i yang menceritakan tentang kehidupan baik secara fiksi yang mengandung
suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan penulisnya. Novel merupakan produk masyarakat kota yang terpelajar, mapan,
kaya, cukup waktu luang untuk menikmatinya. Di Indonesia, masa perkembangannya terjadi pada tahun 1970-an.
2. Pengertian Novel Islam
Novel Islam merupakan karya sastra, yang berisikan kisah cerita yang memiliki nilai-nilai dakwah. Dalam alur cerita novel tersebut
terdapat unsur-unsur dakwah. Nilai-nilai dakwah yang dimasukkan dalam isi cerita novel memberikan pesan dakwah yang sengaja dimasukkan oleh
pengarang novel. Adapun nilai-nilai dakwah yang dimasukkan seperti aqidah, akhlak, syariah.
Sunarwoto Prono Legsono, mengartikan sastra Islami dalam 3 bagian yaitu:
a. Sastra Islami adalah karya sastra yang menampilkan persoalan tema
dan latar belakang dunia Islam. Tidak hanya dalam konteks Indonesia, tetapi dunia Islam secara universal.
b. Sastra Islami adalah karya yang menampilkan tokoh-tokoh Islam. Para
pelaku cerita adalah orang-orang Islam yang berjuang atau memperjuangkan ke-Islamannya.
c. Para penulis adalah orang-orang Islam.
60
3. Unsur Intrinsik Novel
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung turut membangun cerita. Dengan adanya perpaduan unsur intrinsik inilah yang
membuat sebuah novel terwujud. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung yang berbeda mempengaruhi.
59
Jacob Sumardjo, Konteks Sosial Novel Indonesia 1970-1977, Bandung: Alumni, 1999, h.12
60
Sunarwoto Prono Legsono, Menandai Kebangkitan Fiksi Islam. h.30
i Menurut Welleck dan Warren, sebagaimana dikutip Burhan Nurgiantoro
bahwa unsur-unsur tersebut antara lain keadaan subjektifitas pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang kesemuanya akan
mempengaruhi karya yang ditulisnya. Diantara beberapa unsur intrinsik dalam novel atau prosa yaitu:
1. Plot
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur
fiksi lain
62
. Hal itu kiranya beralasan, sebab kejelasan plot, kejelasan tentang kaitan antara peristiwa yang dikisahkana secara linear, akan
mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan. Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanan plot berarti
kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya plot sebuah karya fiksi yang kompleks dan sulit dikenali hubungan kausalitas antar peristiwanya,
menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami
63
. Plot sering dikupas menjadi lima elemen penting, yaitu pengenalan,
timbulnya konflik, konflik memuncak, klimaks, dan pemecahan masalah
64
. Secara teoritis plot dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama,
plot progresif atau lurus, yaitu jika peristiwa-peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, peristiwa yang pertama kali diikuti oleh atau:
menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. Atau secara berurutan cerita dimulai dari tahap awal penyituasian, pengenalan,
pemunculan konflik, tengah konflik meningkat, klimaks, dan akhir penyelesaian. Kedua, plot regresif atau alur sorot balik flash back,
yakni peristiwa yang diceritakan tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal melainkan mulai dari tahap tengah atau bahkan
61
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajahmada University Press,1995, h.23
62
Ibid , h.110
63
Ibid , h.120
64
Jacob Sumardjo dan Saini K. M, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta: Penerbit PT. Gramedia 1986, h.49
i tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Namun tidak ada
novel yang secara mutlak berplot lurus-kronologis atau sebaliknya sorot- balik. Maka Burhan Nurgiantoro dalam pembahasan yang sama mengenai
plot, menambahkan satu kategori plot yaitu progresif-regresif atau dapat dinamakan plot-campuran
65
. 2.
Tokoh dan Penokohan Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya
sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “siapakah tokoh utama novel itu?”, atau ada beberapa jumlah pelaku novel itu?” dan lain sebagainya. Watak,
perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafirkan oleh pembaca, lebih menunujuk pada sifat dan
sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi
menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti yang dikatakan Jones, sebagaimana
dikutip oleh Burhan Nurgiantoro, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita
66
. Tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh utama, protagonis, antagonis,
tritagonis, dan tokoh pembantu: a.
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritannya dalam sebuah novel. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan,
baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian, termasuk konflik sehingga tokoh tersebut mempengaruhi perkembangan plot
67
. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh utama bukan
frekuensi kemunculan tokoh itu dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan
tokoh-tokoh didalam
peristiwa-peristiwa yang
membangun cerita
68
.
65
Burhan Nurgiantoro, , Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajahmada University Press,1995, h.153-156
66
Ibid, h. 164-165
67
Ibid , h. 176
68
Adib Sofia dan Sugihastuti, Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang,
Bandung : Katarsis, 2003, h.16
i b.
Tokoh Protagonis Altenberhand dan Lewis, sebagaimana yang dikutip oleh Burhan
Nurgiantoro, mengartikan tokoh protagonis sebagai tokoh yang kita kagumi, tokoh yang merupakan pengejawatahan norma-norma, nilai-
nilai yang ideal bagi kita
69
. c.
Tokoh Antagonis Yaitu tokoh atau pelaku yang menentang tokoh protagonis sehingga
terjadi konflik dalam cerita
70
d. Tokoh Tritagonis
Yaitu tokoh yang menjadi penengah antara pelaku protagonis dengan antagonis.
e. Tokoh pembantu atau tambahan
Yaitu pelaku yang bertugas membantu pelaku utama dalam rangkaian mata rantai cerita pelaku pembantu, mungkin berperan sebagai
pahlawan, mungkin juga sebagai pemenang atau penengah jika terjadi konflik.
3. Setting atau latar
Latar atau setting, menurut M.H. Abrams adalah sebagaimana yang dikutip oleh Burhan Nurgiantoro, dapat juga disebut sebagai landas tumpu
yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar atau
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu lampau berhubungan dengan masalah kapan terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi
71
. 4.
Point Of View
69
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1995, h. 178
70
Ibid , h.180
71
Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta : Gajah mada University Press, 1995, h.81
i Sudut pandang atau point of view oleh Robert Stanton, sebagaimana
yang dikutip oleh Adib Sofia dan Sugihastuti, diartikan sebagai posisi yang merupakan dasar berpijak kita untuk melihat secara hati-hati agar
ceritanya dapat memiliki hasil yang sangat memadai
72
. Unsur lain yang menarik dari novel dapat dilihat dari isi dialog
dalam sebuah novel. Dialog dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti percakapan sandiwara atau cerita, atau karya tulis yang
disajikan dalam bentuk percakapan antara dua tokoh atau lebih
73
.
D. Novel Sebagai Media Dakwah