Sejarah dan akar konflik Darfur
Long War , Pada tahun 1935, Darfur hanya memiliki empat sekolah, tidak ada
klinik bersalin, tidak ada kereta api atau jalan-jalan besar di luar kota terbesar. Darfur diperlakukan sebagai kawasan terpencil. Selalu begitu oleh penguasa-
penguasa setelah kolonial Inggris, Darfur seperti pion dalam permainan kekuasaan oleh penguasa-penguasa yang datang dan pergi silih-berganti. Flint de Wall
35 Meskipun dengan sedikit enggan, setelah perang dunia II Inggris memberi
Sudan kemerdekaan secara damai pada 1 Januari 1956. Penjajahan inggris menyisakan perbedaan yang mencolok antara Sudan Utara dan Sudan Selatan,
mengembangkan tanah yang subur di sekitar Lembah Nil di Utara, sementara mengabaikan daerah selatan, timur dan Darfur di barat. Mereka menyerahkan
kekuasaan politik langsung ke minoritas elit Arab utara. Hal ini menyebabkan daerah Selatan melakukan pemberontakan pada tahun 1955, memulai perang
pertama Utara-Selatan. Masyarakat Darfur banyak yang ikut berperang melawan pemerintah pusat dan sentimen Utara-Selatan mulai menguak. Perang berlangsung
bertahun-tahun hingga tahun 1972 ketika kesepakatan damai ditandatangani di bawah Presiden Nimeiry. Pruiner, 2005: 25-34
Namun demikian, pemerintahan Sudan terus-menerus mencemooh perjanjian perdamaian tersebut. Hal ini tentu saja membuat masyarakat dan elit
Selatan jengah. Faktor kejengahan, ditambah lagi faktor upaya pemaksakaan hukum Islam dan penemuan lahan minyak baru, menghidupkan kembali konflik di
Selatan pada tahun 1983. Perjanjian Nimeiry nyaris tak berdampak apa-apa. Kekerasan tetap sering terjadi. Dalam buku Darfur: the Ambigious Genocide,
Gerard Pruiner menyebut hubungan antara Darfur dan Khartoum pada periode
1956-1985 sebagai sebuah hubungan yang tak bahagia, seperti rumah tangga yang tak bahagia. Pruiner, 2005: 36
Selain itu, masyarakat Darfur sendiri juga terpecah menjadi dua kelompok dalam konflik tersebut. Sebagian memang terlibat dalam perjuangan
pemberontakan melawan pemerintah karena wilayah mereka termarjinalkan, namun tidak sedikit pula yang berpihak pada pemerintah pusat dan mendaftarkan
diri sebagai tentara nasional. Faktor destabiilisasi di Darfur ditambah dengan masuknya Kolonel Qadafhi Libya yang menggunakan kawasan Darfur sebagai
pangkalan militer untuk perang Islam di Chad. Perang ini, dikenal sebagai Perang Arab-Fur 1987-1989, yang bertujuan mempromosikan supremasi Arab,
membuat ketegangan etnis meradang dan membanjiri daerah ini dengan persenjataan. Akibat perang tersebut, ribuan tewas dan ratusan desa terbakar.
Penderitaan rakyat diperburuk oleh kelaparan dahsyat di penghujung 1980-an, di mana pemerintah Khartoum tidak memperhatikan nasib warga Darfur. Pruiner,
2004: 42-47 Di masa inilah benih-benih pemberontakan terhadap pemerintah pusat
semakin menguat di Darfur. Kelompok pemberontak ini adalah kaum Afrika terpelajar Darfur yang menggalakkan pergerakan politik sejak tahun 1960-an,
karena Darfur secara politik dan ekonomi termajinalkan oleh pemerintah pusat. Tuntutan mereka adalah kesetaraan pembangunan untuk Darfur dan yang paling
ektrem, menuntut kemerdekaan bangsa Afrika Darfur. Kemarahan karena termarjinalkan, diberi kesempatan memegang banyak senjata karena Perang Arab-
Fur, membuat kelompok Afrika Darfur mulai melakukan berbagai perlawanan lokal kecil-kecilan Setidaknya dari sini konflik etnis di Darfur bermula. Untuk
melawan para pemberontak itu, Pemerintahan Sadiq al Mahdi 1986-1989, membentuk milisi sipil yang dipersenjatai dari suku Messiriya dan Rezeiget, yang
merupakan dua suku besar keturunan Arab di Darfur, untuk mengamankan Darfur. Milisi Arab bentukan pemerintah inilah asal-muasal dari Janjaweed yang
kemudian membabi-buta melakukan pembantaian terhadap orang-orang Afrika Darfur. Johnson, 2006: 23
Sementara itu, politik di Khartoum juga bergolak. Pada tahun 1989, National Islamic Front Front Islam Nasional, NIF, yang dipimpin oleh Jenderal
Omar al-Bashir, merebut kekuasaan di Sudan dari pemerintah yang terpilih secara demokratis Sadiq al Mahdi, dalam kudeta tak berdarah. NIF mencabut konstitusi,
melarang partai-partai oposisi, dan alih-alih berusaha memantapkan langkah menuju perdamaian, sebaliknya Bashir menyatakan jihad melawan Afrika non-
Muslim di Selatan. Secara teratur ia menggunakan milisi etnis untuk melakukan pertempuran. NIF semakin jauh meminggirkan populasi Afrika di Darfur.
Pruiner, 2004: 42-47 Bisa ditebak, pemerintahan Al- Bashir juga semakin meningkatkan
sokongan mereka untuk milisi Janjaweed. Milisi yang memiliki filosofi supremasisme Arab ini tak henti-hentinya memerangi ras Afrika dengan
kekerasan. Janjaweed pertama kali memiliki peran aktif di Darfur di masa perang Arab-Fur pada tahun 1989. Direkrut terutama dari suku-suku nomaden Arab,
milisi ini dimobilisasi untuk tindakan-tindakan premanisme. Kata janjaweed berarti gerombolan atau bajingan, atau seperti setan menunggang kuda dalam
bahasa Arab. Pruiner, 2004: 54-58
Pemerintahan Sudan, di bawah Al-Bashir, yang kejam dan opotunis, pertama kali melatih, mempersenjatai Janjaweed secara massif pada tahun 1996.
Pada periode 1996-1998, Janjaweed memerangi rakyat Massalit yang beretnis Afrika di Darfur. Al-bashir sengaja menggunakan milisi etnis untuk melawan
resistensi di daerah sebagai kekuatan proksi bagi mereka. Ini memungkinkan pemerintah memadamkan perang lokal dengan murah, selain untuk menyangkal
keterlibatan mereka di balik konflik, meski banyak bukti menunjukkan sebaliknya. Pruiner, 2004: 42-47
Menurut Alex de Wall, dalam tulisannya di majalah African Affairs, pemerintah Sudan kemudian secara konsisten menggunakan milisi Arab
Janjaweed untuk menyerang kelompok-kelompok pemberontak Darfur dan memberikan kekebalan hukum bagi milisi Arab tersebut. Pemerintah Sudan,
menurut Alex, juga menyediakan senjata serta bantuan udara bagi Janjaweed ketika menyerang kelompok pemberontak dan melakukan pembunuhan terhadap
warga Afrika Darfur. Tindakan seperti ini jelas melanggar hukum humaniter internasional yang menyatakan bahwa pelanggaran terhadap hak asasi manusia
pembunuhan warga sipil merupakan sebuah kejahatan serius dan pelakunya harus diasdili di Peradilan Pidana Internasional International Criminal Court.
De Wall, 2005: 129 Rezim Al-bashir dikenal memfasilitasi beberapa organisasi fundamentalis
Islam, termasuk menyediakan rumah bagi Osama bin Laden mulai tahun 1991 sampai tahun 1996, ketika AS memaksa pengusiran. Sudan terlibat dalam upaya
pembunuhan Presiden mesir Hosni Mobarak pada Juni 1995. Setelah serangan rudal AS di pabrik farmasi Sudan pada tahun 1998, menyusul teror bom dari
kedutaan besar AS di Nairobi dan Dar el Salam, dukungan Sudan terhadap kelompok teroris semakin terang dan puncaknya meningkatkan isolasi
internasional. Pruiner, 2004: 54-58