Pengertian Pembangunan URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS

2.1 Pengertian Pembangunan

Istilah pembangunan diartikan oleh banyak ahli ekonomi secara berbeda sesuai dengan seleranya sendiri, sehingga pada akhirnya defenisi tentang pembangunan pun sedemikian banyak dan berbeda satu sama lain. Namun secara garis besarnya istilah pembangunan ini sesungguhnya dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian berdasarkan periode waktunya yaitu pandangan lama berdasarkan ukuran-ukukan ekonomi tradisional dan pandangan baru ekonomi pembangunan.

2.1.1 Ukuran-ukuran Ekonomi Tradisional

Menurut pengertian akademis ilmu ekonomi yang ketat, istilah pembangunan development secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama- untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas Pendapatan Nasional Bruto atau GNP Gross National Product-nya pada tingkat 5 persen hingga 7 persen, atau bahkan lebih tinggi lagi. Ukuran lain yang mirip dengan GNP, yakni yang dikenal dengan istilah Produk Domestic Bruto atau GDP Gross Ddomestic Product. Indeks ekonomi lainnya yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan adalah tingkat pertumbuhan Pendapatan Per Kapita Income Per Capita atau GNP Per Kapita. Indeks ini pada dasarnya mengukur kemampuan Universitas Sumatera Utara diri suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduknya. Tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan per kapita “rill” yakni, sama dengan pertumbuhan GNP per kapita dalam satuan moneter dikurangi dengan tingkat inflasi merupakan tolok ukur ekonomis yang paling sering digunakan untuk mengukur sejauh mana kemakmuran ekonomis dari suatu bangsa. Berdasarkan tolok ukur tersebut, maka kita akan mengetahui seberapa banyak barang dan jasa-jasa rill yang tersedia bagi rata-rata penduduk untuk melakukan kegiatan konsumsi dan investasi. Pembangunan ekonomi pada masa lampau juga sering diukur berdasarkan tingkat kemajuan struktur produksi dan penyerapan sumber daya employment yang diupayakan secara terencana. Biasanya dalam proses tersebut peranan sektor pertanian akan menurun untuk memberi kesempatan bagi tampilnya sektor-sektor manufaktur dan jasa-jasa yang secara sengaja diupayakan agar terus bekembang. Oleh karena itu, strategi pembangunan biasanya berfokus pada upaya untuk menciptakan industrialisasi secara besar-besaran sehingga kadangkala mengorbankan kepentingan pembangunan sektor pertanian dan daerah pedesaan pada umumnya yang sebenarnya tidak kalah pentingnya. Jelaslah, bahwa penerapan tolok ukur pembangunan yang murni bersifat ekonomis tersebut, agar lebih akurat dan bermanfaat, harus didukung pula oleh indikator- indikator sosial social indicators nonekonomis. Secara umum, sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. Tinggi rendahnya kemajuan pembangunan di suatu negara hanya diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan GNP, baik secara keseluruhan maupun per kapita, yang diyakini akan menetes Universitas Sumatera Utara dengan sendiri sehingga menciptakan lapangan pekeerjaan dan berbagai peluang ekonomi yang pada akhirnya akan menumbuhkan berbagai kondisi yang diperlukan demi terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan sosial secara lebih merata. Itulah yang secara luas dikenal sebagai prinsip “efek penetesan ke bawah” tricle down effect. Dengan demikian, tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan unsur yang paling diutamakan sehingga masalah-masalah lain seperti sosial kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi pendapatan acapkali dinomorduakan.

