Teori Moral Development KERANGKA TEORITIS

akuntan dan kalangan bisnis lainnya menghadapi banyak dilemma etika dalam karier bisnis mereka. Misalnya bernegosiasi dengan klien yang mengancam untuk mencari auditor baru kalau perusahaannya tidak memperoleh pendapat wajar tanpa pengecualian, jelas merupakan dilemma etika. Dalam Seprian 2007, untuk menyelesaikan dilemma etika dapat dilakukan dengan cara Pendekatan enam langkah berikut ini: 1. Memperoleh fakta-fakta yang relevan. 2. Mengidentifikasikan isu-isu etika berdasarkan fakta-fakta tersebut. 3. Menentukan siapa yang akan terkena pengaruh dari keluaran outcome dilema tersebut dan bagaimana cara masing-masing pribadi atau kelompok itu dipengaruhi. 4. Mengidentifikasikan berbagai alternatif yang tersedia bagi pribadi yang harus menyelesaikan dilema tersebut. 5. Mengidentifikasikan konsekuensi yang mungkin terjadi pada setiap alternatif. 6. Memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan.

C. Teori Moral Development

Teori ini dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg 1958 dengan mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget 1932, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, merupakan dasar dari perilaku etis dan mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya. Keenam tahapan perkembangan moral dari Kohlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca- konvensional. Tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya. Kohlberg menggunakan cerita-cerita tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap atau tingkat sebelumnya. Tahapan-tahapan Tingkat 1 Pra-Konvensional 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman 2. Orientasi minat pribadi Apa untungnya buat saya? Tingkat 2 Konvensional 3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas Sikap anak baik 4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial Moralitas hukum dan aturan Tingkat 3 Pasca-Konvensional 5. Orientasi kontrak sosial 6. Prinsip etika universal Principled conscience Tingkat 1: Pra-Konvensional Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak- anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra- konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris. Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri. Dalam tahap dua perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang bersifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial tahap lima, sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral. Tingkat 2: Konvensional Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral. Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang- orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Tingkat 3: Pasca-Konvensional Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra- konvensional. Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. pemerintahan yang demokratis merupakan contoh tindakan yang berlandaskan pada penalaran tahap lima. Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.

D. Teori Keagenan

Dokumen yang terkait

Pengaruh etika auditor, pengalaman auditor, independensi dan karakteristik personal auditor terhadap kualitas audit

0 3 152

Pengaruh Karakteristik Personal Auditor,Pengalaman Audit,Dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas Audit

1 7 106

PENGARUH INDEPENDENSI, TIME BUDGET PRESSURE, SKEPTISISME PROFESIONAL AUDITOR, ETIKA AUDITOR, DAN PENGALAMAN Pengaruh Independensi, Time Budget Pressure, Skeptisisme Profesional Auditor, Etika Auditor Dan Pengalaman Kerja Auditor Terhadap Kualitas Ha

0 3 17

PENGARUH INDEPENDENSI, TIME BUDGET PRESSURE, SKEPTISISME PROFESIONAL AUDITOR, ETIKA AUDITOR, DAN PENGALAMAN Pengaruh Independensi, Time Budget Pressure, Skeptisisme Profesional Auditor, Etika Auditor Dan Pengalaman Kerja Auditor Terhadap Kualitas Ha

0 3 16

PENGARUH AKUNTABILITAS AUDITOR, PENGALAMAN KERJA DAN INDEPENDENSI AUDITOR TERHADAP KUALITAS AUDIT DENGAN ETIKA Pengaruh Akuntabilitas, Pengalaman Kerja dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas Audit dengan Etika Auditor Sebagai Variabel Moderasi (Studi

0 3 15

PENGARUH AKUNTABILITAS, PENGALAMAN KERJA DAN INDEPENDENSI AUDITOR TERHADAP KUALITAS AUDIT DENGAN Pengaruh Akuntabilitas, Pengalaman Kerja dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas Audit dengan Etika Auditor Sebagai Variabel Moderasi (Studi Empiris pada

0 2 19

PENGARUH ETIKA AUDITOR, PERILAKU DISFUNGSIONAL,INDEPENDENSI, DAN PENGALAMAN Pengaruh Etika Auditor, Perilaku Disfungsional, Independensi, dan Pengalaman Terhadap Kualitas Audit (Studi Empiris pada Auditor KAP di Surakarta dan Semarang).

0 4 19

PENGARUH KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI TERHADAP KUALITAS AUDIT DENGAN ETIKA AUDITOR Pengaruh Kompetensi Dan Independensi Terhadap Kualitas Audit Dengan Etika Auditor Sebagai Variabel Moderasi.

0 2 12

PENGARUH KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI TERHADAP KUALITAS AUDIT DENGAN ETIKA AUDITOR Pengaruh Kompetensi Dan Independensi Terhadap Kualitas Audit Dengan Etika Auditor Sebagai Variabel Moderasi.

0 3 17

Pengaruh Kompetensi, Independensi, Pengalaman, dan Etika Auditor terhadap Kualitas Audit.

0 1 99