Menghitung Amal Diri

Menghitung Amal Diri

Hasibu anfusakum qabla antuhasabu, hitunglah amalmu sendiri sebelum dihitung.

Di dalam hidup ini, salah satu pekerjaan mulia yang cukup sulit dilakukan adalah menghisab, menghitung-hitung amal perbuatan diri sendiri. Kita lebih sering melakukan hal yang lebih gampang yaitu menghitung amal perbuatan orang-orang di sekeliling kita. Kita lebih banyak menghitung-hitung perbuatan orang lain yang celakanya sering dilanjutkan dengan mencari-cari kesalahan perbuatan, hasil kerja maupun ibadah orang lain tersebut sekedar memuaskan nafsu kita untuk membesarkan diri sendiri. Narsisisme, pemujaan terhadap diri sendiri secara tidak sengaja kita biarkan tumbuh subur bersemayam di dalam diri. Padahal kalau dibiarkan, cepat atau lambat sifat egosentris, menganggap diri sendiri sebagai titik pusat akan semakin dominan. Semua yang hebat adalah aku dan orang lain adalah tempat yang pantas untuk setiap kekurangan.

Sifat membesarkan diri sendiri ini akan mudah terlihat apabila sudah terbentuk dalam perilaku. Tentu saja perilaku ini berbahaya, membahayakan iman Islam. Akan tetapi sebenarnya yang lebih berbahaya adalah perasaan besar diri yang diam-diam, tak terlihat dan tak terucapkan. Nun jauh di dalam hati, kita sering membenarkan diri sambil menunjukkan kesalahan dan kekurangan orang. Juga dengan cara diam-diam tak terucapkan. Sungguh perilaku membesarkan diri baik terang-terangan dalam kesombongan atau dengan diam ini menyebabkan kita mudah terkena sindirian oleh ungkapan kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak. Inilah hati yang sedang bermaksiat kepada Allah.

Mungkin suatu ketika kita kebetulan mendapatkan kesempatan melakukan hal yang sama dengan salah seorang rekan kita. Setelah sama-sama menyelesaikan kerja tersebut maka secara naluri kita akan cenderung ‘mengangkat-angkat’ hasil kerja kita. Ini mungkin masih dalam batas kewajaran. Yang tidak wajar kemudian adalah perasaan yang lebih jauh mengikuti jebakan syaitan untuk merendahkan hasil kerja rekan tersebut. Yang lebih lucu lagi, kalau pun ternyata hasil kita lebih buruk dari hasil rekan kita itu, kita akan berusaha mencari pembenaran diri, menyalahkan sana- sini. Seringkali perilaku kita persis seperti orang yang menyalahkan cermin gara-gara buruk muka sendiri.

Shahabat Umar bin Khattab radiallahu ‘anhu, semoga Allah meridhoinya, suatu kali pernah memberikan panduan untuk hal ini dengan ungkapan yang terkenal Hasibu anfusakum qabla Shahabat Umar bin Khattab radiallahu ‘anhu, semoga Allah meridhoinya, suatu kali pernah memberikan panduan untuk hal ini dengan ungkapan yang terkenal Hasibu anfusakum qabla

Sebagai sebuah jalan hidup, Islam sangat memperhatikan hal ini. Bahkan perilaku yang mengangkat-angkat diri sendiri, takjub terhadap keakuan sendiri ini dimasukkan dalam kategori dosa. Inilah ujub, merasa heran dan takjub pada diri sendiri. Dan perilaku berikutnya, yang membesarkan diri sendiri kemudian menganggap kecil orang lain adalah takabur. Takabur dan sombong ini adalah perilaku syaitan dan perilaku Fir’aun beserta pembesar-pembesar kaumnya (Qs. Al Mukminun [23]: 46). Obat mujarab untuk hal ini adalah kesadaran bahwa predikat besar dengan segala kemahabesarannya hanyalah pantas disandingkan kepada zat pemilik kebesaran itu. Predikat besar hanyalah milik Allah. Demikian juga yang pantas dibesarkan dengan segala kebesaran hanyalah Allah. Inilah kesadaran yang harus secara mendalam ditanamkan di dasar hati. Dan kesadaran ini baru bisa tumbuh apabila kita sudah benar-benar berhasil mendirikan sholat. Karena ibadah sholat adalah manifestasi penghambaan diri di hadapan zat yang Maha Besar. Allahu Akbar, Allah Maha besar dan sungguh hanya Allahlah yang pantas menyandang sifat-sifat kebesaran.

Terakhir, Allah SWT mengkritik orang-orang yang suka membesar-besarkan diri, berjalan di muka bumi dalam kesombongan, menganggap orang lain tempat bersarangnya kesalahan dan lain-lain sifat sombong, dengan ungkapan yang sangat menggelitik kesadaran kita. Allah menegaskan bahwa sebagaimanapun tingginya kita, sekali-kali kita tidak akan sampai setinggi gunung. (QS. Al Isra’ [17]:37)

Marilah kita banyak-banyak melihat kembali diri sendiri, menghisab diri sendiri untuk menghindari diri agar jangan terjebak dalam sifat-sifat ujub, takabur, membesarkan diri sendiri dan kemudian mengecilkan orang lain.

Billahittaufiq Wal Hidayah Sumbawa, 12 Juni 2002