Saran Kedudukan Lembaga Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

94 94 bertanggungjawab langsung kepada Menteri Kehakiman atas kinerja kejaksaan pada wilayah yuridiksinya masing-masing. 3. Posisi ideal Kejaksaan RI terwujud apabila kejaksaan Independen secara kelembagaan dan fungsional melalui amandemen atau menggantikannya dengan undang-undang baru serta memasukkan penguatan atas jaminan independensi Kejaksaan secara kelembagaan dan fungsi penegakkan hukum sebagai salah satu agenda penting dalam wacana amandemen UUD agar institusi Kejaksaan lebih “mumpuni” onafhandelijk dalam penegakkan hukum dan tidak terkesan sebagai alat penguasa. Kemudian secara kewenangan prinsip een en ondelbaar sepenuhnya dijalankan oleh Kejaksaan

B. Saran

1. Perlunya merubah institusi Kejaksaan dari lembaga pemerintahan menjadi “badan negara” yang mandiri dan independen tidak adanya ancaman maupun campur tangan kekuasaan lembaga negara lainnya dan mengangkat Jaksa Agung sebagai pejabat negara oleh Presiden sebagai Kepala Negara bukan sebagai Kepala Pemerintahan atas persetujuan DPR. melalui amandemen undang-undang yang ada atau menggantikannya dengan undang-undang baru agar Institusi Kejaksaan lebih mumpuni onafhandelijk dalam penegakkan hukum dan tidak terkesan sebagai alat penguasa. 2. Perlu memasukkan Kejaksaan dalam UUD secara implisit untuk memperkuat Kejaksaan secara kelembagaan yang independen dan fungsinya kewenangannya sebagai pelaksana fungsi penuntutan.. Universitas Sumatera Utara 33 BAB II KEDUDUKAN KEJAKSAAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA A. Sejarah Kejaksaan dan Jaksa Agung di Indonesia Jaksa sudah ada sejak zaman raja-raja berkuasa di Nusantara. Tetapi Kejaksaan baru ada di Indonesia pada pertengahan abad ke 19, sewaktu Pemerintah Kolonial Gubernur Hindia Belanda mengeluarkan “Reglemen Bumi Putera” atau Inlandsch Reglement 98 disingkat IR dan “Reglemen Organisasi Pengadilan” atau Reglement op de Rechterlijke Organisatie disingkat RO. 99 IR 1848 merumuskan, antara lain, hukum acara pidana, sedangkan RO merumuskan Badan Penuntut Umum pada Pengadilan Bumi Putera Landraad maupun pada Pengadilan Golongan Eropa Raad van Justitie. 100 Pada akhir tahun 1941, IR menjadi Reglemen Bumi Putera yang Dibaharui, kemudian menjadi Reglemen Indonesia yang Dibaharui RIB yang Di zaman kolonial, jaksa untuk golongan Eropa, sebutannya officier van justitie. Sedangkan untuk orang Indonesia asli sebutanya djaksa, perubahan dari adhyaksa, sebutan jaksa di zaman kuno. 98 Indische Reglement disusun oleh MR.H.L.Whicers mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei 1848 sebagai hukum acara pidana dan hukum acara perdata bagi Golongan Bumi Putera. Sedangkan untuk Golongan Eropa berlaku Reglement op de Strafvordering dan sebagai hukum acara perdata Reglement op Rechtsvordering. Lihat dalam buku Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, tahun terbit tidak diketahui, hlm. 41. 99 RM Surachman Jan Maringka, Eksistensi Kejaksaan Dalam Konstitusi di Berbagai Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hlm. 40. 100 IR berlaku dalam yuridiksi-yuridiksi di Pulau Jawa dan Madura di bawah kewibawaan atau pengawasan seorang Magistraat yang diemban oleh seorang Resident di Ibukota Karesidenan, dengan dibantu oleh para Assistant Resident AR di Kabupaten-kabupaten. Jabatan- jabatan tersebut adalah jabatan-jabatan bagi orang-orang Belanda. Residen bertanggung jawab kepada Gubernur Provinsi. Baca Ibid.hlm 40-41 Universitas Sumatera Utara 34 dalam bahasa aslinya disebut Herziene Inlandsch Reglement HIR 101 guna mengatur proses peradilan bagi golongan pribumi masyarakat Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. 102 Selain mengatur tentang Hukum Acara Pidana bagi golongan Bumiputera IR yang kemudian diperbaharui menjadi HIR tersebut juga mengatur hal-hal tentang kewajiban melakukan pekerjaantugas Polisi dan tentang mencari kejahatan dan pelanggaran pada umumnya, 103 yang dilaksanakan oleh kepala desa dan sekalian pegawai bawahan yang lain, kepala distrik dan pejabat yang diperbantukan kepadanya, Kepala Jaksa dan Jaksa, Bupati dan Patih, Residen, begitu pula dengan Asisten-Residen diluar wilayah. 104 Kemudian kewajiban tersebut juga diberikan bagi kepala bangsa Asing di lingkungannya masing- masing. 105 RM Surachman dan Jan Maringka mengatakan bahwa para jaksa dikatakan termasuk korsa korps; corps pangreh praja 106 101 Pada kenyataannya, apabila Herzeine Indislandsch Reglement dibandingkan dengan hukum acara pidana bagi golongan Eropa yang diatur dalam Reglement op de Strafvordering ROS: Staatblad 1817 No. 14, ROS dianggap jauh lebih baik dari pada HIR terkhusus mengenai aturan tentang jaminan-jaminan perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa. Baca pada Yesmil Anwar dan Adang, Op.cit. hlm 40 102 Ibid. 103 Diuraikan pada Bab I dan II Herziene Indlandsch Reglement. Yang dimaksud melakukan tugas kepolisian dalam pasal ini dengan singkat ialah menjaga ketertiban dan keamanan umum bagi kepentingan negara yang bersangkutan, pada zaman pemerintah Hindia Belanda untuk menegakkan penjajahan Belanda dan pada masa pendudukan tentara Jepang untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. 104 Pasal 1 ayat 1 sampai 6 Herziene Indlandsch Reglement. 105 Pasal 2 Herziene Indlansch Reglement. 106 Pangreh prajapang-reh pra-ja pangréh praja ark n penguasa lokal pada masa pemerintahan kolonial Belanda untuk menangani daerah jajahannya; pamong praja. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit, hlm. 942. yang merupakan pegawai negeri bhinnenlandsch ambtenaar; civil servant, bukan korsa pegawai Universitas Sumatera Utara 35 kehakiman judicial service. 107 Contoh konkretnya, seorang Mantri Polisi Kecamatan yang telah berpengalaman selama bertahun-tahun dapat diangkat menjadi Camat Asisten Wedana. Tetapi ada juga Mantri Polisi yang dapat diangkat menjadi Ajun Jaksa. Demikian juga Camat setelah berpengalaman bertahun-tahun dapat menjadi Wedana. Akan tetapi, ada pula sebagian Camat yang diangkat menjadi Jaksa. Setelah berpengalaman bertahun-tahun baru Jaksa tersebut dapat diangkat menjadi “djaksa kepala” Hoof djaksa atau Kepala Kejaksaan. 108 Namun demikian Jaksa dimasa IR 1848 bukanlah penuntut umum yang berwenang penuh 109 , melainkan jaksa yang belum mumpuni, belum volwaardig dan kedudukannya sebagai hulpmagistraat ajun magistrate yang bertanggung jawab kepada Residen di masing-masing keresidenan. 110 Sebaliknya pada Badan Penuntut Umum Openbaar Ministerie di Belanda, atau disingkat OM untuk pengadilan bagi Golongan Eropa yang dipimpin oleh Procureur Generaal, yaitu Jaksa Agung pada Mahkamah Agung Hooggerechtshof Hindia Belanda di Batavia. Jadi di masa kolonial, badan penuntut umum untuk golongan Eropa ini termasuk korsa pegawai kehakiman judicial service, bukan korsa pegawai negeri civil service. 111 107 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit, hlm. 41. 108 Ibid. 109 Pasal 46 ayat 2 berbunyi “Kalau tidak ditentukan orang yang lain, maka yang dikatakan pegawai-pegawai penuntut umum dalam reglemen ini, ialah jaksa jaksa pada pengadilan negeri.” 110 RM Surachan dan Jan Maringka,Eksistensi … Op.cit.hlm. 41 111 Ibid. Universitas Sumatera Utara 36 Tidak dapat disangkal, Badan Penuntut Umum Kejaksaan Indonesia modern merupakan adaptasi dari Badan Penuntut Umum atau Openbaar Ministrie disingkat OM di Belanda. Adapun OM di Belanda merupakan adaptasi dari Badan Penuntut Umum Perancis era Napoleon Bonaperte yang dikenal sebagai Ministere Publique Pengadilan Agung. 