padahal berdasarkan Undang-Undang


(66)

Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan Wilayah, kota harus memiliki 30% ruang terbuka hijau.

Daun penghijauan yang terpapar pada waktu tertentu akan dapat dijadikan sebagai indikator besarnya akumulasi timbal yang dihasilkan oleh aktivitas kendaraan bermotor pada suatu tempat tertentu.

Secara alamiah timah hitam ditemukan di dalam tanah dalam jumlah yang relatif sedikit, timah hitam masuk ke atmosfir terutama bersumber dari kendaraan bermotor kadar maksimum Pb di udara ambien sehingga tidak mengganggu kesehatan manusia adalah 0,06 mg/m3 (Manik, 2007).

Untuk 20 (dua puluh) kota besar di Indonesia diantaranya Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan lain-lain tahun 2005 kadar Pb di udara mencapai 0,133 g/L jauh diambang batas yang telah ditetapkan.

Penelitian Boiran (2003), menyebutkan bahwa jalan-jalan Kota Banda Aceh terutama Jalan Protokol secara relatif mempunyai kepadatan lalu lintas yang tinggi seperti Jalan Teuku Daud Beureueh dan T. Panglima Polem. Dengan demikian kadar logam Pb yang dapat diukur pada ruas jalan tersebut telah melebihi ambang batas yaitu 0,18 mg/m3. Untuk mengatasi pencemaran timah hitam tersebut diperlukan pohon penghijauan agar kadar Pb tetap terkendali. Dari penelitian yang dilakukan daun Asam Jawa terdapat kadar logam Pb 2,31, Angsana 1,204, Mahoni 0,816 dan paling rendah Pulai yaitu 0,729. Untuk menyerap kadar Pb yang diteliti pada daun masing-masing tersebut.


(67)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya dapat disimpukan sebagai berikut:

1. Ada hubungan kandungan timbal yang terkena tsunami dengan daerah yang tidak terkena tsunami kandungan timbalnya jauh lebih tinggi pada daerah yang tidak terkena tsunami pada minggu 1 pada titik 2 sebesar 0,583 mg/l, sedangkan pada titik 5 pada minggu 1 sebesar 1,309 mg/l, ini dipengaruhi oleh kenderaan bermotor yang melewati titik 5 tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan yang melewati titik 1.

2. Di lima lokasi penelitian menunjukkan kadar debu jatuh yang cukup tinggi dan telah melampaui baku mutu yang telah ditetapkan oleh PP No. 41 Tahun 1999, tentang pencemaran udara, kandungan debu yang paling tinggi terdapat pada minggu pertama titik 3 yaitu sebesar 0,5873 g/m2/hari, sedangkan ambang batas adalah sebesar 0,333 g/m2/hari. Kandungan debu yang tertinggi ini pada titik 3, Simpang Prada Jl. T. Nyak Arif, hal ini disebabkan pada saat penelitian rekonstruksi dan rehabilitasi sedang berlangsung mengakibatkan kadar debu cukup tinggi, pohon pelindung untuk mengurangi debu banyak yang hilang, dan penutup tanah rumput juga hilang ditambah arus transportasi yang juga tinggi mengakibatkan kadar debu jatuh tinggi.


(1)

Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan Wilayah, kota harus memiliki 30% ruang terbuka hijau.

Daun penghijauan yang terpapar pada waktu tertentu akan dapat dijadikan sebagai indikator besarnya akumulasi timbal yang dihasilkan oleh aktivitas kendaraan bermotor pada suatu tempat tertentu.

Secara alamiah timah hitam ditemukan di dalam tanah dalam jumlah yang relatif sedikit, timah hitam masuk ke atmosfir terutama bersumber dari kendaraan bermotor kadar maksimum Pb di udara ambien sehingga tidak mengganggu kesehatan manusia adalah 0,06 mg/m3 (Manik, 2007).

Untuk 20 (dua puluh) kota besar di Indonesia diantaranya Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan lain-lain tahun 2005 kadar Pb di udara mencapai 0,133 g/L jauh diambang batas yang telah ditetapkan.

Penelitian Boiran (2003), menyebutkan bahwa jalan-jalan Kota Banda Aceh terutama Jalan Protokol secara relatif mempunyai kepadatan lalu lintas yang tinggi seperti Jalan Teuku Daud Beureueh dan T. Panglima Polem. Dengan demikian kadar logam Pb yang dapat diukur pada ruas jalan tersebut telah melebihi ambang batas yaitu 0,18 mg/m3. Untuk mengatasi pencemaran timah hitam tersebut diperlukan pohon penghijauan agar kadar Pb tetap terkendali. Dari penelitian yang dilakukan daun Asam Jawa terdapat kadar logam Pb 2,31, Angsana 1,204, Mahoni 0,816 dan paling rendah Pulai yaitu 0,729. Untuk menyerap kadar Pb yang diteliti pada daun masing-masing tersebut.


(2)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya dapat disimpukan sebagai berikut:

1. Ada hubungan kandungan timbal yang terkena tsunami dengan daerah yang tidak terkena tsunami kandungan timbalnya jauh lebih tinggi pada daerah yang tidak terkena tsunami pada minggu 1 pada titik 2 sebesar 0,583 mg/l, sedangkan pada titik 5 pada minggu 1 sebesar 1,309 mg/l, ini dipengaruhi oleh kenderaan bermotor yang melewati titik 5 tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan yang melewati titik 1.

