xi
B. Undang-Undang
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Konvensi Hak-Hak Anak 1989 Convenstion on the Rights of the Child
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice Beijing Rules.
C. Internet
http:bppmmahkamah.blogspot.co.id200907anak-dan-instrumen-perlindungan- hukum.html
http:pn-bangil.go.iddata?p=207
penerapan-diversi-dalam-peradilan-anak
http:s2hukum.blogspot.co.id201003keyakinan-hakim-dalam-memutus- perkara.html
http:setanon.blogspot.co.id201003diktat-hukum-perlindungan-anak.html http:socialwelfare.fisip.ui.ac.idindex.php?op=readberitaidberita=27,Kehadiran
-UU-No-11-Tahun-2012-Tentang-Sistem- Peradilan- Anak- dan- Peran- Pekerja
Universitas Sumatera Utara
xii
http:www.hukumonline.comklinikdetaillt53f55d0f46878hal-hal-penting- yang-diatur-dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak
http:www.hukumonline.comklinikdetaillt54d0e964a506epidana-bersyarat- terhadap-anak-dalam-praktik
http:www.kpai.go.idartikelmenguji-komitmen-negara-dalam-perlindungan- anak
http:www.kpai.go.idprofil http:www.kpai.go.idartikelpotret-kesenjangan-perlindungan-anak-dari-regulasi-
hingga-implementasi
Universitas Sumatera Utara
76
BAB III PENGATURAN SANKSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11
TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
A. Pengaturan Sanksi Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum
Sebelum Lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
1.
Menurut KUHP
Sebelum adanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengaturan ancaman sanksi pidana bagi anak delikuensi diatur secara
khusus dalam tiga pasal, yaitu Pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa berdasarkan perjalanan sejarahnya KUHP yang berlaku saat ini di
Indonesia berasal dari KUHP Belanda yang disebut dengan “Wetboek van Strafrecht” WvS melalui modifikasi.
85
Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 63 Tahun 1901 tanggal 12 Februari 1901, yang mengatur masalah pertanggungjawaban anak berdasarkan
hukum pidana di Belanda telah mengalami perubahan dalam penerapan pemidanaan, dimana pidana yang ditujukan bagi anak delikuensi bertujuan untuk
memberikan pendidikan bagi anak delikuensi. Menurut pembentuk undang- undang yang penting harus diperhatikan bukanlah masalah pemidanaan,
melainkan masalah pendidikan yang perlu diberikan kepada mereka. Untuk dapat dipertanggungjawabkannya menurut hukum pidana tersebut, undang-undang tidak
mengenal perbedaan umur dari seorang yang telah melakukan suatu tindak pidana.
85
Nandang Sambas, Op.cit., hlm. 79
Universitas Sumatera Utara
Sehingga membuat suatu penilaian apakah perbuatannya sebagai sesuatu yang dibenarkan atau tidak, sebagai pedoman hakim untuk menjatuhkan pidana atau
tindakan perlu ditinggalkan dalam sistem pemidanaan yang baru bagi anak-anak. Sebagai gantinya dipandang perlu untuk membuat sejumlah pidana dan tindakan-
tindakan yang lebih tepat bagi anak-anak dibawah umur yang telah melakukan suatu tindak pidana.
86
Dalam menghadapi anak-anak yang telah melakukan tindak pidana, yang penting baginya bukan apakah anak-anak tersebut dapat dihukum atau tidak,
melainkan tindakan yang bagaimanakah yang harus diambil untuk mendidik anak- anak tersebut. Bagi pembentuk undang-undang, suatu pidana itu merupakan suatu
sarana yang lebih sederhana untuk mendidik seorang anak daripada mengirimkan anak tersebut kesuatu lembaga pendidikan paksa, dimana anak tersebut perlu
dididik secara sistematis untuk suatu jangka waktu yang cukup lama, bukan saja memerlukan biaya yang sangat besar, melainkan juga merupakan suatu
pengekangan yang terlalu lama terhadap seorang anak.
87
Pasal 10 KUHP mengatur jenis pidana yang terdiri dari lima Pidana Pokok dan tiga pidana tambahan, yaitu
88
1. Pidana Mati
: Pidana Pokok, yang terdiri dari :
Pidana Mati adalah pidana yang terberat dari semua pidana, yang hanya diancamkan pada kejahatan yang terkejam. Pidana mati dianggap pidana yang
86
Ibid, hlm. 80-81
87
Ibid, hlm. 81-82
88
Aruan Sakidjo, dan Bambang Poernomo, 1990, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikai, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm 71.
Universitas Sumatera Utara
paling tua, setua umur manusia, sehingga menimbulkan pro dan kontra dalam penggunaannya. Menurut KUHP warisan belanda, ada 9 sembilan tindak
pidana yang dapat dikenakan pidana mati yaitu;
89
a. Pasal 104 makar terhadap Presiden dan wakil presiden
b. Pasal 111 ayat 2 Membujuk negara asing bermusushan atau
berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang c.
Pasal 124 ayat 1 membantu musuh waktu perang d.
Pasal 124 bis menyebabkan atau memudahkan huru – hara e.
Pasal 140 ayat 3 makar terhadap raja atau kepala negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut
f. Pasal 340 Pembunuhan berencana
g. Pasal 365 ayat 4 pencurian dengan kekerasan yang
mengakibatkan mati atau luka berat h.
Pasal 444 pembajakan dilaut pesisir dan disungai yang mengakibatkan kematian
i. Pasal 479 k ayat 2 kejahatan penerbangan
j. Pasal 479 ayat 2 kejahatan terhadap sarana dan prasarana
penerbangan. 2.
Pidana Penjara Pidana penjara adalah bentuk pidana yang dikenal juga dengan
pidana pencabutan kemerdekaan. Didalam KUHP, jenis pidana ini digolongkan pidana pokok. Pada umumnya hukuman penjara dijalani dalam suatu ruangan
89
Marlina, Op Cit, hlm 86
Universitas Sumatera Utara
tertentu.
90
3. Pidana Kurungan
Pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita pada narapidana karena kehilangan kemerdekaan bergerak, membimbing narapidana agar
bertobat, mendidik agar menjadi anggota masyarakat yang baik.
Sama halnya dengan pidana penjara pidana kurungan juga merupakan pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan
menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan kewajiban untuk memenuhi semua ketentuan tata tertib lembaga pemasyarakatan.
Pidana kurungan biasanya dijatuhkan oleh hakim sebagai pidana pokok ataupun sebagai pengganti pidana denda.
91
4. Pidana Denda
Pidana denda merupakan jenis pidana pokok yang ketiga didalam Hukum pidana Indonesia yang pada dasarnya hanya dapat dijatuhkan pada orang dewasa
saja. Pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagai alternatif dari pidana penjara atau kurungan. Sehingga pidana denda dapat dipandang sebagai bentuk
pidana pokok yang ringan.
92
5. Pidana Tutupan berdasarkan Undang-Undang RI No. 46 Tahun1946
Berdasarkan Pasal 2 UU RI No 46. Tahun 1946 menyatakan, a.
Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud
90
Ibid, hlm 87
91
Ibid, hlm 110-111
92
Ibid, hlm 113
Universitas Sumatera Utara
yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan.
b. Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang
merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah sedemikian sehingga hakim
berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya. Selanjutnya, Pasal 4 menyatakan bahwa semua peraturan yang mengenai
hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman tutupan, jika peraturan - peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus tentang
hukuman tutupan.
93
1. Pencabutan Hak – hak tertentu
Pidana Tambahan, yang terdiri dari :
2. Perampasan Barang – barang tertentu dan atau tagihan
3. Pengumuman Putusan Hakim
Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana tambahan lainnya. Pengaturan sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di dalam
KUHP telah diatur dalam Pasal 47, yaitu:
1. Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok
terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. 2.
Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
93
Wantjik Saleh, 1985, Pelengkap KUHP Perubahan KUHP dan Undang – undang Pidana sampai dengan Akhir Tahun 1980, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm 34
Universitas Sumatera Utara
3. Pidana tambahan dalam Pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat
diterapkan.
Dari beberapa Pasal 47 KUHP tersebut dapat diketahui jenis-jenis tindak pidana yang tidak dapat dijatuhkan bagi anak-anak yang belum dewasa itu adalah:
a. Pidana mati
b. Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu
c. Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim
Dengan demikian, apabila hakim telah memutuskan akan menjatuhkan pidana bagi seorang anak belum dewasa, maka yang dapat ia jatuhkan hanyalah:
a. Pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda berikut pidana kurungan pengganti denda
d. Pidana tambahan berupa penyitaan benda-benda tertentu
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilihat pada Pasal 45 dan 46 KUHP, yaitu:
Pasal 45 KUHP. Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena
melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang
tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika
perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal- pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan
540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah
menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Universitas Sumatera Utara
Atas dasar Pasal 45 KUHP ditentukan orang-orang yang belum cukup umur minderjaring karena melakukan perbuatan umurnya belum 16 Tahun
diancam dengan pidana yang sifatnya melindungi, Hakim boleh memerintah “Anak itu dikembalikan pada orang tuanya walinya atau pemeliharaanya tanpa
dihukum, anak dapat diserahkan kepada Pemerintah tanpa dihukum jika perbuatan anak itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran menurut Pasal 489,
490 dan 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540, perbuatan mana dilakukan sebelum sebelum lewat 2 tahun sesudah Putusan
terdahulu anak telah menjadi Residive dengan mengindahkan petunjuk lebih lanjut menurut Pasal 46 KUHP.
Keterangan lebih lanjut dapat dikemukakan dalam Pasal 45 KUHP. Ketentuan ini ditujukan pada orang-orang yang masih belum cukup akalnya untuk
membedakan, yaitu kepada orang-orang yang belum dewasa yang umurnya kurang dari 16 Tahun. Pembatasan umur ini tidak bebas dari kehendak sendiri,
karena banyak orang yang umurnya 15 Tahun mungkin mempunyai akal yang lebih baik dan lebih mempunyai kesadaran untuk bertindak dari pada yang lain
yang berumur 17 tahun. Untuk kepentingan dasar “utiliteit” pembatasan itu haruslah diadakan
apabila misalnya anak-anak yang berumur 9 tahun atau seorang anak yang berumur 14 Tahun yang kecakapan rohanianya akalnya ternyata tidak normal
perkembangannya, maka cukup Hakim mengirimkan kembali anak-anak itu kepada orang tua, wali atau orang yang memeliharanya sehingga tidak dijatuhkan
satu hukuman. Dengan ini dapat diambil kesimpulan, apabila hakim menganggap
Universitas Sumatera Utara
anak-anak berumur 14 atau 15 tahun telah berbuat dengan akal yang cukup untuk membeda-bedakan, hakim betul-betul boleh menjatuhkan hukuman kepadanya,
akan tetapi hukuman yang dijatuhkan itu tidak boleh lebih dari dua pertiga maksimum hukuman yang diancamkan.”
94
1. Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada
pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara
lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal
yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain;
dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
Pasal 46 KUHP
2. Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-
undang.
Dalam hal pasal 46 KUHP keterangan selajutnya dapat dijelaskan bahwa Pasal ini memberi aturan bagi administrasi tentang apa yang harus dikerjakan,
apabila hakim telah memberi perintah bahwa tersalah akan diserahkan kepada Pemerintah. Penyerahan ini telah seleselai apabilah telah mencapai umur 18
tahun. Aturan administrasi itu dapat memilih diantara penempatan dalam rumah pendidikan negeri atau mempercayakan untuk dididik kepada orang, perserikatan,
lembaga atau badan derma sosial teristimewa dan administrasi apabila perlu, dapat mengadakan perubahan dalam pilihan yang telah sekali ditentukan.
95
94
Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP disusun oleh Mr.W.F.L. Buschkeus diterjemahkan oleh R. Soesilo tahun 1952, hlm. 28
95
Ibid
Lewat Pasal 45, 40, 46 KUHP, anak yang diserahkan kepada negara dapat dimasukkan ke
“Land opvondings regeling” Rumah Pendidikan Negara. Untuk memperoleh
Universitas Sumatera Utara
duang opendnigs regeling ketentuan pendidikan paksa yang diselenggarakan oleh negara
96
2. Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak .
Melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diatur perlakuan khusus terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum, yang
berbeda dengan pelaku tindak pidana orang dewasa. Misalnya ancaman pidana ½ satu perdua dari ancaman maksimum pidana orang dewasa, tidak dikenal pidana
penjara seumur hidup atau pun pidana mati dan sebagainya. Ketentuan demikian dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik dan mental secara utuh bagi anak.
Undang-undang Peradilan Anak yang tertuang dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 mengatur banyak hal kekhususan, selain itu juga melibatkan
beberapa lembaga institusi di luar Pengadilan, seperti pembimbing pemasyarakatan dari Departemen Kehakiman, pekerja sosial dari Departemen
Sosial, dan pekerja sukarela dari organisasi kemasyarakatan. Adanya ketentuan prosedur, mekanisme, dan lembaga – lembaga yang mana baru itu memerlukan
antisipasi dini bagi aparat terkait. Jenis-jenis sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada anak yang
berkonflik dengan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diatur dalam Pasal 23, yaitu:
1. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan
pidana tambahan. 2.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a.
pidana penjara; b.
pidana kurungan;
96
Ibid
Universitas Sumatera Utara
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
3. Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 terhadap Anak
Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang- barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
4. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Selain sanksi tindakan yang diberikan kepada anak yang melakukan tindak pidana, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga
memberikan aturan mengenai pemberian sanksi tindakan terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, hal tersebut diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu: 1.
Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a.
mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; b.
menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
2. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat disertai dengan
teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tersebut telah menjelaskan bahwa terdapat sanksi lain diluar pidana pokok yang
diatur dalam Pasal 23 yang dapat diberikan kepada anak. Sanksi tersebut adalah sanksi tindakan yang juga merupakan pembeda dengan jenis sanksi yang terdapat
pada Pasal 10 KUHP. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga
mengatur tentang ketentuan ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal pelaku tindak pidana. Pada Pasal 26 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
Universitas Sumatera Utara
ditegaskan paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan
hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka bagi anak ancaman pidana itu maksimum 10 sepuluh tahun. Dengan ketentuan Pasal 26 ini, maka ketentuan –
ketentuan dalam KUHP tentang ancaman pidana bagi anak harus dibaca setengah dari ancaman hukuman bagi orang dewasa.
Selanjutnya UU No.3 Tahun 1997 menentukan, bagi anak nakal yang belum mencapai umur 12 dua belas tahun melakukan tindak pidana yang
diancam dengan hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup, sesuai Pasal 24 1 huruf a Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, maka terhadapnya tidak dapat
dijatuhkan hukuman pidana; melainkan menyerahkan anak itu kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sesuai Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, paling lama maksimum
setengah dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Demikian juga pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal Pasal 28 Undang-
Undang No. 3 Tahun 1997 adalah setengah dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. Apabila denda itu ternyata tidak dapat dibayar, maka
wajib diganti dengan wajib latihan kerja paling lama 90 sembilan puluh hari kerja dengan jam kerja tidak lebih dari 4 empat jam sehari, dan tidak boleh
dilaksanakan pada malam hari. Ketentuan ini mengikuti Pasal 4 Permenaker No. :
Universitas Sumatera Utara
Per-01Men1987 yang menentukan anak yang terpaksa bekerja tidak boleh bekerja lebih dari 4 empat jam sehari, tidak bekerja pada malam hari.
97
Dalam hal pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal maksimal 2 dua tahun, maka dalam hal demikian sesuai Pasal 29 Undang-
Undang No. 3 Tahun 1997 hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana bersyarat. Hal ini sepenuhnya bergantung kepada hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat
atau tidak. Apabila dijatuhkan pidana bersyarat, maka ditentukan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah anak nakal tidak akan melakukan tindak
pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat. Sementara syarat khusus misalnya tidak boleh mengemudikan kendaraan bermotor, atau wajib mengikuti
kegiatan-kegiatan yang diprogramkan Balai Pemasyarakatan BAPAS. Jadi syarat umum tidak mengulangi tindak pidana lagi, sedangkan syarat khususnya
melakukan atau tidak melakukan hal – hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan mengusahakan kebebasan anak. Masa hukuman syarat khusus
harus lebih pendek dari syarat umum dan paling lama 3 tiga tahun.
98
Selama masa hukuman bersyarat, pengawasan terhadap anak nakal dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Sementara bimbingan dilakukan oleh
Pembimbing kemasyarakatan. Tujuannya adalah agar anak nakal itu menepati syarat yang telah ditentukan. Anak yang menjalani hukuman bersyarat dibimbing
di Balai Pemasyarakatan. Selama berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan, anak nakal dapat mengikuti pendidikan sekolah.
99
97
Darwan Prinst, 1997, Hukum Anak Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm.25.
98
Ibid, hlm. 25-26
99
Ibid. hlm.26
Universitas Sumatera Utara
Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.
3 Tahun 1997, sesuai Pasal 30 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 paling singkat 3 tiga bulan dan paling lama 2 dua tahun. Pidana pengawasan, adalah pidana
khusus yang dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari - hari di rumah
anak tersebut, dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
100
Pengadilan anak menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merupakan pengkhususan dari sebuah badan peradilan, yaitu peradilan umum
untuk menyelenggarakan pengadilan anak. Akibatnya dalam pengadilan tidak mencerminkan peradilan yang lengkap bagi anak, melainkan hanya mengadili
perkara pidana anak. Tujuan dari sistem peradilan pidana yakni resosialiasi serta rehabilitasi anak reintegrasi dan kesejahteraan sosial anak tidak melalui keadilan
restoratif dan diversi tidak menjadi substansi undang-undang tersebut. Akibatnya perkara anak, meskipun hanya melakukan tindak pidana ringan harus menghadapi
negara melalui aparat penegak hukum. Anak dipersonifikasikan sebagai orang dewasa dalam tubuh kecil sehingga kecenderungannya jenis sanksi yang
dijatuhkan pada perkara anak masih didominasi sanksi pidana dari pada sanksi tindakan. Konsekuensi logisnya, jumlah anak yang harus menjalani hukum di
lembaga pemasyarakatan semakin meningkat.
101
100
Ibid.
101
http:thezmoonstr.blogspot.co.id201306 kelemahan- dan- kekurangan-uu-no-3- tahun. html
, diakses pada tanggal 2 Mei 2016, pukul 08.25 wib.
Universitas Sumatera Utara
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini tidak mengatur diversi untuk mengalihkan perkara anak di luar jalur peradilan formal sehingga anak
mendapatkan stigmatisasi. Sebangun dengan permasalahan ini, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum mengakomodasi model keadilan restoratif.
Dengan melihat permasalahan di atas maka paradigma filosofi UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dapat dikatakan menganut pendekatan yuridis
formal dengan menonjolkan penghukuman retributive. Model peradilan anak retributif tidak pernah mampu memberikan kerangka kerja yang memadai bagi
berkembangnya sistem peradilan anak. Selain permasalahan di atas ketentuan- ketentuan dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di bawah ini
juga bertentangan dengan spirit perlindungan terhadap anak sebagaimana diatur dalam KHA:
1. Usia minimum pertanggung jawaban pidana anak 8 tahun;
2. Penggunaan term hukum legal term anak nakal;
3. Tidak adanya mekanisme pembinaan anak yang ada adalah sistem
penghukuman anak. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak masih menganut
pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman retributive dan belum sepenuhnya menganut pendekatan keadilan restorative restorative justice
dan diversi; UU ini belum sepenuhnya bertujuan sebagai UU lex specialis dalam memberikan perlindungan secara khusus bagi anak yang berhadapan dengan
Universitas Sumatera Utara
hukum; Secara substantif bertentangan dengan spirit perlindungan terhadap anak sebagaimana diatur dalam KHA.
102
B. Perumusan Sanksi Terhadap Anak Yang Berkonfik Dengan Hukum
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
1.
Perumusan Sanksi Pidana
Peradilan anak adalah suatu peradilan yang menangani perkara pidana yang menyangkut anak yang termasuk dalam suatu sistem yang disebut dengan
sistem peradilan pidana dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kenakalan anak, sekaligus juga diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada anak
yang mengalami benturan dengan hukum yang merupakan pelaku kenakalan anak. Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat
dilepaskan dengan tindak pidana. Sebab tindak pidana baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana, sedangkan pengertian pertanggungjawaban
pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi
pidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya tindak pidana adalah azas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah azas kesalahan. Hal ini
mengandung arti bahwa pembuat atau pelaku tindak pidana hanya dapat dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan
seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana
102
Ibid
Universitas Sumatera Utara
pada waktu melakukan tindak pidana, dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya tersebut.
Pertanggungjawaban pidana menjurus pada pemidanaan petindak, jika ia telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah
ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan pidana atas tindakan-tindakan
tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab, maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang
akan dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah
seorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Dengan kata lain, apakah terdakwa akan dipidana atau
dibebaskan. Jika ia dipidana, harus terbukti bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Bertalian
dengan pertanggungjawaban yuridis terhadap anak di bawah umur, setelah Pasal 45, 46 dan 47 KUHP dicabut, KUHP masih belum juga mengatur secara jelas
tentang kedewasaan anak. Sebagai perbandingan bahwa dalam Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 KUHP, ditentukan bahwa anak di bawah umur yang melakukan
tindak pidana: 1.
Jika tindak pidana dilakukan oleh anak berusia 9 Sembilan tahun sampai 13 tiga belas tahun, disarankan kepada hakim untuk mengembalikan anak
tersebut kepada orang tua atau walinya dengan tanpa pidana;
Universitas Sumatera Utara
2. Jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh anak yang masih berusia 13 tiga
belas tahun sampai 15 lima belas tahun dan tindak pidananya masih dalam tingkat pelanggaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 489, 490, 492, 496,
497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 KUHP, hakim dapat memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada pemerintah atau badan
hukum swasta untuk dididik sampai berusia 18 delapan belas tahun. Pasal 46 KUHP;
Jika hakim menghukum si tersalah, maka maksimal hukuman utama dikurangi sepertiga, jika perbuatannya diancam hukuman mati, dapat dijatuhi
pidana selama-lamanya 15 lima belas tahun dan hukuman tambahan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP huruf b angka 1 dan 3 tidak
dijatuhkan Pasal 47 KUHP. Adanya perbedaan menentukan batas usia minimal maupun usia maksimal dalam pertanggungjawaban pidana anak, sesungguhnya
bukan suatu hal yang tidak mungkin. Sebab, penentuan kriteria tersebut disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan latar belakang sejarah serta
kebudayaannya masing-masing negara. Sebagaimana ditegaskan dalam Rules 4 Beijing Rules bahwa di dalam sistem hukum yang mengenal batas usia
pertanggungjawaban bagi anak, permulaan batas usia pertanggungjawaban itu janganlah ditetapkan terlalu rendah dengan mengingat faktor kematangan
emosional, mental dan intelektualitas anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyebutkan bahwa ‘anak yang berkonflik dengan Hukum
Universitas Sumatera Utara
adalah anak yang telah berumur 12 dua belas tahun tetapi belum berumur 18 delapan belas tahun, maka disini jelas bahwa para pembentuk undang-undang
telah sepakat bahwa umur 8 delapan tahun adalah memang suatu umur yang masih belum dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan yang
dilakukannya, karena anak yang berumur demikian masih belum mengerti apa yang dilakukannya. Apabila anak yang belum berumur 12 dua belas tahun
melakukan atau diduga melakukan tindak pidana atau dengan kata lain bahwa anak tersebut belum genap berumur 18 delapan belas tahun maka anak tersebut
akan tetap diadili di persidangan anak. Lebih jelas dalam Pasal 20 disebutkan bahwa: “Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18
delapan belas tahun dan diajukan ke sidang pengadilan anak setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 delapan belas tahun, tetapi belum
mencapai umur 21 dua puluh satu tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak”. Berdasarkan uraian di atas tentang pertanggungjawaban yuridis anak di
bawah umur dalam KUHP dan pertanggungjawaban pidana anak di bawah umur menurut Undang-Undang SPPA, jelaslah bahwa anak di bawah umur yang
melakukan pembunuhan, akan diproses sesuai ketentuan yang berlaku yaitu dengan melihat pada unsur pasal yang didakwakan yaitu pasal yang ada dalam
KUHP yakni Pasal 338, namun proses persidangan sesuai dengan apa yang diatur oleh UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Apabila
ternyata unsur pasal pembunuhan terbukti dan dilakukan dengan kesalahan maka menurut Pasal 81 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, hukuman atau pidana penjara yang dapat dijatuhkan
Universitas Sumatera Utara
Sanksi Pidana
Pasal 71 UU SPPA
Pidana Pokok
Peringatan Dengan Syarat
Pembinaan DiluarLembaga
Pelayanan Masyarakat, atau
Pengawasan Pelatihan Kerja
Pembinaan Dalam Lembaga
Penjara Pidana
Tambahan Perampasan
Keuntungan, atau Pemenuhan
Kewajiban Adat
Tindakan
Pasal 82 UU SPPA
Pengembalian kepada orang tuaWali Penyerahan Kepada Seseorang
Perawatan di Rumah Sakit Jiwa Perawatan di LPKS
Kewajiban mengikuti pendidikan formal danatau pelatihan
Pencabutan surat izin mengemudi; danatau
Perbaikan akibat tindak pidana.
kepada anak di bawah umur yang sudah melakukan kejahatan adalah paling lama ½ satu perdua dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Dan
dalam Pasal 81 ayat 6 disebutkan bahwa “Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun.
