fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh
kelompok ini adalah Ali Abd al-Râziq dan Thahâ Husein.
8
B. Hakekat dan Karakteristik Negara Islam
Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk
menjadikan al-Qurân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman.
9
Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur negara Islam, melainkan substruktur dan
tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip
bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qurân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial-
politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu, sepanjang negara
berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan negara Islam dalam pengertian yang formal dan ideologis bukanlah kebutuhan yang urgen.
10
Dalam dunia Islam, menurut Din Syamsuddin, secara umum ditemukan tiga bentuk paradigma tentang hubungan agama dan negara.
11
Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama
8
Ibid., h. 25
9
Tijani Abd. Qadir Hamid, Pemikiran Politik dalam Al- Qur’ân, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. vii.
10
Abdulaziz Sachedina, Beda tapi Setara; Pandangan Islam tentang Non-Islam, terj. Satrio Wahono Jakarta: Serambi, 2004, h. 70.
11
M. Din Syamsuddin, Usaha Pencarian konsep Negara dalam sejarah Pemikiran Politik Islam, ed. Abu Zahra dalam, Politik Demi Tuhan Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, h. 32.
dan negara. Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan.
Paradigma ketiga bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam,
paradigma sekuralistik menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu pada negara.
12
Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan umat.
Seorang pemikir muslim Prancis, Roger Garaudy, berpendapat bahwa Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum
muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar permasalahan yang selalu berubah secara evolusi
diserahkan kepada akal pikiran manusia menurut kepentingan umum yang telah digariskan agama.
13
Dari pandangannya dapat disimpulkan, masyarakat Islam bukanlah masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat untuk
mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan konteks budaya. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan
pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan salah satu
ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik diperlukan umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan
politik itu sendiri.
12
Abu Zahra, Politik Demi Tuhan, h. 33.
13
Muhsin al-Mayli, Pergulatan Mencari Islam, Perjalanan Religious Roger Garaudy, terj. Rifal Ka’bah Jakarta: Paramadina, 1996, h. 216.
C. Teori Kekhalifahan dalam Islam