112 Selanjutnya, dalam masa pendudukan Pemerintah Bala Tentara Kekaisaran Jepang 1941-1945 di Indonesia tidak terjadi perubahan yang terlalu mendasar kecuali dihapusnya Raad van Justice sebagai pengadilan untuk golongan Eropa 113 dan digantikan dengan Tihoo Hooin Pengadilan Negeri, Kootoo Hooin Pengadilan Tinggi, dan Saikoo Hooin Mahkamah Agung. Pada pengadilan-pengadilan tersebut masing-masing dibentuk Kejaksaan Pengadilan Negeri Tihoo Kenkatsu Kyoku, Kejaksaan Pengadilan Tinggi Kootoo Kensatsu Kyoku, dan Kejaksaan Agung Saiko Kenkatsu Kyoku. 114 Badan-badan peradilan tersebut merupakan pengadilan bagi semua golongan penduduk Indonesia, Timur Asing, dan Eropa, kecuali bangsa Jepang. Dengan kata lain, badan-badan peradilan pada masa pendudukan militer Jepang 112 Ibid. 113 Ketentuan tersebut berlaku dengan dikeluarkannya Osamu Serei Undang Undang Nomor 1 tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942. Maka dikeluarkan aturan Peralihan di Jawa dan Madura yang berbunyi: “Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan Undang-undang dari pemerintah zaman dahulu tetap diakui sah buat semenara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer” yang tujuannya agar Hukum Acara yang sebelumnya tetap digunakan. Lihat buku Yesmil Anwar Adang, Op.cit. hlm. 42. Istilah Kejaksaan juga dipergunakan secara resmi melalui undang-undang tersebut yang kemudian diganti dengan Osamu Seirei No. 3 Tahun 1942 dan No. 2 Tahun 1944. 114 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi Op.cit. hlm 42 Universitas Sumatera Utara 37 tidak memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi dan menyidangkan tersangka maupun terdakwa yang berkewarganegaraan Jepang. 115 Berdasarkan Osamu Seirei No. 3 Tahun 1942 Pasal 2, Kejaksaan Kensatsu Kyoku ditugaskan untuk: 116 1. menyelidiki kejahatan dan pelanggaran, 2. menurut perkara, 3. menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal, 4. mengurus pekerjaan lain-lain wajib dilakukan menurut hukum. Periode pendudukan Jepang ini sangat penting dalam sejarah Kejaksaan Indonesia, karena jaksa dan kejaksaan menjadi berwenang penuh, menggantikan para Magistrat Magistraaten, para penuntut umum Belanda officieren van justitie dan badan penuntut umum Openbaar Ministerie. Sedangkan kepolisian, seperti di Jepang dan di Belanda, merupakan auxiliary agency, dan menurut HIR 1941 berstatus dan hubungan antara kedua penegak hukum tersebut sewaktu di tahun 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Selain melakukan perubahan pada badan peradilan, pihak Jepang juga meniadakan Magistraat dan officier van justicie yang merupakan alat penuntut umum pada masa penjajahan Belanda. Tugas dan wewenang mereka dibebankan kepada penuntut umum Bumiputera Jaksa di bawah pengawasan Kepala Kantor Kejaksaan bersangkutan, yang merupakan seorang Jaksa Jepang dan membuat kedudukan Jaksa sebagai satu-satunya penuntut umum. 117 115 Ibid. hlm 43 116 Marwan Effendy, Op.cit. hal 65-66 117 Ibid. hlm. 66 Universitas Sumatera Utara 38 Memasuki masa proklamasi kemerdekaan Indonesia, dalam Aturan Peralihan yang dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI 118 menyatakan peraturan yang masih ada tetap berlaku sampai digantikan dengan peraturan yang baru 119 . Jadi secara yuridis formal Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan yang ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 jo PP No. 2 Tahun 1945, ketentuan yang digariskan oleh Osamu Serei No. 3 Tahun 1945 menyatakan Jaksa merupakan satu-satunya pejabat penuntut umum di Negara Republik Indonesia Proklamasi berdasarkan. Marwan Effendy dalam bukunya juga mengatakan tepat pada tanggal 19 Agustus, Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia memutuskan mengenai kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman. 120 Pada saat itu, kedudukan Kejaksaan Agung RI sebagai badan negara staatorgan dalam UUD 1945 pada dasarnya melanjutkan apa yang sudah dirumuskan di dalam Indische Staatsregeling IS. 121 118 Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi “Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepidahan Pemerintahan kepada Dalam ketentuan perundang- undangan yang dimaksud, Kejaksaan Agung berdampingan dengan Mahkamah Pemerintah Indonesia.” 