1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ullumuddin mengatakan “anak merupakan amanat ditangan orang tua”.
1
Anak adalah amanah dan karunia dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam diri anak melekat harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya. Di samping itu anak sebagai tunas, potensi dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis dalam
upaya menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab, maka perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia. Untuk itu perlu dilakukan
upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya guna mendapat perlindungan dari
kekerasan dan eksploitasi berdasarkan prinsip-prinsip non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan kelangsungan hidup serta
penghargaan terhadap pendapat anak.
2
Komitmen Negara terhadap perlindungan anak sesungguhnya telah ada sejak berdirinya Negara ini. Hal itu bisa dilihat dalam konstitusi dasar Negara
1
Nandang Sambas, 2010, Pembaruan Sistem Peradilan Anak Di Indonesia, Yogyakarta, Graham Ilmu, hlm.115
2
.Http:www.kpai.go.idartikelpotret-kesenjangan-perlindungan-anak-dari-regulasi- hingga- implementasi , diakses pada tanggal 10 April 2016, pikul 18.02 Wib
Universitas Sumatera Utara
Republik Indonesia. Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indosesia 1945 disebutkan bahwa tujuan didirikannya Negara ini antara lain untuk
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara implisit, kata kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
didominasi konotasi anak karena mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya, diakukan melalui proses pendidikan, dimana ruang-ruang belajar pada umumnya
berisi anak-anak dari segala usia. Anak secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 34 pada bagian batang tubuh yang berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar
dipelihara oleh Negara”.
3
Korban apa, siapa dan dari mana?. Dia adalah korban dari perlakuan salah orang tuanya, dia adalah korban dari pendidikan guru-gurunya, dia korban
kebijakan pemerintah lokal, dan dia korban dari lingkungan sosial yang memberikan tekanan psikis sehingga anak-anak melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak dilakukan. Bahkan karena ada nilai-nilai yang terinternalisasi sejak usia dini, dia tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah
Pelaku kenakalan anak adalah korban. Memang terbukti anak melakukan tindak kenakalan, anak yang melanggar hukum positif, atas kelakuannya mungkin
akan mengganggu tertib sosial, karena kenakalannya membuat marah masyarakat, dan karena ulahnya ada pihak yang dirugikan, bahkan karena kenakalannya akan
mendatangkan kematian dan siksa orang lain, namun apapun alasannya sesungguhnya dia adalah korban.
3
Hadi supeno,2010, Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, hlm.42
Universitas Sumatera Utara
pelanggaran hukum.
4
Anak-anak pada usianya sedang dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan, termasuk belajar tentang tanggung jawab sosia, etika dan adab suatu
masyarakat. Oleh karena itu, dia harus diberitahu tentang nilai-nilai yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum. Bila melanggar hukum, anak
harus tahu hukuman apa yang akan diterima sehingga setiap perbuatan telah diketahui resikonya.
Dengan demikian Perlindungan terhadap hak-hak anak tersebut tidak hanya terbatas bagi anak-anak yang menjadi korban dari kejahatan
atau tindak pidana, namun juga terhadap hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum yang melakukan perbuatan pidana, karena anak yang melakukan
kejahatan atau anak yang berkonflik dengan hukum juga merupakan korban.
5
Dalam hal memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak anak, Negara adalah merupakan suatu lembaga yang memiliki peran penting dalam
pelaksanaannya. Sampai saat ini masyarakat sepakat bahwa subjek hukum satu- satunya yang mempunyai hak untuk menghukum adalah Negara Lembaga
Yudikatif, selain negara tidak ada subjek hukum lain yang mempunyai hak untuk menghukum. Para sarjana terdahulu memberikan alasan sebagai dasar
pembenaran mengapa Negara berhak menjatuhkan hukuman. Menurut Leo Polak, mengapa hanya Negara yang mempunyai legalitas untuk menjatuhkan hukuman,
karena pemerintah yang berhak memerintah, oleh karena itu pemerintahlah yang mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman.
6
4
Ibid, hlm.91-92
5
Ibid, hlm.109
6
Nandang Sambas, Op.cit., hlm.5
Universitas Sumatera Utara
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dalam Pasal 28 B ayat 2 juga telah menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Artinya Negara memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa
anak-anak Indonesia aman dari tindak kekerasan dan diskriminasi, serta menjamin mereka untuk berkembang hak untuk mendapatkan pendidikan.
Pola penegakan hukum di Indonesia dari dulu masih berwajah pluralis atau heteron, berselimut kabut sosial, budaya, politik dan ekonomi. Oleh karena itu,
proses pembentukan dan bekerjanya hukum ditengah masyarakat amat dipengaruhi berbagai faktor, dan hukum dituntut harus mampu melayani aneka
kepentingan yang satu sama lain kadang bertentangan.
