Faktor-faktor yang mendorong keterlibatan Uni Afrika di Darfur
C.1. Faktor internal pendukung keterlibatan Uni Afrika di Darfur
Afrika merupakan sebuah kawasan yang seringkali menghadapi konflik- konflik yang bersifat internal. Konflik-konflik tersebut secara tidak langsung
menggangu stabilitas kawasan dan menjadi kendala tersendiri bagi pembangunan dan kemajuan negara-negara Afrika. Oleh sebab itu, para pemimpin Afrika dan
Uni Afrika menyadari bahwa penyelesaian konflik di kawasan merupakan salah satu agenda yang mendapatkan prioritas utama, tidak terkecuali penyelesaian
konflik etnis Darfur yang telah manjadi sorotan dan perhatian masyarakat internasional. Baltrop, 2001: 10
Komitmen para pemimpin Afrika untuk menyelesaikan konflik di kawasan dapat terlihat ketika mereka merumuskan prinsip-prinsip dan tujuan Uni Afrika.
Prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pigam Uni Afrika dan Protokol Pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika memiliki kesamaan dengan elemen-elemen konsep
Responsibility to Protect . Piagam Uni Afrika memberikan batasan terhadap
definisi kedaulatan negara anggotanya. Kedaulatan negara bersifat kondisional, dan didefinisikan sebagai kemampuan negara untuk memberikan perlindungan
dan keamanan bagi warganegaranya. Akan tetapi jika negara tidak mampu melaksanakan kewajibannya, maka Uni Afrika berhak melindungi warganegara
dengan cara menurunkan pasukan militer ke dalam yuridiksi negara bersangkutan. Badescu Bergholm, 2010: 100-119
Dalam kasus Darfur, Uni Afrika melihat pemerintah Sudan sudah tidak sanggup lagi untuk mengatasi konflik internal di negaranya, meskipun pemerintah
Sudan telah berulang kali menyatakan bahwa stabilitas dan keamanan di Darfur telah sepenuhnya di bawah kendali pemerintah pusat. Akan tetapi pernyataan yang
disampaikan pemerintah Sudan tersebut bertentangan dengan situasi dan kondisi di lapangan. Media-media internasional terus membeberkan bukti-bukti mengenai
kondisi Darfur dan penduduk Afrika yang mengalami berbagai tindakan kekerasan milisi Janjaweed, bahkan pemerintah Sudan dicurigai berusaha
menghilangkan populasi Afrika di Darfur. Badescu Bergholm, 2010: 109 Uni Afrika akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan krisis Darfur
melalui semangat persatuan dan persaudaraan bangsa Afrika. Pasal 4 Piagam Uni Afrika ecara tegas menyatakan bahwa Uni Afrika berhak mengintervensi negara
anggotanya berdasarkan keputusan Majelis setelah melihat adanya kejahatan perang, genosida dan pelanggaran terhadap kemanusian. Uni Afrika juga
menekankan bahwa intervensi militer terhadap kedaulatan negara anggotanya merupakan langkah terakhir setelah berbagai upaya intervensi non-militer telah
dilakukan. AU, 2012 Pada bulan Februari 2003, kepala-kepala negara dan pemerintahan anggota
Uni Afrika mengamandemen pasal 4h dengan menambah bahwa : “Kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan merupakan ancaman yang sangat serius terhadap perdamaiaan dan keamanan Afrika dan memberikan kekuasaan
Kepala Dewan Keamanan Uni Afrika untuk memulihkan perdamaian dan keamanan.
” AU 2012 Mengenai amandeman pasal 4 h Piagam Uni Afrika, Ben Kioko,
penasehat resmi Uni Afrika ketika itu menyatakan: “the addition af article 4 h was adopted with sole purpose of
enabling the African Union to resolve conflict more effectively on the continent, without ever hanging to sit back and do nothing
because of the notion of non-interfence in the internal affairs of member states, it should be brne in mind that the peace and
security council was intended, and should be abel to revolutionize the way conflicts are addressed on the continent.