2. Di lima lokasi penelitian menunjukkan kadar debu jatuh yang cukup tinggi dan telah melampaui baku mutu yang telah ditetapkan oleh PP No. 41 Tahun 1999, tentang pencemaran udara, kandungan debu yang paling tinggi terdapat pada minggu pertama titik 3 yaitu sebesar 0,5873 g/m2/hari, sedangkan ambang batas adalah sebesar 0,333 g/m2/hari. Kandungan debu yang tertinggi ini pada titik 3, Simpang Prada Jl. T. Nyak Arif, hal ini disebabkan pada saat penelitian rekonstruksi dan rehabilitasi sedang berlangsung mengakibatkan kadar debu cukup tinggi, pohon pelindung untuk mengurangi debu banyak yang hilang, dan penutup tanah rumput juga hilang ditambah arus transportasi yang juga tinggi mengakibatkan kadar debu jatuh tinggi.


(3)

3. Kandungan Parameter PH, DHL, TDS dan TSS dalam larutan debu berdasarkan lokasi dan waktu pengamatan menunjukkan perbedaan tidak nyata.

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut:

1. Agar Pemerintah membatasi jumlah kendaraan bermotor yang tidak layak uji petik tidak diijinkan untuk operasional di jalan raya di mana kendaraan bermotor merupakan penyumbang polutan terbesar 60% emisi timbal di udara ambien. 2. Agar Pemerintah Kota Banda Aceh menambah ruang terbuka hijau minimal

30% dari luas kota sehingga mampu menyerap kadar debu maupun partikulate yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dalam jumlah relatif besar.

3. Sepanjang jalan diberikan penghijauan menanam pohon yang mampu menyerap kadar Pb seperti Asam Jawa, Angsana, Mahoni dan Pulai yang terbukti mampu menyerap kadar Pb yang cukup tinggi.

4. Daerah yang terkena tsunami yang banyak pohonnya hilang dan tumbuhan penutup tanah yang juga tergerus agar dilakukan penghijauan dan pemerintah membagikan bibit pohon pada masyarakat untuk mengatasi polusi udara di daerah pemukiman penduduk.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Afrida E. 1998. Respon NaCl dan Kcl terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi.

Tesis. Sekolah Pascasarjana USU. Medan.

Ahmadi U.F. 1983. Pencemaran Udara di Indonesia. Jakarta.

Azhar C. 2006. Dampak Pembangunan pada Kualitas Udara. PSKLH IAIN Sumatera Utara.

BPS dan Perencanaan Pembangunan Daerah NAD. 2008. Aceh dalam angka.

Cahaya I.S. 2005. Dampak Emisi Gas Buangan terhadap Kesehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU. Medan.

Chandra B. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Ebc. Jakarta.

Dinas Pertanaman dan Kebersihan, 2008.

Elektro Indonesia. 2007. Diversifikasi Energi Sebagai Usaha Penyelamatan Lingkungan, http/www.elektro indonesia com. Elektro/energi 11 html.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kamisul. Yogyakarta.

Hakim. N. A.M.Y, Nyapka A.M. Lubis S.G. Nugroho M .K. Saul. M, Diha A, 60 Ban Hong, Barley. H.H. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.

Hanafiah K.A. 2005. Rancangan Percobaan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Hirsh T.B. 2006. Udara dan Kesehatan Anda. Bhuana Ilmu Populer. Gramedia. Jakarta.

Irwan Z.D. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Bumi Aksara. Jakarta.


(5)

Jajak MD. 2005. Hidup Sehat Polusi No Nutrisi. Harapan Baru Raya. Jakarta.

Jamal, L. 1988. Penentuan Timbal Secara Spektroskopi. Skripsi. FMIPA. ITB. Bandung.

Manik, Sontang dan Karden E. 2007. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan. Jakarta.

Margono S. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta.

Martono H. 2007. Kandungan TSP dan PM10 di Udara Jakarta dan Sekitarnya.

http/www/ekologi litbang Dep.Kes.

Mengel, K dan E. A. Kirby. 1987. Principles of Plant Nutrition. International Potash Institute. Switzerland.

Muhadhar. S. 2002. Dampak Pencemaran Udara Bagi Kesehatan Masyarakat. ASDEP Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Ningsih M. R. 2006. PDRB. Hijau. BPFE. Yogyakarta.

Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Udara Ambien

Nasional.

Sastrawijaya A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.

Setiawan, T. 1992. Pengaruh Polusi Asap Pabrik terhadap Kesehatan Lingkungan. Jurnal PSL Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia. Vol. 12 No.4: 217-228.

Soedjono. 1991. Pengawasan Pencemaran Lingkungan Fisik. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Supernado M. 2006. Panduan dan Analisis Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. BPFE. Yogyakarta.

Supriatno dan Boiran. 2003. Analisis Timbal Secara Spektroskopi Serapan Atom pada Daun Tanaman Penghijauan di Sepanjang Jalur Hijau dalam Kota Banda Aceh. Jurnal Rona Lingkungan Hidup Vol. 2 No. 2: 24-29.


(6)

Susanto. 2006. Studi Penggunaan Kualitas Sebagai Katalistik Conventer untuk Mereduksi Emisi CO. Jurusan Kimia ITS Surabaya. http/www/dan lingkungan. BPFE. Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset. Yogyakarta. Wicaksana, A.E. 2002. Mekanisme Pencemaran Udara dan Karakteristik Bahan