Peran Uni Afrika dalam resolusi konflik Darfur tahun 2004-2007

(1)

PERAN UNI AFRIKA DALAM RESOLUSI KONFLIK DARFUR

TAHUN 2004-2007

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

oleh

Ihsan

107083001706

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

v

NIM : 107083001706

Peran Uni Afrika Dalam Resolusi Konflik Darfur Tahun 2004 – 2007

Skripsi ini mencoba menganalisa sejauh mana upaya dan peran Uni Afrika dalam menyelesaikan konflik di negara anggotanya. Secara spesifik skripsi ini menyoroti bagaimana peran Afrika dalam usaha menyelesaikan konflik di Darfur, Sudan, pada tahun 2004-2007. Penelitian ditujukan untuk melihat bagaimana organisasi kawasan berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah domestik anggotanya. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode analisis kualitatif yang bersifat deskriptis analitis.

Dalam temuan penulis, misi perdamaian Uni Afrika untuk Sudan, AMIS, tidak berhasil melakukan tugasnya dalam usaha mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perseteruan di Darfur, Sudan. Malahan, pertumpahan darah terus saja terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal; pertama, keterbatasan mandat AMIS, kedua tidak diperbolehkannya personil penjaga perdamaian untuk menggunakan deadly force dan ketiga, peralatan dan logistik yang tidak memadai. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai peran Uni Afrika di Darfur tahun 2004-2007, penelitian ini menggunakan beberapa teori yang dapat menjelaskan berbagai temuan penelitian. Teori yang digunakan adalah teori Organisasi Internasional dan teori resolusi konflik, serta dibantu dengan konsep peran dalam Ilmu Hubungan Internasional.

Kata Kunci : Uni Afrika, Darfur, Janjaweed, SLM/A, Peacemaking, Mediator, African Union Mission in Sudan (AMIS).


(6)

vi

taufiq dan hidayahNYA yang telah dianugerahkan kepada penulis, sehingga mampu menyelesaikan tugas skripsi dengan judul: “Peran Uni Afrika Dalam Resolusi Konflik Darfur 2004-2007”

Skripsi ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada program studi Hubungan Internasional. Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukan hanya hasil karya penulis seorang diri, melainkan juga karena bimbingan, saran, motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah setia mendukung dan memberi semangat dalam proses menyelesaikan skripsi ini. Berbagai pihak diantaranya:

1. Keluarga penulis, khususnya kepada Ayahanda Jakfar Nasruddin Dalimunthe dan Ibunda tercinta Rosmala Lubis, adik-adik Fadila, Hanief dan Rozana. Terima Kasih atas dukungan dan doanya.

2. Pak Teguh Santosa selaku dosen pembimbing skrispi saya. Terima kasih atas bimbingan, motivasi, dan nasihatnya selama ini.

3. Pak Kiky Rizky selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas waktu luang yang diberikan, juga motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Ketua Prodi Hubungan Internasional sejak Bapak. Nazaruddin Nasution SH,

MA, kemudian Ibu Dina Afriyanti Ph.D, dan selanjutnya Bapak Kiky Rizky, M.Si. Terima kasih atas support dan kepercayaannya selama di BEM maupun menjadi mahasiswa.

5. Dosen-dosen Jurusan Hubungan Internasional: Bapak Agus Nilmada M.Si, Bu Mutiara Pertiwi, Bapak Adian Firnas M.Si, Bapak Amein Daulay M.Si, Bapak Dr. Abdul Hadi Adnan, Bapak Badrus Sholeh, Bapak Aiyub Mohsin, Kak Musa, Bapak Faisal Nurdin. Selain itu juga kepada Bapak Dr. Abdul Rozak dan Bapak Ahmad Abrori.Terima kasih atas ilmu dan dukungan yang diberikan selama penulis menuntut ilmu di UIN Jakarta.


(7)

vii mahasiswa HI FISIP.

7. Kepada Duta Besar Sudan, Mr.Ambassador Abd Rahim, Terima kasih atas kesediaan waktunya untuk diwawancarai sehingga dapat menambah kekayaan dalam penulisan skripsi ini.

8. Teman-teman HI angkatan 2007, Arlian Buana Chrissandi, Dery Alfikry, Subhan Jamil Baidlowi, Siska, Nia, Muammar, Tebry dan teman-teman penulis yang banyak membantu mencarikan buku tentang Darfur dan Uni Afrika, Faisal Mahyudin, Anwar bin Haydar, Muhammad Reza.

9. Teman-teman redaksi di Rakyat Merdeka Online.

10.Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga segala dukungan dan bantuan kalian mendapat imbalan dari Allah SWT dan menjadi amal kebaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi perbaikan di masa mendatang.Mudah-mudahan, skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan bagi pembacanya dan studi Hubungan Internasional.


(8)

x

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR SINGKATAN xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pernyataan Penelitian 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

D. Kerangka Pemikiran 9

D. 1. Konsep Peran 9

D. 2. Organisasi Internasional 10

D. 3. Resolusi Konflik 12

D.4. Konsep Responsibility to Protect 16

E. Tinjauan Pustaka 20

F. Metode Penelitian 25

G. Sistematika Penulisan 26

BAB II KOMITMEN UNI AFRIKA DALAM RESOLUSI KONFLIK

A. Uni Afrika

A.1. Latar Belakang Uni Afrika 28

A.2. Tujuan dan Prinsip-prinsip Uni Afrika 33

A.3. Dewan Keamanan Uni Afrika 36

B. Pengalaman Uni Afrika dalam Menyelesaikan

Konflik di Kawasan 40

B.1. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Chad 41

B.1. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Rwanda 43

B.2. Misi Uni Afrika di Burundi 44

BAB III KRISIS KEMANUSIAAN DI DARFUR

A. Sejarah dan Akar Konflik Darfur 48

B. Konflik dan Krisis Kemanusiaan Dalam Konflik Darfur

mulai Tahun 2003 55

C. Faktor-faktor yang mendorong keterlibatan Uni Afrika

di Darfur 59

C.1. Faktor internal pendukung keterlibatan Uni Afrika

di Darfur 61

C.2. Faktor-faktor eksternal pendorong keterlibatan

Uni Afrika di Darfur 67

C.2.1 Perserikatan Bangsa-Bangsa 71

C.2.2 Uni Eropa 72


(9)

xi

A. Uni Afrika sebagai Fasilitator Perundingan Damai 81

B. Uni Afrika sebagai Mediator Perundingan Damai 83

C. Misi Pengawasan Kesepakatan Gencatan Senjata 87

D. Operasi Perdamaian Uni Afrika Di Darfur 90

E. Kendala dan Hambatan AMIS 94

E.1.Keterbatasan Mandat 94

E.2. Rules Of Engagement 97

E.3. Logisitik dan Penempatan Personel AMIS 98

BAB V KESIMPULAN

Kesimpulan 100


(10)

xii


(11)

xiii

Tabel I.I. Pasal 3 Piagam Uni Afrika 28

Tabel I.II. Pasal 4 Piagam Uni Afrika 35


(12)

xiv

AMIS : African Union Mission in Sudan

APF : African Peace Facility

APP : African Action Plan

ASF : African Standby Force

AU : African Union

DK PBB : Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-bangsa

DLF : Darfur Liberation Front

DPKO : Departement of Peace-Keeping Operation

EDF : European Development Fund

HRW : Human Right Watch

ICISS : The International Commission on Intervention and State

Sovereignty

JEM : Justice and Equality Movement

OAU : Organization of African Unity

OPA : Organisasi Persatuan Afrika

R2P : Responsibility to Protect

SLM/A : Sudan Liberation Movement/Army

SPLA : Sudan People Liberation Army

UNAMID : United Nations-African Union peacekeeping operation in Darfur


(13)

xv

Lampiran I Wawancara Dengan Duta Besar Sudan untuk Indonesia xxii Lampiran II Agreement on Humanitarian ceasefire on the conflict in Darfur Lampiran III Gambar (PETA DARFUR)


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Uni Afrika (African Union) merupakan sebuah organisasi internasional di Afrika yang secara resmi berdiri pada tanggal 9 Juli 2002 di Durban, Afrika Selatan. Organisasi ini berambisi untuk menyatukan seluruh negara di kawasan Afrika serta berusaha untuk berperan lebih aktif dalam perekonomian global, disamping juga berusaha menyelesaikan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggotanya. Sejak awal pembentukannya Uni Afrika sudah memiliki 53 negara anggota.1 Kota Addis Ababa di Ethiopia dipilih sebagai kantor pusat aktifitas organisasi Uni Afrika. (Sonu 2003:32)

Pada dasarnya, Uni Afrika merupakan kelanjutan dari Organisasi Persatuan Afrika (Organization of African Unity, --selanjutnya disingkat OPA) yang didirikan pada tanggal 25 Mei 1963 di Addis Ababa, Ethiopia. Pada tahun 2002 OPA merevitalisasi diri dan berubah menjadi African Union (Uni Afrika). Terdapat perbedaan signifikan antara OPA dan Uni Afrika. OPA tidak memiliki instrumen intervensi politik dan militer. Sementara Uni Afrika memilikinya dan dapat digunakan jika terlibat dalam atau untuk melakukan resolusi konflik di negara anggota, apabila terdapat kejahatan berat kejahatan berat meliputi genosida, kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Selain itu, beberapa

1

Afrika Selatan, Republik Afrika Tengah, Aljazair, Angola, Republik Arab Sahrawi, Benin, Bostwana, Burkina Faso, Burundi, Chad, Djibouti, Eriteria, Ethiopia, Gabon, Gambia, Ghana, Guinea, Guinea Bissau, Guinea Khatulistiwa, Kamerun, Kenya, Komoro, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Lesotho, Liberia, Libya, Malawi, Mali, Mauritania, Mauritius, Mesir, Mozambik, Namibia, Niger, Nigeria, Pantai Gading, Rwanda, Sao Tome dan Principe, Senegal, Seychelles, Sierra Leone, Somalia, Sudan, Swaziland, Tanjung Verde, Tanzania, Togo, Tunisia, Uganda, Zambia, Zimbabwe


(15)

prinsip Uni Afrika juga menyatakan bahwa negara anggota berhak meminta organisasi ini melakukan intervensi, dalam upaya memulihkan keamanan dan meciptakan perdamaian. (AU 2012).

Mekanisme intervensi Uni Afrika tersebut diatur melalui Peace and Security Council, sebuah badan di bawah naungan organisasi. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 3 Protocol Relating to the Establishment of the Peace and Security Council of the African Union yang ditandatangani oleh negara anggota Uni Afrika pada tanggal 9 Juli 2002. Dokumen tersebut diantaranya mempromosikan: (1) perdamaian, keamanan dan stabilitas di Afrika; (2) memberikan peringatan dini dan diplomasi pencegahan, (3) peace-making termasuk usaha-usaha mediasi, rekonsiliasi dan penyelidikan, (4) operasi perdamaian dan intervensi serta peace-building dan rekonstruksi pasca konflik. (AU, 2012)

Salah satu konflik internal yang telah ditangani melaui intervensi Uni Afrika adalah konflik internal negara Sudan di Darfur. Selain merupakan konflik separatisme, konflik ini memiliki nuansa konflik etnis. Dalam hal ini, etnis Arab yang didukung pemerintahan Omar Al Bashir berseteru dengan etnis Afrika yang merupakan identitas kelompok pemberontak. (Powell, 2005:80).

Darfur adalah daerah di bagian barat Sudan yang dihuni oleh lebih dari 30 kelompok etnis, dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 6 juta jiwa. Secara garis besar, penduduk Darfur terbagi dalam dua golongan utama, suku Afrika dan suku Arab. Masyarakat (suku) Afrika Darfur, merupakan penduduk lokal Darfur yang menetap. Mereka telah tinggal di daerah ini sejak Darfur masih menjadi sebuah kesultanan Islam independen pada tahun 1650. Suku-suku tersebut


(16)

diantaranya meliputi suku asli Fur, Masalit, Zaghwa, Daju dan Berti. Sedangkan, suku Arab Darfur merupakan suku pendatang menempati wilayah Darfur bagian utara dan selatan. Meskipun bukan penduduk asli, Arab merupakan etnis yang dominan di daerah tersebut dan mereka beragama Islam. Mayoritas orang Arab Darfur berkulit hitam yang merupakan hasil dari perkawinan campuran Arab-Afrika. (Collins 2006:29)

Konflik etnis berakar setidaknya sejak Pemerintahan Sadiq al Mahdi (1986-1989), ketika Darfur dibagi menjadi tiga wilayah: Utara, Selatan, dan Barat. Pemerintah masa itu membentuk milisi sipil yang dipersenjatai dari suku Messiriya dan Rezeiget, yang merupakan dua suku besar keturunan Arab di Darfur dan cikal-bakal dari Janjaweed, untuk mengamankan tiga wilayah tersebut dari kelompok pemberontak. Kelompok pemberontak ini adalah kaum Afrika terpelajar Darfur yang menggalakkan pergerakan politik sejak tahun 1960-an, karena Darfur secara politik dan ekonomi termajinalkan oleh pemerintah pusat. Tuntutan mereka adalah kesetaraan pembangunan untuk Darfur dan yang paling ektrem, menuntut kemerdekaan bangsa Afrika Darfur. (Collins 2006:30)

Pemerintahan selanjutnya yang masih berkuasa hingga saat skripsi ini ditulis, tidak melikuidasi milisi Janjaweed dan justru memperkuatnya. Bahkan, Presiden Omar al Bashir berusaha menerapkan hukum Islam sebagai hukum nasional dan merendahkan kepercayaan lain yang dianut suku-suku Afrika pribumi. Pemerintah pusat Sudan di Khartoum pun lebih mementingkan orang-orang Arab untuk menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan dan pembangunan daerah Darfur yang dihuni mayoritas Afrika semakin dikesampingkan begitu saja. Keadaan diperparah akibat ulah Janjaweed yang mulai mengusir warga sipil lokal


(17)

untuk mengambil akses sumber daya alam seperti minyak dan uranium, terutama di kota-kota strategis Darfur, Al-fashir, Nyala dan Geneina. Ini mengakibatkan pemerintah Khartoum kehilangan legitimasi di mata masyarakat etnis Afrika Darfur. (Collins 2006:33)

Penduduk etnis Afrika Darfur akhirnya membentuk juga milisi-milisi bersenjata dengan menggunakan ciri etnis non-Arab sebagai tandingan, untuk

menghadapi Janjaweed. Mereka mendeklarasikan Sudan Liberation

Movement/Army (SLM/A) pada tanggal 12 Maret 2003. Milisi ini merupakan hasil peleburan dari dua kelompok pemberontak Darfur Liberation Front (DLF) dan Sudan People Liberation Army (SPLA) dua organisasi subversif yang memiliki jaringan nasional yang luas. SLM/A kemudian melakukan berbagai penyerangan, diantaranya yang paling terkenal adalah serangan kota Gulu, yang dihuni mayoritas suku Arab. Mereka terlibat baku tembak dengan polisi setempat sebelum kemudian melarikan diri. Dalam peristiwa tersebut, 195 tentara militer Sudan terbunuh. (Collins 2006:39)

Serang-menyerang semakin intens setelah Bandara Al Fashir menjadi target SLM/A pada 25 April 2003. Serangan tersebut menghancurkan sejumlah helikopter milik pemerintah, pesawat pembom Antonov, menduduki kantor pusat militer, dan menangkap Mayor Jendral Ibrahim Bushara, kepala Angkatan Udara Sudan. (Kastfur 2005:196) Sepuluh hari kemudian, SLM/A menangkap Kolonel Mubarak Muhammad al-Saraj, Kepala Badan Intelejen Negara Sudan di Aynshiro, sebelah utara Jabal Marra. Dalam serangan ini, muncul kelompok pemberontak Darfur baru yang bernama Justice and Equality Movement (JEM) dan bergabung dengan SLM/A. (Kastfur 2005:196)


(18)

Pemerintah Sudan kerap merespons serangan kelompok pemberontak dengan cara-cara represif. Pemerintah juga memberikan kewenangan kepada milisi Janjaweed untuk melakukan apapun demi mengamankan wilayah Darfur dari serangan pemberontak. Janjaweed ikut bertanggungjawab atas pembunuhan terhadap warga Afrika Darfur, memperkosa para perempuan, dan menyiksa anak-anak kecil. Ini disertai dengan pembakaran perkampungan warga. Menurut Pruiner, metode yang digunakan oleh Janjaweed menuju ke arah skema yang sistematis guna menghilangkan populasi Afrika di Darfur, atau genosida. (Pruiner 2005:145)

Sampai awal tahun Januari 2004, korban tewas yang kebanyakan etnis Afrika ini sudah mencapai 10.000 jiwa. (Pruiner 2005:148) Human Right Watch melaporkan bahwa sekitar 1,6 juta warga Darfur pada tahun 2003 kehilangan tempat tinggal dan harus mengungsi. Sekitar 200.000 warga sipil mengungsi ke negara tetangga terdekat, seperti Chad dan Republik Afrika Tengah, dua negara yang berbatasan langsung dengan Darfur. Di Chad, diperkirakan sekitar 70.000 pengungsi meninggal sejak tahun 2003 sampai 2005 akibat kekurangan gizi dan wabah penyakit. (Strauss 2005:30) Selain itu, pengungsi di negara-negara yang berbatasan langsung dengan Darfur ini juga rawan akan kekerasan karena milisi Janjaweed kerap melintasi perbatasan Darfur dan menyerang kamp pengungsi.

Angka kematian suku Afrika yang mencapai puluhan ribu orang hanya dalam periode kurang dari satu tahun, mengindikasikan adanya praktik genosida. Hal ini mengundang perhatian internasional, khususnya Uni Afrika. Kecaman dari masyarakat internasional bermunculan. Dewan Keamanan PBB bahkan mengeluarkan resolusi agar Sudan segera mengakhiri peperangan dengan


(19)

langkah-langkah kongkrit dan melucuti persenjataan Janjaweed. Uni Afrika pun tak ketinggalan meminta pemerintah Sudan agar mau terbuka dengan kehadiran pihak luar untuk mengakhiri konflik. (Human Rights Watch 2003)

Mediasi pertama yang melibatkan pihak luar antara pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak dilakukan pada tanggal 3 September 2003, di kota Abache, Sudan, yang berbatasan dengan Chad. Mediasi ini terselenggara atas inisiatif Presiden Chad, Idriss Deby, yang secara tidak langsung merasa dilibatkan dalam pusaran konflik karena pengungsi Darfur banyak yang mendatangi wilayah negaranya. Deby berkepentingan agar stabilitas keamanan di wilahnya tetap terjaga. Kesepakatan yang dihasilkan kedua belah pihak adalah melakukan gencatan senjata selama 45 hari. Mediasi ini juga dihadiri utusan Uni Afrika. (AU 2004)

Uni Afrika sebagai wadah perhimpunan negara-negara di Afrika merasa perlu untuk menyelesaikan konflik Darfur. Negara-negara anggota menganggap, masalah ini bisa mempengaruhi keamanan kawasan dan membuat permasalahan antar bangsa Afrika menjadi lebih rumit dan pada akhirnya menghambat pembangunan di Afrika. Chad, sebagai negara yang langsung terkena imbasnya juga terus menyuarakan agar Uni Afrika turun tangan. (AU 2004)

Uni Afrika berhasil membuat perjanjian kesepakatan damai antara pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak pada tanggal 8 April 2004 di

N’djamena, ibukota Chad. Perjanjian ini didukung dengan kehadiran kelompok

pemantau dan penjaga perdamaian African Union Mission in Sudan (AMIS) mulai Mei 2004 dengan penempatan 7000 personil militer. (Adnan 2007:129) AMIS merupakan badan khusus penjaga perdamaian bentukan Uni Afrika, sebagai


(20)

langkah menindaklajuti Resolusi PBB No. 1564, yang menunjuk dan memberikan Uni Afrika mandat untuk melakukan resolusi konflik dan menjalan misi kemanusiaan di Darfur. Resolusi 1564, juga meminta kepada seluruh anggota PBB untuk membantu Uni Afrika dengan memberikan bantuan perlengkapan logistik, keuangan, bahan-bahan pokok, dan kebutuhan-kebutuhan lain. Di Darfur, AMIS melakukan misi perdamaian untuk menjaga stabilitas keamanan di daerah yang dilanda konflik tersebut. (Adnan 2007:130)

Misi Uni Afrika dimungkinkan diterima di Darfur karena pemerintah Sudan menolak PBB dan negara-negara barat campur tangan langsung dalam masalah internalnya. Pemerintah Sudan hanya bersedia menerima campur tangan dari Uni Afrika. Maka Resolusi DK PBB 1564 yang memberikan mandat kepada Uni Afrika diterima oleh Sudan. Pelaksanaan mandat ini berlangsung sampai tahun 2007. Dalam perjalanannya, misi ini menemui berbagai kesulitan karena perang dan tindak kekerasan ternyata tidak sepenuhnya dapat dihentikan. Pada Juli 2007, DK PBB menetapkan resolusi 1769, yang mengakhiri mandat tunggal Uni Afrika. Resolusi 1976 memberi mandat gabungan untuk PBB dan Uni Afrika. Untuk melakukan misi perdamaian dibentuklah United Nations-African Union peacekeeping operation in Darfur (UNAMID) hingga 2013. (AU 20012)

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan membahas peran Uni Afrika dalam resolusi konflik di Darfur pada periode 2004-2007, ketika organisasi tersebut mulai mulai mengirimkan pasukan dengan misi perdamaian dan melakukan berbagai upaya untuk menghentikan konflik berkepanjangan. Tema ini penting diteliti untuk memahami kontribusi organisasi regional ini dalam mewujudkan perdamaian di wilayah negara anggotanya. Keterlibatan Uni Afrika


(21)

untuk melakukan resolusi konflik di Darfur adalah keterlibatan pihak luar pertama di wilayah ini. Sebelumnya, Sudan selalu berusaha mencegah terjadinya internasionalisasi konflik dalam negerinya. AMIS adalah pasukan yang pertama kali boleh masuk untuk menjalankan misi penghentian kekerasan dan perlindungan warga sipil di Darfur.

B. Pertanyaan Penelitian

Adapun pertanyaan yang muncul pada penelitian ini adalah :

Bagaimana peran Uni Afrika dalam resolusi konflik internal di Darfur Sudan pada tahun 2004-2007?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Menjelaskan bagaimana peran organisasi kawasan, Uni Afrika, menyelesaikan konflik internal negara anggotanya, Sudan, 2004-2007 b. Mengaplikasikan konsep Resolusi konflik dan Responsibility to Protect

dalam sebuah kasus yang bisa dijadikan sebagai karya tulis ilmiah.

Manfaat penelitian ini adalah:

a. Memberikan wawasan kepada penulis terkait strategi konflik berkepanjangan di Darfur dan berbagai upaya penyelesaiannya. b. Meningkatkan kemampuan analisis penulis terhadap penyelesaian

sengketa di sebuah wilayah.

c. Menambah bahan pustaka bagi penelitian Ilmu Hubungan Internasional selanjutnya.


(22)

D. Kerangka Pemikiran

Sesuai dengan judul penelitian ini, Peran Uni Afrika dalam Upaya Penyelesaian Konflik di Darfur Tahun 2004-2007, maka penulis menggunakan beberapa konsep dalam hubungan internasional, diantaranya konsep peran, organisasi internasional, dan teori resolusi konflik.

D.1. Konsep Peran

Konsep peran didefinisikan sebagai orientasi atau konsepsi dari bagian yang dimainkan oleh suatu pihak dalam posisi sosialnya. Sang pelaku peran, baik itu individu maupun organisasi, akan berprilaku sesuai dengan harapan orang atau lingkungannya. Dalam hal ini peranan menjalankan konsep melayani untuk menghubungkan harapan-harapan yang terpola, dari orang lain atau lingkungan, dengan pola yang menyusun struktur sosial. Peran sendiri merupakan seperangkat perilaku yang dapat terwujud dari perorangan sampai dengan kelompok, baik kecil maupun besar, yang kesemuanya menjalankan berbagai peran. Baik perilaku yang bersifat individual maupun jamak dapat dinyatakan sebagai struktur (Kusumohadimojo,1987:32).

Peran merupakan seperangkat perilaku yang diharapkan dari seseorang atau dari struktur yang menduduki suatu posisi dalam sistem. Peran dari struktur tunggal, maupun bersusun, ditentukan oleh harapan orang lain atau perilaku peran itu sendiri, juga ditentukan oleh pemegang peran terhadap tuntutan dan situasi yang mendorong dijalankannya peran tadi. Peran merupakan aspek dinamis kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia telah menjalankan suatu peran (Soekanto, 2001: 268). Munculnya suatu harapan, bisa ditelaah dari dua sumber. Pertama, harapan


(23)

yang dimiliki orang lain terhadap aktor politik; kedua, harapan juga bisa muncul dari cara pemegang peran menafsirkan peranan yang dipegangnya, yaitu harapannya sendiri tentang apa yang harus dan yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan kegunaan teori peranan ini, sebagai alat analisis, yang paling penting

adalah untuk menjelaskan dan meramalkan perilaku politik (Mas’oed, 1990: 46 -47).

Jadi, peran dapat dipahami sebagai fungsi yang dimainkan aktor dalam suatu arena. Dalam skripsi ini, aktor yang dimaksud Uni Afrika sebagai organiasi Internasional, sedangkan arena yang dimaksud adalah resolusi konflik di Darfur.

D.2. Organisasi Internasional

Sebagaimana yang tercantum pada pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969, Organisasi internasional adalah organisasi antar-pemerintah. Organisasi internasional adalah subjek buatan, subjek hukum yang diciptakan oleh negara-negara yang mendirikannya. Organisasi internasional melaksanakan kehendak negara-negara anggota yang dituangkan dalam satu perjanjian Internasional. Oleh karena itu organisasi-organisasi internasional memiliki ikatan antara negara-negara yang mendirikannya dan dalam banyak hal sangat tergantung pada negara-negara tersebut. (Mauna 2005:462-463)

Organisasi internasional adalah wadah yang memiliki tujuan demi tercapainya satu kesepakatan dan hukum yang dapat dipatuhi publik Internasional. Organisasi Internasional merupakan asosiasi permanen, yang berdasarakan perjanjian multirateral, diatas perjanjian bilateral, dengan kriteria dan tujuan yang sudah disepakati dan ditetapkan bersama. (Bowet 1970:6). Organisasi internasional menyediakan sarana kerjasama diantara negara-negara dalam


(24)

berbagai bidang, dimana kerjasama tersebut memberikan keuntungan bagi sebagian besar ataupun keseluruhan anggotannya. Selain sebagai tempat dimana keputusan tentang kerjasama dibuat juga menyediakan perangkat administratif untuk menerjemahkan keputusan tersebut menjadi tindakan. (Bennet 1995:3)

Secara umum Organisasi internasional memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Organisasi permanen yang memiliki beberapa fungsi yang sifatnya berkelanjutan. 2) Keanggotannya bersifat sukarela dan setiap anggotanya memiliki kedudukan yang sama. 3) Memiliki alat atau perangkat yang memiliki dasar tujuan yang sama, memiliki struktur yang jelas dan sistem metode operasi yang sistematis. 4) Setiap negara memiliki posisi yang terwakilkan dalam setiap konferensi tingkat organisasi antar negara anggota. 5) Memiliki sekretariat yang bersifat permanen untuk menyelesaikan berbagai masalah administrasi, melakukan penelitian berbagai kasus dan wadah informasi bagi anggota-anggotanya yang berdaulat. (Bennet 1979:30)

Eksplorasi dan analisis aktivitas organisasi internasional akan menampilkan sejumlah peranannya seperti mediator dan rekonsiliator. Mediator yakni aktor yang menjadi pihak ketiga, baik itu negara atau organisasi internasional, yang turut serta dalam sebuah negoisasi yang dilangsungkan oleh pihak-pihak bersengketa. Rekonsiliator yakni organ atau pihak yang dibentuk atas kesepakatan pihak yang bersengkata, atau yang sudah ada sebelumnya, dalam melakukan resolusi konflik. (Situmorang 1999:35)

D.3. Resoulusi Konflik

Resolusi konflik merupakan suatu proses penyelesaian masalah dalam konflik dengan tidak adanya pemaksaan dan kekerasan dalam mengkontrol


(25)

konflik. Hal ini berkaitan dengan efisiensi dalam resolusi konflik dalam mengurangi konflik yang telah mengakar dalam. (Burton 1990:115)

Resolusi konflik mengandung tiga prinsip penting. Pertama, adanya kesepakatan yang biasanya dituangkan dalam sebuah dokumen resmi yang ditandatangani dan menjadi pegangan selanjutnya bagi semua pihak. Kedua, setiap pihak menerima atau mengakui eksistensi dari pihak lain sebagai subjek. Sikap ini sangat penting karena tanpa pengakuan tersebut, mereka tidak bisa bekerjasama selanjutnya untuk menyelesaikan konflik secara tuntas. Ketiga, pihak-pihak yang bertikai juga sepakat untuk menghentikan segala aksi kekerasan sehingga proses pembangunan rasa saling percaya bisa berjalan sebagai landasan untuk transformasi sosial, ekonomi dan politik yang didambakan. (Wellensten 2002 :9)

Menurut John Galtung, ada tiga proses yang harus dilalui sebelum perdamaian dapat dibangun melalui pihak ketiga. Ketiga proses tersebut adalah peace-making, peacekeeping, peace-building. Peace-making adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau melakukan rekonsiliasi sikap politik dan strategis dari pihak-pihak yang bertikai melaui mediasi, negoisasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. (Ramsbotham 2005:162)

Peace-making adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mengakhiri konflik Internal dengan menitik beratkan pada penggunaan cara-cara diplomatik dan membujuk setiap pihak yang bertikai untuk mencapai kesepakatan damai secara sukarela. Peace-making adalah suatu upaya guna memisahkan kekuatan-kekuatan dan kelompok bersenjata yang sedang berperang yang seringkali diasosiasikan dengan tugas-tugas sipil seperti memonitor, mengawasi kesepakatan


(26)

damai serta mendukung intervensi kemanusiaan. (Miall dan Ramsbotham 2002:32)

Peacekeeping adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian netral. Menurut PBB, penjagaan perdamaian atau peacekeeping adalah sebuah instrumen yang unik dan dinamis yang dikembangkan oleh organisasi sebagai cara untuk membantu negara-negara yang terkoyak oleh konflik, dan menciptakan kondisi untuk perdamaian abadi. (Miall dan Ramsbotham 2002:32) Peacekeeper (penjaga perdamaian) akan memberikan kontribusi untuk memajukan proses perdamaian. Penjaga perdamaian itu tidak mutlak adalah tentara, karena pasukan ini tidak berkewajiban untuk terlibat dalam pertempuran. Pasukan ini ditempatkan pada daerah yang berstatus gencatan senjata yang telah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak yang sedang bertikai. Pada saat inilah ruang untuk mengatasi konflik lewat upaya diplomatik dapat dijalankan. Pasukan penjaga perdamaian memantau dan mengamati proses perdamaian di daerah pasca konflik dan membantu mantan kombatan dalam melaksanakan kesepakatan damai. Bantuan tersebut datang dalam berbagai bentuk, termasuk langkah-langkah membangun rasa percaya diri, pengaturan pembagian kekuasaan, dukungan pemilu, penguatan supremasi hukum, dan pembangunan ekonomi sosial. (Miall dan Ramsbotham 2002:32)

Peace-building adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui proses peace-building, diharapkan negative peace (absennnya kekerasan) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat tidak akan lagi mendapat kekerasan


(27)

dalam jangka panjang dan merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraaan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif. (Ramsbotham 2005:162)

Dalam upaya menyelesaikan sebuah konflik internal, organisasi internasional atau regional memiliki keuntungan dan kelebihan dalam hal kedekatan dengan sumber konflik serta mengenal dekat pelaku utama konflik, nilai budaya mereka serta kondisi lokal wilayah konflik. Kondisi semacam ini lebih lebih memungkinkan bagi organisasi regional untuk turun tangan lebih dahulu sebelum keterlibatan PBB secara menyeluruh dalam penyelesaiaan konflik. Apalagi peran organisasi regional dalam upaya penciptaan perdamaiaan juga diakui oleh Piagam PBB yang terangkum dalam Bab VIII2. (Miall dan Ramsbotham 2002:33)

Intervensi pihak ketiga ke dalam sebuah konflik berfungsi untuk memulihkan komunikasi antara pihak yang berselisih, mendinginkan suasana, menyelidiki keadaan di wilayah yang berkonflik dan memberikan jasa kepada pihak yang berkonflik. Pihak ketiga yang dapat diterima bersama dengan tujuan mencapai penyelesaian akan dirasakan sebagai agen perundingan yang dapat lebih dipercaya. Intervensi pihak ketiga berperan meneruskan pesan antara kedua belah pihak yang bertikai untuk terlibat aktif dalam perundingan, dan mencoba menekankan kepada pihak-pihak yang bermusuhan untuk menerima usul-usul perdamaian yang telah dirumuskan oleh pihak yang melakukan intervensi atau yang disebut sebagai mediator. (Holsti 1998:192)

2

Piagam PBB BAB VIII tentang KESEPAKATAN KAWASAN pada Pasal 52 berisi tidak ada ketentuan dalam Piagam ini yang menghalang-halangi adanya pengaturan-pengaturan ataupun badan-badan regional untuk menangani masalah-masalah yang bertalian dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan ditangani menurut cara sesuai bagi kawasan bersangkutan, asalkan pengaturan-pengaturan ataupun badan-badan beserta tindakan -tindakan mereka sedemikian itu sesuai dengan Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.


