116
seperti pada negara Perancis dimana UUDnya menegaskan bahwa Presiden harus menjamin independensi dalam kekuasaan kehakiman.
B. Kedudukan Ideal Kejaksaan melalui Penguatan Kewenangan
Dalam masa transisi sebuah negara akan mengalami goncangan politik, sosial dan ekonomi yang sangat keras.
230
Cara satu-satunya dalam menghadapi hal tersebut dengan menghadirkan institusi negara yang kuat, khususnya institusi inti
demokrasi itu sendiri legislatif, judikatif, dan eksekutif. Institusi penegak hukum merupakan institusi prioritas yang harus disiapkan agar transisi tidak mengalami
kegamangan. Hal ini dikarenakan penegak hukumlah yang menjadi wasit dalam penguatan institusi inti.
231
Munculnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK merupakan salah satu tindak lanjut dari mandat penguatan institusi deomkrasi
tersebut.
232
Dengan begitu banyaknya agenda reformasi yang merupakan amanat transisi dari sistem otoriter kepada sistem demokrasi, sudah sangat tepat tugas
pencegahan korupsi sebagai inti dari undang-undang tentang KPK tersebut, karena semua lembaga lain termasuk Presiden sebagai kepala birokrasi negara
akan berada dalam koordinasi KPK yang menjalankan kewenangan yang besar dalam pemberantasan korupsi khususnya pencegahan.
233
230
Fahri Hamzah, Op.cit. hlm 65.
231
Ibid.
232
Hadirnya KPK sebagai suatu tindak lanjut dari pelaksanaan mandat dapat dilihat dalam dasar menimbang serta batang tubuh undang-undang tersebut. Pasal 1 UU Nomor 30 Tahun 2002
Tentang KPK dengan jelas menyebutkan “… pemberantasan tindak pidana korupsi TPK adalah serangkaian tindakan untuk mencegah, memberantas TPK melalui upaya koodinasi, supervisi,
monitor, penyelidikan, dan penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
233
Fahri Hamzah, Op.cit. hlm 66.
Namun KPK mengalami disorientasi pencegahan dan terjebak dalam euphoria penindakan yang
Universitas Sumatera Utara
117
menyebabkan KPK abai dengan tugas utamanya dalam menguatkan lembaga penegak hukum inti kepolisian dan kejaksaan yang dimana apabila dicermati
UU No 30 Tahun 2002 mengandung pesan bahwa penindakan hanya sebuaah pintu darurat yang dibuat jika dalam pencegahan terdapat hambatan-hambatan
besar karena penggunaan pintu penindakan ini mengabaikan hukum acara yang dapat memunculkan efek sistemik yang berbahaya.
234
Adnan Buyung
235
mengatakan KPK adalah lembaga ad hoc yang keberadaannya termporer dan tidak bisa dipertahankan selamanya karena pada
akhirnya kewenangan penindakan khususnya penuntutan harus tetap berada di dalam satu lembaga dan tak terpisahkan dibawah institusi kejaksaan selaku
Penuntut Umum Openbaar Ministerie, yang berwenang melakukan penuntutan seluruh kasus tanpa terkecuali, termasuk kasus korupsi. Seharusnya peran KPK
adalah membantu melakukan reformasi di tubuh Kejaksaan. Namun KPK terbukti melupakan peran tersebut dengan menonjolkan kewenangan penuntutannya
sendiri yang menyebabkan persaingan yang tidak sehat. Inriyanto Seno Aji mengatakan bahwa Seharusnya Kejaksaan, KPK dan Polri memiliki hubungan
esensial dengan dan diantara penegak hukum yang terintegrasi dari Sistem Peradilan Pidana, karena lembaga penegak hukum KPK tidaklah dapat
memberikan eksistensi terhadap permasalahan korupsi secara luas tanpa adanya eksistensi lembaga penegak hukum lainnya, yaitu Kejaksaan Agung dan Polri.
236
234
Ibid.
235
Adnan Buyung, Op.cit, hlm. 36
236
Indriyanto Seno Adji, Kejaksaan Agung Kearah Reposisi Independensi Konstitusionalitas,makalah disampaikan pada Seminar Hukum Posisi Ideal Kejaksaan dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia Berdasarkan UUD 1945, Jakarta:Puslitbang Kejaksaan RI, hlm.61-62.
Universitas Sumatera Utara
118
Maka dari itu sama halnya dengan penguatan secara kelembagaan, penguatan kewenangan penuntutan Kejaksaan juga perlu secara jelas dan tegas
diatur pada Bab tersendiri dalam Konstitusi Indonesia. Agar dalam setiap penuntutan yang bukan dilakukan oleh kejaksaan tetap terkoordinasi dengan Jaksa
Agung sebagai penuntut umum tertinggi sehingga tidak bertentangan dengan prinsip een en ondelbaar.
Universitas Sumatera Utara
92
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan