Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan UUD 1945.

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 proses yang lama dan dilaksanakan oleh beberapa lembaga negara. Untuk memberhentikan Presiden harus melalui pendapat Dewan Perwakilan Rakyat yang telah meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi pasal 7B UUD 1945.

B. Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan UUD 1945.

Dasar hukum mengenai Ketetapan MPR dalam UUD 1945 memang tidak diatur secara jelas dan tegas seperti halnya Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Walaupun demikian, melalui penafsiran beberapa pasal dalam UUD 1945 sebelum perubahan, kita dapat menemukan dasar hukum Ketetapan MPR yaitu: Pasal 2 ayat 3: “Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak”. Pasal 3: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besaar daripada Haluan Negara”. Pasal 6 ayat 2: Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.” Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 Dari pasal-pasal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai bentuk-bentuk Putusan MPR. Dalam bentuk peraturan apakah Garis-Garis Besar Haluan Negara dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur? Peraturan perundang-undangan hanya dapat dibentuk oleh lembaga- lembaga yang memperoleh kewenangan perundang-undangan yaitu kekuasaan membentuk hukum rechtsvorming. Dan tidak semua lembaga memperolehnya. Begitu juga dengan MPR, tidak memperoleh kewenangan secara atribusi dan delegasi. 87 Sesuai dengan Pasal 1 Aturan Tambahan UUD 1945 Tetapi MPR memperoleh kewenangan tersebut melalui wewenang yang dimilikinya dalam UUD 1945. 88 Sesuai dengan amanat konstitusi tersebut, maka MPR telah melakukan peninjauan terhadap Ketetapan MPRS dan MPR dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: yang menugasi MPR untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR untuk diambil putusan pada sidang MPR 2003. 89 1. Melihat kesesuaian antara isi dan tujuan dengan kehendak rakyat. Apabila materinya masih sesuai maka dituangkan dalam UU. Jika tidak sesuai maka dinyatakan tidak berlaku lagi. 2. Melihat kesesuaian antara materi yang diatur dengan konstitusi, apabila bertentangan dengan konstitusi akan dicabut atau dihapus. 87 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, 1998, Yogyakarta, hlm. 54. 88 Lihat Pasal 1 Aturan Tambahan UUD 1945 setelah Perubahan keempat. 89 Riri Nazriyah, op.cit, hlm. 186. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 3. Melihat kesesuaian dengan situasi dan kondisi sekarang yang dilakukan dengan cara meneliti perubahan yang terjadi di bidang politik, ketatanegaraan, ekonomi, sosial dan budaya untuk dirumuskan dalam kebijakan baru. 4. mengelompokkan sejumlah Ketetapan dalam kategori einmahlig. Menurut Badan Pekerja MPR, tugas “Meninjau materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan MPR yang diputuskan pada Sidang MPR Tahun 2003” bermakna mempelajari kembali semua Ketetapan MPRS yang telah diterbitkan antara 1960-2002 serta menggunakan UUD 1945 hasil perubahan sebagai acuan. Namun dalam perspektif hukum konstitusi, rumusan seperti ini dinilai tidak jelas, karena dapat menyesatkan serta mengakibatkan kekosongan hukum dan ketidakadilan. Beberapa faktornya adalah: 1. Berdasarkan pengalaman historis, peninjauan itu dapat bermakna mencabut atau tetap memberlakukan Ketetapan MPRS yang sebelumnya. Padahal sebenarnya ada kemungkinan-kemungkinan lain yang terbuka untuk dilakukan misalnya hanya sekadar merevisi ketentuan-ketentuan dalam Ketetapan MPRS. 2. UUD 1045 tidak menentukan hierarki perundang-undangan. Dalam kenyataan normatif, terdapat hierarki hukum yang harus diperhatikan ketika suatu perundang-undangan akan dicabutdihapus. Padahal peraturan tersebut terkait dengan peraturan lain dalam hierarki yang ada. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 3. sebagai konsekuensinyam penghapusan suatu jenis peraturan perundang- undangan yang ada dapat menimbulkan kekosongan hukum dan pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan. Sehingga Tim Fakultas Hukum UGM dalam kajian tentang Peninjauan Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS tahun 1960-2002 menawarkan metode-metode dan tolak ukur substantif dalam meninjau Ketetapan MPRS tersebut, sebagai berikut: 90 1. Untuk meninjau status hukum digunakan penafsiran sistematik-struktural terhadap UUD RI setelah perubahan. 2. Terhadap Ketetapan MPRS yang telah ditetapkan antara 1960-2002 yang berjumlah 139. Tim membatasi pada Ketetapan yang tidak dicabut dan bukan termasuk kategori einmahlig. Ketetapan kategori einmahlig memiliki ciri-ciri: konkrit, individual dan final. Ketetapan demikian tidak dapat dikelompokkan sebagai peraturan perundang-undangan karena termasuk bechikking yang lazimnya diterbitkan oleh pejabat administrasi negara. 3. Untuk materi Ketetapan MPRS yang ‘valud dan bukan einmahlig’ tetapi hendak dicabut tanpa melahirkan kekosongan hukum digunakan prinsip hukum bahwa: a. Tindakan yang sudah dilakukan berdasarkan hukum yang sah harus tetap diikuti, b. Hak yang diperoleh dari hukum yang lama tetap dihormati oleh hukum yang baru. 90 Ibid, hlm. 189. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 4. Dalam meninjau materi muatan dalam Ketetapan MPRS juga harus diambil sikap oleh MPR dengan pertimbangan yang komprehensif: Ham, demokrasi, supremasi konstitusi, keadilan, kepastian hukum dan realisme politik. Dari delapan kelompok Ketetapan yang ada dalam rancangan Ketetapan MPR RI mengenai Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI dari tahun 1960-2002, melalui Rapat ke-5 Sidang Tahunan MPR Agustus 2003, rancangan kesepakatan MPRS tersebut telah disepakati pengelompokankategori ke dalam 6 enam pasal. Dalam putusan Rapat Paripurna ke-6 lanjutan tanggal 7 Agustus 2003 Sidang Tahunan MPR RI 2003, MPR telah menetapkan Ketetapan MPR No. 1MPR2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Keteapan MPR RI tahun 1960-2002, dengan menggolongkan Ketetapan MPRS ke dalam enam kelompok yaitu sebagai berikut: 1. Ketetapan MPRS yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 2. Ketetapan MPRS yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan masing- masing. 3. Ketetapan MPRS yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2004. 4. Ketetapan MPRS yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang- undang. 5. Ketetapan MPRS tentang Peraturan Tata Tertib MPR dinyatakan masih berlaku sampai ditetapkannya Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR RI hasil Pemilu 2004. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 6. Ketetapan MPRS yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena lebih bersifat einmahlig final, telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Sebagai produk legislatif yang dilahirkan oleh sebuah lembaga negara yang secara tidak tegas diatur oleh UUD, Ketetapan MPR dalam kenyataannya harus menghadapi peninjauan kembali. Jika kita melihat kepada hasil peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS di atas, nampak bahwa keberadaan Ketetapan MPR setelah dilakukan peninjauan tersebut masih harus ditinjau ulang untuk menentukan nasibnya di masa yang akan datang. Menurut Pasal 2 Ketetapan MPR No. 1MPR2003, ada tiga Ketetapan MPRS yang masih dipertahankan yaitu, TAP MPRS No. XXYMPRS1966, TAP MPR No. XYIMPR1998, dan TAP MPR No. VMPR1999 yang kesemuanya merupakan ketentuan MPRS yang bersifat regeling mengatur. Dari uraian di atas, tampak bahwa keberadaan Ketetapan MPRS setelah perubahan UUD 1945 masih menimbulkan persoalan. Status hukumnya tidak jelas karena pada kenyataannya Ketetapan MPR masih ada dan dinyatakan masih tetap berlaku tetapi tidak lagi sebagai sumber hukum formal. Hal ini dapat dilihat dari UU Nomor 10 Tahun 2004 bahwa Ketetapan MPR tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, hierarki perundang-undangan adalah: a. Undang-Undang Dasar b. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. c. Peraturan Pemerintah Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah C. Hal-Hal yang Timbul dalam Praktek Tentang Kedudukan dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. 1. Sistem Parlemen Indonesia. Dengan adanya perubahan UUD 1945, konsep kedaulatan rakyat telah mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR bukan lagi lembaga yang menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat, melainkan hanya sebagai lembaga negara yang terdiri dari Anggota DPR dan Anggota DPD yang semuanya dipilih melalui pemilihan umum. Jimly Asshidiqie 91 91 Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga NegaraPasca Reformasi, Sekjen dan Kepaniteraan MK RI, 2006, Jakarta, hlm. 47. menyatakan bahwa struktur ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945 bersifat trikameral yaitu MPR, DPD dan MPR. Kedudukan ketiganya adalah setara atau sederajat satu sama lain. Bahkan keberadaan MPR itu sendiri dapat dikatakan merupakan perpanjangan tangan atau sebagai organ pendukung auxiliary organ ataupun sebagai kelengkapan forum yang tersendiri bagi DPR dan DPD untuk mengambil keputusan di luar kewenangan DPR dan DPD sendiri. Ketentuan mengenai pimpinan MPR pun tidak diatur tersendiri dalam UUD, malainkan hanya dalam UU. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 Jika diruntut ke belakang, sebenarnya perubahan UUD 1945 adalah semangat menuju sistem bikameral. Hal itu didukung dengan pembentukan DPD sebagai perwakilan daerah regional representation. DPD diharapkan sebagai penyeimbang DPR yang merupakan perwakilan politik. Namun banyak pihak yang menentang gagasan bikameralisme. Alasannya bahwa bikameralisme dengan sendirinya telah menghilangkan MPR sebagai lembaga negara. Pihak yang menentang bikameralisme menyatakan bahwa MPR merupakan pencerminan langsung sila keempat Pancasila. MPR sebagai penjelmaan permusyawaratan dan DPR sebagai penjelmaan perwakilan. Selain itu, para penentang gagasan bikameralisme juga berpijak dari Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “Majelis Perwakilan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Adanya kata ‘anggota’ dalam pasal tersebut berarti meskipun MPR hanya sebagai rangkap ganda anggota DPR dan anggota DPD tetapi MPR tetap merupakan lembaga yang berbeda dan terpisah dari DPR dan DPD tersebut. Kemudian, dari segi jumlah anggota dan wewenang DPR dan DPD di Indonesia yang tidak setara semakin menimbulkan banyak pertentangan tentang sistem perwakilan yang dianut Indonesia. Selanjutnya para ahli Hukum Tata Negara Indonesia bahkan berpendapat bahwa sistem parlemen Indonesia adalah soft bicameral atau bikameral lunak. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 Menurut Teori Arend Liiphart 92 2. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Institusi Tetap Permanen. bahwa sistem parlemen Indonesia dikategorikan sebagai medium strength-bicameralism dengan konstruksi asimetris dan incongruent. Dikatakan asimetris karena DPD mempunyai kekuasaan yang sub ordinat dari DPR. Sedangkan incongruent karena DPR merupakan perwakilan politik sedangkan DPD perwakilan daerah. Suatu lembaga atau institusi negara dikatakan permanen jika memiliki alat kelengkapan sendiri, masa jabatan anggotanya sendiri, bekerja secara penuh waktu selama masa jabatan anggotanya, serta memiliki tugas dan wewenang yang sifatnya permanen atau lembaga tersebut harus berfungsi secara permanen. Sedangkan suatu lembaga yang bersifat nonpermanen tidak memiliki keseluruhan kriteria-kriteria seperti yang disebutkan di atas. Jika melihat kriteria di atas, maka MPR dapat dikategorikan sebagai lembaga atau institusi negara yang bersifat permanen. Alasannya adalah: 93 a. MPR mempunyai alat kelengkapan tersendiri yaitu pimpinan, panitia ad hoc dan badan kehormatan. 94 b. Masa jabatan MPR adalah lima tahun. 95 c. MPR memiliki tugas dan wewenang yang bersifat permanen dan rutin sekali lima tahun yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih melalui pemilihan umum presiden. 92 Riri Nazriyah, op.cit, hlm.337. 93 Abdy Yuhana, op.cit, hlm. 146. 94 Lihat Pasal 98 ayat 1 UU No. 22 Tahun 2003. 95 Lihat Pasal 4 UU No. 22 Tahun 2003. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Sidang Bersama Gabungan DPR dan DPD. Salah satu kesepakatan dasar MPR dalam perubahan terhadap UUD 1945 adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial dan memperkuat sistem keseimbangan checks and balances antar lembaga-lembaga negara yang pada gilirannya secara bertahap menghasilkan pemerintahan yang demokratis dengan menggunakan prinsip-prinsip demokrasi dalam pelaksanaannya. Kesepakatan MPR tersebut berimplikasi terhadap adanya pemilihan umum presiden secara langsung untuk mendapatkan sumber legitimasi kekuasaan yang setara dengan lembaga perwakilan. Hal ini menimbulkan eliminasi salah satu kewenangan MPR untuk memilih Presiden. Dalam bidang lembaga perwakilan, MPR pada awalnya dirancang untuk diubah menjadi ‘genus’ dari lembaga perwakilan atau parlemen Indonesia yang terdiri atas dua kamar. Kamar pertama disebut DPR dan kamar kedua DPD. Dan kedudukan MPR hanya sebagai joint session pertemuan gabungan antara DPR dan DPD. Namun sayangnya, perubahan yang dilakukan terhadap UUD 1945, khususnya menyangkut sistem perwakilan telah menghasilkan kontradiksi antara daas sein dan daas solen realitas dan ide. Selain ketidakseimbangan hak dan wewenang antara DPR dan DPD, MPR juga tetap dipertahankan sebagai lembaga yang permanen dan mandiri serta sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Hal ini mengakibatkan sistem perwakilan yang dianut setelah perubahan UUD 1945 tidak dapat dikatakan sebagai sistem bikameral sebagaimana yang Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 diidekan daas solen, melainkan sistem perwakilan dengan tiga lembaga negara sekaligus, yakni MPR, DPR, dan DPD. Seharusnya, agar sesuai dengan aspek sejarah yang telah disampaikan sebelumnya dan maksud semula dari perubahan terhadap UUD 1945 ingin melaksanakan sistem presidensial melalui sistem checks and balances di antara lembaga-lembaga negara. Maka lembaga perwakilan yang dibentuk cukup dengan dua dewan saja yakni DPR dan DPD dengan kewenangan yang seimbang. Sehingga walaupun MPR tetap dipertahankan keberadaannya, tetapi hanya terbatas sebagai suatu forum sidang bersama joint session saja antara DPR dan DPD. 96 Jika dilihat dari latar belakang keanggotaannya, juga banyak para pakar Hukum Tata Negara menyarankan agar MPR dijadikan sebagai lembaga negara non permanen. Keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota MPR dan anggota DPD 97 4. Penguatan Wewenang Dewan Perwakilan Daerah. tersebut dianggap tidak efisien. Karena DPR dan DPD merupakan lembaga permanen yang memiliki tugas dan kewenangannya masing-masing. Sehingga MPR yang juga bersifat permanen ini menjadi tidak efektif. Karena anggota DPR maupun anggota DPD memiliki kesibukan yang rutin berkenaan dengan tugas dan kewenangannya masing-masing. Dalam perjalanannya, gagasan tentang parlemen bikameral yang baik itu ternyata kemudian hilang karena kompromi-kompromi dan menonjolnya 96 Abdy Yuhana, op.cit, hlm. 146-156. 97 Lihat Pasal 2 ayat 1 UUD 1945. Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 kepentingan politik selama proses amandemen. Meskipun kedudukannya merupakan salah satu lembaga negara yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MA, MK, dan BPK, DPD yang anggota-anggotanya dipilih langsung melalui pemilu ternyata di dalam konstitusi hanya diberi fungsi yang sangat sumir dan nyaris tak berarti jika dibandingkan dengan biaya politik dan proses perekrutannya yang demokratis. Berbeda dengan DPR, yang diatur dalam tujuh pasal Pasal 19-Pasal 22B, DPD hanya diatur dalam dua pasal Pasal 22C dan Pasal 22D. Di dalam konstitusi hasil perubahan memang sama sekali tidak disebut istilah parlemen sehingga tidak mudah menjadikan DPR dan DPD sebagai kamar-kamar dari parlemen dua kamar. Lebih dari itu, jika di dalam UUD disebutkan secara tegas bahwa DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan Pasal 20A ayat 1, maka DPD tidak mempunyai fungsi-dungsi tersebut secara penuh. Dalam bidang legislasi, DPD tidak dapat ikut menetapkan UU sebagaimana layaknya lembaga perwakilan rakyat, sebab Pasal 20 ayat 1 sudah mengunci bahwa yang memegang kekuasaan pembentuk UU adalah DPR. Jika dipetakan maka kewenangan-kewenangan DPD sebagaimana dapat diambil dari ketentuan Pasal 22D ayat 1 dan ayat 2 hanyalah terbatas dalam masalah-masalah tertentu seperti di bawah ini. 1. Dapat mengajukan rancangan UU. DPD dapat RUU tanpa boleh ikut menetapkan atau memutuskan dalam bidang-bidang tertentu yaitu: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran sert Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 penggabungan daerah, pengembangan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuasangan pusat dan daerah. 2. Ikut membahas rancangan UU. Tanpa boleh ikut menetapkan atau memutuskan, DPD boleh ikut membahas RUU dalam bidang:otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah. 3. Memberi pertimbangan. DPD diberi kewenangan untuk memberikan pertimbangan atas RUU yang berkaitan dengan Rancangan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta memberikan pertimbangan di luar RUU dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan BPK. 4. Dapat melakukan pengawasan. DPD juga dapat melakukan pengawasan dalam pelaksanaan bidang-bidang: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah, APBN, pajak, pendidikan dan agama. Karena kewenangan yang sangat terbatas itu, dapat dikatakan bahwa DPD hanya sebagai formalitas konstitusional belaka disebabkan oleh kompromi yang melatarbelakangi pelaksanaan perubahan. Selain dengan fungsi-fungsinya yang tak dapat menentukan UU dan kebijakan negara lainnya, ditentukan juga bahwa jumlah anggota DPD tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Bahkan kelemahan DPD menjadi Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009 semakin tampak ketika kewenangannya untuk ikut membahas RUU tertentu oleh UU Susunan dan Kedudukan Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD dikurangi lagi sehingga DPD hanya boleh ikut membahas pada tahap awal Pembicaraan tingkat I saja. Pasal 43 ayat 2 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD menggariskan bahwa ‘DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan RUU sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR’. Dengan fungsi dan wewenang seperti itu maka sebenarnya DPD dapat dikatakan tidak mempunyai fungsi ketatanegaraan yang berarti. Peran-perannya yang sering dilakukan untuk menyampaikan aspirasi rakyat Daerah terhadap Pusat sebenarnya dapat dilakukan oleh Ormas dan LSM atau oleh media massa. DPD hanya menjadi penting kalau terjadi sesuatu yang akan jarang terjadi dan sifatnya insidental berdasarkan UUD 1945, yakni terjadinya perubahan atas UUD dan terjadinya impeachment terhadap Presiden atau Wakil Presiden yang prosesnya sampai ke MPR. BAB V PENUTUP Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008. USU Repository © 2009

A. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR) DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA MENURUT UNDANG UNDANG DASAR NEGARA RI TAHUN 1945

0 7 30

MEKANISME PEMAKZULAN (IMPEACHMENT) PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN OLEH MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

0 5 1

IMPLIKASI KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

0 10 63

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011)

0 7 104

HALAMAN JUDUL SKRIPSI Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

0 5 13

PENDAHULUAN Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

0 7 15

DAFTAR PUSTAKA Buku: Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

0 6 4

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 8

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 1

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 23