119 Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.” 120 Marwan Effendy. Op,cit. hlm. 67 121 Indische Staatsregeling I.S. semacam UUD Dependence State negara yang belum merdeka di jaman Hindia Belanda. I.S. merupakan peraturan ketatanegaraan Indonesia yang menggantikan Regering Reglement R.R.. Sejak tanggal 23 Juli 1925 R.R. diubah menjadi I.S. yang termuat dalam Stb 1925 No. 415, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926. Lihat dalam Ilham Mahendra, Diktat Pengantar Hukum Indonesia, diakses dari https:ilhamendra.files.wordpress.com200902diktat-phi-sejarah.pdf, terakhir diakses pada 14072016 pukul 23.02 wib. Universitas Sumatera Utara 39 Agung. Sedangkan administratif, seperti pengadilan, kejaksaan berada di bawah Kementrian Kehakiman. 122 Mengingat keadaan seperti itu, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI tanggal 19 Agugstus 1945, Soepomo, perancang utama UUD the leading framer of the constitution menjelaskan, tugas pokok Kementrian Kehakiman meliputi perihal administrasi pengadilan, kejaksaan, penjara, hukum pernikahan menurut hukum Islam, pengurusan wakaf dan zakat. 123 Menyimak pemikiran para penyusun UUD 1945, di zaman pendudukan Jepang, menurut Yusril Ihza Mahendra, jelas sekali kekuasaan kehakiman mengikuti perumusan yang sangat dipengaruhi buah penalaran Muh. Yamin, seorang yuris lulusan Fakultas Hukum yang di masa itu disebut “Sekolah Tinggi Hukum” Rechts Hooge SchoolRHS. Tidak terlalu mengherankan, mengapa tokoh penting dalam ilmu hukum dan ilmu sastra di Indonesia ini sedikit banyak dibayangi sistem yudikatif. 124 122 Marwan Effendy. Op,cit. hlm.67 123 RM Surachman Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit. Hlm 49 Perhatiannya difokuskan pada kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitu badan-badan peradilan, dalam konteks pengadilan, bukam dalam konteks keseluruhan sistem peradilan pidana criminal justice system. Teori mengenai komponen-komponennya yang berfungsi sebagai penyelenggara proses peradilan, waktu itu belum dikenal. Dalam pikiran Yamin, Kejaksaan ialah apa yang dikenal pada masa itu, baik dipraktikkan di Belanda 124 Yuzril Izha Mahendra, Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam sistem presidensial di bawah UUD 1945, diakses dari http:yusril.ihzamahendra.com20100820 kedudukan-kejaksaan-dan-posisi-jaksa-agung-dalamsistem-presidensial-di-bawah-UUD-1945-oleh -prof-dr-yusril-ihza-mahendra?, terakhir diakses pada 14072016 pukul 23:11 wib. Universitas Sumatera Utara 40 maupun Hindia Belanda. Akibatnya dalam keseluruhan proses perdebatan UUD 1945 status kejaksaan tidak pernah dibahas. Demikian juga kepolisian tidak pernah diperdebatkan. Maka dari itu, tahun 1945 dan beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, Kejaksaan dan Jaksa Agung sangat kuat, meskipun tidak diatur dalam UUD 1945. Di antara para Pendiri Republik, tidak sedikit yang bergelar meester in de rechten mr, setara dengan magister hukum atau strata dua sekarang. Para yuris tersebut, terutama Soepomo dan Muh. Yamin, benar-benar mengetahui betapa signifikannya peran dan kedudukan jaksa hingga saat itu. Akan tetapi mereka tidak memasukkan kejaksaan kedalam UUD, justru karena mengetahui posisi Badan Penuntutan Kejaksaan di Belanda, yang disebut Openbaar Ministerie OM. Seperti Ministere Publique bentukan Kaisar Napoleon di Perancis, OM berada di bawah Menteri Kehakiman. 125 Pada masa setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959-11 Maret 1966 terjadi perubahan dalam status Kejaksaan dari lembaga nondepartemen di bawah Departemen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri, yang dilandaskan pada Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960 Tanggal 15 Agustus 1960 yang belaku surut terhitung mulai tanggal 22 Juli 1960. 126 125 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit. hlm 50 126 Peristiwa perubahan status lembaga Kejaksaan tersebut didahului dengan berubahnya kedudukan Jaksa Agung dari pegawai tinggi Departemen Kehakiman menjadi Menteri ex Officio dalam Kabinet Kerja I dan kemudian Menteri dalam Kabinet Kerja II, III, dan IV, Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, yang merupakan Jaksa Agung pertama yang menyandan status Menteri, walaupun hanya Menteri ex Officio. Lihat Ibid. hlm68-69 Kemudian Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dengan surat Nomor: 5261DPR-GR1961 Tanggal 30 Juni 1961 dan surat Nomor: 5263DPR-GR1961 Tanggal 30 Juni Universitas Sumatera Utara 41 1961 perihal Pengesahan Rancangan Undang-undang Tentang Kentuan-ketentuan Pokok Kejakasaan Republik Indonesia oleh Presiden Ir. Soekarno menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. 127 Untuk mengatur dan menetapkan kedudukan, tugas, dan wewenang Kejaksaan dalam kerangka sebagai alat revolusi dan menempatkan Kejaksaan dalam struktur organisasi departemen disahkan Undang- Undang No. 16 Tahun 1962 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi. 128 Dengan keluarnya Keputusan Presiden Nomor 204 tahun 1960 pada tanggal 22 Juli 1960 oleh Presiden Soekarno dengan jelas memisahkan Kejaksaan dari Kementrian Kehakiman dari Mahkamah Agung. Kejaksaan bertransformasi menjadi suatu institusi yang berdiri sendiri di luar Departemen Kehakiman dan langsung menjadi bagian dari kabinet. Keppres tersebut merupakan landasan hukum pertama yang memposisikan Kejaksaan menjadi benar-benar bagian dari domein eksekutif. 129 Suatu hal yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sudah tepat bila kedudukan kejaksaan diletakkan di bawah kekuasaan eksekutif? Apabila kita mengacu pada teori Separation of Power, Montesquieu tidak memberikan pemikiran dimana letak sistem penuntutan, karena teori Separation of Power pada saat itu tujuan dari teori tersebut hanya untuk mencegah terjadi kekuasaan raja 127 Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Sejarah Kejati Jateng, diakses dari http:kt-jateng. kejaksaan. go.idmainprofilesejarah.html, terakhir diakses pada tanggal 02 Juli pukul 23:41 wib. 128 Marwan Effendy, Op.cit. hlm. 69 129 Ibid. Universitas Sumatera Utara 42 yang mutlak. 130 Oleh karena itu, letak sistem penuntutan menjadi pemikiran yang serius dalam teori ilmu hukum dan pembagian kekuasaan negara menjadi tiga bagian perlu dipikirkan kembali. 131 Sistem yang diterapkan oleh Presiden sukarno adalah sistem penuntutan yang berada dibawah Kepala Pemerintahan. Sebenarnya praktek sistem penuntutan- bermacam-macam bentuknya. Suatu negara tidak memiliki keseragaman, masing-masing negara memiiliki model yang berbeda-beda. Bahkan Kejaksaan RI sendiri yang merupakan adaptasi dari Kejaksaan Belanda memiliki perbedaan-perbedaan. Pada negara-negara eropa kontinental dikaitkan dengan teori pemisahan kekuasaan melahirkan beberapa model seperti 132 130 Ilham Mahendra, Kekuasaan Penuntutan, diakses dari : 1. Sistem penuntutan merupakan bagian eksekutif, berada dibawah Mentri Kehakiman dan Kepala Pemerintahan. Model seperti ini disebut model perancis French Prosecutions model. Sistem ini diadopsi negara-negara lain seperti Czech Republik, Belanda, Inggris, Jepang dan Indonesia. 