Orang-orang yang Berbuat Sewenang-wenang Terhadap

Orang-orang yang Berbuat Sewenang-wenang Terhadap

Ikhwanul Muslimin 

Sebagian masyarakat menyerang Hasan Al-Banna. Orang-orang yang menyerang beliau adalah orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu. Sebagian orang mengatakan bahwa beliau adalah orang sufi. Sebagian yang lain mengatakan bahwa beliau termasuk kaum salaf. Ada yang mengatakan bahwa beliau termasuk golongan mujtahid abad ini. Ada pula yang mengatakan bahwa pemikiran beliau tidak ada yang fix, sehingga pemikiran beliau tidak dapat dijadikan pegangan. Mereka adalah orang yang tidak pernah membaca tentang Hasan Al-Banna, tidak pernah menyimak berita tentang beliau. Sehingga ia hanya memperhatikan berita- berita isapan jempol saja. Padahal berita-berita itu tidak sedikitpun menjelaskan tentang kebenaran. Berita tersebut disebar luaskan oleh orang- orang yang mempunyai tujuan tertentu. Ia tidak mengetahui sedikitpun tentang orang yang diserangnya. Ia menyembunyikan kebodohannya dengan mengatakan bahwa ia tidak pernah tahu bahwa Hasan Al-Banna mempunyai pemikiran tertentu. Imam Ali ra –semoga Allah memuliakan wajahnya- berkata, “Celakalah dua orang ini. Yang pertama, ucapan orang yang benci. Sedangkan yang kedua, kesombongan orang yang mencintai.” Saya tidak akan membela Hasan Al-Banna. Namun saya akan mengutip pendapat beliau tentang aqidah untuk menjawab kebohongan-kebohongan mereka. Saya akan mengutip persis seperti yang diucapkan beliau hingga jelas kebenaran sikap Imam Hasan Al-Banna. Sehingga dengan demikian orang-orang yang mengatakan bahwa diri mereka adalah orang-orang salaf akan menyadari. Apakah mereka orang-orang salaf atau jamaah Ikhwanul Muslimin yang merupakan orang-orang salaf yang sebenarnya. Ataukah Hasan Al-Banna yang merupakan seorang salaf yang mempunyai akidah yang lurus. Orang yang adil terhadap seluruh manusia. Hingga orang-orang yang memperpanjang pembicaraan lantaran kebodohan mereka, berkomentar, “Saya mengetahui bahwa pendapat ulama salaf tentang ayat-ayat dan hadits yang membahas tentang sifat Allah dibiarkan begitu saja sebagai mana yang terdapat di dalam nash tersebut. Mereka hanya diam dan tidak menafsirkan dan menakwilkan. Sedangkan pendapat ulama Khalf, mereka menakwilkan sifat Allah dengan sesuatu yang sesuai dengan pensucian Allah. Setahu saya, perbedaan di antara kedua pendapat ini hingga menimbulkan lontaran-lontaran yang keras. Penjelasan perkara ini adalah sebagai berikut,

1. Kedua kelompok ini sepakat untuk mensucikan Allah. Dengan cara membedakan Allah dengan makhluk-Nya.

Hasan al-Banna – Sang Inspirator _______________________________________________________________ 150

2. Masing-masing kelompok maksud lafadz-lafadz yang berkenaan dengan Allah, bukanlah maksud secara dzahirnya. Bukan maksud dzahir yang biasa dipahami dari lafadz-lafadz yang digunakan berkenaan dengan makhluk.

3. Masing-masing kelompok menyadari bahwa lafadz-lafadz yang digunakan merupakan sebuah ungkapan yang sudah akrab di hati dan biasa diindera oleh penginderaan manusia. Penggunaan lafadz ini berkaitan dengan pengguna bahasa. Bahasa-bahasa meskipun sangat luas, tidak mencakup pengungkapan hakekat pemilik dan pemakai bahasa. Sehingga lafadz-lafadz yang digunakan tak dapat mengungkapan hakekat yang berkaitan dengan zat Allah tabaraka wa ta’ala. Sehingga melampaui batas dalam memberikan batasan makna terhadap lafadz-lafadz merupakan tindakan penyesatan. Jika disimpulkan, maka kalangan salaf dan khalf sepakat pada pokok takwil. Perbedaan mereka berdua terbatas pada keinginan kalangan khalf untuk membatasi makna yang dimaksud dari lafadz-lafadz tersebut dengan tetap menjaga pensucian kepada Allah swt. Untuk menjaga keyakinan orang-orang awam dari menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Perbedaan ini hendaknya tidak dipeributkan dan dipermasalahakan

Kami berkeyakinan bahwa pendapat ulama salaf yang hanya diam dan menyerahkan/mengembalikan makna lafadz tersebut kepada Allah swt adalah pendapat yang paling selamat dan paling utama untuk diikuti. Sehingga mereka meniadakan takwil. Jika saya termasuk orang yang diberikan ketentraman keimanan dan hati yang penuh dengan keyakinan, maka janganlah anda menyekutukan Allah dengan cara apapun juga. Kami berkeyakinan bahwa takwil seseorang tidak menyebabkannya dikatagorikan sebagai seorang yang kafir atau fasik. Janganlah anda menyulut kembali pertentangan panjang yang pernah terjadi di masa lalu dan di masa kini. Islam tidak saja membahas perkara-perkara ini saja. Imam Ahmad bin Hambal ra. –salah seorang yang berpegang dengan pendapat ulama salaf- menakwil hadits di bawah ini, “ Hajar Aswad merupakan tangan kanan Allah di bumi. ” Sabda Rasulullah saw, “ Saya tidak pernah mendapatkan Allah Yang Maha Pemurah di sisi kanan .” Sabda Rasulullah saw, “ Hati seorang mukmin diantara dua jari dari jari-jari Allah .” Saya melihat pendapat Imam Nawawi ra dapat mendekatkan perbedaan diantara dua pendapat diatas. Sesuatu yang dapat memperkecil perdebatan dan pertentangan. Apalagi kalangan khalf telah menetapkan atas diri mereka tentang kebolehan takwil secara akal dan syariat, yang merupakan sesuatu yang tak berbenturan dengan perkara ushuluddin.

Ar-Razi berkata di dalam karyanya “Asas At-Taqdis”, “Jika diperbolehkan takwil, maka akan memberi peluang kepada kita untuk mentakwil pada hal-hal yang rinci. Sebaliknya, jika kita tidak dibolehkan takwil, berarti kita menyerahkan/ mengembalikan makna lafadz-lafadz kepada Allah swt. Ini merupakan aturan menyeluruh yang dapat dijadikan rujukan pada seluruh ayat-ayat Mutasyabih. Semoga Allah memberi kita taufik.

e-Book dari http://www.Kaunee.com ______________________________________________________________ 151

Kesimpulannya, kalangan salaf dan khalf sepakat bahwa setiap takwil yang berbenturan pokok-pokok syari’at adalah sesuatu yang dilarang. Sehingga perbedaan hanya terletak pada takwil lafadz-lafadz saja. Penakwilan seperti termasuk sesuatu yang dibolehkan menurut syari’at. Ini merupakan perkara yang mudah, sebagaimana anda saksikan. Sebagian ulama salaf menghindari dari takwil terhadap lafadz-lafadz ini. Yang terpenting adalah tetap pada jalur menuju cita-cita kaum muslimin, yaitu menyatukan barisan, menyatukan kata sepakat semampu kita. Cukuplah Allah sebagai sebaik-baik tempat bersandar.

Hasan Al-Banna telah menulis dengan tangan sendiri bahwa ia merupakan seorang salaf dalam perkara aqidah dengan maknanya yang benar. Sehingga bukan karena fanatisme ( ta’ashub ). Namun, dalam waktu yang bersamaan beliau tidak menyerang orang yang mempunyai pemahaman kalangan khalf. Beliau tak pernah melontarkan kata-kata yang menyakiti hati orang yang mempunyai pemahaman kalangan khalf, baik secara langsung maupun dalam bentuk sindiran. Berbeda sekali dengan orang lain yang menyerang pendapat seseorang demi mempertahankan pendapatnya. Seolah-olah kemenangan suatu pendapat hanya dapat diperoleh, bila kita mencaci maki dan menentang pendapat orang lain.

Bahkan ustadz Al-Banna memberikan tambahan keterangan. Keterangan yang adil. Beliau berusaha mendekatkan antara dua sudut pandang yang berbeda dengan teknik yang bijaksana dan penuh kesopanan. Ini merupakan sikap beliau dalam berdiskusi, mengajar, mendidik dan berdebat. Selalu berkepribadian luhur dan melebihi orang lain. Bahkan beliau memberi kebebesan orang lain untuk menyampaikan pendapatnya. Jika beliau mengkritik, tidak pernah melukai perasaan orang. Jika menentang tidak menyakiti hati orang. Jika berdiskusi tidak berlebihan. Semuanya dilakukan dengan penuh adab, kehalusan budi dan kesantunan. Ucapannya adalah ilmu dan penuh kerendahan hati. Ia bersih, bersih secara fisik dan non fisik. Bersih tulisan beliau, demikian pula dengan

ucapan beliau. Saya mengatakan hal ini bukan berarti menantang. 16 Islam tidak mengenal dengan istilah menantang seperti ini. Menantang itu hanya ditujukan kepada para penguasa yang otoriter dan melampui batas. Adapaun masyarakat awam adalah orang-orang yang mempunyai kesopanan. Mereka berdiskusi dengan baik. Mereka menolak dengan sesuatu yang lebih layak. Ucapan mereka ditopang oleh hujjah yang cemerlang dan dalil yang memuaskan. Mereka menggunakan bukti-bukti yang biasa digunakan orang-orang adil, orang-orang yang mencari kebenaran. Bukannya orang-orang yang hanya memikirkan kemenangan dalam perdebatan baik benar maupun salah. Saya menantang mereka untuk mendatangkan teknik berdebat seperti yang biasa beliau lakukan, jika mereka adalah orang-orang yang benar. Imam Asy-Syafi’i -semoga Allah memberinya- yang ilmunya memenuhi bumi, pernah berkata pada suatu hari, “Saya hanya ingin berdebat dengan seseorang agar ia dapat menerima kebenaran.” Ia merupakan akhlak kaum muslimin. Menjauhkan

16 Menantang untuk menentukan siapa yang lebih baik Hasan al-Banna – Sang Inspirator _______________________________________________________________ 152 16 Menantang untuk menentukan siapa yang lebih baik Hasan al-Banna – Sang Inspirator _______________________________________________________________ 152

e-Book dari http://www.Kaunee.com ______________________________________________________________ 153

Slogan yang Jelas 

Apakah ada seseorang yang membuat slogan untuk dakwah, majalah dan hariannya sebelum prakarsa Hasan Al-Banna (dakwah kebenaran, kekuatan dan kebebasan). Di dalam slogan tersebut terdapat kata-kata yang mencakup, mempunyai ciri yang khas dan berbeda dengan yang lainnya. Sehingga ia merupakan kebenaran. Allah itu benar, firman-Nya benar, keputusan-Nya benar. Kebenaran tidak dimaksudkan untuk membuat manusia saling berdebat. Tidak dapat dikatakan benar, jika benar di pagi hari tapi di dalam hari yang sama ia berubah. Tidak dapat dikatakan benar jika benar di suatu kaum, namun batil di kaum yang lain. Tidak ada keraguan di dalam kebenaran, tak ada kesamaran, tidak ada tempat untuk mengingkarinya dan tidak ada tipu daya untuk merubahnya.

Kekuatan adalah yang melindungi dan bukannya berbuat lalim. Kekuatan adalah membangun dan bukannya menghancurkan. Kekuatan itu berbuat adil dan bukannya mendzalimi. Kekuatan itu bermanfaat, bukannya membahayakan. Kekuatan adalah yang dapat mengabdi untuk kebenaran, sehingga jalan yang ditempuh menjadi petunjuk bagi manusia, membahagiakan manusia di dunia dan akhirat. Kekuatan dapat membangkitkan kemulian dan kemampuan di dalam jiwa. Kemampuan yang dapat mendorong seseorang berbuat baik dan bermanfaat bagi orang lain. Sehingga bukan merupakan kekuatan yang menghancurkan, menghina seseorang, memperbudak dan menjajah.

Kebebasan adalah merupakan ketetapan Allah terhadap hamba-hamba- Nya, termasuk dalam hal ini keputusan untuk menyembah Allah. Allah yang membesarkan manusia, membentuknya dan memberinya rizki. Dia pula yang memberikan kenikmatan dzahir dan bathin. Allah menuntut manusia untuk menyembah-Nya. Setelah itu, terserah pada manusia, mereka diberi kebebasan yang sempurna, apakah ingin beriman atau kafir. Allah swt berfirman,

4 Äc©xöø9$# z⎯ÏΒ ß‰ô©”9$# t⎦¨⎫t6¨? ‰s% ( È⎦⎪Ïe$!$# ’Îû oν#tø.Î) Iω

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al- Baqarah (2) : 256)

Ini merupakan salah satu kaidah Islam tentang kebebasan. Allah swt menginginkan penjelasan dan keleluasaan dalam memilih. Allah swt berfirman,

4 öàõ3u‹ù=sù u™!$x© ∅tΒuρ ⎯ÏΒ÷σã‹ù=sù u™!$x© ⎯yϑsù ( óΟä3În/§‘ ⎯ÏΒ ‘,ysø9$# È≅è%uρ

Hasan al-Banna – Sang Inspirator _______________________________________________________________ 154

“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi (18) : 29)

Kebebasan adalah sesuatu yang paling berharga di dunia ini. Bahkan lebih mahal dari kehidupan itu sendiri. Kebebasan membuat manusia dapat merasa aman dalam berjalan. Kehormatannya tidak pernah dilanggar. Badannya bersih dari penyiksaan dan hal-hal yang dapat menyakitkan. Tidak merasa kelaparan dan kekurangan. Inilah dasar-dasar yang dibuat oleh ustadz Al-Banna untuk dirinya dan dakwahnya. Beliau meyakininya dan mempertahankannya. Kemudian beliau mempersembahkan hidupnya demi membela dasar-dasar ini. Kehidupan ini lebih mahal dari berjuta-juta. Saya mengutip sebuah syair berikut ini,