25
BAB IV
KONSEP POLITIK ISLAM DALAM TAFSIR FÎ ZHILÂL AL-
QUR’ÂN
Inti konsep pemikiran Sayyid Quthb tentang politik yang dapat disimpulkan dari kitab Tafsir Fi Zhilal al-
Qur‟an, menurut A. Ilyas Ismail berupa gagasan tentang hakimiyyah, jahiliyyah dan tajhil, perjuangan Islam atau perang
suci jihad, serta revolusi Islam tsaurat al-Islamiyyah
1
yang dijabarkan dalam metode konsep politik dalam al-
Qur’ân mengenai kehidupan, kedaulatan Tuhan, tujuan negara, prinsip-prinsip pemerintahan, konsep kewarganegaraan, dan
prinsip-prinsip kebijaksanaan negara.
A. Konsep al-Qur’ân Mengenai Kehidupan
Sayyid Quthb dalam tafsir Fî Zhilâl al- Qur‟ân mengatakan bahwa
kehidupan umat Islam dewasa ini tidak akan sejahtera ketika tidak mengikuti jejak para pendahulu mereka.
2
Pendapat tersebut bias dilihat Sebagaimana ketika ia menafsirkan al-Qurân surat Âli Imrân ayat 103,
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
masa Jahiliyah bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah
1
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthb; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah,
Jakarta: Penamadani, 2006, h. 68-69.
2
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal Al-Quran; Di bawah Naungan Al-Quran, terj. As’ad
Yasin dkk Jakarta: Gema Insani Press, 2008 Jilid. 2, h. 53.
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunj
uk.”
Menurut Sayyid Quthb, kehidupan adalah ciptaan Allah, ditentukan oleh takdir-Nya. Ia bukan tuhan, bukan kekuatan yang muncul dalam dirinya, tidak
tumbuh dan ditumbuhkan oleh kemauannya sendiri, tidak terikat oleh kekuatan lain. Ia juga bukan sesuatu yang ada secara kebetulan atau tiba-tiba, ia tidak
bergerak secara sporadik tak tentu arah. Alam juga bukan pencipta, tetapi ia diciptakan dan dijadikan oleh Allah seiring dengan kemunculan kehidupan. Allah
telah menyiapkan bumi untuk jenis kehidupan yang tumbuh di dalamnya. Dan untuk pengelolaan itu Allah telah menurunkan al-
Qur’ân sebagai sumber dari segala sumber hukum umat manusia yang menuntunnya pada kesejahteraan hidup
di dunia dan di akhirat.
3
Kenyataannya, umat banyak yang tidak lagi berpegang kepada sumber itu, kecuali hanya slogan. Padahal, di dalam Al-Qurân terdapat petunjuk-petunjuk
bagaimana terbentuknya suatu masyarakat ideal dan praktik Nabi Muhammad saw. dengan masyarakat Qurâni itu nyata sebagai realitas sosial dan berkelanjutan
pada masa-masa berikutnya. Hal itu sejalan dengan pemikiran sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah
4
bahwa Allah memberikan petunjuk bagi tercapainya masyarakat Qurâni. Hal tersebut sebagaimana firman Allah dalam
surah An-Nûr24: 55 berikut:
3
Ibid, h. 357 – 359.
4
M. Amin Rais, “Kata Pengantar,” dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam
dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah Jakarta: Rajawali Pers, 1995, h. x.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.
”
Sayyid Quthb mengomentari ayat di atas bahwa itu janji Allah kepada Rasulullah saw. yang akan menjadikan umatnya sebagai penguasa-penguasa di
muka bumi. Sehingga, negara-negara menjadi makmur dan rakyat menjadi patuh. Dan, janji itu terjelma sebelum Nabi Muhammad saw. wafat, yaitu bermula dari
penaklukan Mekah, Bahrain, dan seluruh Jazirah Arab dan Yaman.
5
Pendapat politik Sayyid Quthb di atas, sejalan dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang berkomentar atas ayat itu bahwa kebaikan penguasa bergantung
kepada kesungguhannya mengikuti al-Qurân dan sunnah Rasul-Nya serta mengajak rakyatnya untuk mengikutinya. Dan, Allah menjadikan kebaikan
penguasa itu pada empat hal: 1 mendirikan shalat; 2 menunaikan zakat; 3 amar maruf; 4 nahi mungkar. Sang pengusa mengajak mendirikan shalat
berjamaah bersama para pembantunya dan menyuruh rakyatnya mendirikan shalat serta menghukum mereka yang teledor melaksanakannya sesuai dengan hukum
Allah. Dengan tegaknya ketentuan al-Qurân itu, akan dicapai masyarakat Qurâni yang dapat menegakkan hablum min Allah hubungan vertikal dan
5
Sayyid Quthb, Beberapa Studi Tentang Islam, terj. A. Rachman Zainuddin Jakarta: Media Dakwah, 1982, h. 9.
hablunminanas hubungan horizontal yang berarti memadukan dua
kemaslahatan.
6
Masyarakat Qurâni itu akan tampak pada ketertundukan mereka terhadap supremasi hukum al-Qurân. Dan, al-Qurân meletakkan prinsip-prinsip dasar
dalam mengatur dan mengendalikan masyarakat muslim. Prinsip-prinsip tersebut adalah justice keadilan, deliberation syura, equality persamaan, dan freedom
kebebasan. Orientasi politik Islam menurut al-Qurân menekankan pada tauhîd, syar
î’ah, dan program ketakwaan. Menurut sayyid Quthb, Allah SWT tidak hanya menurunkan ajaran dan
doktrin bagi umat manusia, tetapi juga menurunkan nabi-Nya untuk memberi contoh dan memimbing umat manusia menuju kepada keadilan Islam dunia.
Kalau kita perhatikan, proses yang dilakukan Nabi saw. dalam membentuk masyarakat Qurâni, yang sebelumnya terkenal dengan masyarakat jahili, ada lima
jalan yang ditempuhnya.
7
Pertama , Nabi saw. membangun aqidah umat selama berada di Mekah
untuk mempersiapkan diri menerima tanggung jawab mengemban tugas risalah dan khalifah. Proses ini dilakukan paling lama sekitar 23 tahun. Setelah matang,
Nabi saw. mengutus mereka untuk menyebarkan misi dakwah, seperti Mushab bin Umair dikirim ke Madinah dan sebagian dikirim ke Ethiopia. Ketika dakwah
sudah menampakkan hasilnya dan tidak ada satu rumah pun di Madinah melainkan sudah ada orang yang masuk Islam, maka keadan ini sangat tepat bagi
umat Islam di Mekah yang selalu ditindas kaum jahiliyah untuk berhijrah meninggalkan tempat asalnya.
6
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1989, h. 89.
7
Sayyid Quthb, Ma‟alim fi al-Thariq al-Salamiyah, Kuwait: al-Ittihad al-Islami al-
‘Alami, 1368 H, h. 11-19.
Kedua , Nabi saw. memerintahkan kepada seluruh sahabat agar berhijrah
ke Madinah. Dan, yang menarik adalah bahwa sesampai di Madinah, pertama yang dilakukan Nabi saw. untuk pembinaan umat adalah membangun masjid
Nabawi sebagai sentral kegiatan dan aktivitas umat Islam. Penempaan kaderisasi terus berlanjut di masjid tersebut.
Ketiga , Nabi saw. mempersaudarakan antarumat Islam. Mereka yang
berasal dari Mekah disebut Muhajirin, sementara yang berasal dari Madinah disebut Anshar. Hal itu dilakukan untuk merekatkan umat Islam sehinga tidak
mudah diadu domba. Keempat
, Nabi saw. membuat Piagam Madinah untuk mengatur hubungan dengan masyarakat Etnis lain, yaitu ahlul kitab dari bangsa Yahudi,
sekaligus upaya pembentengan bagi masyarakat muslim. Kelima
, Nabi saw. melakukan ekspedisi perang bagi siapa saja yang ingin memaksakan kehendaknya untuk merusak tatanan masyarakat muslim. Maka,
beliau tampil sebagai penglima perang. Dengan demikian, terbentuklah masyarkat muslim Madinah yang mengejawantahkan Allah pada ayat di atas.
Ajaran al-Qurân selalu berpijak kepada umat manusia, artinya bahwa Al- Qurân selalu memperhatikan maslahat dan kepentingan umat manusia, karena itu
para ulama sepakat bahwa apabila konsep al-Qurân ditetapkan dalam suatu masyarakat tertentu akan mendapatkan paling tidak lima hal pokok:
1. Terjaga agamanya
2. Terjaga jiwanya
3. Terjaga hartanya
4. Terjaga akalnya
5. Terjaga kehormatannya.
8
Demikian uraian singkat tentang cita-cita Islam dalam membentuk masyarakat Qurâni sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid Quthb dalam kitab
tafsirnya. Kesimpulan penulis, sebenarnya apa yang dicita-citakan oleh Sayyid Quthb sama dengan para pemikir Islam lainnya, yaitu mendambakan suatu tatanan
masyarakat yang berlandaskan hukum al- Qur’ân dan Sunnah Rasul, demi
membentuk manusia yang lebih makmur dan berperadaban dan kita tidak perlu terlibat analisa dikotomis ala Barat yang menempatkan umat Islam pada kondisi
pemahaman yang formalistik, substanstivistik, dan fundamentalis.
B. Kedaulatan Tuhan