2.1.2 Pandangan Baru Ekonomi Pembangunan

Pengalaman pada dekade 1950-an dan 1960-an, ketika banyak di antara negara-negara dunia ketiga berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun gagal memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduknya, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam defenisi pembangunan yang dianut selama itu. Semakin lama semakian banyak ekonom dan perumus kebijakan yang meragukan ketepatan dan keampuhan “tolok ukur GNP” sebagai indikator tunggal atas terciptanya kemakmuran dan kriteria kinerja pembangunan. Mereka mulai mempertimbangkan untuk mengubah strategi guna mengatasi secara langsung berbagai masalah mendesak seperti tingkat kemiskinan absolut yang semakin parah, ketimpangan pendapatan yang semakin mencolok, dan tingkat pengangguran yang terus melonjak. Singkatnya, selama dekade 1970-an, pembangunan ekonomi mengalami redefenisi. Mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi bukan lagi menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya, melainkan penghapusan atau Universitas Sumatera Utara pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang. Penyesuaian defenisi pertumbuhan yang kini lebih didasarkan pada konsep “redistribusi kemakmuran” itu merupakan slogan yang popular pada masa itu. Dalam konteks ini, Prof. Dudley Seers mengajukan serangkaian pertanyaan mendasar mengenai makna pembangunan, yang kemudian berkembang menjadi defenisi baru pembangunan sebagai berikut: “pertanyaan-pertanyaan mengenai pembangunan suatu negara yang harus diajukan adalah: apa yang terjadi dengan kemiskinan penduduk di negara itu? Bagaimana dengan tingkat penganggurannya? Adakah perubahan-perubahan berarti yang berlangsung atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan? Jika ketiga permasalahan tersebut selama periode tertentu sedikit banyak telah teratasi, maka tidak diragukan lagi bahwa periode tersebut memang merupakan periode pembangunan bagi negara yang bersangkutan. Akan tetapi, jika satu, dua, atau bahkan semua dari ketiga persoalan mendasar tersebut menjadi semakin buruk, maka negara itu tidak bisa dikatakan telah mengalami proses pembangunan yang positif, meskipun barangkali selama kurun waktu tersebut pendapatan per kapitanya mengalami peningkatan hingga dua kali lipat” Seers, 1999: 45. Penegasan tersebut bukan merupakan sebuah spekulasi yang mengada- ada ataupun sekedar deskripsi atas suatu situasi hipotetis. Pada kenyataannya, memang ada sejumlah negara berkembang yang berhasil mencapai pertumbuhan pendapatan per kapita yang cukup tinggi selama dekade 1960-an dan dekade 1970-an, namun masalah-masalah pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan pendapatan rill dari 40 penduduknya yang paling miskin tidak banyak mengalami perbaikan atau bahkan dalam banyak kasus justru semakin buruk. Menurut defenisi pertumbuhan sebelumnya, negara-negara berkembang tersebut sudah bisa dikatakan telah mengalami pembangunan. Akan tetapi, berdasarkan kriteria pembangunan yang baru, ketiga masalah tersebut belum teratasi secara Universitas Sumatera Utara memadai, maka mereka tidak bisa dikatakan telah mengalami pembangunan. Situasi yang ada pada dekade 1980-an dan permulaan dekade 1990-an semakin buruk dan anjloknya tingkat pertumbuhan GNP di banyak negara berkembang. Karena dihadapkan pada masalah utang luar negeri yang demikian berat, banyak pemerintahan negara-negara berkembang yang kemudian terpaksa mengurangi atau bahkan menghapuskan program-program bantuan ekonomi dan sosial yang sebenarnya sudah sangat terbatas itu. Namun, fenomena pembangunan atau adanya situasi keterbelakangan yang kronis sesungguhnya tidak semata-mata merupakan persoalan ekonomis atau sekedar pengukuran tingkat pendapatan, dan juga terbatas berupa masalah perhitungan, masalah ketenagakerjaan, atau penaksiran tingkat ketimpangan penghasilan secara