7
Pelaksanaan penegakan hukum sering terjadi perbedaan pandangan oleh para hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada anak yang berkonflik dengan
hukum, hal tersebut salah satunya dapat di sebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai pengertian tentang keadilan, dimana hakim harus mampu untuk
menentukan sanksi yang tepat bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan tidak mengenyampingkan rasa penderitaan yang dirasakan oleh korban. Perbedaan
dalam penjatuhan sanksi tersebut kerap menjadi perhatian. Seperti yang terjadi pada awal tahun 2012 dalam kasus yang menimpa terdakwa yang berinisial AAL,
berumur 15 tahun atas tuduhan mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, salah seorang anggota polisi di Polda Sulawesi Tengah. Berdasarkan
hasil pemeriksaan di persidangan diketahui bahwa barang bukti bukan milik saksi
7
Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi Dan Pengacara, Jakarta, kompas, hlm.65-66
Universitas Sumatera Utara
pelapor, namun hakim tetap memutuskan terdakwa AAL tetap terbukti bersalah. Menurut Sofyan Farid Lembah dari Komnas Perlindungan Aanak Bidang
Kapasitas dan Jaringan Kelembagaan, Kalau tidak ada pemiliknya berati pelapor tidak dirugikan, dengan sendirinya gugur sebagai pelapor karena bukan miliknya.
Seharusnya dakwaan terhadap terdakwa digugurkan. Menurut Sofyan, dengan mencap terdakwa sebagai orang yang mencuri berdasarkan keyakinan hakim,
padahal barang bukti yang diambil tidak ada pemiliknya, sehingga bisa saja dilakukan oleh orang lain. Sofyan juga mengatakan bahwa Orang lain bisa saja
menuduh orang mengambil barang yang bukan miliknya, kemudian yang bersangkutan dituduh mencuri dan menyiksa seorang anak.
8
Pada dasarnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan suatu pilihan sarana penyelesaian
Seharusnya masyarakat, terutama para penegak hukum harus lebih cermat dalam menilai suatu
perbuatan yang dilakukan oleh anak dan jangan hanya mengutamakan egosentrisnya saja. Kemudian para penegak hukum juga harus cermat dalam
menentukan cara untuk menyelesaikan perkara anak, apakah perbuatan tersebut harus diselesaikan melalui sarana pengadilan atau dapat diselesaikan melalui
sistem diversi, karena dengan diberikannya label anak bersalah sebagai pelaku pencurian akan mempengaruhi psikologis anak, untuk itu Hakim harus mampu
untuk bertindak secara cermat, jangan sampai hakim memutuskan dan memberikan sanksi kepada anak, sedangkan hal tersebut tidak seharusnya
dilakukan.
8
http:www.hukumonline.comberitabacalt4f0486c16639dterdakwa-pencurian -
sandal-divonis-bersalah, diakses pada tanggal 1 Juni 2016, pukul 10.01 wib.
Universitas Sumatera Utara
perkara di luar pengadilan yaitu Diversi. Dalam Pasal 1 angka 7 UU SPPA disebutkan Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. UU SPPA telah mengatur tentang Diversi yang berfungsi agar anak yang
berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Penggunaan mekanisme diversi tersebut diberikan kepada para
penegak hukum Polisi, Jaksa, Hakim, dan lembaga lainnya dalam menangani pelanggar-pelanggar hukum yang melibatkan anak tanpa menggunakan
pengadilan formal. Penerapan Diversi dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam suatu proses peradilan.
9
Sebenarnya masalah pemberian pidana atau penjatuhan pidana itu adalah kebebasan hakim, Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
Kemudian kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak
memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 tiga asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.
Namun pada kenyataannya tetap saja masyarakat lebih memilih untuk menyelesaikan perkara
melalui jalur persidangan di pengadilan.
10
9
.http:pn-bangil.go.iddata?p=207penerapan-diversi-dalam-peradilan-anak, diakses
pada tanggal 10 April 2012, pukul 10.20 Wib.
10
.http:s2hukum.blogspot.co.id201003keyakinan-hakim-dalam-memutus-perkara.html, diakes pada tanggal 11 April 2016, pukul 09.05 Wib.
Universitas Sumatera Utara
Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum, sehingga wajar masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang
menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim
memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.
Terhadap kebebasan hakim dalam menjatuhkan sanksi sebagaimana yang telah diberikan oleh undang-undang harus dipergunakan dengan sebaiknya, karena
keadaan ini sangat berbahaya apabila disalahgunakan, maka dalam menjatuhkan pidana, hakim harus menyertakan alasan-alasan yang dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya. Menyadari bahwa upaya keadilan bagi anak yang berkonflik dengan
hukum akan sangat menentukan watak kebernegaraan dan kebermasyarakatan kita sekarang dan di masa depan berdasarkan penghormatan terhadap hak-hak yang
dimiliki oleh anak. Budaya keadilan dimulai dari tumbuhnya rasa hormat kita pada korban ketidakadilan itu sendiri dalam berbagai warna, bentuk dan
ungkapan.
11
11
Theo Van Boven, 2002, Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, hlm.ix
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UU SPPA sudah berlaku efektif sejak tahun 2014 dan aparat
penegak hukum wajib menerapkan apa yang telah diatur dalam UU SPPA. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan judul “Penjatuhan
Pidana Bersyarat Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dari Persfektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Universitas Sumatera Utara
Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri No.02Pid,Sus-Anak2014PN.Bnj. dan Pengadilan Tinggi No.10Pid.Sus-Anak2014PT.Mdn. untuk melihat
bagaimana Hakim menerapkan UU SPPA khususnya tentang penjatuhan sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
B. Rumusan Masalah