Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya begitu banyak unsur-unsur yang terkandung dalam pelaksanaan perkawinan seperti unsur agama, adat-istiadat, dan budaya masyarakat setempat. Setiap ada pernikahan selalu dibarengi dengan resepsi pernikahan atau walimah. Acara semacam ini sudah dianggap lumrah dan telah membudaya bagi setiap lapisan masyarakat manapun, hanya cara dan sistemnya yang berbeda. Sedangkan maksud yang terkandung dari mengadakan walimahan itu tiada lain hanya untuk menunjukan rasa syukur atas pernikahan yang telah terjadi sebagai rasa bahagia untuk dinikmati bersama handai taulan dan masyarakat sekitar lingkungannya. 1 Dalam arti luas walimah ialah makanan dalam perkawinan, berasal pecahan dari kata walam, yaitu mengumpulkan, karena suami istri berkumpul. Imam Syafi‟i dan sahabat-sahabatnya berkata bahwa walimah itu berlaku pada setiap undangan yang diadakan karena kegembiraan yang terjadi: seperti nikah, sunatan khitan maupun lainnya. Yang terkenal kalau dikatakan secara mutlak, walimah dipergunakan dalam nikah dan terbatas dalam penggunaan lainnya. 2 1 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta: Darussalam, 2004, Cet-1, h. 175. 2 Imam Taqiyuddin Abubakar Bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Surabaya : Bina Iman,1993, h. 144. 2 Walimahan diadakan ketika acara akad nikah berlangsung atau sesudahnya, atau ketika hari pernikahan. Walimahan bisa juga diadakan menurut adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hukum Islam, jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunnah mu‟akad. Hal ini berdasarkan hadits Rasulallah SAW: Artinya: “Dari Anas, ia berkata “Rasulallah SAW. Belum pernah mengadakan walimah untuk istri-istrinya, seperti beliau mengadakan walimah untuk Zainab, beliau mengadakan walimah untuknya dengan seekor kambing.”HR Bukhory. Artinya: “Dari Buraidah, ia berkata, “Ketika Ali melamar Fatimah, Rasulallah SAW. Bersabda, “Sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walimahnya.”HR Jalaluddin Al-Shuyuthiy”. 5 Namun setiap ada masyarakat terdapat adat yang tetap berlaku sekalipun dalam masyarakat yang beragama Islam. Seperti halnya dalam masyarakat 3 Abi Abdillah Muhammad bin Isma‟il Al-Bukhory, Shohih Al-Bukhory, Beirut: Al- Maktabah Al-Ishriyyah, 1997, Jilid 3, h. 1664, No. Hadits 5167. 4 Jalaluddin Al-Shuyuthiy, Sunan An-Nasa ’i, Beirut: Daar Al-fikr, 1995, Jilid 6, h. 72, No. Hadits 3348. 5 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009, h.132. 3 Samudera Jaya yang masih mempercayai penggunaan sesajen pada pelaksanaan walimah terutama walimatul „ursy. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar masyarakat yang berada disekitar Desa ini adalah keturunan Jawa. Karena seperti kita ketahui dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal adat atau kebudayan. Dalam kehidupan sehari-hari orang tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. 6 Seperti diketahui pula isi utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan di dalam masyarakat yang memberi jiwa kepada masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk atau berupa sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan. 7 Budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, dan kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistimologis dari sistem pengetahuan masyarakatnya. Sistem simbol dan epistimologi juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan dan seluruh perilaku sosial. 8 6 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1990, Cet- 31, h. 187. 7 Elly M Setiadi, Kama Abdul Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Bandung: Kencana, 2007, Cet-2, h. 30. 8 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999, Cet-2, h. 1. 4 Begitu pula halnya pada saat pelaksanaan pesta perkawinan atau walimatul ursy, orang-orang cenderung tidak bisa lepas dari unsur budayanya. Salah satunya budaya atau tradisi sesajen yang tidak pernah tertinggal pada saat pelaksanaan walimatul „usry di Desa Samudera Jaya. Memang ada suatu fenomena yang menarik dari hal ini karena tidak lazim acara walimah disertakan dengan sesajen ketika penyelenggaraannya. Tujuannya bermacam-macam tergantung yang mempunyai hajat tetapi tujuan utamanya yaitu meminta berkah dari arwah leluhur. Adapun bentuk sesajiannya bervariasi, tergantung permintaan atau sesuai bisikan ghaib yang diterima oleh orang pintar paranormal, dukun, dan sebagainya. Banyak kaum muslimin berkeyakinan bahwa acara tersebut merupakan hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian dari kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu saat tidak diberi sesaji maka yang tidak memberikan sesaji akan kualat. Anehnya perbuatan yang sebenarnya pengaruh dari ajaran Animisme dan Dinamisme ini masih marak dilakukan oleh orang-orang pada zaman modernisasi yang serba canggih ini. 9 Seperti masyarakat yang berada disekitar Desa Samudera Jaya padahal mayoritas agamanya adalah Islam. Keadaan masyarakat Desa Samudera Jaya mereka meyakini penggunaan sesajen dalam pelaksanaan walimatul „ursy karena dengan adanya sesajen, maka pesta perkawinan atau walimatul „ursy yang berlangsung pada saat itu mampu 9 http:blog.re.or.id.sesajen-adakah-dalam-islam-aqidah. Edisi 13Th. II 420. 5 mendatangkan berkah seperti: rizkinya bertambah melalui banyaknya tamu yang hadir, makanannya matang, tidak sampai kehabisan, terhindar dari hujan, dijauhkan dari mara bahaya, tidak ada gangguan dari roh jahat, dilindungi oleh para leluhur, dan keluarga yang mengadakan acara walimahan tersebut bisa menjadi keluarga yang bahagia, rukun dan langgeng. 10 Mengenai hal-hal yang diyakini oleh manusia lebih jauh lagi, seorang sosiolog yaitu Spencer secara tegas berpendapat bahwa semua manusia, bagaimanapun sederhananya teknologi yang dikembangkan, adalah makhluk rasional. Menurut Spencer, agama berkembang dari observasi bahwa di dalam mimpi jiwa bisa meninggalakan raga. Manusia karena itu memiliki aspek ganda, dan setelah matinya jiwa berlanjut muncul menjadi living descendants di dalam mimpi-mimpi. Hantu-hantu dari tokoh-tokoh pendahulu tersebut pada akhirnya memperoleh status dewa. Praktek menyajikan sesajen yang menyebar luas di gua-gua nenek moyang dan memberi mereka makanan berkembang menjadi ritual pengorbanan bagi dewa. Ritual nenek moyang karena itu dianggap sebagai akar dari setiap agama. 11 Dari peristiwa tersebut yang semakin tumbuh dan melekat pada masyarakat Desa Samudera Jaya maka, inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk mengkaji fenomena dalam skripsi dengan judul: “SESAJEN PADA PELAKSANAAN WALIMATUL „URSY DI DESA SAMUDERA JAYA KECAMATAN TARUMA JAYA BEKASI UTARA” 10 http:Gunung Jati Cirebon.comsesajen-selametan-manten. Diakses tanggal 21 April 2010. 11 Yusran Razak, Antropologi Agama, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007, Cet-1, h.11. 6

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah