17
BAB III TEORI POLITIK ISLAM
A. Dasar-dasar Teori Politik Islam
Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil âlamîn
. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang terkait dengan urusan duniawi, seperti, bagaimana mengatur sistem
perekonomian, penegakan hukum, dan sebagainya, termasuk tentang konsep politik.
1
Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari
berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang beliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi
adalah satu cermin terbentuknya ‘negara’ yang berciri demokrasi. Perjanjian itu mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakan kestabilan
bernegara.
2
Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju
kemaslahatan. Atau, dalam bahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan
tidak bertentangan dengan agama. Setiap manusia yang beragama niscaya
1
Amin Rais, Pengantar Buku Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, dalam Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaliatif terhadap
Proses Pendidikan Politik “Ikhwan” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954,
terj., Salafuddin Abu Sayyid, Hawin Murtadho Solo: Era Intermedia: 2000, h. 2.
2
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan Jakarta: Paramadina, 1992, h. 195.
berpolitik. Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan.
3
Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian kepala negara khalîfah mencuat pada saat Nabi saw wafat.
Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan hukum. Sebab, kebutuhan akan adanya
seorang pemimpin untuk meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah
sibuk memikirkan penggantinya, dan penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka.
4
Dalam bab ini penulis ingin membaca dan mengkaji kembali konsep politik dalam Islam yang diyakini sebagai ajaran hudan petunjuk dan
menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Pemikiran di bidang politik sebagai cikal bakal diskursus konsep politik
Islam baru muncul pada periode dinasti Abbasiyah.
5
Karya-karya intelektual muslim Sunni sebelumnya lebih terfokus pada persoalan fiqh, kalam, dan hadis.
Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan munculnya kelompok- kelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan politik, tetapi wacana
intelektual yang mengemuka lebih awal adalah masalah teologi yang kemudian
diikuti masalah hukum.
Sebenarnya pemikiran politik Islam sejak awal sampai dengan masa Ibn Taimiyah merupakan produk teori yang lahir dari kelompok dalam tubuh umat
Islam, dan secara umum merupakan tanggapan pada suasana sejarah yang
3
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik Jakarta: Grafindo, 1992, h. 2.
4
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi Jakarta:
RajaGrafindo Persada: 1999, h. 81.
5
Ibid., h. 103.
spesifik. Dua dari kelompok tersebut adalah Khawârij dan Syiah, mereka mengajukan pandangannya tentang ciri-ciri pemerintahan Islam pada awal sejarah
negara Islam dengan menghasilkan teori imâmah bagi Syiah yang bersifat mistis, dan kecendrungan berpikir revolusioner bagi Khawârij. Kelompok yang ketiga
hadir adalah Sunni yang mengedepankan teori kekhilafahannya.
6
Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum mengenai gagasan politik dari para pemikir di atas. Pertama, pada pendapat mereka tampak jelas
adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. Kedua,
selain al-Farabi, mereka mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.
7
Sedangkan, para pemikir politik Islam pada periode pembaharuan purifikasi dapat dikategorikan dalam tiga varian besar, yaitu: pertama,
Kelompok Konservatif Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah
agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid
Quthb, Hasan al-Bannâ, Hasan al-Turabî, dan Abul Alâ al-Maududî. Kedua, Kelompok Modernis. Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka
menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh kelompok ini, Jamaluddîn al-Afghanî dan Muhammad Abduh. Dan ketiga,
Kelompok Liberal. Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal-
6
Sjechul Hadi Permono, Islam dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan; Teori dan Praktek Surabaya: Aulia, 2004, h. 196.
7
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran Jakarta: UI Press, 1991, h. 19.
fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh
kelompok ini adalah Ali Abd al-Râziq dan Thahâ Husein.
8
B. Hakekat dan Karakteristik Negara Islam