” Kioko, 2003: 817
Pasal 4 j Piagam Uni Afrika juga menyatakan bahwa negara anggota berhak mengajukan permohonan kepada organisasi untuk melakukan intervensi
guna memulihkan perdamaiaan dan keamanan. Rumusan-rumusan seperti ini tentunya tidak akan dijumpai dalam Piagam OPA, sehingga dapat dimaklumi
peran OPA dalam menyelesaikan berbagai konflik di kawasan Afrika seringkali mengalami kegagalan. Perubahan prinsip dari non-intervensi ketika prinsip non-
indifference itu, menurut Kristina Powell, menjadikan Piagam Uni Afrika sebagai
perjanjian internasional pertama yang mengakui adanya hak intervensi terhadap suatu negara anggota untuk tujuan-tujuan melindungi kemanusiaan. Inilah
komitmen Uni Afrika untuk terlibat secara langsung dalam menyelesaikan berbagai konflik di negara anggotanya. Powell, 2005: 1
Duta Besar Said Dijimmit, komisioner Dewan Keamanan ketika Uni Afrika ketika itu menyatakan :
“No more, never again, African cannot….watch the tragedies developing in the continent and say it is the UN’s Responsibility
or somebody else’s Responsibility. We have moved from the concept of non-interference to non-indifference. We cannot as
Africans remain indifferent to the tragedy of our people .”
Powell, 2005; 1 Komitmen inilah yang pada akhirnya secara langsung mendorong Uni
Afrika untuk menyelesaikan konflik etnis Darfur, Sudan. Penyelesaian konflik tersebut merupakan tantangan pertama Uni Afrika dalam menjaga stabilitas dan
keamanan kawasan Afrika secara keseluruhan. Jika Uni Afrika mampu melaksanakan tugas tersebut, maka bukan tidak mungkin Uni Afrika menjadi
sebuah organisasi regional yang mendapat pengakuan internasional dalam upaya menciptakan perdamaian dunia.
Pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika oleh Majelis Uni Afrika sebagai badan utama organisasi merupakan sebuah bukti kongkret komitmen Uni
Afrika dalam upaya menyelesaikan berbagai jenis konflik di kawasan. Untuk tugas ini, Uni Afrika akan membentuk pasukan Afrika African Standby Force,
ASF yang akan diturunkan di wilayah konflik dan akan dikembangkan sepenuhnya mulai tahun 2010. ASF ditunjuk sebagai badan pelaksana
implementing mechanism kebijakan-kebijakan Dewan Keamanan Uni Afrika yang berhubungan dengan menciptakan perdamaian dan stabilitas kawasan.
Badescu Bergholm, 2010: 100-119 Ide mengenai pembentukan Pasukan Uni Afrika sendiri sebenarnya bukan
konsep baru dalam sejarah Uni Afrika. Ide ini telah muncul pada periode tahun 1960-an ketika Uni Afrika masih bernama OPA. Akan tetapi Piagam OPA tidak
memiliki definisi yang jelas mengenai pasukan Uni Afrika, apakah dibentuk dan diturunkan untuk melindungi negara anggotanya dari serangan luar atau juga
untuk menyelesaikan konflik-konflik internal yang terjadi di negara anggotanya. Begitu pula ketika Mekanisme Penyelesaian Konflik OPA yang dibentuk pada
tahun 1993, negara-negara Afrika pada saat itu tidak menyepakati bentuk, struktur, mandat serta biaya operasi pasukan Afrika. Badescu Bergholm, 2010:
100-119 Meskipun OPA pernah membentuk pasukan penjaga perdamaian Afrika
untuk menyelesaikan konflik-konflik di Chad, di Rwanda dan di Burundi, pasukan Afrika tersebut dapat dikatakan gagal karena beberapa alasan terentu. Akan tetapi
kegagalan tersebut dijadikan pelajaran tersendiri bagi Uni Afrika untuk
membentuk sebuah pasukan Afrika yang permanen, sebagaimana ungkapan Cederi
c de Coning, “a useful learning experience”. Coning, 1997: 20 Pasukan Afrika ASF terdiri dari sebuah kontigen yang berjumlah 3000-
4000 personel militer Afrika, 300-500 pengamat militer, polisi dan masyarakat sipil profesional yang akan diturunkan ke wilayah konflik dan beroperasi di
bawah komando serta kontrol Uni Afrika dan PBB. Pasukan tersebut diambil dari 5 wilayah sub-regional Afrika serta diberi tugas untuk melakukan tugas-tugas
berikut : 1 misi observasi dan pengamatan; 2 misi-misi yang mendukung perdamaian; 3 intervensi terhadap negara anggota untuk memulihkan
perdamaiaan dan keamanan sesuai dengan pasal 4 h Piagam Uni Afrika; 5 misi pecegahan dalam rangka: mencegah eskalasi konflik, mencegah penyebaran
konflik ke negara-negara tetangga, dan mencegah kemunculan kembali konflik setelah pihak-pihak yang bertikai mencapai kesepakatan damai; 6 Pembangunan
perdamaian termasuk perlucutan senjata dan demobilisasi paska konflik; 7 melakukan bantuan kemanusiaan untuk mengurangi penderitaan masyarakat sipil
di wilayah konflik dan membantu upaya-upaya mengatasi kerusakan lingkungan; 8 fungsi-fungsi lain yang ditugaskan oleh Dewan Keamanan atau Majelis Uni
Afrika. AU, 2012 Meskipun pasukan Afrika ini baru sepenuhnya akan dibentuk dan
dikembangkan pada tahun 2010, akan tetapi pasukan Rwanda dan Nigeria serta beberapa pasukan dari negara Afrika lainnya yang berada di Darfur menamakan
diri sebagai pasukan penjaga perdamaiaan Afrika yang dibentuk oleh Uni Afrika dan mandat Dewan Keamanan Uni Afrika. Agar dapat menyelesaikan berbagai
konflik di kawasan bukanlah sekedar teori yang tertuang dalam Piagam Uni
Afrika semata, akan tetapi mereka mengimplementasikannya di lapangan ketika suatu konflik yang mengancam stabilitas dan keamanan terjadi di kawasan
sebagaimana konflik etnis Darfur. Badescu Bergholm, 2010: 100-119
C.2. Faktor-faktor eksternal pendorong keterlibatan Uni Afrika di Darfur
Munculnya konsep Responsibility to Protect R2P pada tahun 2001 yang memungkinkan masuknya pihak asing ke dalam konflik yang terjadi di suatu
negara menjadi pendorong tersendiri bagi masyarakat untuk menyelesaikan konflik etnis Darfur. Baik pemerintah Sudan maupun kelompok pemberontak
Darfur, dianggap telah sama-sama melakukan melakukan pelanggaran dan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan menjadikan penduduk sipil Darfur
sebagai target utama peperangan. Bahkan, pemerintah Sudan dituduh berupaya melakukan pembersihan etnis ethnic cleansing suku Afrika Darfur dengan
membiarkan milisi Arab Janjaweed membunuh ribuan warga Afrika Darfur, sebagaimana laporan-laporan yang disampaikan para pengamat dan lembaga-
lembaga non pemerintah internasional. Strauss 2005:30 Ketika Piagam Uni Afrika The Constitutive Act of The African Union
disepakati sebagai landasan organisasi bagi Uni Afrika untuk menjalankan tugas- tugasnya, secara tidak langsung para pemimpin Afrika menyepakati setiap
langkah dan kebijakan yang diambil Uni Afrika demi kemajuan dan kebaikan Afrika secara keseluruhan. Prinsip-prinsip Uni Afrika yang tertuang dalam pasal 4
Piagam Uni Afrika secara jelas menyebutkan bahwa organisasi memiliki hak untuk mengintervensi negara anggotanya jika terbukti telah tejadi situasi-situasi
yang disebut sebagai genosida, pembersihan etnis dan kejahatan perang di negara tersebut.
Sebagai sebuah organisasi yang baru berdiri pada tahun 2002, Uni Afrika memiliki sebuah mekanisme yang lebih baik dari organisasi pendahulunya dalam
upaya memelihara perdamaiaan dan keamanan Afrika. Piagam Uni Afrika dan Protokol Pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika memberikan kekuatan bagi
organisasi serta menjadikannya sebagai suatu rezim keamanan security regime dalam rangka mencegah, mengelola dan mengatasi konflik di kawasan. Prinsip-
prinsip yang mendukung agenda perdamaiaan dan keamanan Uni Afrika memiliki kesamaan dengan unsur-unsur kerangka perlindungan konsep Responsibility to
Protect yang dikembangkan oleh Komisi Internasional untuk intervensi dan
kedaulatan Negara The International Commission on Intervention and State Sovereignty-ICISS. ICISS, 2011
ICISS dibentuk pada tahun 2000 atas usul dan inisiatif pemerintah Kanada untuk menjawab permintaan Sekjen PBB, Kofi Annan di depan Majelis Umum
PBB pada tahun 1999 dan mengulanginya kembali pada tahun 2000. Pada tahun 1999 Kofi Annan meminta masyarakat internasional untuk mengembangkan
sebuah konsep mengenai bagaimana cara agar masyarakat internasional dapat merespons intervensi pelanggaran sistematis suatu negara terhadap hak asasi
manusia. Menurut Kofi Annan, respons internasional untuk mengatasi pelanggaran tersebut seringkali dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap
kedaulatan negara dan akhirnya menjadi sebuah hambatan bagi masyarakat internasional PBB untuk mengatasi pelanggaran terhadap kemanusiaan yang
terjadi di suatu negara. ICISS, 2001
Pada saat itu, Kofi Annan menyatakan di depan sidang Majelis Umum PBB:
“…if humanitarian intervention is, indeed an unacceptable assault on sovereignty, how should we responsd to Rwanda,
Srebenica –to gross and systematic violation of human rights
that affect every precept of our common humanity? ” ICISS,
2001 Konsep Responsibility to Protect yang dikeluarkan oleh ICISS tersebut
mengakhiri perdebatan seputar pelanggaran kedaulatan negara ketika intervensi dilaksanakan. Meskipun konsep ini belumlah final dan tidak semua negara
menyepakatinya, namun konsep ini merupakan langkah terbaik guna mengatasi bencana kemanusiaan yang terjadi di suatu negara. Responsibility to Protect
mengartikan kedaulatan sebagai tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan dan keamanan terhadap warganegaranya. Jika negara gagal
melaksanakan tugas tersebut, atau justru negar menjadi aktor penyebab terjadinya bencana kemanusian di negaranya sendiri, maka tanggung jawab melindungi
berpindah tangan ke masyarakat internasional. ICISS, 2001 Menurut konsep ini, masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk
bertindak, jika perlu menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan bencana kemanusiaan yang terjadi di suatu negara. Penggunaan kekutan militer merupakan
langkah terakhir setelah berbagai opsi non-militer telah dilakukan untuk mencegah bencana kemanusiaan. Adapun kriteria-kriteria dilaksanakannya
intervensi militer terhadap suatu negara menurut Responsbility to Protect antara lain: Pertama, adanya kematian dengan sekala besar large-scale loss of life yang
disebabkan oleh genosida dan negara tidak mampu mengatasinya. Kedua, adanya
pembersihan etnis ethnic cleansing baik yang disebabkan oleh pembunuhan, pengusiran, tindakan terror, maupun pemerkosaan. ICISS, 2001
Konsep Responsibility to Protect juga menjelaskan, bahwa kekuasaan untuk mengambil tindakan intervensi militer perlu juga pertimbangan Dewan
Keaman PBB. ICISS berpendapat : “There is no better or more appropriate body than the United
Nations Security Council to authorize military intervention for human right protection purpose”.
Akan tetapi jika Dewan Keaman PBB gagal mengambil kesepakatan untuk
melakukan intervensi militer maka Majelis Umum PBB ditunjuk sebagai badan yang bertanggungjawab untuk mengatasi bencana kemanusiaan tersebut.
Organisasi regional dan sub-regional yang berada di wilayah terjadinya konflik juga diberikan kekuasaan untuk bertindak sesuai denan Bab VIII Piagam PBB dan
mekanisme intervensi militer harus dibentuk oleh PBB. ICISS, 2001 Konsep di atas akhirnya secara tidak langsung menjadi pendorong bagi
Uni Afrika untuk melaksanakan misi perdamanian di Sudan. Apalagi Dewan Keaman PBB yang seharusnya melaksanakan misi tersebut mendapat penolakan
dari pemerintah Sudan sendiri. Selain konsep Responsibility to Protect yang menjadi faktor eksternal
keterlibatan Uni Afrika di Sudan, faktor eksternal juga datang dari negara-negara donor maupun organisasi internasional sebagai partner Uni Afrika. Baba Gana
Kingibe, koordinator AMIS, mengakui pentingnya peran dari patner-patner Uni Afrika seperti PBB, Amerika Serikat dan Kanada G-8 maupun Uni Eropa dalam
mendukung operasi Uni Afrika di Sudan AMIS. Dukungan tersebut terutama berupa bantuan finansial, logistik, perencanaan maupun upaya untuk melatih
pasukan Afrika guna memiliki keahlian memadai dalam menjalankan operasi perdamaian di Darfur. Kingibei, 2006
C.2.1. Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB
PBB sebagai institusi internasional yang anggotanya merupakan sejumlah negara di dunia tentunya memiliki peran yang sangat besar dalam mendorong Uni
Afrika untuk mampu menyelesaikan berbagai masalah di kawasan. Piagam PBB secara tegas menyatakan bahwa Dewan Keamanan PBB memiliki tanggung jawab
untuk memelihara perdamaian dan keamanan di dunia. Akan tetapi tanggung jawab tersebut tidaklah bersifat eksklusif. Bab VIII Piagam PBB memberikan
legitimasi kepada organisasi kawasan untuk memberikan konstribusi dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Pada tahun 1992, Sekjen
PBB Boutros-Boutros Ghali juga pernah meminta organisas-organisasi regional untuk dapat berperan lebih besar dan memberikan konstribusi terhadap
permasalahan-permasalahan internasional. Ghali, 1994 Tragedi genosida di Rwanda pada tahun 1994 menjadi pelajaran tersendiri
bagi PBB untuk mengakui bahwa organisasi regional seperti Uni Afrika harus mempersiapkan diri mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan jika PBB tidak
ingin atau tidak mampu melakukan intervensi, sebagaimana pernyataan pejabat senior Komisi Uni Afrika: “Africans Knows that if we have to wait for the UN,
people will die ”. Powell, 2006: 1000
Protokol pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika juga menekankan pentingnya kerjasama dengan PBB untuk mendukung agenda-agenda perdamaian
di Afrika. Pasal 17 1 protocol Dewan Keaman Uni Afrika menyatakan : “The Peace and Security Council shall cooperate and work closely
with the United Nations Security Council, which has the primary
Responsibility for the maintenance of international peace and security”. AU, 2012
Dalam rangka mendorong kemampuan Uni Afrika untuk dapat menyelesaikan berbagai konflik di kawasan, PBB telah membantu Uni Afrika
untuk membentuk Dewan Keamanan Uni Afrika. Departemen Politik dan Operasi Penjaga Perdamaian Departement of Peace-Keeping Operation-DPKO PBB
juga membantu Uni Afrika dalam rencana pembentukan pasukan Afrika dan komite Staff Militer Uni Afrika. Dalam misi Uni Afrika di Darfur AMIS, DPKO
mengirimkan perwira militer untuk membantu Uni Afrika dalam misi tersebut pada bulan Februari 2005. PBB memberikan arahan kepada AMIS dalam
mengatur penempatan personel pasukan Afrika di Darfur. Di samping itu PBB juga membantu Uni Afrika untuk mencapai dana bagi pelaksanaan operasi di
Sudan dengan mengadakan berbagai konferensi. Mackinnon, 2010: 71
C.2.2. Uni Eropa
Uni Eropa merupakan salah satu aktor kunci yang berperan dalam mendorong pembantukan rezim keamanan di Afrika. Sebagai contoh Uni Eropa
memberikan dukungan yang signifikan terhadap pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika beserta agenda-agenda perdamaiaan lainnya di Afrika. Dalam hal ini
Uni Eropa membentuk Fasilitas Perdamaian Afrika -African Peace Facility APF- pada bulan Maret 2004 untuk meresponss permintaan para pemimpin
Afrika pada pertemuan tinggi Uni Afrika di Maputo tahun 2003. Keane Wee, 2010: 119
APF menyediakan dana sebesar 250 juta Euro selama tiga tahun untuk mendukung operasi-operasi perdamaiaan yang dilakukan Uni Afrika maupun
organisasi sub-regional Afrika atas mandat Uni Afrika maupun PBB. Dari dana
sebesar 250 juta Euro tersebut, 35 juta Euro telah dialokasikan untuk pembangunan
Afrika termasuk
membantu Uni
Afrika untuk
dapat mengembangkan kebijakan keamanannya, membangun kapasitas rencana Dewan
Keamanan Uni Afrika, dan membantu Uni Afrika serta organisasi sub-regional lainnya untuk merencanakan pembentukan operasi-operasi pasukan penjagaan.
