Kedudukan Kejaksaan dalam Konstitusi Negara dengan Sistem Eropa

98 Health yang juga memasukkan kesejahteraan desa dan kesehatan, the Special Crime Divisi Tindak Pidana Khusus Counter Terrorism Division Divisi Pemberantasan Terorisme dan the International Justice and Organised Crime Division Divisi Keadilan Internasional dan Kejahatan terorganisir 189

B. Kedudukan Kejaksaan dalam Konstitusi Negara dengan Sistem Eropa

Continental Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat dipahami bahwa Kedudukan Kejaksaan Agung yang ada di Kerajaan Inggris masuk dalam lingkup kekuasaan Eksekutif. Artinya Kejaksaan Agung memiliki kemiripian dengan Kejaksaan RI dan dapat dikatakan tidak independen karena Jaksa Agung memiliki peranan politik dalam kabinet pemerintahan. Namun untuk menghindari hal tersebut antara peranan politik dan peranan hukum Kejaksaan AGO dipisahkan dengan cara menghilangkan hak vote Jaksa Agung dalam setiap rapat kabinet pemerintahan, dan peranan hukum dalam fungsi penuntutan dari Kejaksaan dipisahkan dan dilaksanakan oleh jaksa dibawah badan non-departemen yang independen dan terpisah dari kejaksaan yaitu Crown Prosecution Service namun tetap berada dibawah pengawasan Jaksa Agung. Negara- Negara bertradisi civil law system atau continental system bersistem hukum Eropa daratan adalah Jepang, Korea Selatan, Thailand, Kamboja, Taiwan, Timor Leste, dan Indonesia. 190 Berbeda dengan negara-negara common law atau anglo-saxon, negara- negara dengan tradisi sistem hukum Eropa Continental tidak memiliki gabungan negara-negara yang khusus beranggotakan negara-negara yang bertradisi civil law. 189 Ibid. 190 RM Surachman dan Jan Maringka, Peran … Op.cit. hlm 2 Universitas Sumatera Utara 99 Maka dari itu pembahasan kejaksaan pada subbab ini difokuskan pada kedudukan Kejaksaan dalam konstitusi negara Perancis karena kejaksaan modern lahir di jantung Eropa Paris. Namun Prancis tidak ada mencantumkan Kejaksaan dalam Konstitusinya namun hanya merinci kekuasaan dan wewenang The High Councilof Judiciary Dewan Tinggi Peradilan. 191 Dalam menyelidiki hakim dan jaksa yang dilaporkan Dewan ini dikepalai oleh Presiden Republik, dan secara ex officio Menteri Kehakiman menjadi Wakil Ketuanya dan juga dapat mewakili Presiden bertindak sebagai Ketua Dewan. 192 Dengan keanggotaannya yang lebih berwibawa, Dewan Agung ini di Indonesia hampir dapat disamakan dengan gabungan Komisi Kejaksaan dengan Komisi Yudisial. Karena Dewan tersebut terdiri dari bagian hakim dan bagian jaksa. 193 Kejaksaan Perancis berada dibawah otoritas Menteri Kehakiman, sehingga kejaksaan juga berada di bawah kekuasaan eksekutif. Sebelumnya telah disebutkan bahwa Kejaksaan Modern lahir di Perancis, karena memang Kejaksaan Perancis lah yang mempelopori bentuk Kejaksaan yang berada di bawah eksekutif. Kejaksaan dengan tipe ini dikenal pula dengan France Prosecution Service Model. Dari Perancis diturunkan ke Belanda, begitupun Belanda diturunkan ke Indonesia. Selain itu Kejaksaan dengan kedudukan dibawah eksekutif juga dapat ditemui di negara Jepang, Republik Chech dan termasuk juga 191 UUD Perancis, Pasal 65 Constitution of October 4, 1958 Article 65 192 The High Council of the Judiciary shall be presided over by the President of the Republic. The Minister of Justice shall be its ex officio Vice-president. He may deputize for the President of the Republic. Lihat Ibid. 193 The High Council of the Judiciary shall consist of a section with jurisdiction over judges and a section with jurisdiction over public prosecutors. Constitution of October 4, 1958 Article 65 1 Universitas Sumatera Utara 100 negara-negara yang tergabung dalam United Kingdom dan Britain Commonwealth. 