Tak Pernah Kecewa Berdoa

Tak Pernah Kecewa Berdoa

Surat Maryam (QS. 19) diawali dengan munajat seorang hamba yang juga adalah Rasul Allah, yaitu Nabi Zakaria ‘alaihissalam. Munajat ini beliau sampaikan ketika beliau merasa khawatir karena di usia yang sudah tua, tulang yang semakin lemah dan uban yang semakin banyak di kepala, belum juga ada keturunan yang akan melanjutkan garis perjuangan. Dengan suara yang lembut beliau bermunajat, "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku, ya Tuhanku, belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada-Mu. (QS. Maryam [19]: 4)

Dengan penuh rasa kedekatan kepada Ilahi, nabi Zakaria ‘alaihissalam melanjutkan doanya, mengungkapkan semua isi hatinya kepada Allah, Sang Pengabul Doa:

Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalanku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub, dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhoi". (QS. Maryam [19]: 5-6)

Di akhir riwayat mengenai nabi Zakaria ‘alaihissalam ini, kita dapat menemukan bahwa Allah SWT mengabulkan doa nabi Zakaria ‘alaihissalam dengan menganugerahkan seorang anak laki- laki yang kelak pun menjadi nabi, yaitu nabi Yahya ‘alaihissalam. Inilah kekuatan doa yang disampaikan dengan ikhlas. Mengabulkannya adalah hal yang mudah bagi Allah SWT walaupun secara sepintas kita pun dapat melihat kondisi yang tidak mungkin secara logika. Nabi Zakaria ‘alaihissalam bermunajat mengadukan dirinya yang sudah tua, uban yang semakin banyak dan tulang yang semakin lemah ditambah pula istrinya yang juga mandul.

Dari cuplikan kisah mengenai munajat nabi Zakaria ‘alaihissalam ini, kita dapat melihat kaifiyah, cara-cara berdoa yang baik. Nabi Zakaria ‘alaihissalam mencontohkan bahwa berdoa itu mesti dilakukan dengan ikhlas tanpa hambatan malu-malu. Ini terlihat dengan terus-terangnya beliau menumpahkan semua isi hatinya, tanpa malu-malu ‘membongkar’ keadaan dirinya yang sudah beruban dan kondisi yang sudah lemah ditambah kondisi istri beliau yang dikenal mandul. Walau pun demikian beliau tetap berterus-terang menginginkan seorang penerus, seorang anak yang dapat mewarisi kebesaran keluarga Ya’kub ‘alaihissalam. Lebih dari itu beliau memohon agar anak itu kelak termasuk anak yang diridhoi. Apa lagi permintaan yang lebih tinggi dari ini? Dalam kondisi yang sekilas tidak mungkin, nabi Zakaria ‘alaihissalam meminta dianugerahkan Dari cuplikan kisah mengenai munajat nabi Zakaria ‘alaihissalam ini, kita dapat melihat kaifiyah, cara-cara berdoa yang baik. Nabi Zakaria ‘alaihissalam mencontohkan bahwa berdoa itu mesti dilakukan dengan ikhlas tanpa hambatan malu-malu. Ini terlihat dengan terus-terangnya beliau menumpahkan semua isi hatinya, tanpa malu-malu ‘membongkar’ keadaan dirinya yang sudah beruban dan kondisi yang sudah lemah ditambah kondisi istri beliau yang dikenal mandul. Walau pun demikian beliau tetap berterus-terang menginginkan seorang penerus, seorang anak yang dapat mewarisi kebesaran keluarga Ya’kub ‘alaihissalam. Lebih dari itu beliau memohon agar anak itu kelak termasuk anak yang diridhoi. Apa lagi permintaan yang lebih tinggi dari ini? Dalam kondisi yang sekilas tidak mungkin, nabi Zakaria ‘alaihissalam meminta dianugerahkan

Berikutnya kita juga dapat melihat bahwa walaupun sedemikian tinggi permohonan beliau, tetap saja beliau sampaikan dengan tawaddu’ rendah hati tanpa kesombongan dan dengan suara yang lembut, perlahan-lahan (QS Maryam [19]: 3).

Kembali ke potongan awal doa nabi Zakaria ‘alaihissalam, dengan rendah hati penuh harap beliau mengakui bahwa karunia Ilahi sangat tak terhingga bahkan beliau dengan jujur mengakui: dan aku, ya Tuhanku, belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada-Mu.

Ikhwan Fillah, pada permulaan surat Maryam ini Allah SWT sedang mempertontonkan kepada kita sebuah episode keikhlasan doa dari seorang hamba. Pengakuan beliau yang menyatakan tidak pernah kecewa berdoa kepada Allah SWT adalah kesadaran mengenai sifat Maha Rahman, Maha Kasihnya Allah karena mengabulkan segala permohonan, bahkan sebelum doa permohonan tersebut terucap di bibir kita. Beliau menyadari bahwa nikmat yang telah diberikan, tidak mungkin akan terhitung jumlahnya. Inilah kesadaran penghambaan, pengakuan jujur tanpa kesombongan dari seorang hamba. Dan Al Qur’an menyatakan beliau termasuk dalam golongan hamba-hamba yang saleh (QS. Al An’am [6]: 85).

Yang dapat kita ambil pelajaran dari riwayat Qur’ani ini adalah dalam berdoa kita harus dapat menghadirkan keikhlasan, penuh harap dengan kesadaran yang tinggi dari hati nurani bahwa Allah SWT mengabulkan semua permohonan. Yakinkan diri bahwa doa yang kita sampaikan adalah juga bukti penghambaan kita, bukti pengakuan bahwa kita ini lemah dan yang perkasa hanyalah Allah. Inilah keikhlasan. Kesadaran kita mestinya juga jujur mengakui banyaknya anugerah Ilahi yang kita nikmati selama ini. Dan aku, ya Tuhanku, belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada-Mu.

Mari kita memohon kepada Allah dengan Ikhlas, bermunajat mendekatkan diri, berdoa kepada- Nya terutama di tengah-tengah malam yang sunyi, tahajjud kepada Ilahi.

Billahittaufiq Wal Hidayah Sumbawa, 9 Juli 2002