Pengalaman Uni Afrika dalam Menyelesaikan Konflik di Kawasan

Berbeda dengan NOMG I, NOMG II memiliki jumlah pasukan penjaga perdamaian yang lebih besar terdiri dari 70 pejabat militer dengan anggota Cango, Nigeria, Senegal serta dibantu oleh 62 orang pejabat non-komisi dari Tunisia dan perwakilan-perwakilan dari pemerintah Rwanda dan kelompok pemberontakan RPF. Mayor Jendral Ekundayo Opaleye ditunjuk sebagai ketua sekaligus komandan NMOG II. Breman Sams 2000: 75 Pada saat OPA membentuk NOMG II, OPA juga meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengirimkan pasukan penjaga perdamaiaan ke Rwanda. Dewan Keamanan PBB merestui permintaan tersebut dan meminta kepada Sekjen PBB, Boutros-boutros Ghali untuk mengadakan konsultasi dengan OPA mengenai proses serta tata cara pengiriman pasukan penjaga perdamaian PBB di Rwanda. Dewan Keamanan PBB akhirnya memutuskan untuk mengirimkan pasukan penjagaan perdamaian PBB ke Rwanda dan membentuk UNAMIR pada tanggal 5 oktober 1993. NMOG II sendiri yang misinya berakhir pada bulan Oktober akhirnya melebur ke dalam UNAMIR. Breman Sams 2000: 76 B.3. Misi Uni Afrika Di Burundi Pada tahun 1993, Melchior Ndadaye, presiden Burudi pertama yang terpilih secara demokratis dan seorang pemimpin Front Pour la Democratie au Burundi FORDEBU dari suku Hutu dibunuh oleh seorang suku Tutsi, suku yang mendominasi tentara Burundi. Peristiwa tersebut melahirkan perang terbuka antara pemberontak Hutu dan militer Burundi. Lebih dari 300.000 orang Burundi terbunuh dalam pertikaian antar etnis tersebut dan kebanyakan korban adalah warga sipil yang tidak ada hubungannya dengan konflik. Trivendi 2001: 25 Sejumlah pemimpin Afrika termasuk mantan presiden Tanzania, Julius Nyerere, mantan presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela dan mantan wakil presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma berusaha keras untuk menyelesaikan konflik etnis di Burundi. Akhirnya pada tahun 2000, 17 partai politik Burundi beserta pemerintah dan Majelis Burundi National Assembly menandatangani perjanjian Arusha dalam rangka penyelesaian menyeluruh terhadap konflik internal Burudi. Namun sayangnya, perjanjian tersebut tidak ditandatangani oleh dua kelompok pemberontak utama Burundi, The Conseil National Pour la Defense de la Democratie-Forces Pour la Defense de la Democratie CNDD-FDD dan Parti Pour la Liberation du Peuple Hutu-Forces Nationales de Liberation PALIPU HUTU-FNL. Trivendi 2001: 26 Pada November 2003 kelompok pemberontak CNDD-FDD menandatangani kesepakatan damai dan bersedia bergabung dalam pemerintahan transisi Burundi. Namun kelompok pemberontak FNL tidak ingin menandatangani kesepakatan tersebut dan terus melakkan penyerangan terhadap pemerintah transisi Burundi. Kondisi ini menggambarkan situasi keamanan Burundi dalam bahaya dan mendorong Uni Afrika untuk berperan dalam upaya penyelesaian konflik di Burundi. Trivendi 2001: 29 Pada April 2003, Uni Afrika membentuk misi perdamaiaan di Burundi untuk mendukung proses perdamaiaan. Meskipun dalam perjanjian Arusha tahun 2000 PBB secara jelas diminta untuk melaksanakan operasi penjaga perdamaian di Burundi, PBB tidak ingin melaksanakan operasi tersebut dengan alasan tingkat pelanggaran gencatan senjata di Burundi sangat tinggi. Hasilnya, Uni Afrika diminta untuk melaksanakan misi perdamaian di Burundi dengan nama African Mission in Burundi AMIB. Trivendi 2001: 29 AMIB terdiri dari 3.325 pasukan dari Afrika Selatan, Mozambique dan Ethiopia serta pengamat militer tambahan dari Burkina Faso, Gabon, Mali, Togo dan Tunisia. Tujuan utama pembentukan AMIB adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi penempatan pasukan PBB setelah adanya resolusi Dewan Keamanan PBB. Hal ini disebabkan karena pembentuan AMIB dilandasi oleh adanya pemahaman bahwa PBB akan mengambil alih operasi perdamaian di Burundi setelah 12 bulan AMIB beroperasi. Mandat dan tugas yang diberikan kepada AMIB antara lain : 1 membentuk dan memelihara hubungan di antara kelompok-kelompok yang bertikai; 2 mengamati dan memverivikasi pelaksanaan gencatan senjata; 3 memfasilitasi dan menyediakan bantuan teknis dalam rangka proses pelucutan gencatan senjata dan pembubuaran milisi; 4 menatasi gerakan setiap pasukan; 5 memfasiitasi sampainya bantuan kemanusiaan kepada pengungsi; 6 mengkoordinir aktivitas operasi berama operasi PBB di Burundi. Trivendi 2001: 39 PBB akhirnya secara resmi mengabil tugas AMIB pada bulan Juni 2004, setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 1545 pada bulan Mei 2004 yang membeli otoritas bagi pelaksana operasi pasukan penjaga perdamaian PBB di Burundi. AU 2012 Operasi-operasi yang dilaksanakan baik oleh OPA maupun Uni Afrika di atas merupakan sebuah pengalaman berharga bagi organisasi kawasan untuk melaksanakan peran penjaga perdamaian di kawasan Afrika untuk masa yang akan datang. Dengan malaksanakan peran tersebut. Uni Afrika diharapkan mampu menyelesaikan setiap konflik yang terjadi di kawasan melalui semangat dan persatuan bangsa Afrika yang secara langsung termuat dalam piagam pembentukan Uni Afrika. Trivendi 2001: 40 Pengalaman-pengalaman Uni Afrika baik ketika organisasi masih bernama OPA dalam upaya menyelesaikan berbagai konflik internal negara angotanya, merupakan pengalaman berharga bagi Uni Afria untuk melaksanakan berbagai misi penciptaan dan penjaga perdamaian di Afrika di masa mendatang. Pengalaman tersebut tentunya sangat berguna bagi Uni Afrika dalam upaya mengatasi konflik etnis yang terjadi di Darfur.. Uni Afrika tidak perlu lagi membentuk sebuah penitia ad hoc maupun sekadar melaksanakan operasi pengawasan jalannya kesepakatan gencatan senjata sebagaimana ketika organisasi masih bernama OPA. Uni Afrika kini memiliki legalitas hukum yang kuat untuk melaksanakan operasi perdamaian di salah-satu negara anggotanya berdasarkan piagam pembentukan Uni Afrika.