194 Meskipun berada dibawah eksekutif, kejaksaan di Perancis terbukti tetap bisa menjadi lembaga yang independen karena Organisasi Kejaksaan Perancis dibangun berdasarkan pada 3 prinsip dasar 195 Selain itu dalam pasal 64 UUD Perancis berbunyi: “The President of the Republic shall be the guarantor of the independence of the Judicial Authority.” Presiden Republik yang menjamin independensi kekuasaan peradilan. Dari pasal : - Subordinasi dalam Rantai Perintah: Jaksa penuntut umum ditempatkan dibawah pengawasan dan kontrol atasannya dan dibawah otoritas Menteri Kehakiman - Melaksanakan Penuntutan Seutuhnya: Jaksa penuntut umum dianggap sebagai perwujudan dari seseorang sejak jaksa tersebut bertindak atas nama kejaksaan seutuhnya. Konsekuensinya adalah, jaksa dapat menggantikan jaksa lainnya termasuk dalam fase putusan dalam suatu kasus. - Kekuasaan Legitimasi Penuntut Umum Tidak Berubah: Kekuasaan dari penuntut umum tidak dapat ditentang karena jaksa membela kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan menerapkan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. 194 Gugum Ridho, Independensi Institusi Kejaksaan, diakses dari https:gugumridho.wordpress.com20120919independensi-institusi-kejaksaan, terakhir diakses pada 11102016 pada pukul 9:14 wib. 195 Ministere de la Justice, The French Legal System, diakses dari www.justice.gouv.fr art_pixfrench_legal_ system, terakhir diakses pada tanggal 09102016 pada pukul 16:49 wib.. hlm. 8. Universitas Sumatera Utara 101 tersebut dapat dipahami negara benar-benar menjamin independensi lembaga peradilan. Proses pemidanaan Perancis terutama dalam hal penyelidikan, menggunakan sistem adversarial untuk mendapatkan keseimbangan antara hak dan pembelaan, hak dari korban dan masyarakat secara keseluruhan. 196 Jaksa Penuntut umum mengawasi departemen penyelidikan kriminal police judiciaire. Jaksa penuntut umum harus secepatnya memberitahukan segala pelanggaran yang diperbuat termasuk penahanan yang dilakukan oleh petugas polisi untuk tujuan penyelidikan. Jaksa memastikan bahwa tahanan yang berada di kanto polisi dilakukan sepatutnya sesuai dengan hukum dan memastikan penahanan maksimum dilakukan maksimal 48 jam. Ketika seseorang dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran, maka akan dilakukan penyelidikan preliminary investigation or investigation of flagrancy yang dilakukan oleh berbagai departemen polisi. Kejaksaan kemudian memeriksa kasus tersebut dan memutuskan penuntutan pada kasus tersebut. Penuntut umum dapat memutuskan Prinsip utama yang dirumuskan dalam the introduction of the Code of Criminal Procedure pembukaan dari undang-undang tentang prosedur pemidanaan adalah: - adil dan adversarial, - informasi dan jaminan atas hak-hak korban, - presumption of innocence asas praduga tidak bersalah dan hak untuk membela diri. 196 Ibid. hlm. 10 Universitas Sumatera Utara 102 untuk menghentikan proses penuntutan sesuai dengan prinsip dasar dalam kebijakan penuntutan. 197 Terdapat hirarki dalam pelaksanaan penuntutan: Procureurs de la République Jaksa penuntut republik tingkat pertama berada dibawah Procureurs Généraux Jaksa Penuntut Umum tingkat banding yang dapat memberikan arahaninstruksi mengenai tugas dan fungsi dan kebijakan dari yuridiksinya dan juga keputusan yang harus diambil dalam kasus, juga dirasa perlu. Jaksa Penuntut Umum memberikan laporan pertanggungjawaban langusng kepada Menteri Kehakiman. 