Kemampuan Lahan dalam Mendukung Pemanfaatan Lahan

38 Disamping itu vegetasi akan menghasilkan seresah yang akan menjaga kelembaban tanah, sehingga pembentukan retakan pada tanah dapat terkendali. Dengan berkurangnya retakan pada tanah lempungan maka air yang masuk menjadi berkurang dengan demikian lereng menjadi lebih stabil. Tutupan lahan oleh vegetasi dengan segala bentuknya dapat mempengaruhi aliran air pada suatu lereng. Tutupan vegetasi tersebut dapat berupa hutan alami, vegetasi yang dibudidayakan, vegetasi sebagai tanaman pagar atau vegetasi monokultur misalnya hutan tanaman industri. Pengaruh vegetasi pada hidrologi lereng adalah sebagai berikut : a. Menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah dapat dikurangi; b. Menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi; c. Penyerapan air kedalam tanah diperkuat oleh transpirasi melalui vegetasi.

2.3. Kemampuan Lahan dalam Mendukung Pemanfaatan Lahan

Kemampuan lahan merupakan kapasitas lahan untuk dapat berproduksi secara optimal tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka waktu panjang. Kemampuan lahan diartikan sebagai pengklasifikasian tanah yang didasarkan pada faktor penghambat kerusakan tanah yang bersifat permanen. Suripin 2002 membagi kemampuan lahan ke dalam klasifikasi teknis, yaitu klasifikasi lahan yang didasarkan pada sifat lahan yang berpengaruh pada kemampuan tanah untuk penggunaan kegiatan tertentu. Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan akan menciptakan pemanfaatan ruang yang tepat guna dan berhasil guna. 39 TABEL II.9 KRITERIA KELAS KEMAMPUAN LAHAN NO KELAS TANAH FUNGSI KRITERIA 1 2 3 4 1 Kelas I Punya sedikit faktor pembatas yang bersifat tetap, begitu juga dengan resiko kerusakan. Tanah ini bisa dimanfaatkan untuk usaha pertanian dan non pertanian ¾ Topografi datar ¾ Drainase baik – agak baik ¾ Kedalaman tanah 90 cm ¾ Bahaya erosi tidak ada ¾ Tekstur tanah agak halus – sedang 2 Kelas II Punya kendala yang bersifat moderat. Kelas ini walaupun tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian intensif namun bisa digunakan untuk berbagai kegiatan ¾ Topografi landai ¾ Drainase agak buruk ¾ Kedalaman tanah 90 cm ¾ Bahaya erosi ringan ¾ Tekstur tanah halus – agak kasar 3 Kelas III Kelas lahan ini hanya bisa dimanfaatkan untuk usaha pertanian sedang disertai usaha dengan kemungkinan untuk diusahakan dengan penggunaan yang lain ¾ Topografi bergelombang ¾ Drainase buruk ¾ Kedalaman tanah 50 - 90 cm ¾ Bahaya erosi ringan ¾ Tekstur tanah halus – agak kasar 4 Kelas IV Punya faktor pembatas lebih banyak. Kelas ini masih bisa dimanfaatkan untuk pertanian semusim disertai dengan usaha konservasi tanah yang intensif ¾ Topografi miring berbukit ¾ Drainase sangat buruk ¾ Kedalaman tanah 25 - 50 cm ¾ Bahaya erosi sedang ¾ Tekstur tanah halus – agak kasar 5 Kelas V Kelas lahan ini tidak dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian semusim, namun dapat diusahakan untuk kegiatan non pertanian ¾ Topografi miring berbukit ¾ Drainase sangat buruk ¾ Kedalaman tanah 25 - 50 cm ¾ Bahaya erosi sedang ¾ Tekstur tanah halus – agak kasar 6 Kelas VI Kelas lahan ini tidak cocok untuk pertanian semusim, namun cocock untuk penggembalaan dan cagar alam ¾ Topografi agak curam ¾ Drainase sangat buruk ¾ Kedalaman tanah 25 cm ¾ Bahaya erosi berat ¾ Tekstur tanah halus – agak kasar 7 Kelas VII Kelas lahan ini harus dipertahankan dengan vegetasi permanen namun dapat dimanfaatkan sebagai hutan produksi dengan perlakukan khusus ¾ Topografi curam ¾ Drainase sangat buruk ¾ Kedalaman tanah 25 cm ¾ Bahaya erosi sangat berat ¾ Tekstur tanah halus – agak kasar 8 Kelas VIII Kelas lahan ini harus dibiarkan secara alami dan cocok untuk cagar alami ¾ Topografi sangat curam ¾ Drainase sangat buruk ¾ Kedalaman tanah 25 cm ¾ Bahaya erosi sangat berat ¾ Tekstur tanah kasar Sumber: Rahim 2000 40 Rahim 2000 membagi kelas kemampuan lahan yang didasarkan pada kondisi fisik alam yang menunjukkan kesesuaian pada penggunaan lahan di atasnya. Pembagian kelas kemampuan lahan tersebut terbagi menjadi 8 delapan kelas, seperti terlihat di Tabel II.9.

2.4. Kapasitas dan Kerentanan Masyarakat