Keane Wee, 2010: 121 Meskipun APF dibentuk oleh Uni Eropa, dana-dana APF tidak akan
dilalokasikan untuk membiayai operasi-operasi pasukan penjagaan perdamaian Uni Eropa. Dana-dana APF hanya ditunjukan kepada operasi-operasi pasukan
penjagaan perdamaiaan Uni Afrika sendiri. Melalui APF, Uni Eropa telah mengalokasikan dana sebesar US 84 juta untuk mendukung operasi Uni Afrika
di Sudan. Keane Wee, 2010: 121 Pembentukan fasilitas keamanan menunjukan adanya perubahan
pendekatan Uni Eropa untuk menyediakan dana bagi pembangunan dan inisiatif perdamaian dan keamanan. Dana fasilitas keamanan berasal dari Dana
Pembangunan Eropa European Development Fund – EDF yang dialokasikan
untuk pembangunan jangka panjang. Keane Wee, 2010: 129 Uni Eropa beserta anggota-anggotanya juga secara aktif terlibat dalam
upaya membantu Uni Afrika mengatasi krisis Darfur dengan menyediakan bantuan politik, keuangan dan logistik serta membantu memulihkan kondisi
kemanusian di Darfur dengan turut serta masuk sebagai salah satu anggota pengamat militer gencatan senjata. Keane Wee, 2010: 132
C.2.3. G-8
Peran negara-negara anggota G-8 dalam mendukung pembentukan Dewan Keamanan Uni Afrika tak kalah besar. Pada pertemuan G-8 di Kananaskis,
Kanada tahun 2002, Negara-negara anggota G-8 menyepakati pembentukan Rencana Aksi Afrika African Action Plan-APP sebagai responss kolektif atas
pembentukan The New Partnership for Africas Development NEPAD oleh para pemimpin Afrika yang membuka Afrika untuk berbagai kerjasama dengan negara-
negara maju. Black, 2011: 232 Dalam rangka meningkatkan kemampuan Uni Afrika, dan organisasi-
organisasi sub-regional lainnya di Afrika, dalam mencegah dan menyelesaikan konflik di kawasan, G-8 bersedia untuk memberikan bantuan teknis dan finansial.
APP juga meminta G-8 untuk membentuk rencana bersama guna meningkatkan kemampuan Uni Afrika dalam melaksanakan operasi-operasi perdamaian. Black,
2011: 232 Pada pertemuan Evian tahun 2003, negara-negara anggota G-8
menekankan kembali komitmennya untuk mempromosikan perdamaian dan keamanan di Afrika dengan membahas secara ekslusif bagaimana agar Uni Afrika
mampu melaksanakan operasi-operasi militer guna mencegah dan menyelesaikan konflik. Akhirnya G-8 menyepakati pembentukan kerjasama Afrika
– G-8 untuk meningkatkan kemampuan negara-negara Afrika dalam melaksanakan dan
mendukung operasi-operasi perdamaiaan. Pelaksanaan operasi tersebut tetap diserahkan kepada Dewan Keamanan Uni Afrika sebagai badan pelaksana. G-8
juga sepakat untuk menyediakan senjata dan latihan militer bagi pasukan Uni Afrika. Black, 2011: 232
Pada pertemuan G-8 di Sea-Island 2004, G-8 menyepakati untuk meningkatkan kemampuan Uni Afrika dalam mendukung operasi-operasi
perdamaian. Pemerintah Amerika Serikat bersedia menyediakan dana sebesar 660 juta dollar untuk pelaksanaan operasi-operasi tersebut. Pada pertemuan tersebut
Amerika juga mengundang lima pemimpin Afrika untuk ikut serta dalam beberapa sidang. Hal ini mencerminkan komitmen G-8 untuk membantu dan
mendukung Uni Afrika untuk menyelesaikan berbagai masalah di kawasan Afrika sangatlah besar. Dalam pertemuan tersebut G-8 juga membahas rencana latihan
bagi pasukan Uni Afrika dan menyediakan senjata, sarana trasnportasi serta bantuan logistik lainnya. Black, 2011: 233
Kanada adalah salah satu negara anggota G-8 memiliki peran yang paling besar dibanding negara-negara G-8 lainnya dalam mendukung kemampuan Uni
Afrika, dengan menyediakan dana bagi Uni Afrika. Pemerintah Kanada bersedia menyediakan dana sebesar 6 miliar dollar Kanada selama 5 tahun untuk
mendukung kerjasama Afrika – G-8 dan pembentukan APP. Dana tersebut
termasuk 500 juta dollar Kanada dalam bentuk bantuan Kanada untuk Afrika Canada Fund for Africa
– CFA - yang digunakan selama periode 2002-2007. Black, 2011: 238-244
CFA juga kemudian menyediakan dana sebesar 4 juta dollar Kanada selama 4 tahun 2004-2007 untuk meningkatkan kemampuan Dewan Keamanan
Uni Afrika. Adapun konstribusi CFA bagi Uni Afrika adalah sebagai berikut : 1 dua juta dollar Kanada untuk membentuk pengembangan mekanisme respons
cepat. Dana tersebut khususnya diperuntukkan bagi peningkatan respons Dewan Keamanan Uni Afrika secara cepat dan efektif untuk mengatasi krisis dengan
mengirim pengamat militer ke wilayah konflik; 2 satu juta dollar Kanada selama lima tahun untuk mengembangkan mekanisme respons cepat bagi masyarakat sipil
non-militer untuk aktivitas-aktivitas perdamaian dan keamanan. Dana ini pernah digunakan untuk misi politik dan mediasi Uni Afrika di Burundi, Pantai Gading,
Somalia, dan Darfur; 3 lima ratus ribu dollar Kanada sebagai bagian dari bantuan Negara multi donor milik UNDP sebesar 6,4 dollar; 4 lima ratus ribu
dollar Kanada yang diberikan kepada Departemen Politik dan Kemanusiaan di Komisi Uni Afrika untuk membentuk perwakilan khusus guna melindungi warga
sipil dan konflik bersenjata. Black, 2011: 238-244 Pemerintah Kanada juga menyediakan dana sebesar 200.000 dollar
Kanada untuk membantu misi Uni Afrika di Sudan AMIS pada tahun 2004. Pada tanggal 12 Mei 2005, pemerintah Kanada mengumumkan akan menydiakan
dana tambahan sebesar 170 juta dollar Kanada selama dua tahun untuk membantu dan meningkatkan misi Uni Afrika di Sudan AMIS. Black, 2011: 238
Komiten Kanada untuk membantu pembangunan kapasitas kemampuan Uni Afrika sangatlah signifikan. Meskipun bantuan Kanada kepada Uni Afrika
tidaklah sebesar bantuan yang diberikan kepada misi NATO dan PBB di Bosnia- Herzaegovia NATO Stabilisation Force in Bosnia-Herzegovina
– SFOR, akan tetapi bantuan tersebut menunjukan konstribusi pemerintah Kanada dalam
mendukung agenda perdamaian dan keamanan di Afrika. Black, 2011: 248 Dorongan pihak luar dalam mendukung agenda-agenda perdamian Uni
Afrika memberikan arti tersendiri bagi para pemimpin Afrika dan Uni Afrika untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah di kawasan terutama penyelesaian
konflik etnis Darfur. Black, 2011: 248