Tingkat Sosial Kemasyarakatan Analisis Kapasitas dan Kerentanan Masyarakat Di Gununglurah

96 mencari tambahan penghasilan saat tenaga mereka tidak dibutuhkan yakni dengan menjadi buruh bangunan di kota. Adapun kaum perempuan lebih banyak di rumah mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga sehari-hari sambil membantu kepala keluarga dengan repek memotong ranting kayu di hutan untuk keperluan kayu bakar. Kebutuhan akan kayu kering sebagai bahan bakar industri gula kelapa di kota cukup tinggi, sehingga sebagian masyarakat melakukan aktivitas yang tidak menjaga lingkungan dengan menebang batang kayu guna pemenuhan kebutuhan keluarga seperti terlihat pada Gambar 4.6 di depan. Banyaknya penduduk yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah mengakibatkan kapasitas masyarakat menjadi rendah. Selain itu, kebutuhan akan kayu kering untuk bahan bakar akan mengintensifkan masyarakat melakukan repek di kawasan hutan sehingga dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan lingkungan. Hal ini mengakibatkan tingkat kerentanan masyarakat menjadi tinggi. Mengingat hal tersebut diatas perlu upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat khususnya dengan tidak mengganggu keseimbangan alam seperti kelompok arisan simpan pinjam, kelompok tani hutan, kelopok kerajinan dan sebagainya, Mubyarto 1994.

4.2.5. Tingkat Sosial Kemasyarakatan

Analisis sosial kemasyarakatan, dilihat dari tingkat sosial masyarakat dalam berkehidupan sehari-hari maupun dalam berinteraksi antar sesama masyarakat. Kehidupan sosial kemasyarakatan dari masyarakat di daerah penelitian masih cukup tinggi, hal ini dicirikan dengan guyupnya masyarakat desa 97 dalam melaksanakan gotong royong untuk keperluan kampung, termasuk gotong royong untuk keperluan masyarakat setempat yang terkena musibah bencana tanah longsor seperti terlihat pada Gambar 4.9. Media yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk memanggil masyarakat untuk melaksanakan kegiatan kerja bakti cukup hanya berupa kentongan, dimana alat tersebut sudah lama dikenal oleh masyarakat setempat. “Budaya gotong royong masih berjalan baik dengan menggunakan mediasi alat tradisional berupa kentongan, demikian pula dengan masyarakat setempat yang mempunyai hajatan. Namun dengan adanya program pemerintah berupa Jaring Pengaman Sosial JPS dalam bentuk Program Padat Karya yang pernah dilaksanakan beberapa tahun yang lalu, apalagi dengan adanya program Bantuan Langsung Tunai BLT sekarang ini, kegiatan gotong royong sedikit mengalami kemunduran karena yang tidak seluruh masyarakat Gununglurah menjadi sasaran dari program tersebut”, TSM.W.13.06. Gambar 4.9. Foto tingkat sosial masyarakat dalam gotong royong membantu korban tanah longsor. Difoto dari Grumbul Karangklesem LP 08 Gambar 4.10. Foto pembuatan talud untuk mengurangi kejadian tanah longsor. Difoto dari Grumbul Bumiwastu LP 03 Sumber : Dokumentasi Disairtamben 2007 dan Observasi lapangan 2008 Kondisi tingkat sosial kemasyarakatan yang masih berjalan dengan baik sangat memungkinkan untuk saling berinteraksi antar masyarakat dan budaya gotong royong yang masih berlaku akan dapat membantu masyarakat dan mengurangi beban dari korban bencana tanah longsor. Sosial kemasyarakatan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kapasitas dan 98 kerentanan masyarakat di daerah penelitian. Tingginya tingkat sosial kemasyarakatan yang ada dalam bentuk kegiatan gotong royong yang masih dilakukan akan mengakibatkan tingkat kerentanan masyarakat menjadi rendah. Gotong royong yaitu suatu bentuk kerjasama antar warga desa untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan umum. Gotong royong merupakan proses sosial yang bersifat assosiatif dengan model kerjasama, Ibrahim 2003. Namun dengan adanya program pemerintah berupa Jaringan Pengaman Sosial yang dirasakan beberapa masyarakat telah menciptakan kesenjangan sosial yang baru. Mengingat hal tersebut diperlukan upaya agar dapat mengurangi kesenjangan sosial karena akan dapat meningkatkan kerentanan yang ada pada masyarakat di daerah penelitian.

4.2.6. Tingkat Pemahaman Masyarakat terhadap Kondisi Lingkungan