Generasi Pelurus

Generasi Pelurus

Pada malam pengajian pekanan dengan pemateri Ust. KH. Mahalli Fikri Jum’at kemarin ada dua pernyataan menarik yang disampaikan oleh dua orang berbeda tetapi mengusung makna yang sama. Kedua pernyataan ini sangat patut menjadi renungan kita bersama. Pernyataan yang kami maksud adalah pernyataan yang disampaikan oleh pemateri sendiri dan pernyataan oleh salah seorang peserta pengajian dari barisan belakang. Ust. Mahalli Fikri menggelitik kesadaran kita dengan ungkapan ‘sekarang ini kita lebih sering membenarkan kebiasaan. Padahal yang seharusnya berlaku adalah membiasakan kebenaran.’ Dan mendukung pernyataan yang disampaikan oleh pemateri, seorang jamaah pengajian bergumam di barisan belakang bahwa hal ini disebabkan karena kita telah memberi predikat pada diri sendiri sebagai generasi penerus, yang seharusnya kita menjadi generasi pelurus. Nah!

Mendengar kedua pernyataan yang sarat makna ini, kita sepatutnya mengambil cermin diri dan mengoreksi dengan hati nurani tanpa kesombongan berapologi apalagi membela diri. Kalau kita melirik ke dalam diri sendiri ternyata memang kita terlalu sering menganggap suatu perbuatan sebagai sebuah kebenaran gara-gara perbuatan itu adalah kebiasaan yang berlaku di tempat kita. Yang lebih parah kemudian kita sering menganggap hal itu sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat, tidak dapat diubah. Bahkan perlawanan terhadap perubahan begitu kuat kita berikan bila ada yang mencoba mengusik kebiasaan kita.

Sekarang coba dengan jujur kita perhatikan kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan, terutama kebiasaan ritual keagamaan, atau yang kita anggap sebagai ritual kita. Seberapa banyak kita melakukan hal itu hanya ikut-ikutan tanpa tahu landasan ilmunya? Atau seberapa banyak kita mengetahui pedoman terhadap perbuatan yang menjadi kebiasaan kita itu? Punya landasankah kebiasaan-kebiasaan kita atau justru sekedar ikut-ikutan?

Allah SWT mengajukan sebuah pertanyaan sindiran bagi orang-orang yang hanya bertindak semata-mata mengikuti perilaku nenek-moyang mereka tanpa pernah secara obyektif mencoba melihat secara kritis bahkan cenderung meneruskan kebiasaan-kebiasaan itu tanpa ada keinginan untuk mempertanyakan keabsahannya. Inilah pertanyaan kritis yang patut menjadi pegangan kita terhadap perilaku kebiasaan yang kita lakukan. Allah SWT mengajukan pertanyaan apakah kita akan tetap mengikuti juga perbuatan pendahulu kita walaupun ternyata mereka mengada-ada, membiasakan suatu perbuatan tanpa dasar.

Dan apabila dikatakan kepada mereka:"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah". Mereka menjawab:"(Tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk". (QS.Al Baqarah [2]:170)

Berat memang mengubah sebuah kebiasaan apalagi yang telah terlanjur mendarah-daging sehingga dianggap sebagai suatu kebenaran. Tetapi yang lebih berat adalah menanggung malu bila ternyata kebiasaan yang sudah kita anggap bahkan kita dengung-dengungkan sebagai sebuah kebenaran ternyata adalah perbuatan tanpa dasar bahkan mengada-ada hanya gara-gara kita tidak pernah kritis terhadap perilaku yang dibiasakan itu.

Di satu sisi memang tidak salah kita meneruskan kebiasaan-kebiasaan yang kita jumpai dari orang-orang pendahulu kita. Hanya kita mesti mengetahui bahwa yang kita teruskan itu adalah kebiasaan-kebiasaan yang berdasar bukan kebiasaan hura-hura, serampangan tanpa pegangan. Akan tetapi, yang lebih penting adalah bagaimana kita berusaha mengubah suatu kebiasaan yang sekedar ikut-ikutan, membuangnya dan menggantinya dengan membiasakan sebuah kebenaran.

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjadi umat yang berilmu. Kebiasaan dalam hidupnya pun harus dilandaskan pada pengetahuan, bukan ikut-ikutan. Hanya sayangnya, kebanyakan kita sekarang sudah merasa aman dengan sekedar menjadi pengikut, bahkan untuk urusan yang tanpa dasar.

Mari kita didik diri kita, keluarga kita, saudara-saudara kita anak keturunan kita untuk selalu bertindak dengan ilmu pengetahuan.