Diagram Fasor dan Reaktansi Sinkron
4.2.1. Diagram Fasor dan Reaktansi Sinkron
Kita ingat bahwa pada transformator besaran-besaran tegangan, arus, dan fluksi, semuanya merupakan besaran-besaran yang berubah secara sinusoidal terhadap waktu dengan frekuensi yang sama sehingga tidak terjadi kesulitan menyatakannya sebagai fasor. Pada mesin sinkron, hanya tegangan dan arus yang merupakan fungsi sinus terhadap waktu; fluksi rotor, walaupun ia merupakan fungsi sinus tetapi tidak terhadap waktu tetapi terhadap posisi sehingga tak dapat ditentukan frekuensinya. Menurut konsep fasor, kita dapat menyatakan besaran-besaran ke dalam fasor jika besaran-besaran tersebut berbentuk sinus dan berfrekuensi sama. Oleh karena itu kita harus mencari cara yang dapat membuat fluksi rotor dinyatakan sebagai fasor. Hal ini mungkin dilakukan jika kita tidak melihat fluksi rotor sebagai dirinya sendiri melainkan melihatnya dari sisi belitan jangkar. Walaupun fluksi rotor hanya merupakan fungsi posisi, tetapi ia dibawa berputar oleh rotor dan oleh karena itu belitan jangkar melihatnya sebagai fluksi yang berubah terhadap waktu. Justru karena itulah terjadi tegangan imbas pada belitan jangkar sesuai dengan hukum Faraday. Dan sudah barang tentu frekuensi tegangan imbas di belitan jangkar sama dengan frekuensi fluksi yang dilihat oleh belitan jangkar.
Kita misalkan generator dibebani dengan beban induktif sehingga arus jangkar tertinggal dari tegangan jangkar.
sumbu sumbu
e maks
i maks S S
(a) a 1 (b ) a 1 sumbu magnet sumbu magnet
Gb.4.5. Posisi rotor pada saat e maks dan i maks .
Gb.4.5.a. menunjukkan posisi rotor pada saat imbas tegangan di
aa 1 maksimum. Hal ini dapat kita mengerti karena pada saat itu kerapatan fluksi magnetik di hadapan sisi belitan a dan a 1 adalah maksimum. Perhatikanlah bahwa pada saat itu fluksi magnetik yang dilingkupi oleh belitan aa 1 adalah minimum. Sementara itu arus di belitan aa 1 belum maksimum karena beban induktif. Pada saat arus mencapai nilai maksimum posisi rotor telah berubah seperti terlihat pada Gb.4.5.b.
Karena pada mesin dua kutub sudut mekanis sama dengan sudut magnetis, maka beda fasa antara tegangan dan arus jangkar sama dengan pegeseran rotasi rotor, yaitu θ . Arus jangkar memberikan mmf jangkar yang membangkitkan medan magnetik lawan yang akan memperlemah fluksi rotor. Karena adanya reaksi jangkar ini maka arus eksitasi haruslah sedemikian rupa sehingga tegangan keluaran mesin dipertahankan.
Catatan : Pada mesin rotor silindris mmf jangkar mengalami reluktansi magnetik yang sama dengan yang dialami oleh mmf rotor. Hal ini berbeda dengan mesin kutub menonjol yang akan membuat analisis mesin kutub menonjol memerlukan cara khusus sehingga kita menunda pembahasannya.
Diagram fasor (Gb.4.6) kita gambarkan dengan ketentuan berikut
1. Diagram fasor dibuat per fasa dengan pembebanan induktif.
2. Tegangan terminal V a dan arus jangkar I a adalah nominal.
3. Tegangan imbas digambarkan sebagai tegangan naik; jadi o tegangan
90 dari fluksi yang membangkitkannya.
imbas
tertinggal
4. Belitan jangkar mempunyai reaktansi bocor X l dan resistansi R a .
5. Mmf (fluksi) dinyatakan dalam arus ekivalen. Dengan mengambil tegangan terminal jangkar V a sebagai
referensi, arus jangkar I a tertinggal dengan sudut θ dari V a (beban induktif). Tegangan imbas pada jangkar adalah
E a = V a + I a ( R a + jX l ) (4.15)
172 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Tegangan imbas E a ini harus dibangkitkan oleh fluksi celah udara
yang dinyatakan dengan arus ekivalen o I
fa yang 90 mendahului
E a . Arus jangkar I a memberikan fluksi lawan dari jangkar yang dinyatakan dengan arus ekivalen I φ a . Jadi fluksi dalam celah udara merupakan jumlah dari fluksi rotor Φ f yang dinyatakan dengan arus ekivalen I f dan fluksi jangkar. Jadi
I fa = I f + I φ a atau
I f = I fa − I φ a (4.16) Dengan perkataan lain arus eksitasi rotor I f haruslah cukup untuk
membangkitkan fluksi celah udara guna membangkitkan E a dan mengatasi fluksi lawan jangkar agar tegangan terbangkit E a dapat dipertahankan. Perhatikan Gb.4.6: I f membangkitkan tegangan
E yang 90 f o di belakang I f dan lebih besar dari E a .
I f = I fa − I φ a
I fa γ E a
− I φ a θ V jI a X a l
Gb.4.6. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris.
Hubungan antara nilai E a dan I fa diperoleh dari karakteristik celah udara, sedangkan antara nilai I a dan I φ a diperoleh dari
karakteristik hubung singkat. Dari karakteristik tersebut, seperti terlihat pada Gb.17.4., dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan
E a = k v I fa dan I a = k i I φ a atau 173
I fa = E a / k v dan I φ a = I a / k i (4.17) dengan k v dan k i adalah konstanta yang diperoleh dari kemiringan
kurva Gb.17.4. Dari (4.7) dan Gb.17.6. kita peroleh
∠ ( 180 f o fa φ a − θ )
k i (4.18)
Dari (4.18) kita peroleh E f yaitu
E a aa a = − jk v I f = − jk v j ∠ γ − ∠ − θ
k i (4.19)
k i Suku kedua (4.19) dapat kita tulis sebagai jX φ a I a dengan k
X φ v a = (4.20) k i
yang disebut reaktansi reaksi jangkar karena suku ini timbul akibat adanya reaksi jangkar. Selanjutnya (4.19) dapat ditulis
E f = E a + jX φ a I a = V a + I a ( R a + jX l ) + jX φ a I a
= V a + I a ( R a + jX a )
dengan X a = X l + X φ a yang disebut reaktansi sinkron. Diagram fasor Gb.4.6. kita gambarkan sekali lagi menjadi Gb.4.7.
untuk memperlihatkan peran reaktansi reaksi jangkar dan reaktansi sinkron.
Perhatikanlah bahwa pengertian reaktansi sinkron kita turunkan dengan memanfaatkan karakteristik celah udara, yaitu karakteristik linier dengan menganggap rangkaian magnetik tidak jenuh. Oleh karena itu reaktansi tersebut biasa disebut reaktansi sinkron tak jenuh.
174 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (3)
Gb.4.7. Diagram fasor mesin sinkron rotor silindris; reaktansi reaksi jangkar (X φ a ) dan reaktansi sinkron (X a ).