kuantitatif. Keterbelakangan merupakan sebuah kenyataan rill dalam kehidupan sehari-hari bagi lebih dari tiga miliar orang di planet ini. Yang dimaksud dengan keterbelakangan di sini bukan hanya angka-angka kemiskinan nasional, melainkan juga menyangkut keterbatasan berpikir dari penduduk miskin di negara-negara terbelakang yang bersangkutan. Kondisinya dikemukakan secara tepat oleh Denis Goulet berikut ini: “hakekat keterbelakangan itu sangat menyedihkan. Di suatu masyarakat yang dililit keterbelakangan kita akan mudah sekali menemukan kelaparan, penyakit, keputusasaan, dan kematian yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Yang lebih menyedihkan lagi, orang-orang terbelakang itu sendiri terkesan tidak begitu merasakan tekanan penderitaan yang begitu hebat. Mereka nampaknya sudah terlanjur menganggap rendahnya pendapatan mereka, buruknya perumahan yang mereka tempati, tingginya angka kematian bayi-bayi mereka, atau jeleknya kondisi ketenagakerjaan, sebagai nasib buruk yang mau tidak mau harus mereka terima. Biasanya, yang bisa mengatakan secara objektif mengenai kondisi keterbelakangan adalah para pengamat yang secara personal dan sungguh- sungguh telah mengalami sendiri “kejutan keterbelakangan” tersebut. Kejutan kultural unik yang menekan perasaan ini sebenarnya mudah dibayangkan asal kita mau menghayati emosi-emosi yang terkandung di dalam “budaya kemiskinan”. Kejutan yang sebaliknya pasti akan dirasakan oleh orang-orang Universitas Sumatera Utara yang tinggal di daerah-daerah terbelakang ketika mata mereka terbuka pada kenyataan bahwa kondisi-kondisi hidup mereka itu sama sekali tidak manusiawi dan bisa diubah. Sayangnya, tanpa disadari keterbelakangan juga telah menggerogoti emosi sehingga secara personal dan sosial, hal-hal seperti penyakit atau kematian dini dianggap sebagai hal yang biasa. Setiap dorongan untuk memahami perubahan hanya akan mendatangkan kebingungan dan pada akhirnya berujung pada sikap masa bodoh. Mereka merasa bahwa segala peristiwa yang terjadi atas diri mereka sepenuhnya berada di luar kendali dan mereka sama sekali tidak berdaya menghadapi bencana kelaparan atau musibah alam lainnya. Kemiskinan lahir batin yang kronis seperti itu begitu menyesakkan dan kita tidak dapat memahami sejauh mana sakitnya kemiskinan itu jika mendekati masalah kemiskinan hanya sebagai suatu objek” Goulet, 1971: 32 . Bahkan Bank Dunia sendiri, yang selama dekade 1980-an begitu mengagung-agungkan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama pembangunan, telah menyadari kekeliruannya dan bergabung dengan para pengamat di atas dalam mengambil perspektif yang lebih luas mengenai tujuan dan makna dasar pembangunan. Dalam salah satu publikasi resminya, yakni World Development Report, yang terbit pada tahun 1991, Bank Dunia melontarkan pernyataan tegas bahwasannya: “tantangan utama pembangunan adalah memperbaiki kualitas kehidupan, terutama di negara-negara paling miskin. Kualitas hidup yang lebih baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang lebih tinggi. Namun, yang dibutuhkan bukan hanya itu. Pendapatan yang lebih tinggi itu hanya merupakan salah satu dari sekian banyak syarat yang harus dipenuhi. Banyak hal lain yang tidak kalah pentingnya yang harus juga diperjuangkan, yakni mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan standar kesehatan dan nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan kondisi lingkungan hidup, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual dan penyegaran kehidupan budaya”World Development Report,1991. Dengan demikian, pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselarasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, Universitas Sumatera Utara serta pengentasan kemiskinan. Jadi, pada hakekatnya pembangunan itu harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara material maupun spiritual.

2.1.3 Tiga Nilai Inti Pembangunan

Dalam bukunya Todaro mengutip pendapat Profesor Goulet dan tokoh- tokoh lainnya yang mengatakan bahwa paling tidak ada tiga komponen dasar atau nilai inti yang harus dijadikan basis konseptual dan pedoman praktis untuk memahami pembangunan yang paling hakiki. Ketiga komponen dasar tersebut adalah kecukupan sustenance, jati diri self-esteem, serta kebebasan freedom; ketiga hal inilah yang merupakan tujuan pokok yang harus digapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan. Ketiganya berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling mendasar, yang terwujud dalam berbagai macam manifestasi bentuk di hampir semua masyarakat dan budaya sepanjang zaman. a. Kecukupan: Kemampuan Untuk Memenuhi Kebutuhan-kebutuhan Dasar Apa yang dimaksud dengan “kecukupan” di sini bukan menyangkut makanan. Melainkan mewakili semua hal yang merupakan kebutuhan dasar manusia secara fisik. Kebutuhan dasar ini meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan. Jika satu saja dari sekian banyak kebutuhan dasar ini Universitas Sumatera Utara tidak dipenuhi, maka muncullah kondisi “keterbelakangan absolut”. Fungsi dari semua kegiatan ekonomi pada hakekatnya adalah untuk menyediakan sebanyak mungkin perangkat dan bekal guna menghindari kesengsaraan dan ketidakberdayaan yang diakibatkan oleh kekurangan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan. Atas dasar itulah kita menyatakan bahwa keberhasilam pembangunan ekonomi itu merupakan prasyarat bagi membaiknya kualitas kehidupan. Tanpa adanya kemajuan ekonomi secara berkesinambungan, maka realisasi potensi manusia, baik di tingkat individu maupun masyarakat, tidak mungkin berlangsung. Setiap orang harus “memiliki kecukupan untuk mendapatkan lebih”. Dengan demikian, kenaikan pendapatan per kapita, pengentasan kemiskinan absolut, penambahan lapangan kerja, dan pemerataan pendapatan, merupakan hal-hal yang harus ada necessary conditions bagi pembangunan, tapi tidak akan memadai tanpa adanya faktor-faktor positif lainnya not sufficient conditions. Cara lain untuk mengungkapkan hal yang sama dapat kita temukan pada laporan PBB, Human Development Report terbitan tahun 1994. Pada bab pembukaan laporan ini secara tegas mengatakan bahwa: “Semua manusia lahir dengan membawa potensi kapabilitas tertentu. Tujuan pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan setiap orang mengembangkan kapabilitas itu, dan kesempatannya harus senantiasa dipupuk dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pondasi nyata bagi pembangunan manusia adalah universalisme pengakuan atas hidup manusia…kekayaan itu penting bagi kehidupan manusia. Namun jika semua perhatian dicurahkan ke hal itu, maka ini adalah suatu kekeliruan. Ada dua alasan pokok. Pertama, akumulasi kekayaan tidak menjamin tersedia atau terpenuhinya pilihan-pilihan yang terpenting bagi manusia…kedua, pilihan- pilihan manusia itu sendiri jauh lebih luas dari sekedar kekayaan”Human Development Report,1994. Universitas Sumatera Utara b. Jati Diri: Menjadi Manusia Seutuhnya Komponen universal yang kedua dari kehidupan yang serba lebih baik adalah adanya dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu, dan seterusnya. Semuanya itu terangkum dalam satu istilah, yakni jati diri self- esteem. Pencarian jati diri ini sama sekali bukan suatu urusan yang sepele, karena jati diri itu sendiri bukan hal yang sepele. Penyebaran “nilai-nilai modern” yang bersumber dari negara-negara maju telah mengakibatkan kejutan dan kebingungan budaya di banyak negara berkembang. Kontak dengan masyarakat lain yang secara ekonomis dan teknologis lebih maju acapkali mengakibatkan defenisi dan batasan mengenai baik-buruk atau benar-salah menjadi kabur. Ini dikarenakan kesejahteraan nasional muncul sebagai berhala baru. Kemakmuran materiil lambat laun dianggap sebagai suatu ukuran kelayakan yang universal, dan dinobatkan menjadi landasan penilaian atas segala sesuatu. Derasnya serbuan nilai-nilai Barat yang mengagungkan materi telah mengikis jati diri masyarakat di banyak negara berkembang. Banyak bangsa yang tiba-tiba saja merasa dirinya kecil atau tidak berarti hanya karena mereka tidak memiliki kemajuan ekonomi dan teknologi setinggi bangsa-bangsa lain. Selanjutnya, yang dianggap hebat adalah yang mempunyai kemajuan ekonomi dan teknologi modern, sehingga masyarakat Dunia Ketiga pun berlomba-lomba mengejarnya, dan tanpa disadari mereka telah kehilangan jati dirinya. Universitas Sumatera Utara c. Kebebasan Dari Sikap Menghamba: Kemampuan Untuk Memilih Nilai universal yang ketiga dan terakhir yang harus terkandung dalam makna pembangunan adalah konsep kemerdekaan manusia. Kemerdekaan atau kebebasan di sini hendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan ini. Kebebasan di sini juga diartikan sebagai kebebasan terhadap ajaran-ajaran dogmatis. Arthur Lewis 1954 bermaksud menekankan hubungan antara pertumbuhan ekonomi kebebasan dari sikap menghamba tatkala ia mengatakan bahwa “buah terbesar yang dihasilkan pertumbuhan ekonomi bukanlah tambahan kekayaan, melainkan tambahan pilihan”. Kekayaan itu pada hakekatnya dicari dan dikejar-kejar karena kekayaan itu memungkinkan seseorang untuk memperoleh kontrol yang lebih besar terhadap lingkungan alam dan fisik yang ada disekitarnya yakni melalui produksi pangan, sandang, dan papan; bila Anda kaya, kemampuan Anda untuk mengendalikan segala sesuatu jelas lebih besar dibandingkan dengan bila Anda miskin. Manfaat inti yang terkandung dalam penguasaan yang lebih besar itu adalah kebebasan untuk memilih, misalnya untuk memilih merasakan kenikmatan yang lebih besar dan bervariasi, untuk memilih lebih banyak barang dan jasa. Konsep kebebasan manusia juga melingkupi segenap komponen yang terkandung di dalam konsep kebebasan politik, termasuk juga keamanan diri pribadi, kepastian hukum, kemerdekaan berekspresi, partisipasi politik, dan persamaan kesempatan. Perlu dicatat bahwa sebagian kisah sukses di bidang ekonomi selama dekade 1970-an dan 1980-an yang diraih oleh Arab Saudi, Cili, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, Turki, Cina dan sejumlah negara lainnya ternyata secara umum tidak Universitas Sumatera Utara dibarengi dengan prestasi yang setara dalam kriteria Indeks Kebebasan Manusia Human Freedom Index yang disusun oleh Program Pembangunan PBB UNDP, United Nations Development Program.

2.1.4 Tiga Tujuan Inti Pembangunan

Dapat kita simpulkan bahwa pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Apapun komponen spesifik atas “kehidupan yang serba lebih baik” itu, bertolak dari tiga nilai pokok di atas, proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut: 1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan. 2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa yang bersangkutan. 3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau Universitas Sumatera Utara negara-negara lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.

2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah