Latar Belakang Penjatuhan Pidana Bersyarat Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum Dari Perspektif Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri No.02/Pid.Sus-Anak/2014/PN.BNJ dan Peng

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ullumuddin mengatakan “anak merupakan amanat ditangan orang tua”. 1 Anak adalah amanah dan karunia dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam diri anak melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Di samping itu anak sebagai tunas, potensi dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis dalam upaya menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab, maka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia. Untuk itu perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya guna mendapat perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi berdasarkan prinsip-prinsip non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan kelangsungan hidup serta penghargaan terhadap pendapat anak. 2 Komitmen Negara terhadap perlindungan anak sesungguhnya telah ada sejak berdirinya Negara ini. Hal itu bisa dilihat dalam konstitusi dasar Negara 1 Nandang Sambas, 2010, Pembaruan Sistem Peradilan Anak Di Indonesia, Yogyakarta, Graham Ilmu, hlm.115 2 .Http:www.kpai.go.idartikelpotret-kesenjangan-perlindungan-anak-dari-regulasi- hingga- implementasi , diakses pada tanggal 10 April 2016, pikul 18.02 Wib Universitas Sumatera Utara Republik Indonesia. Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indosesia 1945 disebutkan bahwa tujuan didirikannya Negara ini antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara implisit, kata kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa didominasi konotasi anak karena mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya, diakukan melalui proses pendidikan, dimana ruang-ruang belajar pada umumnya berisi anak-anak dari segala usia. Anak secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 34 pada bagian batang tubuh yang berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”. 3 Korban apa, siapa dan dari mana?. Dia adalah korban dari perlakuan salah orang tuanya, dia adalah korban dari pendidikan guru-gurunya, dia korban kebijakan pemerintah lokal, dan dia korban dari lingkungan sosial yang memberikan tekanan psikis sehingga anak-anak melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Bahkan karena ada nilai-nilai yang terinternalisasi sejak usia dini, dia tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah Pelaku kenakalan anak adalah korban. Memang terbukti anak melakukan tindak kenakalan, anak yang melanggar hukum positif, atas kelakuannya mungkin akan mengganggu tertib sosial, karena kenakalannya membuat marah masyarakat, dan karena ulahnya ada pihak yang dirugikan, bahkan karena kenakalannya akan mendatangkan kematian dan siksa orang lain, namun apapun alasannya sesungguhnya dia adalah korban. 3 Hadi supeno,2010, Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, hlm.42 Universitas Sumatera Utara pelanggaran hukum. 4 Anak-anak pada usianya sedang dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan, termasuk belajar tentang tanggung jawab sosia, etika dan adab suatu masyarakat. Oleh karena itu, dia harus diberitahu tentang nilai-nilai yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum. Bila melanggar hukum, anak harus tahu hukuman apa yang akan diterima sehingga setiap perbuatan telah diketahui resikonya. Dengan demikian Perlindungan terhadap hak-hak anak tersebut tidak hanya terbatas bagi anak-anak yang menjadi korban dari kejahatan atau tindak pidana, namun juga terhadap hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum yang melakukan perbuatan pidana, karena anak yang melakukan kejahatan atau anak yang berkonflik dengan hukum juga merupakan korban. 5 Dalam hal memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak anak, Negara adalah merupakan suatu lembaga yang memiliki peran penting dalam pelaksanaannya. Sampai saat ini masyarakat sepakat bahwa subjek hukum satu- satunya yang mempunyai hak untuk menghukum adalah Negara Lembaga Yudikatif, selain negara tidak ada subjek hukum lain yang mempunyai hak untuk menghukum. Para sarjana terdahulu memberikan alasan sebagai dasar pembenaran mengapa Negara berhak menjatuhkan hukuman. Menurut Leo Polak, mengapa hanya Negara yang mempunyai legalitas untuk menjatuhkan hukuman, karena pemerintah yang berhak memerintah, oleh karena itu pemerintahlah yang mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman. 6 4 Ibid, hlm.91-92 5 Ibid, hlm.109 6 Nandang Sambas, Op.cit., hlm.5 Universitas Sumatera Utara Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dalam Pasal 28 B ayat 2 juga telah menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Artinya Negara memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa anak-anak Indonesia aman dari tindak kekerasan dan diskriminasi, serta menjamin mereka untuk berkembang hak untuk mendapatkan pendidikan. Pola penegakan hukum di Indonesia dari dulu masih berwajah pluralis atau heteron, berselimut kabut sosial, budaya, politik dan ekonomi. Oleh karena itu, proses pembentukan dan bekerjanya hukum ditengah masyarakat amat dipengaruhi berbagai faktor, dan hukum dituntut harus mampu melayani aneka kepentingan yang satu sama lain kadang bertentangan. 7 Pelaksanaan penegakan hukum sering terjadi perbedaan pandangan oleh para hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada anak yang berkonflik dengan hukum, hal tersebut salah satunya dapat di sebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai pengertian tentang keadilan, dimana hakim harus mampu untuk menentukan sanksi yang tepat bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan tidak mengenyampingkan rasa penderitaan yang dirasakan oleh korban. Perbedaan dalam penjatuhan sanksi tersebut kerap menjadi perhatian. Seperti yang terjadi pada awal tahun 2012 dalam kasus yang menimpa terdakwa yang berinisial AAL, berumur 15 tahun atas tuduhan mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, salah seorang anggota polisi di Polda Sulawesi Tengah. Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan diketahui bahwa barang bukti bukan milik saksi 7 Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi Dan Pengacara, Jakarta, kompas, hlm.65-66 Universitas Sumatera Utara pelapor, namun hakim tetap memutuskan terdakwa AAL tetap terbukti bersalah. Menurut Sofyan Farid Lembah dari Komnas Perlindungan Aanak Bidang Kapasitas dan Jaringan Kelembagaan, Kalau tidak ada pemiliknya berati pelapor tidak dirugikan, dengan sendirinya gugur sebagai pelapor karena bukan miliknya. Seharusnya dakwaan terhadap terdakwa digugurkan. Menurut Sofyan, dengan mencap terdakwa sebagai orang yang mencuri berdasarkan keyakinan hakim, padahal barang bukti yang diambil tidak ada pemiliknya, sehingga bisa saja dilakukan oleh orang lain. Sofyan juga mengatakan bahwa Orang lain bisa saja menuduh orang mengambil barang yang bukan miliknya, kemudian yang bersangkutan dituduh mencuri dan menyiksa seorang anak. 8 Pada dasarnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan suatu pilihan sarana penyelesaian Seharusnya masyarakat, terutama para penegak hukum harus lebih cermat dalam menilai suatu perbuatan yang dilakukan oleh anak dan jangan hanya mengutamakan egosentrisnya saja. Kemudian para penegak hukum juga harus cermat dalam menentukan cara untuk menyelesaikan perkara anak, apakah perbuatan tersebut harus diselesaikan melalui sarana pengadilan atau dapat diselesaikan melalui sistem diversi, karena dengan diberikannya label anak bersalah sebagai pelaku pencurian akan mempengaruhi psikologis anak, untuk itu Hakim harus mampu untuk bertindak secara cermat, jangan sampai hakim memutuskan dan memberikan sanksi kepada anak, sedangkan hal tersebut tidak seharusnya dilakukan. 8 http:www.hukumonline.comberitabacalt4f0486c16639dterdakwa-pencurian - sandal-divonis-bersalah, diakses pada tanggal 1 Juni 2016, pukul 10.01 wib. Universitas Sumatera Utara perkara di luar pengadilan yaitu Diversi. Dalam Pasal 1 angka 7 UU SPPA disebutkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. UU SPPA telah mengatur tentang Diversi yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Penggunaan mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para penegak hukum Polisi, Jaksa, Hakim, dan lembaga lainnya dalam menangani pelanggar-pelanggar hukum yang melibatkan anak tanpa menggunakan pengadilan formal. Penerapan Diversi dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam suatu proses peradilan. 9 Sebenarnya masalah pemberian pidana atau penjatuhan pidana itu adalah kebebasan hakim, Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 tiga asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun pada kenyataannya tetap saja masyarakat lebih memilih untuk menyelesaikan perkara melalui jalur persidangan di pengadilan. 10 9 .http:pn-bangil.go.iddata?p=207penerapan-diversi-dalam-peradilan-anak, diakses pada tanggal 10 April 2012, pukul 10.20 Wib. 10 .http:s2hukum.blogspot.co.id201003keyakinan-hakim-dalam-memutus-perkara.html, diakes pada tanggal 11 April 2016, pukul 09.05 Wib. Universitas Sumatera Utara Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum, sehingga wajar masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat. Terhadap kebebasan hakim dalam menjatuhkan sanksi sebagaimana yang telah diberikan oleh undang-undang harus dipergunakan dengan sebaiknya, karena keadaan ini sangat berbahaya apabila disalahgunakan, maka dalam menjatuhkan pidana, hakim harus menyertakan alasan-alasan yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Menyadari bahwa upaya keadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum akan sangat menentukan watak kebernegaraan dan kebermasyarakatan kita sekarang dan di masa depan berdasarkan penghormatan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh anak. Budaya keadilan dimulai dari tumbuhnya rasa hormat kita pada korban ketidakadilan itu sendiri dalam berbagai warna, bentuk dan ungkapan. 11 11 Theo Van Boven, 2002, Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, hlm.ix Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UU SPPA sudah berlaku efektif sejak tahun 2014 dan aparat penegak hukum wajib menerapkan apa yang telah diatur dalam UU SPPA. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan judul “Penjatuhan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dari Persfektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Universitas Sumatera Utara Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri No.02Pid,Sus-Anak2014PN.Bnj. dan Pengadilan Tinggi No.10Pid.Sus-Anak2014PT.Mdn. untuk melihat bagaimana Hakim menerapkan UU SPPA khususnya tentang penjatuhan sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

B. Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Perlindungan Anak Di Bawah Umur Sebagai Saksi Dalam Suatu Tindak Pidana Dari Perspektif Undang – Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak

0 69 109

Tinjauan Kriminologi Dan Hukum Pidana Tentang Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Terhadap Anak Kandungnya (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tulungagung Nomor : 179/Pid.Sus/2012/PN.Ta)

5 134 138

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan Pidana Sesuai Dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (Studi Kasus Di Wilayah Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli)

1 64 127

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 8 0

Tinjauan Hukum Tentang Efektivitas Pemberlakuan Pidana Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak JUNCTO Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 10 64

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 16

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt )

0 0 21