(28)

Ada dua tahap yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk melakukan intervensi dalam prosedur resolusi konflik menurut John W Burton. Pertama, menentukan masalah-masalah dan membuat suatu pilihan tentatif terhadap pihak-pihak yang bertikai. Kedua, mengundang pihak-pihak yang terlibat untuk bertemu dan berdiskusi, sementara pada saat yang sama pihak ketiga mengambil langkah untuk memastikan bahwa semua pandangan dan kepentingan pihak-pihak yang bertikai tidak akan diabaikan dan menjadi bahan pertimbangan pada perjanjian atau kesepakatan damai yang dihasilkan. (Burton 1986:107)

Dalam menyelesaikan sebuah konflik, pihak ketiga juga dapat menempuh metode mediasi, arbitrasi dan ajudikasi. Di dalam mediasi, pihak ketiga membawa pesan namun juga dapat memberi saran dan anjuran bagi penyelesaian konflik. Di dalam mediasi ada istilah konsiliasi yang mempelajari permasalahan dan membuat laporan. Dari hasil mediasi dan konsiliasi, akan ada kesepakatan yang mengikat. Sedangkan arbitrasi adalah penyelesaian oleh pihak ketiga dimana masing-masing pihak setuju untuk menerima putusan pihak ketiga. Ajudikasi merupakan penyelesaian perselisihan-persilihan dalam pengadilan atau mahkamah Internasional. (Ziegler 1984:294)

D.4. Konsep Responsibility To Protect

Masyarakat internasional banyak menaruh harapan pada konsep Responsibility ti protect (selanjutnya disebut R2P). Sejauh eksistensinya sebagai sebuah norma yang mengikat negara-negara di dunia, prinsip R2P sering dipahami sebagai perlindungan terhadap warga dari seluruh ancaman yang mengintai. Tidak salah jika R2P, oleh banyak kalangan dianggap mengakomodir seluruh isu kemanusiaan, tidak terbatas pada mass-atrocity. Untuk menghindari mispersepsi


(29)

terkait konsep R2P yang nantinya akan berpengaruh pada proses implementasinya, ada 2 hal yang harus diperhatikan, yaitu pemahaman konsep dan implementasinya.

Konseptualisasi ide R2P diputuskan Dalam World Summit 2005. Pada pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa konsep R2P tidak dimaksudkan dalam konteks perlindungan terhadap seluruh ancaman kemanusiaan. Kurang tepat jika dipahami bahwa R2P mencakup permasalahan non-mass atrocity, seperti misalnya isu pencegahan global warming, penyebaran penyakit global (hiv/aids, antrhax, ebola), bencana alam dan perlindungan terhadap suku-suku terasing. Cakupan R2P, seperti tertulis dalam pilar pertama R2P yang disepakati dan didukung oleh komunitas internasional dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dunia (KTT) PBB tahun 2005 adalah tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya sendiri dari pemusnahan massal (genocide), kejahatan perang (war crimes), pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan dari segala macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut. (Evans 2008:46)

Dari poin pertama dari tiga pilar tersebut dinyatakan bahwa cakupan R2P hanya terbatas pada keempat jenis mass atrocities (genocide, war crimes, ethnic cleansing, crimes against humanity) serta tindakan-tindakan yang mengarah pada kejahatan tersebut. Diluar tindakan tersebut, bukanlah bidang kajian yang hendak digarap R2P. Poin yang hendak disampaikan disini adalah bahwa situasi yang memungkinkan untuk diterapkannya R2P adalah keempat kejahatan yang mengarah pada tragedi kemanusiaan. Jika yang dimaksudkan adalah situasi lebih


(30)

luas yang mencakup realisasi dari freedom from fear dan freedom from want, lebih tepat jika digunakan konsep human security. (Evans 2008:39)

Sebagai sebuah norma, R2P memberikan framework dan asas pijakan untuk merespons situasi pra konflik (responsibility to prevent), ketika konflik berlangsung (responsibilty to react), dan pasca konflik (responsibility to building). R2P berusaha mengambil tindakan tegas dan efektif dalam menangani tragedi kemanusiaan. (Responsibility to Potect 2009)

Setelah komunitas internasional mengambil alih tanggung jawab yang gagal diperankan suatu negara, maka mereka harus mulai merumuskan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah, menghentikan atau memulihkan situasi. Perihal kedaulatan negara bersangkutan dapat ditangguhkan karena azas sovereignty as responsibility yang harus dilaksanakan negara tidak terpenuhi. (Responsibility to Potect 2009)

Untuk menilai situasi lapangan, komunitas internasional melalui PBB harus memfokuskan diri menyelidiki kebenaran informasi yang menyebutkan terjadinya pelanggaran serius terhadap kemanusiaan. Tim pencari fakta yang diutus PBB kemudian dapat bekerja sama dengan pemerintah bersangkutan, organisasi regional maupun internasional dan melaporkan situasi yang berkembang. Dengan adanya kerjasama tersebut maka semua pihak terkait dapat memberikan peringatan dini (early warning) dan mendiskusikan pembagian kapasitas (sharing-capacity) yang diemban guna mencegah terjadinya kemungkinan terburuk. (Responsibility to Potect 2009)

Melihat cakupannya yang luas dalam menangani tragedi kemanusiaan, meliputi tindakan sebelum, sesudah, ataupun ketika berlangsung, maka R2P


(31)

menggunakan sejumlah pendekatan untuk mendorong efektifitas pelaksanaannya. Pendekatan yang digunakan R2P melibatkan pendekatan militer dan non-militer. Intervensi militer merupakan opsi terakhir yang dipilih dan terbatas pada situasi ekstrem dan tak terkendali. Mengacu pada 3 pilar R2P, pilihan tersebut mau tidak mau harus dilaksanakan jika seluruh pendekatan non-militer (sanksi ekonomi, pengutukan dunia internasional, diplomasi, pembekuan aset, dll) telah diupayakan namun tidak ada kemajuan signifikan dalam perkembangannya. Selain itu, penerjunan kekuatan militer harus memepunyai legalitas hukum, yaitu dilakukan atas dasar mandat DK PBB dan atau legitimasi dunia internasional. (Evans 2008: 129-139) Selain itu ditambah juga dengan kalkulasi cermat bahwa situasi akan terkendali setelah dilakukan intervensi militer.

R2P merupakan norma yang secara bersama disepakati oleh komunitas internasional. Ide R2P mengemuka sebagai respon atas banyaknya tragedi kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. sebagai respons atas tragedi kemanusiaan, ide R2P dimaksudkan untuk mengatasi masalah genocide, war crimes, ethnic cleansing, crimes against humanity, dan segala macam tindakan yang mengarah pada jenis-jenis kejahatan tersebut. (Responsibility to Potect 2009)

Implementasi R2P diterapkan pada saat suatu negara melakukan pelanggaran kemanusiaan, atau gagal melindungi rakyatnya dari kejahatan tersebut. Tanggung jawab melindungi rakyat diambil alih komunitas internasional untuk kemudian merumuskan langkah-langkah strategis, meliputi pendekatan militer ataupun non-militer. Intervensi militer diletakkan sebagai opsi terakhir apabila seluruh upaya non-militer yang ditempuh tidak menunjukkan hasil positif.


(32)

Untuk itu, membedah konflik Darfur juga berarti melihat sejauh mana konsep R2P diimplementasikan.

E. Tinjauan Pustaka

Permasalahan Darfur memang menggundang banyak perhatian dari pelbagai penjuru dunia. Banyak ilmuwan yang turut khawatir atas kondisi kemanusiaan di Darfur sehingga meneliti permasalahan tersebut. Namun demikian, di Indonesia belum ada guru besar atau penulis kawakan yang menulis buku utuh mengenai konflik Darfur. Untuk membuat tinjauan pustaka, tidak ada pakar yang bisa dirujuk karyanya. Berikut ini akan ditinjau beberapa karya yang menjadikan penyelesaian konflik Darfur sebagai pokok permasalahannya. Satu di antaranya adalah tesis. Dua lainnya adalah makalah ilmiah di jurnal.

Pertama, ”Peacekeeping Operation PBB Pada Konflik Darfur Tahun 2004-2008.” Studi ini adalah tesis Fierda Milasari Rahmawati di program Hubungan Internasional FISIP UI. Penelitian ini merupakan salah-satu studi yang cukup komprehensif mengenai Darfur. Ia membahas mengenai usaha penghentian konflik etnis di Darfur, Sudan, melalui peacekeeping operation yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama tahun 2004 hingga 2008. Dan langkah-langkah apa saja yang diambil oleh PBB sebagai pihak ketiga yang mengintervensi konflik dengan melakukan peacekeeping operation yang bekerjasama dengan Uni Afrika.

Fokus penelitian Rahmawati, seperti terlihat jelas dari judulnya adalah peran PBB. Peran Uni Afrika dalam penelitiannya bukan masalah utama, tapi hanya dibahas sekilas dan sebagai pelengkap saja. Padahal, peran PBB dalam periode itu terhitung sangat kecil, karena Sudan menolak keterlibatan PBB


(33)

langsung dan hanya mau menerima organisasi regional, Uni Afrika. PBB benar-benar berperan langsung dengan porsi yang lebih besar, baru setelah Misi Uni Afrika untuk Sudan (AMIS) dinyatakan gagal pada akhir tahun 2007. Setelah itu, PBB mengeluarkan mandat operasi untuk misi gabungan PBB dan Uni Afrika di Darfur (UNAMID)

Hasil penelitian Rahmawati ini menyarankan agar PBB melakukan perubahan-perubahan mendasar pada badan organisasi PBB sendiri. Dan menurut Rahmawati, PBB sebaiknya menyusun mandat peacekeeping operation secara menyeluruh yang meliputi masa terjadinya konflik serta masa paska-konflik agar benar-benar dapat menyelesaikan konflik di negara anggota. Tesis ini meski merupakan studi yang cukup komprehensif mengenai Darfur, namun bukan penelitian yang lengkap untuk dirujuk mengenai peran Uni Afrika.

Kedua, “Ethnic and International Conflict: Causes and Implications,” yang ditulis oleh Michael E. Brown dalam buku Turbulent Peace: The Challenges of Managing International Conflict (Crocker: 2001) (Chester a Crocker, 2001) Washington DC: United States of Peace Press, 2001). Penelitian ini menjelaskan penyebab dari terjadinya ethnic conflicts dan internal conflicts dan bagaimana dampak internal serta eksternalnya. Brown menyebutkan bahwa Sudan termasuk negara yang mengalami ethnic conflict disuatu negara. Ia membagi ethnic conflict kedalam empat faktor diantaranya structural factors, political factors, economic/social factors, dan cultural/perceptual factors.

Structural Factors terdiri dari weak states, intrastate security concerns, ethnic geography. Weak states dimana situasi politik di Sudan yang mengalami ketidakstabilan karena sering terjadinya kudeta terhadap pemerintahan,


(34)

pemerintah tidak mampu membangun ekonomi yang baik, dan kompetisi antar aktor. Intrastate security concerns merupakan persepsi ancaman yang timbul dari kelompok-kelompok pemberontak Sudan sehingga digunakannya kekuatan militer oleh pemerintah yang akhirnya menciptakan security dilemma. Ethnic geography dalam arti setiap negara yang memiliki berbagai macam etnik sangat rawan, hal ini yang terjadi di Sudan dengan banyaknya etnik yang ada membuat etnik yang satu dengan yang lain saling bertikai. Karena setiap etnik suku memiliki adat budaya, agama dan kehidupan yang berbeda.

Political Factors terdiri dari discriminatory political institutions, exclusionary national ideologies, intergroup politics, elite politics. Discriminatory political institutions dimana kelompok pemberontak SPLM/A dan JEM yang berada di Sudan berasal dari etnis yang tertindas oleh pemerintah. Mereka merasa tidak puas dengan sikap pemerintah Sudan yang diskriminatif, adanya pembedaan perlakuan antara Sudan Selatan dan Utara, sehingga mereka melakukan pemberontakan. Exclusionary national ideologies merupakan nasionalisme etnis atau agama yang sangat kuat, masyarakat sudan yang berbagai macam etnis dan agama sangat menjunjung tinggi adat dan keyakinan mereka masing-masing. Intergroup politics merupakan kompetisi antar kelompok, yang mana kelompok-kelompok yang ada di Sudan mempunyai ambisi masing-masing terutama didalam pemerintahan, dan mereka memilik kekuatan identitas. Elite politics yang mana provokasi dilakukan oleh para elit-elit politik, khususnya saat terjadi kekacauan dalam situasi politik, ekonomi, untuk menghadapi para lawan-lawan politik mereka demi mewujudkan ambisinya.


(35)

Economic/social Factors terdiri dari economic problems, discriminatory economic systems, economic development and modernization. Economic problems merupakan situasi negara yang tidak stabil dan ditambah dengan keadaan sosial masyarakat yang tidak baik. Perekonomian Sudan sangat buruk dengan menjadi negara termiskin pasca merdeka, dan kondisi sosial masyarakat yang bersengketa sehingga pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan. Discriminatory economic systems yakni adanya kesenjangan akses ekonomi antara wilyah Sudan Selatan dan Sudan Utara, yang mana Sudan Selatan tidak mendapatkan akses ekonomi yang baik seperti yang didapatkan oleh Sudan Utara. Economic development and modernization yakni dengan keadaan yang telah dijelaskan diatas membuat pembangunan ekonomi berjalan lambat, khususnya untuk melakukan modernisasi.

Cultural/ perceptual Factors terdiri dari patterns of cultural discrimination, problematic group histories. Patterns of cultural discrimination dimana adanya pembatasan terhadap akses pendidikan, pekerjaan, kesehatan yang diberikan oleh pemerintah kepada Sudan Selatan. Problematic group histories yakni sejarah permusuhan antar etnis, dimana permusuhan yang terjadi tidak lepas dari sejarah masa lalu Sudan saat masih dijajah oleh Inggris. Karena pemerintah Inggris telah melakukan pembedaan sikap dan kebijakan bagi dua wilayah Sudan yaitu Utara dan Selatan. Kedua wilayah tersebut sengaja dipisahkan sehingga masing-masing wilayah berdiri dan berkembang sesuai dengan apa yang mereka dapatkan selama pemerintahan Inggris. Faktor-faktor tersebutlah yang dinilai sebagai penyebab terjadinya ethinc conflicts atau internal conflicts.

Brown terlihat sangat fasih dan analitis ketika menjelaskan penyebab konflik Darfur. Untuk mendapatkan pemahaman yang lengkap mengenai akar


(36)

konflik Darfur, makalah brown ini sangat penting karena analisanya lengkap. Namun ia terlihat kurang bisa menjelaskan apa saja implikasi dari berbagai sebab konflik tersebut. Terlebih lagi, Brown sama sekali tak menyinggung bagaimana konflik itu diselesaikan. Terutama keterlibatan pihak luar seperti Uni Afrika, luput dari perhatian Brown.

Dan ketiga, makalah Touko Piiparinen yang berjudul The lessons of Darfur for the future of humanitarian intervention. Makalah ini dimuat di jurnal Global Governance edisi Juli-September 2007. Ia membahas tentang operasi militer dalam konteks intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga multilateral. Piiparinen telah dengan sangat lengkap menganalisis bagaimana peran organisasi-organisasi internasional dalam usaha menyelesaikan konflik Darfur. Respons yang lambat dari masyarakat internasional dalam menghadapi kekejaman yang terjadi di Darfur, telah secara luas dianggap karena lemahnya norma dan regulasi yang dianut oleh masyarakat internasional dalam melindungi warga sipil. Piiparinen berpendapat bahwa PBB, Uni Afrika, Uni Eropa, dan NATO sebenarnya telah merancang dan melaksanakan dua strategi perdamaian yang inovatif di Darfur, dan telah memberikan preseden yang lebih optimis untuk intervensi kemanusiaan, yaitu, sebuah divisi kerja baru antara organisasi-organisasi regional dan internasional dan pada gilirannya nanti akan sangat berguna dalam penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian.

Namun demikian, Piiparinen juga menyoroti kelemahan inovasi yang baru dicoba di Darfur ini. Di akhir tulisannya, ke depan, ia menyarankan antar-organisasi regional dan internasional yang berkomitmen melakukan intervensi kemanusiaan agar memperkuat dan memperdalam kerjasamanya. Misalnya, antara


(37)

NATO dan Uni Afrika harus menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara kedua organisasi yang lebih konkret, responsif dan permanen, bukan hanya bersifat ad hok seperti yang terjadi di Darfur. MoU tersebut harus menetapkan sistem peralatan dan logistik yang siap-sedia kapan saja untuk digunakan. Piiparinen dengan jeli melihat gagalnya operasi UNAMIS disebabkan karena sistem peralatan dan logistik yang terbatas dan lamban. Selain juga karena negara-negara Eropa tidak memenuhi komitmennya untuk memberikan bantuan finansial bagi AMIS.

Sayangnya, Piiparinen terlalu berat melihat masalah ini dalam kacamata masyarakat internasional, tanpa mencoba memahami konflik ini dari sudur pandang pemerintah Sudan. Untuk itu, skripsi ini akan mencoba juga melihat pandangan pemerintah Sudan mengenai Darfur dan mengelaborasinya lebih dalam..

F. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui peran Uni Afrika sebagai organisasi regional dalam resolusi konflik internal di Darfur, Sudan. Menurut Cresswell (1998:67) pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada fenomena sosial dan masalah manusia.

Menurut Bogdan dan Taylor, yang dikutip oleh Moleong (2004:3) metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif digunakan untuk menjelaskan suatu masalah yang belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami


(38)

interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan untuk meneliti sejarah perkembangan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan studi terhadap data-data dengan menggunakan berbagai sumber kepustakaan seperti buku, jurnal, hasil penelitian, dokumen-dokumen, dan lainnya. Oleh karena itu, penelitian akan menggunakan data sekunder sebagai data utama. Selain itu, penelitian ini juga akan menggunakan data-data dari situs internet (website) yang dianggap otoritatif dan relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini, salah satunya informasi keterlibatan Uni Afrika di Darfur dalam situs resmi Organisasi Uni Afrika di www.africanunion.org

G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Pernyataan Penelitian

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

D. Kerangka Pemikiran

D. 1. Konsep Peran

D. 2. Organisasi Internasional

D. 3. Resolusi Konflik

D. 4. Konsep Responsibility to Potect E. Tinjauan Pustaka

F. Metode Penelitian

G. Sistematika Penulisan

BAB II KOMITMEN UNI AFRIKA DALAM RESOLUSI KONFLIK

A. Uni Afrika

A.1. Latar Belakang Uni Afrika

A.2. Tujuan dan Prinsip-prinsip Uni Afrika A.3. Dewan Keamanan Uni Afrika

B. Pengalaman Uni Afrika dalam Menyelesaikan

Konflik di Kawasan

B.1. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Chad B.2. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Rwanda

B.2. Misi Uni Afrika di Burundi

BAB III KRISIS KEMANUSIAAN DI DARFUR

A. Sejarah dan Akar Konflik Darfur


(39)

mulai Tahun 2003

C. Faktor-faktor yang mendorong keterlibatan Uni Afrika di Darfur

C.1. Faktor internal pendukung keterlibatan Uni Afrika di Darfur

C.2. Faktor-faktor eksternal pendorong keterlibatan

Uni Afrika di Darfur

BAB IV PERAN UNI AFRIKA DALAM PENYELASAIAN KONFLIK DARFUR (2003 – 2007)

A. Uni Afrika sebagai Fasilitator Perundingan Damai B. Uni Afrika sebagai Mediator Perundingan Damai C. Misi Pengawasan Kesepakatan Gencatan Senjata D. Operasi Perdamaian Uni Afrika Di Darfur E. Kendala dan Hambatan AMIS

1. Keterbatasan Mandat 2. Rules Of Engagement

3. Logisitik dan Penempatan Personel AMIS


(40)

BAB II

Komitmen Uni Afrika dalam Resolusi Konflik A. Uni Afrika

A.1. Latar Belakang Uni Afrika

Uni Afrika (African Union) didirikan di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 9 Juli 2002. Sejak awal pembentukannya hingga saat ini Uni Afrika memiliki 53 negara anggota. Sebagai organisasi regional, organisasi ini bertujuan untuk menyatukan seluruh negara di kawasan Afrika dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggotanya. Di samping itu, Uni Afrika juga berusaha untuk berperan lebih aktif dalam perekonomian global. Segala kegiatan organisasi ini berpusat di kantor pusat di kota Addis Abba, Ethiopia. (AU 2012)

Sebelum Uni Afrika resmi berdiri, adalah Organisasi Persatuan Afrika (Organization of African Unity –selanjutnya disingkat OPA ) yang merupakan cikal-bakalnya. OPA didirikan oleh 32 negara Afrika pada tanggal 25 Mei 1963 di Addis Ababa, Ethiopia. Ide dasar pembentukan OPA bermula dari pandangan presiden Ghana, Kwame Nkrumah pada akhir tahun 1950-an. Saat itu Kwame Nkrumah berpendapat bahwa negara-negara di Afrika terlalu kecil dan lemah dalam bidang ekonomi, maka dari itu dibutuhkan sebuah kerjasama dan solidaritas tidak hanya dalam bidang politik melainkan juga dalam bidang ekonomi agar kesejahteraan dapat dirasakan seluruh bangsa Afrika. (Triveldi 2003: 39)

Untuk mewujudkan impian tersebut, menurut Nkrumah, menyatukan seluruh negara Afrika ke dalam satu wadah organisasi menjadi sangat penting dan


(41)

merupakan langkah strategis yang harus ditempuh. Ketika pertama kali dibentuk pada tahun 1963, tujuan utama OPA adalah melindungi kedaulatan dan menjaga integritas wilayah negara anggotanya, tidak hanya dari pihak barat, tapi juga dari satu anggota terhadap anggota lainnya melalui prinsip tidak mencampuri urusan internal (non-intervention) yang termuat dalam pasal 3 Piagam OPA. Selain itu, OPA juga memiliki lima tugas pokok yaitu; perjuangan melawan kolonialisme dan rasisme, bekerjasama dengan organisasi-organisasi internasional, penanganan konflik di dalam dan antar-negara Afrika, kerjasama ekonomi antar negara Afrika dan membentuk Piagam Afrika untuk Hak Asasi Manusia. (Triveldi 2003: 41)

Selama sepuluh tahun sejak pembentukannya, OPA menganggap dirinya telah berhasil dalam mengatasi berbagai konflik yang terjadi di Afrika melalui semangat persatuan dan solidaritas bangsa Afrika tanpa adanya intervensi dari pihak asing. OPA pernah menamakan dirinya sebagai penjaga perdamaiaan nomor satu di kawasan. Bahkan PBB sempat memberikan penghargaan bagi OPA atas perannya dalam membantu memelihara perdamaiaan dan keamanan internasional. (AU 2012)

Dalam rangka mempromosikan kemerdekaan beberapa negara di Afrika misalnya, OPA memberikan bantuan-bantuan diplomasi, keuangan, militer dan logistik kepada gerakan-gerakan kemerdekaan di Guinea Bissau, Angola dan Mozambique untuk mendapatkan kemerdekaannya secara penuh. OPA juga secara aktif bersuara di Majelis Umum PBB guna mempromosikan kemerdekaan beberapa negara baru di Afrika. (AU 2012)

Dalam rangka menyelesaikan sengketa secara damai antar-negara anggotanya, misalnya antara Algeria dan Maroko pada bulan Oktober 1963, OPA


(42)

memutuskan untuk mengirim pejabat militer guna mengetuai pengawasan gencatan senjata, penarikan mundur pasukan dan menciptakan zona demiliterisasi antar keduanya. Adapun dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara anggotanya dari luar, misalnya ketika Israel melakukan agresi militer untuk merebut salah-satu kawasan Mesir pada tahun 1967, OPA secara tegas mengutuk agresi militer Israel dan menuntut penarikan mundur semua pasukan Israel dari wilayah-wilayah yang telah diduduki di Mesir. (AU 2012)

Keberadaan OPA sebagai organisasi regional pada dasarnya tidak dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas Afrika yang secara ekonomi tidak hanya lemah, akan tetapi dalam bidang politik pun mereka juga terpecah-belah. Kondisi ini pada akhirnya melahirkan kesadaran para pemimpin Afrika untuk melakukan sejumlah perubahan di organisasi termasuk melakukan amandemen terhadap Piagam OPA. Amandemen ini mulai dibicarakan mulai tahun 1999. (AU 2012)

Setelah pertemuan tahunan OPA di Algeria pada bulan Juli 1999, Presiden Libya, Moammar Khadafi, yang yang memiliki cita-cita untuk membentuk suatu organisasi regional guna menyatukan dan meningkatkan kesejahteraan bangsa Afrika, meminta Majelis Umum OPA untuk mengadakan pertemuan luar biasa di negaranya pada tanggal 9 September 1999. Pertemuan luar biasa tersebut bertujuan untuk mengamandemen Piagam OPA guna meningkatkan efesiensi dan efektifitas OPA . Hal itu tercermin dalam tema pertemuan yang berbunyi

“Strengthening OAU Capacity to Enable it to Meet The Challenges of The New Millenium”. (AU 2012)


(43)

Pertemuan tingkat tinggi OPA di Sirte, Libya, ini menghasilkan penandatanganan Deklarasi Sirte (AU 2012) dengan tujuan-tujuan antara lain: Pertama, mengatasi permasalahan sosial, ekonomi dan politik di Afrika. Kedua, memenuhi aspirasi masyarakat Afrika untuk bersatu sesuai dengan tujuan-tujuan Piagam OPA dan Perjanjian pembentukan Masyarakat Ekonomi Afrika. Ketiga, merevitalisasi organisasi untuk berperan lebih aktif dalam memenuhi kebutuhan rakyat Afrika. Keempat, mengurangi dan menghilangkan konflik di Afrika. Kelima, menjawab dan menghadapi tantangan global. Keenam, memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam kawasan untuk meningkatkan kondisi kehidupan bangsa Afrika.

Sejak Deklarasi Sirte di Libya, kepala-kepala negara dan pemerintahan anggota OPA mengadakan tiga kali pertemuan tingkat tinggi untuk membahas implementasi pembentukan Uni Afrika. Pertemuan pertama dilaksanakan di Lome, Togo pada tahun 2000. Pada pertemuan tersebut, 27 kepala-kepala negara dan pemerintahan OPA menandatangani Constitutive Act of the African Union (Piagam Uni Afrika) dan menyepakati Piagam tersebut sebagai landasan organisasi sekaligus merumuskan prinsip-prinsip, tujuan serta badan-badan Uni Afrika. Piagam Uni Afrika secara resmi berlaku pada tanggal 26 Mei 2001 setelah Nigeria meratifikasi Piagam Uni Afrika untuk memenuhi kuota 2/3 persetujuan negara-negara anggota.

Pertemuan selanjutnya diadakan di Lusaka, Naimibia pada tahun 2001. Pertemuan tersebut membahas mengenai tata cara teknis peresmian Uni Afrika. Pertemuan di Lusaka, Sekretariat Jendral OPA ini, diberikan mandat untuk membuat aturan-aturan mengenai peresmian Uni Afrika serta badan-badannya


(44)

termasuk menyiapkan draf aturan mengenai kewenangan dan tanggung jawab, serta menjamin efektifitas badan-badan tersebut. Salah satu keputusan penting yang dihasilkan dalam pertemuan di Lusaka adalah mekanisme untuk mengelola, mencegah dan menyelesaikan konflik harus masuk sebagai badan tersendiri dalam Uni Afrika dan Sekretariat Jendral OPA diminta membuat rancangan mengenai struktur, prosedur dan wewenang termasuk mengganti nama mekanisme tersebut. (AU 2012)

Pertemuan yang terakhir sejak Deklarasi Sirte adalah pertemuan di Durban, Afrika Selatan, (2002) guna meresmikan berdirinya Uni Afrika sebagai organisasi regional yang baru di Afrika dan mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Uni Afrika untuk pertama kalinya sejak OPA berubah menjadi Uni Afrika. Dalam KTT pertama Uni Afrika di Durban, kepala-kepala negara dan pemerintahan menyepakati beberapa keputusan penting. Keputusan pertama, menyepakati Piagam Uni Afrika sebagai landasan hukum organisasi. Kedua, memutuskan program bersama untuk memulihkan ekonomi di Afrika dan membentuk kerjasama baru untuk pembangunan Afrika (New Partnership for African Development --NEPAD). Ketiga, menyepakati MOU mengenai pelaksanaan konferensi dalam bidang keamanan, stabilitas, pembangunan dan kerjasama di Afrika. Keempat, menyetujui protokol pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika. (Triveldi 2003: 40)

Pembentukan Uni Afrika sebagai organisasi yang baru di kawasan disambut baik oleh para pemimpin Afrika. Hal ini tercermin dari pernyataan presiden Libya, Moammar Khadafi, yang mengatakan pembentukan Uni Afrika merupakan sebuah impian yang menjadi kenyataan. Sementara itu, presiden


(45)

Afrika Selatan ketika itu, Thabo Mbeki, pada pembentukan sidang Uni Afrika untuk pertama kalinya menyatakan:

“Kita telah mencapai suatu saat yang membanggakan, namun juga merupakan tantangan… dengan ini saya menyatakan sidang puncak pertama Uni Afrika dibuka”. (Kompas 2006)

A.2. Tujuan dan Prinsip-prinsip Uni Afrika

Dalam merumuskan pembentukan Uni Afrika, para pemimpin Afrika merumuskan semua tujuan yang termuat dalam piagam OPA ditambah dengan beberapa tujuan lainnya guna memberikan kemampuan yang lebih besar bagi organisasi untuk dapat berperan aktif dalam mencapai tujuan-tujuan bangsa Afrika. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 Piagam Uni Afrika:

Tabel I.I. Pasal Piagam Uni Afrika. Sumber: African Union 2012.

Pasal 3 Piagam Uni Afrika

Mencapai persatuan dan solidaritas yang lebih basar di antara

negara-negara dan masyarakat Afrika. Membela kedaulatan, keutuhan wilayah dan kemerdekaan

negara-negara anggota.

Mencapai integrasi politik, ekonomi dan sosial kawaan Afrika. Mempromosikan dan membela

kepentingan bangsa Afrika. Memajukan kerjasama internasional

dengan memperhatikan Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia.

Mempromosikan perdamaiaan, keamanan dan stabilitas kawasan.


(46)

dan institusi-institusi demokrasi, partisipasi rakyat serta pemerintahan yang baik. Mempromosikan dan melindungi

hak asasi manusia sesuai dengan Piagam Hak Asasi Manusia Afrika

dan piagam-piagam yang terkait. Membentuk badan-badan yang diperlukan kawasan guna berperan

dalam ekonomi global dan perundingan internasional. Membentuk lingkungan yang

kondusif bagi pembangunan ekonomi, sosial dan budaya serta

integrasi ekonomi di Afrika. Mempromosikan kerjasama dalam segala bidang aktifitas kemanusiaan

untuk kehidupan yang lebih baik rakyat Afrika.

Mengkoordinasikan dan menyerasikan kebijakan-kebijakan masyarakat ekonomi Afrika secara bertahap untuk tujuan organisasi. Memajukan pembangunan kawasan

dengan mempromosikan penelitian dalam segala bidang khususnya

dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bekerjasama dengan dunia internasional dalam menghilangkan

dan mencegah kelaparan dan mempromosikan kesehatan di

kawasan. (AU 2012)

Berbeda dengan OPA yang memiliki prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggotanya, Uni Afrika justru sebaliknya. Organisasi baru ini berhak mencampuri urusan internal negara anggotanya jika terjadi peristiwa yang


(47)

dapat mengancam stabilitas (perdamaian) serta keamanan kawasan secara keseluruhan. Namun intervensi tersebut tetap diatur melalui prosedur dan mekanisme yang ada di dalam organisasi. Salah-satu bentuk kongkret ancaman terhadap stabilitas keamanan kawasan adalah munculnya konflik-konflik internal yang bernuansa etnis maupun perebutan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya perang sipil di sebuah negara.

Prinsip-prinsip Uni Afrika secara lengkap termuat dalam pasal 4 Piagam Uni Afrika sebagai berikut:

Tabel I.II. Pasal Piagam Uni Afrika. Sumber: AU 2012.

Pasal 4 Piagam Uni Afrika

Persamaan Kedaulatan dan saling ketergantungan semua Negara anggota.

Penghormatan atas betas-batas

kehidupan dalam mencapai

kemerdekaan.

Partisipasi masyarakat Afrika dalam kegiatan-kegiatan organisasi.

Pembentukan kebijakan pertahanan bersama bagi kawasan Afrika.

Penyelesaiaan sengketa secara damai di antara Negara anggota.

Larangan penggunaan kekuatan

bersenjata atau ancaman bersenjata terhadap negara anggota.

Organisasi berhak untuk

mengintervensi negara anggota dengan persetujuan Majelis jika terjadi situasi-situasi tertentu yang memungkinkan organisasi untuk melakukan intervensi seperti : kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap perang.

Perdamaiaan di antara negara anggota dan hak untuk hidup dalam keadaan aman dan damai.

Negara anggota berhak untuk meminta organisasi melakukan intervensi dalam upaya memulihkan keamanan dan perdamaian.

Memajukan kemandirian dalam


(48)

Persamaan gender.

Penghormatan terhadap prinsip-prinsip

demokrasi, HAM, hukum dan

pemerintah yang baik.

Keadilan sosial untuk menjamin pelaksanaan pengembangan ekonomi. Penghormatan atas kehidupan manusia, hukuman dan penolakan terhadap

kekebalan politik, pembunuhan,

terorisme dan aktivitas subversif. Mengutuk dan menolak perubahan pemerintahan yang tidak konstitusional. Tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota.

A.3. Dewan Keamanan Uni Afrika

Jika dibandingkan dengan OPA yang hanya memiliki lima badan, Uni Afrika memiliki lebih banyak badan dengan tugas-tugas dan fungsi yang lebih spesifik. Hal ini mencerminkan keseriusan para pemimpin Afrika untuk membangun kawasan Afrika ke arah yang lebih baik, terutama dalam hal pembangunan ekonomi dan stabilitas kawasan. Badan-badan Uni Afrika antara lain : (1) Majelis (The Assembly the Union); (2) Dewan Eksekutif (The Executive Council); (3) Parleman Afrika (The Pan-African Parliament); (4) Mahkamah Peradilan (The Court of Justice); (5) Komisi (The Commission), merupakan Sekjen Organisasi; (6) Dewan Keamanan (The Security Council); (7) Komite Perwakilan Tetap (The Parliamint Represenatives Committee); (8) Komisi-komisi Khusus (The Specialized Technical Committees); (9) Dewan Ekonomi, Sosial dan Budaya (The Economic, Social and Cultural Council); (9) Badan-badan Keuangan (The Financial Institutions) yang terdiri dari : Bank Sentral Afrika (The African Central Bank), Badan Keuangan Afrika (The African Monetary Fund), Bank Investasi Afrika (The African Invesment Bank).


(49)

Salah-satu alasan yang mendasari para pemimpin Afrika untuk mengubah OPA menjadai Uni Afrika selain guna mempercepat proses integrasi kawasan, adalah untuk memiliki sebuah badan yang bertugas menjaga perdamaian dan keamanan serta stabilitas kawasan Afrika secara keseluruhan. Para pemimpin Afrika sadar betul bahwa kawasan Afrika adalah kawasan yang memiliki potensi konflik sangat tinggi, baik konflik antar-negara maupun konflik yang terjadi dalam wilayah suatu negara anggotanya. Kesadaran para pemimpin Afrika (OPA) tersebut tercermin dari pembentukan suatu mekanisme (badan) untuk mengelola dan menyelesaikan konflik (Mechanism for Conflict Preservation, Mangement, and Resolution) di Afrika pada tahun 1993. (Powell & Tieku 2006: 10)

Melalui mekanisme tersebut, OPA mulai terlibat dalam setiap konflik negara-negara anggotanya, akan tetapi keberhasilan serta efektivitasnya masih sangat kurang. (Powell & Tieku 2006: 10) Alasan inilah yang pada akhirnya menjadikan landasan bagi Uni Afrika untuk membentuk Dewan Keamanan (Peace and Security Council), sebuah badan Uni Afrika yang bertugas untuk mempromosikan perdamaiaan, keamanan dan stabilitas di Afrika, mengatasi dan mencegah perdamaian, keamanan dan stabilitas di Afrika, mengantisipasi dan mencegah timbulnya konflik, mempromosikan penerapan pembangunan perdamaiaan pasca-konflik, memerangi terorisme, mengembangkan kebijakan pertahanan bersama serta mempromosikan demokrasi sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 Protocol Relating To The Estabilishment of The Peace and Security Council of The African Union yang ditandatangani anggota-anggotanya pada tanggal 9 Juli 2002. (AU 2012)


(50)

Pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika merupakan hasil dari keputusan yang dirumuskan para kepala negara dan pemerintah OPA dalam pertemuan tingakat tinggi OPA ke 37 di Lusaka, Namibia pada tahun 2001. Dalam pertemuan tersebut Majelis OPA memutuskan untuk menggabungkan badan OPA, yang memiliki mekanisme untuk mengelola, mencegah dan menyelesaikan konflik ke dalam badan Uni Afrika sebagai badan yang berdiri sendiri. (AU 2012)

Dewan Keamanan Uni Afrika terdiri dari 15 anggota dipilih untuk masa jabatan selama 2 tahun, sedangkan 5 anggota sisanya dipilih untuk periode tiga tahun guna menjamin kelangsungan Dewan Keamanan Uni Afrika. Setiap anggota Dewan Keamanan Uni Afrika memiliki satu suara dan tidak ada hak veto bagi anggotanya sebagaimana Dewan Keamanan PBB. Dewan ini dibantu oleh komisi Uni Afrika, Penasehat Panel, Sistem Peringatan Dini, Pasukan Afrika dan Badan Kuangan yang semuanya diatur dalam Protocol Relating to The Establishment of The Peace And Security Council of The African Union. (AU 2012)

Tujuan pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika sendiri adalah sebagai berikut: (1) Mempromosikan perdamaian, keamanan dan stabilitas kawasan di Afrika untuk melindungi kehidupan dan kekayaan masyarakat Afrika serta menciptakan kondisi yang kondusif guna menopang pembangunan kawasan; (2) Mengantisipasi dan mencegah konflik yang terjadi, Dewan Keamanan Uni Afrika bertanggung jawab untuk megeluarkan resolui berupa menciptakan perdamaian (peace-making) dan membangun perdamaian (peace-building) terhadap konflik tersebut; (3) Mempromosikan dan menerapkan kegiatan-kegiatan rekonstruksi pasca-konflik untuk mengkonsolidasi dan mencegah terjadinya kekerasan; (4)


(51)

Mengkoordinasikan usaha kawasan dalam mencegah dan menerangi terorisme internasional dalam segala aspek; (5) Mengembangkan kebijakan pertahanan bersama; (6) Mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi, emerintah yang baik, aturan dan hukum dan melindungi hak asasi manusia, kebebasan dasar dan menghormati kesucian hidup manusia dan hukum kamenusiaan inernasional sebagai usaha untuk mencegah konflik.(AU 2012)

Adapun fungsi-fungsi Dewan Keamanan Uni Afrika adalah sebagai berikut: (1) mempromosikan perdamaiaan, keamanan dan stabilitas di Afrika; (2) memberikan peringatan dini dan diplomasi pencegahan; (3) peace-making termasuk usaha-usaha baik (good offices), mediasi, konsiliasi dan penyelidikan; (4) operasi perdamaiaan dan intervensi; (5) pembangunan perdamaiaan (pace-building) dan rekonstruksi pasca konflik.Tindakan dan pengelolaan bencana; (6) menjalankan fungsi-fungsi lainnya yang ditentukan oleh Majelis Uni Afrika. (AU 2012)

Sebagai sebuah organisasi yang baru berdiri, Uni Afrika mulai dihadapkan dengan sejumlah masalah yang berkaitan dengan kemampuan organisasi tersebut dalam mengatasi stabilitas keamanan dan perdamaian di Afrika. Keberadaan Dewan Keamanan Uni Afrika masih mendapat kritikan dari beberapa pengamat internasional, salah satu datang dari Parker dan Rukare yang menyatakan bahwa perubahan organisai regional di Afrika dari OPA ke Uni Afrika tidak lain hanyalah sekedar perubahan-perbahan simbolis semata. (Parker & Rukare 2002: 379) Secara tidak langsung Parker dan Rukere ingin menyampaian bahwa Uni Afrika dianggap tidak akan mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi bangsa Afrika.


(52)

Adapun pandangan positif mengenai keberadaan Uni Afrika disampaikan oleh Sonu Trivedi yang menggambarkan perubahan tersebut sebagai peristiwa besar dalam sejarah bangsa Afrika. Triveldi menyatakan bahwa pembentukan Uni Afrika tidak lain adalah gambaran komitmen serta kesadaran para pemimpin Afrika untuk bersama-sama membangun kawasan tersebut. Bahkan Sonu Trivendi mensejajarkan Uni Afrika dengan Uni Eropa. (Triveldi 2003: 39)

B. Pengalaman Uni Afrika dalam Menyelesaikan Konflik di Kawasan

Ketika Uni Afrika masih bernama OPA, organisasi ini memiliki sejumlah pengalaman dalam upaya mengatasi konflik-konflik internal yang terjadi di salah satu negara anggotanya. Meskipun Prinsip OPA yang disebutkan dalam Piagamnya secara jelas bahwa organisasi tidak diperbolehkan melakukan intervensi terhadap negara anggotanya, namun secara bersamaan OPA juga memiliki prinsip untuk menyelesaikan persengketaan antar maupun di dalam negara anggotanya melalui cara-cara damai. Hal ini diperkuat oleh pasal XIX Piagam OPA mengenai pembentukan Komisi Pengetahuan, Konsiliasi dan Arbitasi sebagai salah satu badan OPA. Implementasi dari badan ini adalah pembentuan panitia ad hoc untuk mengatasi berbagai konflik yang terjadi di negara-negara anggota.

B.1. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Chad

Pada tahun 1979, Chad, salah satu negara anggota OPA, mengalami konflik barnuansa etnis. Konflik tersebut bersumber dari konflik Utara-Selatan dalam upaya memperbutkan kekuasaan setelah jatuhnya pemerintahan Flix Malloum pada Februari 1979. Akar konflik itu sendiri sebenarnya telah terjadi sejak tahun 1960-an. (Legum 2002: 1-37).


(53)

Dalam rangka mengatasi konflik di Chad, OPA membentuk Panitia ad hoc untuk Chad pada tahun 1977. Panitia ad hoc tersebut bertujuan mandamaikan pihak-pihak yang bertikai melalui jalur diplomasi. Komposisi panitia terdiri dari Algeria, Kamerun, Gabon, Mozambique, Nigeria dan Senegal yang ditunjuk oleh OPA pada pertemuan tingkat tinggi di Libreville, bulan Juli 1977. Pada pertemuan tahunan OPA selanjutnya di Khartoum, Sudan, tahun 1978, OPA mengubah keanggotaan panitia ad hoc menjadi hanya 4 negara saja, yaitu Kamerun, Niger, Nigeria dan Sudan (Legum 2002: 37).

Nigeria sebagai salah satu panitia ad hoc untuk Chad, berusaha menyelesaikan konflik di Chad dengan cara mengundang pihak-pihak yang bertikai untuk mengadakan pertemuan di Kano pada bulan Maret 1979. Salah satu poin kesepakatan yang dihasilkan pada pertemuan tersebut adalah Nigeria diijinkan untuk mengirim pasukan penjagaan perdamaian ke N’djamena, ibukota Chad untuk memastikan pengawsan gencatan senjata. (Amoo & Zartman2000: 25)

OPA akhirnya memutuskan untuk mengganti Nigeria dengan mengirim pasukan Afrika yang terdiri dari Benin, Congo dan Guinea melalui keputusan pertemuan OPA di Monrovia dan Lagos pada bulan Agustus 1979. Pada pertemuan di Lagos pihak-pihak yang bertikai di Chad sepakat untuk membentuk pemerintahan transisi yang diberi nama Government d’Union Nationale Transitoire (GUNT) dan menunjuk Sekretaris Jendral OPA untuk menggantikan Nigeria sebagai ketua komisi pengawas gencatan senjata untuk menjamin setiap pihak yang bertikai memegang teguh dan melaksanakan perjanjian damai. (Breman & Sams 2000: 25)


(54)

Keengganan negara-negara anggota OPA untuk mendanai operasi di Chad membuat operasi tersebut berjalan tidak efektif. Benin dan Guneia, dua negara yang ditunjukan oleh OPA untuk mengirimkan pasukan ke Chad, mengaku tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai operasi tersebut. Sedangkan Kongo, hanya mampu menurunkan pasukan infanteri dengan bantuan Algeria. (Breman & Sams 2000: 25)

B.2. Misi Organisasi Persatuan Afrika di Rwanda

Jauh sebelum PBB terlibat dalam mengatasi konflik etis di Rwanda, OPA telah lebih dahulu berupaya mengatasi konflik tersebut dengan membentuk Military Observer Team (MOT) yang terdiri dari Burundi, Uganda, dan Zaire pada tahun 1990 untuk membantu proses rekonsiliasi dan mengakhiri konflik antara kelompok pemberontak, Rwanda Patriotic Front (RPF) dengan pemerintah Rwanda.( (Breman & Sams 2000: 73) Operasi PBB di Rwanda, United Nations Assistance Mission in Rwanda (UNAMIR) juga tidak lepas dari peran OPA yang meminta PBB untuk terlibat langsung dalam menyelesaikan konflik tersebut.

Pada saat OPA menyadari bahwa MOT tidak akan efektif setelah melihat ketidak siapan pasukan militer ketiga negara anggotanya, OPA memutuskan untuk mengganti misi tersebut dengan membentuk Neutral Miltary Observer Group (NMOG) yang terdiri dari 50 pengamat militer dari Mesir, Nigeria, Senegal dan Zimbabwe. Misi NMOG di Rwanda berakhir pada bulan Juli 1992 dan langsung digantikan dengan NMOG II yang dibentuk OPA dan mulai beroperasi pada bulan Agustus 1992. (Breman & Sams 2000: 74)


(55)

Berbeda dengan NOMG I, NOMG II memiliki jumlah pasukan penjaga perdamaian yang lebih besar terdiri dari 70 pejabat militer dengan anggota Cango, Nigeria, Senegal serta dibantu oleh 62 orang pejabat non-komisi dari Tunisia dan perwakilan-perwakilan dari pemerintah Rwanda dan kelompok pemberontakan RPF. Mayor Jendral Ekundayo Opaleye ditunjuk sebagai ketua sekaligus komandan NMOG II. (Breman & Sams 2000: 75)

Pada saat OPA membentuk NOMG II, OPA juga meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengirimkan pasukan penjaga perdamaiaan ke Rwanda. Dewan Keamanan PBB merestui permintaan tersebut dan meminta kepada Sekjen PBB, Boutros-boutros Ghali untuk mengadakan konsultasi dengan OPA mengenai proses serta tata cara pengiriman pasukan penjaga perdamaian PBB di Rwanda. Dewan Keamanan PBB akhirnya memutuskan untuk mengirimkan pasukan penjagaan perdamaian PBB ke Rwanda dan membentuk UNAMIR pada tanggal 5 oktober 1993. NMOG II sendiri yang misinya berakhir pada bulan Oktober akhirnya melebur ke dalam UNAMIR. (Breman & Sams 2000: 76)

B.3. Misi Uni Afrika Di Burundi

Pada tahun 1993, Melchior Ndadaye, presiden Burudi pertama yang terpilih secara demokratis dan seorang pemimpin Front Pour la Democratie au Burundi (FORDEBU) dari suku Hutu dibunuh oleh seorang suku Tutsi, suku yang mendominasi tentara Burundi. Peristiwa tersebut melahirkan perang terbuka antara pemberontak Hutu dan militer Burundi. Lebih dari 300.000 orang Burundi terbunuh dalam pertikaian antar etnis tersebut dan kebanyakan korban adalah warga sipil yang tidak ada hubungannya dengan konflik. (Trivendi 2001: 25)


(56)

Sejumlah pemimpin Afrika termasuk mantan presiden Tanzania, Julius Nyerere, mantan presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela dan mantan wakil presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma berusaha keras untuk menyelesaikan konflik etnis di Burundi. Akhirnya pada tahun 2000, 17 partai politik Burundi beserta pemerintah dan Majelis Burundi (National Assembly) menandatangani perjanjian Arusha dalam rangka penyelesaian menyeluruh terhadap konflik internal Burudi. Namun sayangnya, perjanjian tersebut tidak ditandatangani oleh dua kelompok pemberontak utama Burundi, The Conseil National Pour la Defense de la Democratie-Forces Pour la Defense de la Democratie (CNDD-FDD) dan Parti Pour la Liberation du Peuple Hutu-Forces Nationales de Liberation (PALIPU HUTU-FNL). (Trivendi 2001: 26)

Pada November 2003 kelompok pemberontak CNDD-FDD

menandatangani kesepakatan damai dan bersedia bergabung dalam pemerintahan transisi Burundi. Namun kelompok pemberontak FNL tidak ingin menandatangani kesepakatan tersebut dan terus melakkan penyerangan terhadap pemerintah transisi Burundi. Kondisi ini menggambarkan situasi keamanan Burundi dalam bahaya dan mendorong Uni Afrika untuk berperan dalam upaya penyelesaian konflik di Burundi. (Trivendi 2001: 29)

Pada April 2003, Uni Afrika membentuk misi perdamaiaan di Burundi untuk mendukung proses perdamaiaan. Meskipun dalam perjanjian Arusha tahun 2000 PBB secara jelas diminta untuk melaksanakan operasi penjaga perdamaian di Burundi, PBB tidak ingin melaksanakan operasi tersebut dengan alasan tingkat pelanggaran gencatan senjata di Burundi sangat tinggi. Hasilnya, Uni Afrika


(57)

diminta untuk melaksanakan misi perdamaian di Burundi dengan nama African Mission in Burundi (AMIB). (Trivendi 2001: 29)

AMIB terdiri dari 3.325 pasukan dari Afrika Selatan, Mozambique dan Ethiopia serta pengamat militer tambahan dari Burkina Faso, Gabon, Mali, Togo dan Tunisia. Tujuan utama pembentukan AMIB adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi penempatan pasukan PBB setelah adanya resolusi Dewan Keamanan PBB. Hal ini disebabkan karena pembentuan AMIB dilandasi oleh adanya pemahaman bahwa PBB akan mengambil alih operasi perdamaian di Burundi setelah 12 bulan AMIB beroperasi. Mandat dan tugas yang diberikan kepada AMIB antara lain : (1) membentuk dan memelihara hubungan di antara kelompok-kelompok yang bertikai; (2) mengamati dan memverivikasi pelaksanaan gencatan senjata; (3) memfasilitasi dan menyediakan bantuan teknis dalam rangka proses pelucutan gencatan senjata dan pembubuaran milisi; (4) menatasi gerakan setiap pasukan; (5) memfasiitasi sampainya bantuan kemanusiaan kepada pengungsi; (6) mengkoordinir aktivitas operasi berama operasi PBB di Burundi. (Trivendi 2001: 39)

PBB akhirnya secara resmi mengabil tugas AMIB pada bulan Juni 2004, setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 1545 pada bulan Mei 2004 yang membeli otoritas bagi pelaksana operasi pasukan penjaga perdamaian PBB di Burundi. (AU 2012)

Operasi-operasi yang dilaksanakan baik oleh OPA maupun Uni Afrika di atas merupakan sebuah pengalaman berharga bagi organisasi kawasan untuk melaksanakan peran penjaga perdamaian di kawasan Afrika untuk masa yang akan datang. Dengan malaksanakan peran tersebut. Uni Afrika diharapkan mampu


(58)

menyelesaikan setiap konflik yang terjadi di kawasan melalui semangat dan persatuan bangsa Afrika yang secara langsung termuat dalam piagam pembentukan Uni Afrika. (Trivendi 2001: 40)

Pengalaman-pengalaman Uni Afrika baik ketika organisasi masih bernama OPA dalam upaya menyelesaikan berbagai konflik internal negara angotanya, merupakan pengalaman berharga bagi Uni Afria untuk melaksanakan berbagai misi penciptaan dan penjaga perdamaian di Afrika di masa mendatang. Pengalaman tersebut tentunya sangat berguna bagi Uni Afrika dalam upaya mengatasi konflik etnis yang terjadi di Darfur.. Uni Afrika tidak perlu lagi membentuk sebuah penitia ad hoc maupun sekadar melaksanakan operasi pengawasan jalannya kesepakatan gencatan senjata sebagaimana ketika organisasi masih bernama OPA. Uni Afrika kini memiliki legalitas hukum yang kuat untuk melaksanakan operasi perdamaian di salah-satu negara anggotanya berdasarkan piagam pembentukan Uni Afrika.


(59)

BAB III

KRISIS KEMANUSIAAN DI DARFUR

Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai konflik di Darfur, dibutuhkan penjelasan sekomprehensif mungkin mengenai sejarah dan akar berbagai konflik yang terjadi di sana. Menurut Guy Martin, dalam artikel Conflict Resolution in Africa, untuk menjelaskan dan menganalisa konflik-konflik yang terjadi di kawasan Afrika, maka dibutuhkan sebuah pandangan dan pendekatan yang sistematis terhadap sejarah konflik itu sendiri. Di Afrika, sebagaimana di belahan dunia lainnya, konflik merupakan bagian tak terpisahan dari kehidupan masyarakat yang dinamis. Perjuangan antara individu, keluarga, suku dan kelompok etnis serta negara untuk dapat menguasai sumber-sumber ekonomi dan politik demi kelangsungan hidup kelompoknya masing-masing, seringkali menimbulkan benturan dengan kelompok-kelompok lain dan menjadi faktor penyebab terjadinya konflik. (Martin, 2006)

Untuk itu, terlebih dahulu harus dibedah sejarah kawasan tersebut, baik dari sisi sosial, politik, ekonomi dan budaya. Bab ini akan mencoba memahami latar belakang konflik yang terjadi di Darfur.

A. Sejarah dan akar konflik Darfur

Menurut Gerard Pruiner, masyarakat Darfur adalah sebuah mosaik yang kompleks, terdiri dari antara 40 hingga 90 kelompok etnis. Secara garis besar, mereka terdiri dari dua golongan kebangsaan; sebagian berkebangsaan Afrika, sebagian lain berkebangsaan Arab. Darfur adalah daerah di bagian barat Sudan jumlah penduduk mencapai sekitar 6 juta jiwa. Suku-suku asli Afrika Darfur meliputi suku asli Fur, Masalit, Zaghwa, Daju dan Berti. (Pruiner 2005: 4)


(60)

Orang-orang Arab mulai tiba di Darfur pada abad ke-14. Pergaulan mereka dengan suku asli sangat baik. Terjadi koeksistensi damai antara pendatang dan penduduk pribumi, perselisihan yang tak terelakkan atas sumber daya alam diselesaikan melalui mediasi para pemimpin lokal. Pada perkembangan berikutnya hingga kini, Arab Darfur merupakan suku pendatang yang secara dominan menempati wilayah Darfur bagian utara dan selatan. Meskipun bukan penduduk asli, Arab merupakan etnis yang dominan di Darfur dan mereka beragama Islam. Kini, mayoritas orang Arab Darfur berkulit hitam, karena merupakan hasil dari perkawinan campuran Arab-Afrika. (Collins 2006:29)

Di jantung kawasan Darfur, terdapat sebuah gunung berapi yang disebut Jebel Marra. Tanah di lereng gunung tersebut sangat subur. Di daerah ini penduduk awal Darfur hidup – Dinasti Daju. Sangat sedikit yang diketahui tentang mereka. Sejarah Darfur mencatat, pada abad ke-14, dinasti Daju digantikan oleh dinasti Tunjur, yang membawa Islam masuk ke wilayah tersebut. (Pruiner 2005: 8)

Pada pertengahan abad ke-17, Kesultanan Fur didirikan oleh dinasti Keyra, dan Darfur berkembang menjadi semakin makmur. Di masa kejayaannya pada abad 17 dan 18, karena lokasi geografisnya yang strategis, Kesultanan Fur menjadi pusat kegiatan komersial yang maju. Pada masa itu, telah terjadi perdagangan budak, gading, dan barang-barang perhiasan dengan orang-orang Mediterania. Kesultanan Fur juga menyerang dan melakukan penaklukkan terhadap beberapa wilayah di sekitarnya. (Pruiner 2005; 8-15)

Pada pertengahan abad ke-19, kesultanan Fur dikalahkan oleh pedagang budak terkenal, Zubair Rahma. Runtuhnya dinasti Keyra membuat keadaan Darfur


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)