Untuk lebih jelasnya mengenai perumusan sanksi pada anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan ketententuan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, akan dibahas satu persatu dengan menggunakan skema dan uraian dibawah ini:
Skema : Sanksi Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut UU SPPA No. 11 Tahun 2012.
Universitas Sumatera Utara
a. Pidana Peringatan
Pidana peringatan diatur dalam Pasal 72 Undang-Undang SPPA. Pada ketentuan tersebut tidak diatur tentang pengertian pidana peringatan, juga tidak
diatur dan dijelaskan mengapa peringatan dimasukkan kualifikasi sebagai pidana dan bukan sebagai tindakan. Dalam Pasal 72 Undang-Undang SPPA ditentukan
bahwa, pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak.
103
Dalam hal ini anak hanya diberikan hukuman hanya berupa peringatan. Sebagai contohnya apabila seorang anak melakukan
pencurian beberapa buah mangga yang dimiliki oleh tetangganya. Pada kasus tersebut akan diberikan peringatan saja yang diberikan kepada anak, selain itu
juga dapat diberikan kepada orang tuawali. Akan tetapi dalam hal ini tidak sampai kemeja pengadilan.
104
Pada hakikatnya, pidana peringatan dalam UU SPPA penjabarannya dalam bentuk peraturan pelaksanaan in casu pemerintah belum terbit. Akan tetapi pidana
peringatan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Pelaksana atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Pidana peringatan tidak dapat dijatuhkan kepada anak yang belum berumur 14 empat belas tahun. Dikaji dari persfektif UU SPPA yang
mengedepankan perlindungan kepentingan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa, seyogyanya pidana peringatan bukanlah sebagai “pidana”. Melainkan
lebih tepat sebagai “tindakan”.
103
Lilik Mulyadi, 2014, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, Bandung, PT. Alumni, hlm.165
104
Angger Sigit Pramukti, Fuady Primaharsya, 2015, Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta, Pustaka yustisia, hlm. 88
Universitas Sumatera Utara
Anak sebagai ius constituendum diatur dalam Bab V tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana Ketiga Paragraf 1 tentang Pidana Peringatan pada Pasal
99 dan 100 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 99
1 Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan
pembatasan kebebasan Anak. 2
Pidana peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dijatuhkan kepada Anak dengan tujuan agar Anak tidak mengulangi perbuatannya.
3 Putusan pidana peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
diucapkan hakim dalam persidangan dan dituangkan dalam putusan. 4
Dalam hal Anak atau kuasa hukumnya atau Penuntut Umum tidak melakukan upaya hukum, pelaksanaan putusan segera dilaksanakan
oleh Jaksa setelah menerima salinan putusan pengadilan.
5 Pembimbing kemasyarakatan melakukan pengawasan terhadap anak
yang dijatuhi pidana peringatan. 6
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 5 dilaksanakan paling lama 3 tiga bulan terhitung sejak pelaksanaan putusan oleh jaksa.
7 Pembimbing kemasyarakatan melaporkan hasil perkembangan atas
pengawasan tersebut kepada hakim pengawas.
Pasal 100
Pidana peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 hanya dapat dijatuhkan untuk :
a. Tindakan pidana pelanggaran;
b. Tindakan pidana ringan;
c. Tindak pidana tanpa korban; atau
d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.
b. Pidana Dengan Syarat
Ketentuan pidana dengan syarat Pasal 71 ayat 1 huruf b UU SPPA pada hakikatnya telah dikenal didalam KUHP. Pidana dengan syarat ini dikenal sebagai
Universitas Sumatera Utara
pidana percobaan, sebagai ketentuan Pasal 14 a sampai dengan f KUHP.
105
Dalam pidana beryarat, masa pidana dengan syarat khusus lebih lama daripada masa pidana dengan syarat umum. Jangka waktu masa pidana dengan
syarat paling lama tiga tahun. Dalam hal ini selama menjalani masa pidana dengan syarat, penuntut umum melakukan pengawasan dan pembimbing kemasyarakatan
melakukan pembimbingan agar pendidikan anak tidak terbengkalai, selama anak menjalani pidana dengan syarat, anak harus mengikuti wajib belajar 9 tahun.
Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh hakim dalam hal pidana penjara yang
dijatuhkan paling lama dua tahun. Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat, ditentukan mengenai syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum
adalah anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat. Sedangkan syarat khusus adalah untuk melakukan atau
tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan memperhatikan kebebasan anak.
106
1
Pidana dengan syarat dapat diajtuhakan oleh hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 dua tahun
Pada UU SPPA, Pidana dengan syarat ini dilakukan melalui pembinaan diluar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan. Kemudian, berdasarkan
ketentuan pasal 73 UU SPPA ditentukan tentang pidana dengan syarat, yaitu:
Pasal 73
2
Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat sebagaimana dinaksud pada ayat 1 ditentukan syarat umum dan syarat khusus.
105
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm 167
106
Angger Sigit Pramukti, Fuady Primaharsya, Op.Cit, hal. 88
Universitas Sumatera Utara
3
Syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah Anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat.
4
Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan
hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan Anak.
5
Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama dari pada masa pidana dengan syarat umum.
6
Jangka waktu masa pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling lama 3 tiga tahun.
7
Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan
pembimbingan agar Anak menempati persyaratan yang telah ditetapkan.
8
Selama Anak menjalani pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat 7, Anak harus mengikuti wajib belajar 9 sembilan tahun.
Apabila dijabarkan lebih rinci, ketentuan pidana dengan syarat sebagai ketentuan Pasal 73 UU SPPA menentukan beberapa dimensi, yaitu:
a Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan apabila hakim anak menjatuhkan
pidana penjara tidak lebih dari 2dua Tahun. Pidana dengan syarat harus memenuhi syarat umum yaitu tidak akan melakukan tindak pidana lagi,
terhadap tindak pidana apapun selama menjalani masa pidana dengan syarat. Kemudian syarat khusus yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim anak. Syarat khusus harus tetap memperhatikan kebebasan anak.
b Jangka waktu batas minimal masa pidana dengan syarat adalah 3 tiga tahun
Pasal 73 ayat 6 UU SPPA. Pasal ini tidak menentukan secara spesifik dan khusus apakah tenggang waktu tersebut dimaksudkan untuk masa pidana
dengan syarat umum atau syarat khusus. Konsekuensi logisnya, tentu harus diinteprestasikan sebagai masa pidana dengan syarat khusus, mengingat
Universitas Sumatera Utara
masa pidana dengan syarat khusus tersebut sebagai masa pidana yang lebih lama dengan syarat umum Pasal 73 ayat 5 UU SPPA.
c Pengawasan pidana dengan syarat dilakukan penuntut umum Anak,
sehingga apabila terjadi kegagalan dalam memenuhi syarat umum dan syarat khusus, penuntut umum Anak berkewajiban meminta hakim anak yang
memutus perkara pada tingkat pertama untuk memerintahkan agar pidana yang telah dijatuhkan putusan terdahulu harus dijalankan Pasal 14f KUHP.
Oleh karena itu seorang Anak dianggap telah gagal memenuhi syarat umum, jikalau Anak tersebut telah terbukti melakukan tindak pidana dalam masa
pidana dengan syarat umum dan hal tersebut dibuktikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum dan tetap inkracht van
gewijsde. Kemudian seorang anak dianggap telah gagal memenuhi syarat khusus, dan hal ini dibuktikan dengan putusan Hakim Anak. Berikutnya
untuk membantu anak dalam memenuhi sayarat umum dan syarat khusus maka Undang-Undang mewajibkan kepada pembimbing Kemasyarakatan
sebagai pihak yang berkewajiban untuk membantu akan memenuhi syarat umum dan syarat khusus Pasal 73 ayat 7 UU SPPA.
d Masa pidana dengan syarat dapat melampaui batas usia anak yaitu 18
delapan belas tahun, dan apabila anak gagal dalam memenuhi syarat umum dan syarat khusus, konsekuensinya pidana dilaksanakan sesuai ketentuan
Pasal 86 UU SPPA, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA dan telah mencapai
umur 18 delapan belas tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda.
2. Dalam hal anak telah mencapai umur 21 dua puluh satu tahun,
tetapi belum selesai menjalani pidana, anak dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa dengan memeperhatikan kesinambungan
pembinaan anak. 3.
Dalam hal tidak terdapat lembaga pemasyarakatan pemuda, kepala LPKA dapat memindahkan anak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat
2 ke lembaga pemasyarakatan dewasa berdasarkan rekomendasi dari pembimbing Kemasyarakatan.
107
Dalam UU SPPA, terhadap anak yang dijatuhkan pidana dengan syarat, diwajibkan pula untuk dikenakan salah satu 3 tiga kemungkinan pembinaan,
yaitu:
108
1. Pembinaan di Luar Lembaga
Dalam hal hakim memutuskan bahwa anak dibina diluar lembaga, lembaga tempat pendidikan dan pembinaan ditentukan dalam putusannya. Pidana
di luar lembaga dapat berupa keharusan untuk : 1.
Mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat Pembina.
2. Mengikuti terapi di rumah sakit jiwa ; atau
107
Lilik Mulyadi, Op.Cit. hlm. 168-170
108
Ibid, hlm. 170
Universitas Sumatera Utara
3. Mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alcohol, narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya. Akan tetapi apabila anak melanggar syarat khusus di atas, pejabat
Pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 kali masa
pembinaan yang belum dilaksanakan. 2.
Pelayanan Masyarakat Yang dimaksud pelayanan masyarakat adalah kegiatan membantu
pekerjaan di lembaga pemerintah atau lembaga kesejahteraan sosial. Bentuk pelayanan masyarakat misalnya membantu lansia, orang cacat, atau anak yatim
piatu dipanti dan membantu administrasi ringan di kantor kelurahan. Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana yang dimaksudkan untuk
mendidik anak dengan meningkatkan
kepeduliannya pada
kegiatan kemasyarakatan yang positif. Jika anak tidak memenuhi keseluruhan atau
sebagian kewajiban dalam menjalankan pidana pelayanan masyarakat tanpa alasan yang sah, pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim
pengawas untuk memerintahkan anak tersebut mengulangi seluruh atau sebagian pidana pelayanan masyarakat yang dikenakan terhadapnya.
Pidana pelayanan masyarakat untuk anak dijatuhkan paling singkat 7 jam dan paling lama 120 jam,
109
109
Angger Sigit Pramukti Fuady Primaharsya, Op.Cit, hlm. 89
dan dapat diulang baik seluruhnya maupun sebagian dalam hal anak tidak memnuhi seluruh atau sebagian kewajiban Pasal 76 ayat
3 UU SPPA.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian teknis dan kondisi anak ketika melakukan pelayanan masyarakat, dapat dilihat sebagaimana ketentuan Pasal 109 RPP UU SPPA yang
selengkapnya berbunyi sebagai berikut : 1
Selama masa pemidanaan pelayanan masyarakat, anak tetap berada dalam lingkungan keluarga, dengan ketentuan segala persyaratan
pembinaan yang telah diputus oleh pengadilan wajib dilaksanakan oleh anak dengan pendampingan dari orang tuawalinya.
2 Pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi anak. 3
Pelayanan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan pada waktu siang hari untuk jangka waktu paling lama 3 tiga jam dalam 1
satu hari kerja dan tidak boleh mengganggu hak belajar anak.
4 Pembimbing kemasyarakatan wajib melakukan pembimbingan dan
pendampingan dalam pelaksanaan pembinaan pelayanan masyarakat dengan pengawasan Jaksa Anak.
5 Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dilaksanakan untuk
mengetahui perkembangan dan hasil pembinaan Anak.
110
c. Pidana Pengawasan
Yang diamksud dengan pidana pengawasan adalah pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh penuntut umum
terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.
111
110
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm 171
111
Angger Sigit Pramukti Fuady Primaharsya, Op.Cit, hlm. 89
Berdasarkan pasal 71 ayat 1 huruf b angka 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 mengatur bahwa pidana pengawasan terhadap anak paling singkat
3 tiga bulan dan paling lama 2 dua tahun. Kemudian anak ditempatkan di bawah pengawasan penuntut umum anak dan dibimbing oleh Pembimbing
Kemasyarakatan. Anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah Anak dan
Universitas Sumatera Utara
pemberian bimbingan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan Penjelasan Pasal 77 ayat 1 UU SPPA.
112
1 Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat :
Kemudian terhadap dimensi pidana pengawasan ini, ketentuan pasal 111 dan pasal 112 RPP Undang-Undang Sistem Pearadilan Pidana Anak
selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 111
a. Pernyataan anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi; atau
b. Pernyataan anak dengan persetujuan orang tuawali harus mengganti
seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan.
2 Jika selama dalam pengawasan anak melanggar hokum, Pembimbing
Kemasyarakatan mengusulkan
kepada hakim pengawas
untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampaui 2 dua
kali masa pengawasan yang belum dijalani. 3
Dalam hal selama pengawasan, Anak menunjukan perilaku yang baik, Pembimbing Kemasyarakatan mengusulkan kepada hakim pengawas untuk
mempersingkat masa pengawasannya. 4
Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan berdasarkan usulan Pembimbing Kemasyarakatan setelah
mendengarkan para pihak.
Pasal 112
1 Dalam hal anak selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak
pidana danatau dijatuhi pidana yang bukan pidana penjara, pidana pengawasan tetap dilaksanakan.
2 Dalam hal anak dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda
dan dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.
3 Dalam melakukan bimbingan pengawasan, Pembimbing Kemasyarakatan
dapat bekerja sama dengan 4
Pekerja Sosial Profesional, tenaga kerja social, dan perangkat desa atau nama lainnya.
5 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat bimbingan pengawasan
diatur dengan Peraturan Mentri.
113
112
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 171
113
Ibid, hlm. 172-173
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 78 UU SPPA menentukan bahwa pidana pelatihan kerja dilaksanakan dilembaga yang melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai
dengan usia Anak.
114
Lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja antara lain balai latihan kerja, lembaga pendidikan vokasi yang dilaksanakan, misalnya
oleh kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, pendidikan atau sosial. Dalam hal anak dijatuhi pidana
pelatihan kerja, dikenalkan paling singkat selama tiga bulan dan paling lama satu tahun.
115
1 Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 huruf c
diselenggarakan oleh : Untuk ketentuan Pasal 71 ayat 1 huruf c pidana pokok Anak berupa
pelatihan kerja dimensinya diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 113, 114 dan 115 RPP UU SPPA sebagai berikut :
Pasal 113
a. Pemerintah; atau
b. Pemerintah bekerja sama dengan swasta.
2 Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan pada
hari kerja dan tidak mengganggu hak belajar anak. 3
Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenakan paling singkat 3 tiga bulan dan paling lama 1 satu tahun.
4 Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan untuk jangka
waktu paling singkat 1 satu jam dan paling lama 3 tiga jam dalam 1 satu hari sesuai dengan putusan hakim dengan memperhatikan kebutuhan anak.
5 Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan
pada lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia anak.
Pasal 114
1 Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 harus didampingi
oleh Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial.
114
Ibid, hlm. 173
115
Angger Sigit Pramukti Fuady Primaharsya, Op.Cit, hlm. 90
Universitas Sumatera Utara
2 Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara berkala
atau isidentil.
Pasal 115
1. Pembimbing kemasyarakatan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
pelatihan kerja melalui koordinasi dengan Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial dan penanggung jawab pada tempat pelatihan
kerja.
2. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan kepada
hakim pengawas dalam jangka waktu paling lama 14 empat belas hari sejak pelatihan kerja selesai dilaksanakan.
116
d. Pembinaan dalam Lembaga
Pembinaan dalam lembaga merupakan bentuk pidana pokok ke empat yang diatur dalam ketentuan Pasal 71 ayat 1 huruf d UU SPPA.
117
Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat pelatihan kerja atau lembaga
pembinaan yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun swasta. Pidana pembinaan didalam lembaga dijatuhkan apabila keadaan dan perbuatan
anak tidak membahayakan masyarakat. Dalam hal ini pembinaan dalam lembaga dilakukan paling singkata 3 bulan dan paling lama 24 bulan. Dalam
pasal 80 ayat 4 meyebutkan bahwa anak yang telah menjalanai ½ dari lamanya pembinaan didalam lembaga dan tidak kurang dari 3 bulan
beekelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
118
Pada hakikatnya, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa pembinaan dalam lembaga dilakukan oleh Lembaga
Penyelenggara Kesejahteraan Sosial LPKS. Kemudian terhadap pembinaan
116
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 174
117
Ibid, hal 174
118
Angger Sigit Pramukti Fuady Primaharsya, Op.Cit, hlm. 90
Universitas Sumatera Utara
di dalam lembaga dalam RPP UU SPPA diatur dalam ketentuan Pasal 116 dan
Pasal 117 yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 116
1 Anak dijatuhi pidana berupa pembinaan dalam lembaga wajib
ditempatkan dalam tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan sesuai dengan putusan hakim.
2 Tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan merupakan tempat atau
lembaga pembinaan merupakan tempat atau lembaga yang memiliki tempat tinggal bagi Anak.
3 Dalam hal tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan sebagai
dimaksud pada ayat 1 belum memiliki sarana pendidikan, Balai Pemasyarakatan dapat bekerja sama dengan :
a.
Lembaga Pendidikan; b.
Lembaga Keagamaan; atau c.
Lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan Anak.
Pasal 117
1 Pembimbing Kemasyarakatan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaa
pembinaan dalam lembaga pada tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan berkoordinasi dengan Pekerja Soaial Profesional atau Tenaga
Kesejahteraan Sosial pada LPKS.
2 Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan kepada
hakim pengawas dalam jangka waktu paling 14 empat belas hari sejak pembinaan dalam lembaga selesai dilaksanakan.
119
e. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah pidana pokok ke lima dari kentuan Pasal 71 ayat 1 huruf e Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pidana Penjara
merupakan pidana alternatif terakhir dari Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang lebih mengkedepankan sifat ultimum remedium dari pada
primum remedium.
120
119
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 175
120
Ibid, hal 176
Pidana pembatasan kebebasan dilakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan
Universitas Sumatera Utara
kekerasan. Dalam Pasal 79 ayat 2 menyebutkan bahwa pidana pembatasan kebebasan dijatuhkan terhadap anak paling lama setengah dari maksimum pidana
penjara yang diancamkan orang dewasa. Yang dimaksudkan dengan maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa adalah maksimum ancaman pidana
penjara terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam KUHP atau Undang-Undang Lainnya.
Selain itu, minimum khusus pidana penjara tak berlaku terhadap anak. Dalam ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga
terhadap anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Perdilan Pidana Anak.
Apabila perbuatan anak dianggap akan membahayakan masyarakat maka anak dijatuhi pidana penjara di LPKA. Dalam hal ini pidana penjara yang dapat
dijatuhkan kepada anak paling lama ½ dari maksimum pidana bagi orang dewasa. Pembinaan di LPKA dilakukan sampai anak berusia 18 tahun. Apabila
Anak sudah menjalani ½ dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik maka berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
Pidana penjara dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga menganut asas ultimum remidium yang berarti bahwa pidana penjara
terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir Pasal 81 ayat 5. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa jika tindak pidana yang dilakukan anak
merupakan pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
Universitas Sumatera Utara
seumur hidup, pidana penjara yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun Pasal 81 ayat 6
121
1. Anak telah beruasia 14 empat belas tahun pasal 32 ayat 2 huruf a UU
SPPA. Substansi pidana penjara, dengan tolak ukur ketentuan Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak hanya dapat dijatuhkan dengan syarat, bahwa :
2. Hanya dilakukan dalam hal Anak melakukan tindak pidana berat atau tindak
pidana yang desertai kekerasan Pasal 79 ayat 1 UU SPPA. 3.
Keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat Pasal 81 ayat 1 UU SPPA.
4. Maksimum pidana penjara adalah ½ satu perdua dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa Pasal 81 ayat 2 UU SPPA. 5.
Jika tindak pidana yang dilakukan Anak diancam dengan maksimum pidana mati atau seumur hidup, maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan
kepada Anak adalah 10 sepuluh tahun Pasal 81 ayat 6 UU SPPA. 6.
Maksimum khususn pidana penjara tidak belaku terhadap Anak Pasal 79 ayat 3 UU SPPA.
7. Pidana penjara terhadap Anak dilaksanakan di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak LPKA. UU SPPA mewajibkan dalam tenggang waktu 3 tiga tahun sejak undang- undang diberlakukan, setiap lembaga pemasyarakatan
Anak melakukan perubahan sistem menjadi LPKA. Di samping itu, undang- undang juga mewajibkan dalam waktu 5 lima tahun sejak diberlakukan setiap
121
Angger Sigit Pramukti Fuady Primaharsya, Op.Cit, hlm. 91
Universitas Sumatera Utara
provinsi wajib membangun LPKA Pasal 104, Pasal 105 ayat 1 huruf e UU SPPA.
Pidana penjara ini, lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 118, 119, 120 dan 121 RPP UU SPPA sebagai berikut :
Pasal 118
1. Pidana penjara yang dijatuhkan kepada Anak dalam bentuk pembinaan
Anak dalam LPKA. 2.
Pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. 3.
Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun.
Pasal 119
1. Pidana penjara diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana
berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. 2.
Pidana pembatasan kebebasan penjara yang dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ satu pedua dari maksimum pidana penjara yang diancamkan
terhadap orang dewasa.
3. Ancaman pidana minimum khusus untuk anak pidana penjara tidak berlaku
terhadap anak.
Pasal 120
1. Pidana pembinaan didalam penjara dapat dilakukan di tempat latihan
kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta.
2. Dalam hal keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan
masyarakat, dikenakan pidana penjara dalam LPKA. 3.
Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai anak berumur 18 delapan belas tahun.
4. Anak yang telah menjalani ½ satu perdua dari lamanya pembinaan di
LPKA dan berkelakuan baik, berhak mendapatkan pidana pengawasan atau pembebasan bersyarat.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 121
1. Pembinaan anak dalam LPKA dilaksanakan berdasarkan hasil penelitian
kemasyarakatan yang diawali dengan asesmen risiko dan asesmen kebutuhan.
2. Pembinaan sebagaiman dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. 3.
Pembimbing kemasyarakatan melakukan : a.
Penentuan program pendidikan dan pembinaan; dan b.
Evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan dan Pembinaan Anak.
4. Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program
sebagaimana dimaksud pada ayat 3.
122
2. Perumusan Pidana Tambahan
Pidana tambahan merupakan pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 71 ayat 2 UU SPPA. Pidana tambahan ini dapat berupa perampasan keuntungan
yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat. Dari perspektif hukum pidana, substansi pidana tambahan adalah merupakan pidana
yang bersifat aksesoris, dalam artian melekat pada pidana pokok dan tidak dapat dijatuhkan secara parsial, dalam artian terlepas dan tersendiri dari pidana
pokok
123
a Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.
, yang selanjutnya akan dijabarkan sebagai berikut :
Dari aspek teknis yuridis terminilogi perampasan merupakan terjemahan dari istilah Belanda “verbeurd verklaring” sebagai pidana tambahan yang dapat
dijatuhkan hakim disamping pidana pokok.
124
122
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 178
123
Ibid . hlm. 179
124
Ibid., hlm.139
Universitas Sumatera Utara
Pengertian perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana adalah mencabut dari orang yang memegang keuntungan dari tindak pidana
yang dioeroleh demi kepentingan negara. Sebagai contohnya seorang anak mencuri sebuah handphone, handphone tersebut kemudian dijual dan uang hasil
penjualan digunakan untuk modal jual-beli saham. Dalam jual-beli saham tersebut juga diperoleh laba. Dalam kasus tersebut, barang yang dapat
dirampas adalah saham yang dibeli oleh pelaku tindak pidana dan laba yang diperoleh saat jual beli saham.
125
Akan tetapi, hampir Identik dengan konteks diatas ketentuan Pasal 7 ayat 1 huruf e UU Nomor 7drt1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, ketentuan Pasal 18 ayat 1 huruf d UU Dalam hukum positif Indonesia, berdasarkan ketentuan Pasal 10 huruf b
angka 2 KUHP dipergunakan terminologi perampasan barang-barang tertentu, dan apabila dianalisis lebih mendalam tujuan dan bentuknya hampir identik
dengan perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. Akan tetapi dalam hukum positif ius contitutumius operatum terutama terhadap tindak
pidana khusus yang lain dipergunakan terminologi perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.
Pada ketentuan Pasal 119 huruf a UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 164 huruf b UU No 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dipergunakan terminologi, “perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.”
125
Angger Sigit Pramukti Fuady Primaharsya, Op.Cit, hlm 91
Universitas Sumatera Utara
Nomor 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempergunakan terminologi,”penghapusan seluruh atau sebagai
keuntungan tertentu”. Kemudian mengenai pidana tambahan dalam ketentuan Pasal 71 ayat 2
huruf a UU SPPA ini tentang perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, ketentuan Pasal 122 RPP UU SPPA menentukan lebih lanjut
bahwa : 1
Selain Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan kepada anak berupa:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. Pemenuhan kewajiban adat.
2 Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf a dapat digunakan untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya.
Pada hakikatnya, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana merupakan bentuk perampasan aset pelaku tindak pidana. Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 United Nations Convention Againts Corruption 2003 yang diratifikasi pemerintah Republik Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006
mewajibkan kepada negara-negara peserta mengambil langkah-langkah dalam sistem
peraturan perundang-undangan mengatur pembekuan freezing,
perampasan seizure dan penyitaan confiscation sebagaimana ketentuan Pasal 31 ayat 8 KAA 2003 yang selengkapnya berbunyi, bahwa “ satates parties may
consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged procced of crime og other property liable to confiscation, to the extent
that such a requirement is consistent with fundamental principles of their domestic law and with the nature of judicial and other proceedings”.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan pembekuan freezing, perampasan seizure dan penyitaan confiscation sebagaimana ketentuan Pasal 31 ayat 8 KAA 2003 bukan saja
diatur dalam hukum Indonesia, akan tetapi pada Negara Australian, Selandia Baru, Amerika Serikat, Belgia maupun Belanda juga mengatur kewenangan
negara dalam hukum nasional melakukan freezing, seizure dan confiscation.
126
b Pemenuhan Kewajiban Adat
Yang dimaksud dengan kewajiban adat adalah denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati
harkat martabat anak serta tidak membahayakan fisik dan mental.
127
1. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat dapat dijatuhkan
oleh hakim dengan memperhatikan hukum adat yang hidup dalam masyarakat tempat anak berdomisili.
Berdasarkan penjelasan Pasal 71 ayat 2 huruf b UU SPPA, bahwa pemenuhan kewajiban
adat yaitu denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap, menghormati harkat dan martabat Anak serta tidak
membahayakan kesehatan fisik dan mental. Lebih lanjut mengenai pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban
adat diatur dalam Pasal 123 dan 124 RPP UU SPPA selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 123
2. Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum
yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang
dilakukan memang merupakan tindak pidana menurut hukum adat setempat.
126
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm.181
127
Angger Sigit Pramukti Fuady Primaharsya, Op.Cit, hlm. 91
Universitas Sumatera Utara
3. Kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat diganti dengan pidana pelatihan kerja atau pidana ganti kerugian, jika kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh anak.
Pasal 124
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana tambahan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.
128
3. Perumusan Sanksi Tindakan
Berdasarkan ketentuan Pasal 82 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tindakan yang dapat
dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hokum ialah: a.
pengembalian kepada orang tuaWali; b.
penyerahan kepada seseorang; c.
perawatan di rumah sakit jiwa; d.
perawatan di LPKS; e.
kewajiban mengikuti pendidikan formal danatau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
f. pencabutan surat izin mengemudi;
g. perbaikan akibat tindak pidana.
Selain tindakan di atas, Hakim dapat memberikan teguran dan menetapkan syarat tambahan. Teguran adalah peringatan dari hakim baik secara langsung
terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang
128
Lilik Mulyadi., Op.Cit, hlm. 182
Universitas Sumatera Utara
tua, wali atau orang tua asuhnya agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatannya. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara
periodik kepada pembimbing kemasyarakatan didasarkan pada penjelasan Pasal 73 Ayat 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. Penjatuhan tindakan yang dilakukan oleh hakim dilakukan kepada anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak menurut
peraturan perundang-undangan. Namun, terhadap anak yang melakukan tindak pidana, hakim menjatuhkan pidana pokok dan atau pidana tambahan atau
tindakan. Pada segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih berusia
12 dua belas tahun. Terhadap anak yang telah melampaui umur diatas 12 dua belas tahun sampai 18 delapan belas tahun dijatuhkan pidana. Hal ini dilakukan
mengingat pertumbuhan dan perkembanagn fisik, mental dan sosial anak.
129
a. Pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya
Jenis tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan Pasal 82 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ternyata sedikit lebih luas dibandingkan dengan rumusan Konsep KUHP Tahun 2012. Rumusan pengenaan tindakan
terhadap anak Pasal 132 Konsep KUHP Tahun 2012 adalah:
b. Pengembalian kepada pemerintah atau seseorang
c. Keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan
swasta
129
Bambang Mulyono, 1986, Kenakalan remaja dalam persfektif pendekatan sosiologi psikologi dan penanggulangannya, Yogyakarta. Andi Offset. hlm. 25
Universitas Sumatera Utara
d. Pencabutan surat izin mengemudi
e. Rehabilitasi
Bentuk–bentuk tindakan yang dapat dikenakan kepada anak Nakal berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:
a. Dikembalikan Kepada Orang Tua Wali Atau Orang Tua Asuh
Anak yang berkonflik dengan hukum dijatuhi tindakan dikembalikan kepada orang tuawaliorang tua asuh, apabila melalui penilaian hakim, si anak
masih dapat dibina di lingkungan orang tuanyawaliorang tua asuhnya. Namun demikian si anak tersebut tetap di bawah pengawasan dan bimbingan dari
Pembimbing Kemasyarakatan, seperti untuk mengikuti kegiatan kepramukaan, dan lain-lain.
b. Diserahkan Kepada Negara
Dalam hal menurut penilaian hakim, pendidikan dan pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tidak dapat lagi dilakukan di lingkungan
keluarga Pasal 24 ayat 1 huruf b Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, maka anak itu diserahkan kepada Negara dan disebut sebagai Anak Negara. Untuk itu,
si anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan wajib mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Tujuannya untuk memberi bekal
keterampilan kepada anak dengan memberikan keterampilan mengenai pertukangan, pertanian, perbengkelan, tatarias, dan lain sebagainya. Selesai
menjalani tindakan itu, si anak diharapkan mampu hidup mandiri.
Universitas Sumatera Utara
c. Diserahkan Kepada Departemen Sosial Atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan Tindakan lain yang mungkin dijatuhkan hakim kepada anak yang
berkonflik dengan hukum adalah menyerahkannya kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja untuk dididik dan dibina. Walaupun pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja itu diselenggarakan oleh Pemerintah di
Lembaga Pemasyarakatan Anak atau oleh Departemen Sosial, akan tetapi dalam hal kepentingan si anak menghendaki, maka hakim dapat menetapkan bahwa anak
tersebut diserahkan kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial dan lembaga sosial lainnya Pasal 24 ayat 1 huruf c Undang-Undang
No. 3 Tahun 1997. Apabila anak diserahkan kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan, maka harus diperhatikan agama dari anak yang bersangkutan.
Di samping tindakan yang dikenakan kepada anak yang berkonflik dengan hukum, juga disertai dengan teguran dan syarat-syarat tambahan yang ditetapkan
oleh hakim sesuai Pasal 24 ayat 2 huruf c Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Teguran itu berupa peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak,
atau tidak langsung melalui orang tuanya, walinya atau orang tua asuhnya. Maksud dari teguran ini adalah agar anak yang berkonflik dengan hukum tersebut
tidak lagi mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan. Sementara syarat tambahan, misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik
kepada Pembimbing Kemasyarakatan, umpama seminggu sekali, sebulan sekali, atau pada hari-hari tertentu.