2. Sistem penuntuan yang terpisah dan mandiri dari kekuasaan eksekutif, dan bertanggung jawab kepada parlemen. Model ini dapat ditemukan pada negara antara lain: Hungaria, Republik Slovakia, dan Macedonia. https:ilhamendra.files.wordpress.com20080527kekuasaan-penuntutan.pdf terakhir diakses pada 11102016 pukul 10.02 wib. 131 Ibid. 132 Selain pembagian 3 model tersebut menurut Milan Hanzel negara-negara Eropa memiliki model penuntutan yang sangat berfariasi. “Existing models of prosecutions in Europe, whisch vary considerably, can be assesed according to different criteria. Procecution can be integrated and unique body with its own organizational structure; it can be established as several independent bodiesindependent agent. However, it can be also subordinated body, authority at courts and for courts, body with wide or narrow competencies, authorithy of penal proceedings or authorit with competencies in area of public administration, etc.”Milan Hanzel. lihat Ibid. Universitas Sumatera Utara 43 3. Sistem penuntutan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yudikatif. Model seperti ini ditemukan pada negara-negara, antara lain Italian dan Bulgaria. Semua model diatas hanya bersifat fungsional untuk mencari jawaban mana dari tiga model tersebut yang dapat menciptakan lembaga kejaksaan yang ideal. Ideal yang dicari disini adalah lembaga kejaksaan yang independen secara kelembagaan maupun independen secara fungsional. Independen yang dimaksud tidak adanya ancaman maupun campur tangan kekuasaan lembaga negara lainnya. Independensi ini disebut dengan external institution independence. 133 Memasuki masa Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto 1966- 1998, Kejaksaan mengalami banyak perubahan, mulai dari perubahan pimpinan, stuktur organisasi maupun tata kerja.Perubahan pimpinan pertama kali terjadi pada tanggal 27 Maret 1966 dengan digantinya MenteriJaksa Agung Sutardhio oleh Brigjen. Sugih Arto, Asisten I MenteriPanglima Angkatan Darat, sehari sebelum dibubarkannya Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dan diganti dengan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Lagi. Ketika itu organisasi Kejaksaan di bawah kordinasi Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan yang merangkap Menteri Angkatan Darat, Letjen. Soeharto. Setelah perubahan pimpinan berdasarkan Surat Keputusan Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.: KEPA161966 Tanggal 20 Mei 1966, dilakukan perubahan dan pembaharuan mengenai Pokok-pokok Organisasi Kementrian Kejaksaan, yang intinya sebagai berikut 134 133 Ibid 134 Ibid. hlm 70 : Universitas Sumatera Utara 44 1. MenteriJaksa Agung memimpin langsung Kementrian Kejaksaan dengan dibantu oleh tiga orang Deputi MenteriJaksa Agung, masing-masing dalam bidang-bidang IntelijenOperasi, Khusus dan Pembinaan, dan seorang Pengawas Umum Inspektur Jendral 2. Ketiga Deputi dan Pengawas Umum dalam melaksanakan tugasnya dipimpin dan dikoordinasikan oleh MenteriJaksa Agung; 3. Di bawah para Deputi ada direktorat-direktorat, biro dan seksi, sedangkan di bawah Pengawasan Umum hanya ada inspektorat-inspektorat. Menyusul setelah perubahan organisasi adalah perubahan dalam susunan para pembantu Menteri Jaksa Agung berdasarkan Surat Keputusan Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.: KEPE401966 Tanggal 15 Juni 1966. Pada tanggal 25 Juli 1966 Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Lagi dibubarkan dan dibentuklah Kabinet Ampera, dimana Jaksa Agung tidak dicantumkan sebagai Menteri dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang- Undang Dasar 1945 status Kejaksaan sebagai Departemen ditiadakan dan Kejaksaan Agung dinyatakan sebagai Lembaga Kejaksaan Tinggi Pusat dan Jaksa Agung tidak diberi kedudukan Menteri. 135 Kemudian Kejaksaan Agung mengalami perubahan dalam bidang organisasi yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dalam Surat Keputusan Sementara Jaksa Agung No.: KEP-086D.A71968 Tanggal 6 juli 1968. Setelah memerhatikan hasil-hasil Musyawarah Kerja Kejaksaan seluruh Indonesia Tahun 135 Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 26UKep966 Tanggal 6 September 1966 tentang Penegasan Status Kejaksaan Agung. Universitas Sumatera Utara 45 1967, keluarlah keputusan Presiden No. 29 Tahun 1969 Tanggal 22 Maret 1969 tentang Pokok-Pokok Organisasi Kejaksaan yang mencabut Keputusan Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.: KEP-A161966 Tanggal 20 Mei 1969 dan oleh Keppres No. 29 Tahun 1969 Bidang OperasiIntelijen dijadikan Bidang Intelijen. Menyusul pelaksanaan Keppres No. 29 Tahun 1969 dikeluarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No.: KEP-061D.A71969 tentang Tugas dan Organisasi Kejaksaan dan Kejaksaan Daerah. Dalam Musyawarah Kerja Kejaksaan tahun 1971 dikeluarkan Keppres No. 29 Tahun 1971 yang dalam pelaksanaannya dikeluarkan Keputusan Jaksa Agung No.:KEP-022D.A571 Tanggal 15 Mei 1971 tentang Kelengkapan Susunan Organisasi Tata Kerja dan Perincian Tugas Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Daerah dan mencabut Surat Keputusan Jaksa Agung No.: KEP-061.A71969 Tanggal 4 Juli 1969. Susunan organisasi dan tata kerja institusi Kejaksaan Republik Indonesia mengalami perubahan yang mendasar dengan keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia Tanggal 20 November 1991. Pada keputusan sebelumnya, Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1982 susunan organisasi Kejaksaan terdiri dari 136 1. Jaksa Agung; : 2. Jaksa Agung Pembinaan; 3. Jaksa Agung Muda Pengawasan Umum; 4. Jaksa Agung Muda Intelijen; 5. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum; 6. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; 136 Keputusan Presiden No 86 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Tata Kerja Kejaksan Republik Indonesia Kutipan: Lembaran Lepas Sekretariat Negara Tahun 1991. Universitas Sumatera Utara 46 7. Pusat Penelitian dan Pengembangan; 8. Instansi Vertikal: Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Sedangkan dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1991 terdiri dari 137 1. Jaksa Agung; : 2. Wakil Jaksa Agung; 3. Jaksa Agung Muda Pembinaan; 4. Jaksa Agung Muda Intelijen; 5. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum; 6. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; 7. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara; 8. Jaksa Agung Muda Pengawasan; 9. Kejaksaan di daerah: Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri Pada periode Orde Baru ini terjadi sebanyak 7 tujuh kali pergantian Jaksa Agung RI, yaitu, Sugih Arto, Ali Said, Ismael Saleh, Hari Suharto, dan Sukarto Marmo Sudjono, Singgih 138 , A. Soedjono C. Atmonegoro 139 . Dengan demikian, sampai pada masa tersebut kedudukan kejaksaan dalam sejarah Ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan-perubahan untuk mendudukkan dan memfungsikan Kejaksaan secara optimal. 140 Setelah berakhirnya masa orde baru yang ditandai dengan terjadinya Reformasi di Indonesia, pada tubuh kejaksaan sendiri terjadi hingga 6 kali pergantian Jaksa Agung dalam satu Periode. 141 137 Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3451. Pada masa Reformasi ini juga terjadi penambahan fungsi yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Jaksa 138 Munculnya Singgih sebagai Jaksa Agung menjadi fenomena baru di kalangan kejaksaan. Sebab, sejak orde baru, baru kali ini jaksa agung diangkat dari kalangan jaksa sendiri alias jaksa karier. Singgih 56 tahun dilantik Presiden Soeharto menggantikan Almarhum Sukarton Marmosudjono yang meninggal dunia pada 29 Juni 1990. Lihat Kejaksaan Agung RI, Profil Jaksa Agung dari Masa ke Masa,diakses dari https:www.kejaksaan.go.idprofil_ kejaksaan.php?id=12, terakhir diakses pada 13072016 pukul 15:06 wib. 139 Ibid. 140 Marwan Effendy, Op.cit. hlm 72. 141 Kejaksaan Agung RI, Profil … Op.cit Universitas Sumatera Utara 47 Agung yang dapat kita lihat dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 142 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Dalam UU No. 26 Tahun 2000 hukum acara atas pelanggaran HAM berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana yang terdiri dari 143 1. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan. : 2. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penahanan. 3. Komnas HAM sebagai penyelidik berwenang melakukan penyelidikan. 4. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penyidikan. 5. Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penuntutan. 6. Pemeriksaan dilakukan dan diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM. Dalam undang-undang tersebut dengan jelas kita dapat melihat Jaksa Agung memperoleh kembali kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan perkara namun khusus pada penanganan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia. Namun di bidang penanganan perkara korupsi justru terhadap tugas dan kewenangan penyidikan dan penuntutan Kejaksaan justru mengalami pengurangan dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 29 Desember 2003 144 yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. 145 142 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor IiPnpsTahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 73 143 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 208 144 Keputusan Presiden Nomor 2666M2003 145 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137 Marwan Effendy berpendapat hal ini terjadi karena pada Era Reformasi perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi disinyalir Universitas Sumatera Utara 48 masyarakat bernuansa politis dan tidak ditangani dengan serius oleh Kejaksaan. 146 Adnan Buyung Nasution 147 juga mengatakan keadaan Kejaksaan yang seperti sekarang ini sebenarnya amat jauh dari kondisi ideal sebuah institusi Kejaksaan di sebuah negara hukum. Pada prinsipnya, Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan, dengan Jaksa Agung yang berada di puncaknya openbaar ministerie een en ondeelbaar en de procureur generaal aan het hoofd. Permasalahannya ketika kewenangan penuntutan ini terdapat pada KPK, maka dengan jelas bertentangan dengan prinsip een en oondelbaar tersebut. Kewenangan penuntutan harus tetap berada di dalam satu lembaga dan tidak terpisahkan, yaitu Institusi Kejaksaan selaku Penuntut Umum Openbaar Ministerie, yang berwenang melakukan penuntutan seluruh kasus tanpa terkecuali, termasuk penuntutan korupsi. 148 Selanjutnya dengan digantinya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kedudukan kejaksaan dalam Undang-Undang dikatakan sebagai badan yang berwenang dalam penegakkan hukum dan keadilan yang menjalankan kekuasaan negara dibidang penuntutan 149 , kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada presiden. 150 146 Marwan Effenfy, Op.cit. hlm 73. 147 Adnan Buyung Nasution, Reposisi Kejaksaan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Posisi Ideal Kejaksaan dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD 1945,Jakarta: Puslitbang, 2014, hlm.35. 148 Ibid, hlm. 36. 149 Pasal 2 1 Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. 150 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 berbunyi “Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Universitas Sumatera Utara 49 Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan. 151 RM Surachman dan Jan Maringka dalam bukunya berpendapat bahwa kedudukan kejaksaan dalam undang-undang tersebut masih samar problematik, ambigu, sehubungan dengan makna kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan kekuasaan negara dibidang penuntutan secara merdeka. 152 Kekuasaan yudikatif atau yang sering disebut kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka Karena dalam pelaksanaannya, Undang-Undang 16 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dituntut menjalankan fungsi dan kewenangan secara merdeka. Namun di sisi lain, kemerdekaan itu rentan dengan intervensi apabila pemerintah tidak benar-benar memiliki komitmen dalam menegakkan supremasi hukum, mengingati Kejaksaan merupakan lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif.

B. Kejaksaan Sebagai Lembaga Pemerintah yang Melaksanakan Kekuasaan Negara di Bidang Yudikatif