BAB III KRISIS KEMANUSIAAN DI DARFUR

Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai konflik di Darfur, dibutuhkan penjelasan sekomprehensif mungkin mengenai sejarah dan akar berbagai konflik yang terjadi di sana. Menurut Guy Martin, dalam artikel Conflict Resolution in Africa , untuk menjelaskan dan menganalisa konflik-konflik yang terjadi di kawasan Afrika, maka dibutuhkan sebuah pandangan dan pendekatan yang sistematis terhadap sejarah konflik itu sendiri. Di Afrika, sebagaimana di belahan dunia lainnya, konflik merupakan bagian tak terpisahan dari kehidupan masyarakat yang dinamis. Perjuangan antara individu, keluarga, suku dan kelompok etnis serta negara untuk dapat menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik demi kelangsungan hidup kelompoknya masing-masing, seringkali menimbulkan benturan dengan kelompok-kelompok lain dan menjadi faktor penyebab terjadinya konflik. Martin, 2006 Untuk itu, terlebih dahulu harus dibedah sejarah kawasan tersebut, baik dari sisi sosial, politik, ekonomi dan budaya. Bab ini akan mencoba memahami latar belakang konflik yang terjadi di Darfur.

A. Sejarah dan akar konflik Darfur

Menurut Gerard Pruiner, masyarakat Darfur adalah sebuah mosaik yang kompleks, terdiri dari antara 40 hingga 90 kelompok etnis. Secara garis besar, mereka terdiri dari dua golongan kebangsaan; sebagian berkebangsaan Afrika, sebagian lain berkebangsaan Arab. Darfur adalah daerah di bagian barat Sudan jumlah penduduk mencapai sekitar 6 juta jiwa. Suku-suku asli Afrika Darfur meliputi suku asli Fur, Masalit, Zaghwa, Daju dan Berti. Pruiner 2005: 4 Orang-orang Arab mulai tiba di Darfur pada abad ke-14. Pergaulan mereka dengan suku asli sangat baik. Terjadi koeksistensi damai antara pendatang dan penduduk pribumi, perselisihan yang tak terelakkan atas sumber daya alam diselesaikan melalui mediasi para pemimpin lokal. Pada perkembangan berikutnya hingga kini, Arab Darfur merupakan suku pendatang yang secara dominan menempati wilayah Darfur bagian utara dan selatan. Meskipun bukan penduduk asli, Arab merupakan etnis yang dominan di Darfur dan mereka beragama Islam. Kini, mayoritas orang Arab Darfur berkulit hitam, karena merupakan hasil dari perkawinan campuran Arab-Afrika. Collins 2006:29 Di jantung kawasan Darfur, terdapat sebuah gunung berapi yang disebut Jebel Marra. Tanah di lereng gunung tersebut sangat subur. Di daerah ini penduduk awal Darfur hidup – Dinasti Daju. Sangat sedikit yang diketahui tentang mereka. Sejarah Darfur mencatat, pada abad ke-14, dinasti Daju digantikan oleh dinasti Tunjur, yang membawa Islam masuk ke wilayah tersebut. Pruiner 2005: 8 Pada pertengahan abad ke-17, Kesultanan Fur didirikan oleh dinasti Keyra, dan Darfur berkembang menjadi semakin makmur. Di masa kejayaannya pada abad 17 dan 18, karena lokasi geografisnya yang strategis, Kesultanan Fur menjadi pusat kegiatan komersial yang maju. Pada masa itu, telah terjadi perdagangan budak, gading, dan barang-barang perhiasan dengan orang-orang Mediterania. Kesultanan Fur juga menyerang dan melakukan penaklukkan terhadap beberapa wilayah di sekitarnya. Pruiner 2005; 8-15 Pada pertengahan abad ke-19, kesultanan Fur dikalahkan oleh pedagang budak terkenal, Zubair Rahma. Runtuhnya dinasti Keyra membuat keadaan Darfur menjadi tak menentu, tak ada penegakkan hukum seperti di masa sebelumnya. Para bandit dan tentara lokal memangsa masyarakat yang rentan. Pruiner: 15 Di lain pihak, pasukan Islam Mahdi ingin melawan kekuasaan kolonial Inggris di wilayah tersebut dengan berusaha untuk menggabungkan Darfur menjadi republik Islam jauh lebih besar. Periode ini menimbulkan perang yang berkepanjangan. Sampai keturunan dari Sultan Keyra, Ali Dinar muncul kembali sebagai kekuatan yang dominan dan memimpin pasukan Islam untuk memerintah di Darfur. Hingga tahun 1899 ketika Mesir – yang berada di bawah kekuasaan Inggris – mengakui kedaulatan Ali Dinar, cucu dari salah satu sultan Keyra, sebagai Sultan Darfur. Pengakuan ini membuat Darfur secara de facto memiliki kemerdekaan, dan Darfur hidup dalam damai selama beberapa tahun. Flint de Wall 2005: 11 Selamanya Ali Dinar menolak untuk tunduk pada keinginan baik Perancis maupun Inggris, yang sibuk membangun kerajaan mereka di sekitar wilayahnya. Gesekan diplomatik seringkali mewujud menjadi perang terbuka. Ali Dinar dengan berani menantang pasukan Inggris berperang. Setelah perang berlangsung selama enam bulan, Ali disergap dan dibunuh, bersama dengan dua anaknya, pada bulan November 1916. Pada Januari 1917, Darfur berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris dan memasukkannya menjadi bagian dari Sudan, membuat Sudan menjadi negara terbesar di Afrika. Flint de Wall 2005: 20 Satu-satunya hasrat penguasa kolonial baru Darfur adalah untuk menjaga perdamaian. Inggris tidak untuk tertarik membangun dan memajukan kawasan ini, tidak ada investasi di sana. Sangat berbeda dengan Sudan bagian utara. Menurut catatan Julie Flint and Alex de Waal dalam buku Darfur: a Short History of a Long War , Pada tahun 1935, Darfur hanya memiliki empat sekolah, tidak ada klinik bersalin, tidak ada kereta api atau jalan-jalan besar di luar kota terbesar. Darfur diperlakukan sebagai kawasan terpencil. Selalu begitu oleh penguasa- penguasa setelah kolonial Inggris, Darfur seperti pion dalam permainan kekuasaan oleh penguasa-penguasa yang datang dan pergi silih-berganti. Flint de Wall 35 Meskipun dengan sedikit enggan, setelah perang dunia II Inggris memberi Sudan kemerdekaan secara damai pada 1 Januari 1956. Penjajahan inggris menyisakan perbedaan yang mencolok antara Sudan Utara dan Sudan Selatan, mengembangkan tanah yang subur di sekitar Lembah Nil di Utara, sementara mengabaikan daerah selatan, timur dan Darfur di barat. Mereka menyerahkan kekuasaan politik langsung ke minoritas elit Arab utara. Hal ini menyebabkan daerah Selatan melakukan pemberontakan pada tahun 1955, memulai perang pertama Utara-Selatan. Masyarakat Darfur banyak yang ikut berperang melawan pemerintah pusat dan sentimen Utara-Selatan mulai menguak. Perang berlangsung bertahun-tahun hingga tahun 1972 ketika kesepakatan damai ditandatangani di bawah Presiden Nimeiry. Pruiner, 2005: 25-34 Namun demikian, pemerintahan Sudan terus-menerus mencemooh perjanjian perdamaian tersebut. Hal ini tentu saja membuat masyarakat dan elit Selatan jengah. Faktor kejengahan, ditambah lagi faktor upaya pemaksakaan hukum Islam dan penemuan lahan minyak baru, menghidupkan kembali konflik di Selatan pada tahun 1983. Perjanjian Nimeiry nyaris tak berdampak apa-apa. Kekerasan tetap sering terjadi. Dalam buku Darfur: the Ambigious Genocide, Gerard Pruiner menyebut hubungan antara Darfur dan Khartoum pada periode