Universitas Sumatera Utara
76
BAB IV PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT TERHADAP ANAK YANG
BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NO.02PID.SUS-ANAK2014PN.BNJ DAN PENGADILAN
TINGGINO.10PID.SUS-ANAK2014PT MDN. DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK
C. Pidana Bersyarat Sebagai Salah Satu Bentuk Sanksi Pidana Menurut
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
R.Soesilo memberikan pengertian pidana bersyarat yang biasa disebut peraturan-peraturan tentang “hukuman dengan perjanjian” atau “hukuman
dengan bersyarat” atau “hukuman jenggalan” artinya adalah : orang dijatuhi hukuman. Tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika dikemudian
ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya jadi
keputusan hakim tetap ada.
130
Pidana bersyarat tidak termasuk dalam jenis pidana pokok maupun pidana tambahan sebagaimana yang tercantum pada Pasal 10 KUHP, tetapi pidana
Pengaturan mengenai pidana bersyarat voorwaardelijke veroordeling secara umum terdapat pada Pasal 14 KUHP. Pidana bersyarat adalah Suatu
pemidanaan yang pelaksanaannya oleh Hakim digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan dalam putusan Hakim.
130
R. Soesilo, 1991,
Pokok-pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus,
Bogor, Politea, hlm.53
Universitas Sumatera Utara
bersyarat merupakan cara penerapan pidana yang dalam pengawasan dan pelaksanaanya dilakukan diluar penjara. Menjatuhkan pidana bersyarat bukan
berarti membebaskan terpidana, secara fisik terpidana memang bebas dalam arti tidak diasingkan dari masyarakat dengan memasukkan terpidana dalam suatu
penjara atau lembaga pemasyarakatan, tetapi secara formal statusnya tetap terpidana karena ia telah dijatuhi pidana, hanya saja dengan pertimbangan tertentu
pidana itu tidak perlu dijalani. Pidana akan tetap dijalani apabila ternyata terpidana telah melanggar syarat yang diberikan kepada terdakwa sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 14 c ayat 1 KUHP. Ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terikat pada Pasal 10 KUHP, namun jangka waktu pidana
tersebut tidak akan lebih satu tahun penjara atau kurungan. Pasal 14 a ayat 1 KUHP menyatakan : Apabila hakim menjatuhkan
pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak
usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu perbuatan pidana sebelum
masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin
ditentukan dalam perintah itu. Pidana bersyarat juga dapat diberikan karena pidana denda apabila Hakim yakin bahwa pembayaran denda betul-betul
dirasakan berat oleh terpidana. Berdasarkan Pasal 14 a ayat 1 KUHP, pidana bersyarat dapat dijatuhkan
apabila :
Universitas Sumatera Utara
1. Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa paling lama 1 tahunpidana
kurungan. Jadi yang menentukan bukanlah pidana penjara yang diancamkan melainkan pidana penjara yang dijatuhkan pada terdakwa.
2. Terdakwa dijatuhi pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan
pengganti. 3.
Terdakwa dijatuhi pidana denda yang akan sangat memberatkan terpidana.
131
Pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 a ayat 1 KUHP memiliki syarat umum dan syarat khusus
yang diatur dalam Pasal 14 c ayat 1 KUHP. Pasal 14 c ayat 1 KUHP tersebut berbunyi:
“Dalam perintah yang di maksud dalam pasal 14 a kecuali jika di jatuhkan denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan
melakukan perbuatan pidana, Hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari pada masa
percobaannya harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang di timbulkan oleh perbuatan pidana tadi”.
Pasal 14 c ayat 1 tersebut telah menjelaskan bahwa pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada terdakwa memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu :
a. Syarat umum
Terpidana bersyarat tidak akan melakukan delik apa pun dalam waktu yang ditentukan.
131
Tina Asmarawati, 2015, Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia Hukum Penitensier, Yogyakarta, Deepublish, hlm.128
Universitas Sumatera Utara
b. Syarat khusus
Ditentukan oleh Hakim. Disamping itu juga dapat ditentukan syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi
dimana masa percobaanselama sebagian masa percobaan. Bilamana syarat umum dan khusus tidak dipenuhi maka berdasarkan Pasal
14 f ayat 1 KUHP, Hakim atas usul pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan putusan dapat diperintahkan supaya putusan pidana dapat dijalankan
memerintahkan supaya atas namanya diberikan peringatan kepada terpidana. Masa percobaan dimulai sejak putusan tersebut mulai ditetapkan dan telah
diberitahukan kepada terpidana menurut tata cara yang ditentukan oleh UU. Berdasarkan Pasal 14 b 3 KUHP : Masa percobaan tidak dihitung selama
terpidana berada pada tahanan sementara. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak juga memberikan pengaturan terkait pidana bersyarat, bahwa didalam undang-undang ini pidana bersyarat tergolong dalam salah satu pidana pokok
yang dapat di jatuhkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, sebagai mana yang terdapat pada Pasal 71 ayat 1 UU SPPA, yaitu:
Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: a.
pidana peringatan; b.
pidana dengan syarat: 1
pembinaan di luar lembaga; 2
pelayanan masyarakat; atau 3
pengawasan.
Universitas Sumatera Utara
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. penjara.
Susunan jenis sanksi yang terdapat pada Pasal 71 ayat 1 UU SPPA tersebut memiliki perbedaan dengan ketentuan jenis sanksi yang terdapat dalam
KUHP. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan pengaturan jenis sanksi yang terdapat pada Pasal 10 KUHP, yaitu:
Pidana terdiri atas: a.
pidana pokok: 1.
pidana mati; 2.
pidana penjara; 3.
pidana kurungan; 4.
pidana denda; 5.
pidana tutupan. b.
pidana tambahan: 1.
pencabutan hak-hak tertentu; 2.
perampasan barang-barang tertentu; 3.
pengumuman putusan hakim.
Dari Pasal 10 KUHP tersebut selain memiliki susunan jenis sanksinya yang berbeda dengan Pasal 71 ayat 1 UU SPPA, juga dapat dilihat tidak terdapat
jenis sanksi pidana dengan syarat pada jenis sanksi pidana pokok dalam Pasal 10 KUHP tersebut tetapi pidana dengan syarat dalam KUHP diatur dalam Pasal 14 a
Universitas Sumatera Utara
KUHP dan bukan bagian dari jenis pidana pokok. Hal tersebut sangat berbeda dengan jenis sanksi yang terdapat dalam Pasal 71 ayat 1 UU SPPA, dimana
sanksi pidana dengan syarat merupakan jenis pidana tersendiri yang merupakan salah satu jenis sanksi pidana pokok.
Perlu diketahui bahwa dalam Pasal 73 ayat 1 UU SPPA menyatakan bahwa pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pidana
penjara yang dijatuhkan paling lama 2 dua tahun. Oleh karena itu, perlu dilihat kembali berapa lama pidana penjara yang dijatuhkan Hakim. Selain itu terdapat
syarat umum dan syarat khusus yang diatur dalam pasal Pasal 73 ayat 3 dan 4 UU SPPA yang harus dipenuhi oleh terdakwa anak jika Hakim menjatuhkan
pidana dengan syarat.
1. Syarat umum adalah anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi
selama menjalani masa pidana dengan syarat. 2.
Syarat khusus adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu yang ditetapkan dalam putusan Hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan Anak.
Di samping itu, selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan
pembimbingan agar anak menepati persyaratan yang telah ditetapkan dan anak harus mengikuti wajib belajar 9 sembilan tahun, hal ini telah diatur dalam Pasal
73 ayat 7 dan 8 UU SPPA. Dalam menyelesaikan perkara anak yang berkonflik dengan hukum,
terdapat hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu asas “Lex specialis derogat legi
Universitas Sumatera Utara
generali”, yang merupakan asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus lex specialis mengesampingkan hukum yang
bersifat umum lex generalis. Dengan demikian pengaturan mengenai sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hokum harus mengacu kepada Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak SPPA. Sehingga dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak, Hakim yang menangani
perkara anak yang berkonflik dengan hukum di pengadilan anak, harus menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak sebagai landasan atau pedoman dalam menentukan sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam putusannya.
D. Penjatuhan Pidana Bersayarat Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan