Konflik dan krisis kemanusiaan Darfur mulai tahun 2003

sekali dengan konflik seringkali manjadi korban konflik karena dianggap sebagai salah satu dari pihak yang bertikai. Dalam hal ini, warga Afrika Darfur menjadi korban terbesar dari pertikaian etnis yang terjadi di daerahnya sendiri. Baik pemerintah Sudan maupun milisi Arab Janjaweed seringkali menganggap warga Afrika Darfur adalah bagian dari kelompok pemberontak SLMA maupun JEM, atau mereka dituduh melindungi keberadaan kelompok pemberontak dan kemudian dijadikan sasaran perang. Purwono, 2004

C. Faktor-faktor yang mendorong keterlibatan Uni Afrika di Darfur

Korban sipil yang mencapai ratusan ribu orang serta jumlah pengungsi yang mencapai lebih dari 1 juta, menjadikan konflik etis Darfur sebagai krisis kemanusiaan yang harus ditangani secepatnya. Masyarakat internasional pun banyak yang mulai menyerukan perdamaian bagi kedua belah pihak yang bertikai. Dan dalam upaya menyelesaikan konflik tersebut, banyak pihak menilai masuknya pihak asing ke dalam konflik sangat diperlukan untuk melakukan mediasi. Williams Black, 2010 : 1-19 Pihak ketiga diharapkan mampu membawa setiap pihak yang bertikai untuk melakukan perundingan dan menghentikan konflik. Pihak ketiga tersebut juga diharapkan dapat menjadi aktor manajemen konflik yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Sudan. Dalam hal ini pemerintah Sudan tidak mampu untuk menjadi agen perdamaian, karena pemerintah Sudan yang seharusnya menjadi agen perdamaian adalah pelaku atau salah satu pihak konflik itu sendiri. Williams Black, 2010 : 1-19 Ada beberapa alasan positif masuknya pihak ketiga dalam krisis Darfur ini. Pertama, masuknya pihak asing memungkinkan penanganan cepat dan menyeluruh agar krisis Darfur tidak berlarut-larut. Respons konvensional tidak akan cukup mencegah tingginya tingkat kematian sementara milisi Janjaweed terus melakukan serangan ke desa-desa Darfur. Kedua, pihak ketiga diharapkan dapat memfasilitasi proses negosiasi politik antara pemerintah dan pemberontak. Mediasi pihak ketiga diharapkan dapat menjadi penengah dan pihak yang netral di antara pihak-pihak yang bertikai. Dan ketiga, masuknya pihak ketiga ke dalam konflik memungkinkan proses penyelidikan dan pengadilan terhadap pelaku kekerasan di Darfur. Purwono, 2006 Sedangkan Paul. D. Williams dan Alex J. Bellamy berpendapat bahwa pihak ketiga yang masuk ke dalam konflik etnis Darfur, setidaknya harus mampu untuk melakukan tugas-tugas berikut : 1 menghentikan kematian penduduk sipil yang disebabkan oleh pembantaian, penyakit dan kelaparan dan menjamin bantan kemanusiaan sampai ke kamp-kamp pengungsi, baik di dalam maupun di luar Darfur serta melindungi para pengungsi dari serangan milisi; 2 membantu polisi setempat dalam mengamati jalannya kesepakatan gencatan senjata antara kelompok pemberontak dengan pemerinta Sudan; 3 menjamin para pengungsi untuk dapat kembali ke rumahnya masing-masing; 4 membantu proses transisi setelah kelompok pemberontak dan pemerintah Sudan menyepakati penghentian konflik. Williams Bellamy, 2006: 36 Namun demikian, pernyataan resmi pemerintah Sudan, ditambah dengan penolakan sebagian pemimpin Afrika akan hadirnya pasukan internasional sebagai pihak ketiga dalam upaya penyelesaian konflik etnis di Darfur, merupakan salah-satu hambatan tersendiri bagi PBB dan masyarakat internasional untuk meyelesaikan konflik. Pemerintah Sudan secara tegas menolak resolusi 1556 Dewan Keamanan PBB. Pihak asing yang masuk berdasarkan resolusi 1556 Dewan Keamanan PBB, menurut pemerintah Sudan memiliki agenda tersembunyi di balik intervensi tersebut. Duta Besar Sudan di PBB menyatakan: “If the Sudan would have been safe from hummer of the Security Council even if there had been no crisis in Darfur, and wether the Darfur Humanitarian crisis might not be a Trojan horse? Has this lofty humanitarian objective been adopted and embraced by other people who are advocating a hidden agenda? Bellamy, 2005: 42 Salah-satu cara terbaik agar pihak ketiga masuk ke dalam konflik etnis Darfur adalah dengan mendorong Uni Afrika sebagai mediator konflik. Tanpa dorongan dan paksaan dari luarpun, Uni Afrika –sesuai dengan Piaga Uni Afrika- sebenarnya memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan konflik etnis Darfur. Sebagai salah-satu anggota dari Uni Afrika, Sudan memiliki komitmen ketika menandatangani Piagam Uni Afrika dan tidak akan berani menolak keinginan Uni Afrika dalam upaya menyelesaikan konflik di negaranya. Badescu Bergholm, 2010: 100-119 Terdapat beberapa faktor yang mendorong Uni Afrika untuk terlibat dalam upaya menyelesaikan konflik etnis Darfur. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi ke dalam faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal merupakan faktor yang secara langsung berasal dari komitmen Uni Afrika sendiri untuk terlibat dalam penyelesaian konflik di negara-negara anggotanya melalui mekanisme dan penyelesaian konflik yang dimiliki Uni Afrika. Sedangkan faktor eksternal berasal dari beberapa organisasi internasional PBB, Uni Eropa, dan G- 8 yang terus mendorong Uni Afrika untuk dapat mangatasi masalah dihadapi bangsa Afrika dan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Badescu Bergholm, 2010: 100-119 C.1. Faktor internal pendukung keterlibatan Uni Afrika di Darfur Afrika merupakan sebuah kawasan yang seringkali menghadapi konflik- konflik yang bersifat internal. Konflik-konflik tersebut secara tidak langsung menggangu stabilitas kawasan dan menjadi kendala tersendiri bagi pembangunan dan kemajuan negara-negara Afrika. Oleh sebab itu, para pemimpin Afrika dan Uni Afrika menyadari bahwa penyelesaian konflik di kawasan merupakan salah satu agenda yang mendapatkan prioritas utama, tidak terkecuali penyelesaian konflik etnis Darfur yang telah manjadi sorotan dan perhatian masyarakat internasional. Baltrop, 2001: 10 Komitmen para pemimpin Afrika untuk menyelesaikan konflik di kawasan dapat terlihat ketika mereka merumuskan prinsip-prinsip dan tujuan Uni Afrika. Prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pigam Uni Afrika dan Protokol Pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika memiliki kesamaan dengan elemen-elemen konsep Responsibility to Protect . Piagam Uni Afrika memberikan batasan terhadap definisi kedaulatan negara anggotanya. Kedaulatan negara bersifat kondisional, dan didefinisikan sebagai kemampuan negara untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi warganegaranya. Akan tetapi jika negara tidak mampu melaksanakan kewajibannya, maka Uni Afrika berhak melindungi warganegara dengan cara menurunkan pasukan militer ke dalam yuridiksi negara bersangkutan. Badescu Bergholm, 2010: 100-119 Dalam kasus Darfur, Uni Afrika melihat pemerintah Sudan sudah tidak sanggup lagi untuk mengatasi konflik internal di negaranya, meskipun pemerintah Sudan telah berulang kali menyatakan bahwa stabilitas dan keamanan di Darfur telah sepenuhnya di bawah kendali pemerintah pusat. Akan tetapi pernyataan yang