198 Di Perancis, semua Jaksa Agung tetap menjadi pimpinan para jaksa di wilayahnya masing-masing seluas yurisdiksi pengadilan banding bersangkutan, tidak bergabung menjadi Dewan Jaksa Agung, seperti di Belanda dan Belgia. Di Perancis jumlah Jaksa Agung Procureur General sesuai dengan jumlah Pengadilan Banding. Karena itu ada 35 Jaksa Agung Procureur General di seluruh Perancis. Jumlah tersebut tidak termasuk 1 oraang Jaksa Agung Procureur General pada Mahkamah Kasasi setara Mahkamah Agung. Jaksa pada Mahkamah kasasi ini, bukan atasan para Jaksa Agung pada Pengadilan Banding yang banyak itu. Seperti kepada para Jaksa Agung pada Mahkamah Kasasi pun Menteri Kehakiman dapat memberi saran, instruksi, dan surat-surat edaran, akan tetapi lebih jarang dan lebih terbatas. Menteri Kehakiman dapat melakukan intervensi kepada semua jaksa di Perancis, karena Menteri inilah yang harus mempertanggungjawabkan kebijakan penuntutan di muka parlemen. 197 Ibid. 198 Ibid.hlm.5 Universitas Sumatera Utara 103 Pola Struktur Kejaksaan dalam Hierarki seperti itu dapat ditemukan di negara-negara yang pernah dikuasai Kaisar Perancis, Napoleon Bonaperte. Di daerah ini, jaksa berwenang menangani perkara pidana dari awal hingga akhir, yaitu melakukan, memimmpin, dan mengawasi penyidikan dalam teori. Dalam kesehariannya sebagian besar kasus ditangani penyidik instansi maupun. Hanya dalam hal-hal penting saja, jaksa mengintervensi penyidikan. 199 Jaksa Agung pada Mahkamah Kasasi adalah wakil pemerintahan untuk memberikan legal opininya kepada Majelis yang sedang menyidangkan perkara kasasi. Wewenang penuntutannya terbatas pada penuntutan Presiden, Perdana MenteriMenteri di “Pengadilan Republik”, suatu Pengadilan Tinggi Khusus, bukan Pengadilan Tinggi biasa, khusus untuk mengadili Presiden yang sudah diajukan oleh Parlemen yang sepakat dengan suara mayori 34nya. Bahwa Presiden harus dimakzulkan melalui proses impeachment Di Indonesia pada zaman Konstitusi RIS dan UUDS 1950, dikenal sebagai Forum Privilegatium. 200 199 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit. hlm.86. 200 Ibid.87. Universitas Sumatera Utara 104 BAB IV KEDUDUKAN IDEAL LEMBAGA KEJAKSAAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA A. Kedudukan Ideal Kejaksaan melalui Penguatan Secara Kelembagaan Pertanyaan seputar posisi kejaksaan terus berkembang menjadi pemikiran dan wacana yang melingkupi institusi Kejaksaan. Isu intervensi dan independensi sangat mengemuka, dibalik kritik atau bahkan olok-olok bahwa kinerja kejaksaan sangat rendah dan lamban. 201 Kemunculan gugatan di MK tentang masa jabatan Jaksa Agung oleh Presiden serta keterkaitannya dengan kabinet dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49PUU-VIII2010 tanggal 22 September 2010 yang mengabulkan permohonan uji materil yang diajukan oleh Prof Yusril Ihzra Mahendra, Guru Besar Hukum dan Mantan Menteri Hukum dan HAM atas kesesuaian Pasal 22 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap UUD 1945, membuka mata publik bahwa masih terdapat ketidakjelasan mengenai kedudukan Kejaksaan dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia. 202 201 Bambang Kesowo, Posisi Ideal Kejaksaan dalam Sistem Administrasi Pemerintahan dan Ketatanegaraan Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Posisi Ideal Kejaksaan RI dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Jakarta: Puslitbang, 2014, hlm 45. Ketentuan tentang kedudukan yang menyatakan Kejaksaan RI sebagai “Lembaga Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang” telah memancing pertanyaan: lembaga apakah Kejaksaan RI? lembaga pemerintahan ataukah semestinya lembaga negara? Putusan tersebut 202 Yuzril Izha Mahendra, Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam sistem presidensial di bawah UUD 1945, Friday, August 20th, 2010 http:yusril.ihzamahendra.com20100820kedudukan-kejaksaan-dan-posisijaksa -agung-dalamsistem-presidensial-di-bawah-UUD-1945-oleh-prof-dr-yusril-ihza- mahendra? diakses pada 14072016 pukul 23:11 Universitas Sumatera Utara 105 menyatakan Pasal 22 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dengan berakhirnya masa Jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan.” Putusan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan. 203 Bambang Kesowo memberi pendapat bahwa penggunaan kata kejaksaan adalah lembaga negara bukan merupakan sesuatu yang keliru, karena pokok pemahaman yang tertuang dalam Bab menimbang huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tersebut tetap sejalan dengan pemikiran dasar yang ada dalam UUD. 204 Namun terlepas dari putusan MK yang mennyatakan apakah Jaksa Agung diposisikan sebagai pejabat di dalam kabinet atau masa jabatan Jaksa Agung adalah sesuai dengan periode masa jabatan Presiden, karena undang-undang tidak mengatur hal tersebut secara tegas, maka implementasinya dalam praktik di lapangan, menimbulkan masalah konstitusionalitas yakni ketidakpastian Hukum. 205 Ketidakpastian hukum mengenai kedudukan Kejaksaan secara umum dan secara lebih khusus mengenai jabatan Jaksa Agung dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menimbulkan ambivalensi tersendiri dalam dunia penegakkan hukum di Indonesia. 206 203 Ibid 204 Bambang Kesowo, Op.cit. hlm 45 205 Ibid 206 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit, hlm. 112. Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang- Universitas Sumatera Utara 106 Undang Nomor 16 Tahun 2014 menjelaskan bahwa Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan kewenangannya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini telah memberikan independensi kepada kejaksaan dan bertujuan melindungi profesi Jaksa seperti digariskan dalam “Guidelines on the Role of Prosecutors” dan “International Association of Prosecutors”. Namun apabila dicermati terdapat celah, dimana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 justru menempatkan Kejaksaan dalam kedudukan yang samar karena memiliki tugas ganda double obligation dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan di satu sisi, Kejaksaan dituntut menjalankan fungsi, dan wewenangnya secara merdeka. Di sisi lain, kemerdekaan tersebut rentan terhadap intervensi karena proses pengangkatan dan pemberhantian Jaksa Agung dilakukan oleh Presiden. Tugas ganda double obligation tersebut pada akhirnya justru kerap menimbulkan keraguan mengenai objektifitas korsa Adhyaksa dalam mengambil berbagai keputusan penting terkait dengan penanganan perkara yang menyangkut kepentingan Pemerintahan. Banyak kalangan menganggap, mustahil Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya, karena kedudukan kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif. 207 207 Lain dengan kultur bangsa Prancis dan kultur bangsa Belanda, dan kultur Jepang. Sekalipun Kejaksaan di Perancis dan di bawah Menteri Kehakiman, Menteri yang bersangkutan boleh dikatakan jarang sekali. Lihat Ibid. hlm 99. Adanya pemikiran dengan tidak meletakkan kejaksaan dalam kekuasaan eksekutif dapat memberikan kemungkinan kejaksaan melaksanakan penuntutan dengan obyektif merupakan Universitas Sumatera Utara 107 hal yang wajar, karena sebagai mana yang kita ketahui unsur kekuasaan yudikatif dan eksekutif saling berkaitan dalam aktivitas penuntutan. 208 Tidak dapat dipungkiri bahwa, perdebatan panjang mengenai Independensi Kejaksaan dan posisinya dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia juga disebabkan ketidakjelasan posisi Kejaksaan dalam Undang-Undang 1945. 209 Ketentuan UUD 1945, hanya menyebutkan kejaksaan secara eksplisit dalam Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Dari empat kali perubahan UUD 1945, yaitu sejak yang pertama 1999 sampai yang terakhir yaitu yang keempat 2002, banyak perubahan dari materi UUD 1945 yang telah berubah, baik perubahan rumusan, perubahan letak, maupun ketentuan-ketentuan baru, dimana hanya 12 dari ketentuan UUD 1945 yang tidak berubah. 210 Tentunya dari berbagai perubahan terhadap UUD tersebut berimplikasi luas dan radikal dalam kehidupan bernegara 211 208 Ilham Mahendra, Kekuasaan Penuntutan, diakses dari: . Namun sangat disayangkan bahwa kedudukan kejaksaan yang memainkan posisi sentral dalam kerangka sistem peradilan pidana, ternyata belum mendapat cukup perhatian sebagai salah satu hal mendasar yang perlu diatur dalam konstitusi, misalnya dibandingkan dengan kedudukan Kepolisian RI yang telah diatur dalam Bab mengenai pertahanan dan keamanan. Naskah UUD 1945 setelah Amandemen menjabarkan sebanyak 34 https:ilhamendra.files.wordpress.com20080527kekuasaan-penuntutan.pdf, terakhir diakses pada 11102016 pukul 10.02 wib. 209 Jimly Asshiddiqie, Lembaga-Lembaga Negara, Organ Konstitusi Menurut UUD 1945, , hlm. 53. 210 Fahri Hamzah, Peranan DPR RI dalam Menempatkan Posisi Ideal Kejaksaan pada Sistem Ketatanegaraan RI berdasarkan UUD 1945, makalah disampaikan pada Seminar Nasional :Posisi Ideal Kejaksaan Dalam Sistem Ketatanegaraan RI Berdasarkan UUD 1945, Jakarta: Puslitbang Kejaksaan RI, 2014, hlm. 65. 211 Ibid. Universitas Sumatera Utara 108 organ-organlembaga negara, namun pada kenyataanya Kejaksaan tidak termasuk dalam 34 organ yang secara tegas disebutkan dalam UUD 1945. Memang menimbulkan sebuah pertanyaan tersendiri mengenai sejauh manakah negara menganggap penting untuk menjamin kedudukan Kejaksaan dalam menjalankan fungsi penegakkan hukum di Indonesia, atau apakah fungsi penuntutan yang dilaksanakan oleh Kejaksaan dipandang kurang penting dibandingkan dua sub sistem peradilan pidana lain yang secara tegas telah diatur dalam UUD 1945, yaitu Kepolisian penyidikan dan Mahkamah Agung Pengadilan. 212 Menurut Profesor Indriyanto Seno Adjie 213 , eksistensi substansi perubahan Amandemen ke III Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum. Tidak cukup makna gramatikal tanpa ada penjelasan maupun tambahan pelaksanaan dari makna negara hukum. Melainkan harus diikuti penegasan atas sistem penegakkan hukum dan lembaga-lembaganya termasuk aksentuansi perlunya eksistensi kejaksaan melalui konstitusi UUD sebagai bentuk penegasan mengenai kedudukan Kejaksaan Agung yang merupakan subsistem dari Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice System. 214 Begitu pula perubahan Amandemen ke III Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan diterjemahkan dalam kaitan penegakkan hukum terhadap pelaksanaan Sistem 212 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit. hlm.45. 213 Indriyanto Seno Adji, Kejaksan Agung dan Eksistensi Konstitusionalitas diakses dari http:www.kompas.co.idkompas-cetak040622opini1097980.htm. , terakhir diakses pada tanggal 09102016 pada pukul 17:36 wib. 214 RM Surachman dan Jan Maringka. Eksistensi … Op.cit. hlm 46 Universitas Sumatera Utara 109 Peradilan Pidana, khususnya eksistensinya kejaksaan sebagai lembaga negara yang independen di bidang fungsi penuntutan tertinggi. Senada dengan pandangan tersebut, menurut Prof. Jimly Asshiddiqie 215 Menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra tidaklah tepat untuk menyatakan bahwa kepolisian lebih penting daripada Kejaksaan Agung hanya karena ketentuan mengenai Kepolisan tercantum dalam UUD 1945, sedangkan ketentuan mengenai Kejaksaan Agung sama sekali tidak tercantum secara eksplisit dalam UUD 1945. Sejalan dengan prinsip Negara Hukum yang ditentukan oleh Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, lembaga Kejaksaan tersebut tetap dapat disebut memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum tata negara Constitutional law, sehingga memiliki “constitutional importance” seperti lembaga-lembaga lain yang keberadaannya disebut secara eksplisit dalam UUD 1945. 216 215 Lihat: Jimly Asshiddiqie, Lembaga … Op.cit.hlm.32. , kedudukan kejaksaan Agung RI sebagai badan negara staatorgan dalam UUD 1945 pada dasarnya meneruskan apa yang telah ada diatur di dalam Indische Staatregeling yang menempatkan Kejaksaan Agung berdampingan dengan Mahkamah Agung. Sementara secara administratif, baik kejaksaan maupun pengadilan berada di bawah Kementrian Kehakiman. Itulah sebabnya, dalam rapat PPKI Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 19 Agustus 1945, Prof Soepomo melaporkan bahwa ruang lingkup tugas Kementrian Kehakiman yang akan dibentuk ialah menangani hal- 216 Yuzril Izha, Kedudukan Kejaksaan dan Posisi Jaksa Agung dalam sistem presidensial di bawah UUD 1945, Friday, August 20th, 2010 http:yusril.ihzamahendra.com2010 0820kedudukan-kejaksaan-dan-posisi-jaksa-agung-dalam-sistem-presidensial-di-bawah-UUD- 1945-oleh-prof-dr-yusril-ihza-mahendra? diakses pada 14072016 pukul 23:11 Universitas Sumatera Utara 110 hal administrasi pengadilan , kejaksaan, penjara, nikah, talak dan rujuk serta penanganan masalah wakaf dan zakat. Sedangkan landasan hukum bagi Kejaksaan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya, sepenuhnya didasarkan pada Herzeine Indonesich Reglemen HIR yang diperluas dengan Regeling Reglement Stb 1922. No. 522 HIR kemudian diubah menjadi RIB Reglemen Indonesia yang di perbaharui. Persepsi bahwa Kejaksaan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengadilan, menjadi dasar mengapa Kejaksaan tidak disebutkan secara eksplisit. Sama halnya dengan Kepolisian yang memiliki kaitan dengan peradilan, sebelum perubahan UUD 1945 juga sama sekali tidak dimasukkan ke dalam UUD. Namun Permasalahan muncul ketika Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden 204 Tahun 1960 secara tegas memisahkan Kejaksaan dari Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung, dan menjadikannya sebagai institusi yang berdiri sendiri dibawah kabinet. Bahkan persepsi tersebut tetap dipertahankan hingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal 24 UUD 1945 dirasakan tidaklah dapat menjawab kebutuhan akan jaminan kemandirian Kejaksaan dalam kerangka sistem peradilan pidana sebagaimana kedudukannya saat ini, yaitu sebagai lembaga pemerintah yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. 217 Sistem penuntutan yang berada dibawah eksekutif menjadi suatu permasalahan yang mendapatkan sorotan tajam baik dalam tugas penyidikan maupun dalam tugas penuntutan kejaksaan, karena dipandang tidak mandiri dan 217 Ibid. Universitas Sumatera Utara 111 independen dalam menangani perkara-perkara. Marwan Effendy berpendapat 218 dalam keadaan seperti itu sangat mendesak untuk mereposisi institusi Kejaksaan agar mandiri dan independen dalam penegakan hukum Indonesia. Tanpa adanya perubahan yang mendasar terhadap produk legislatif yang merupakan landasan pijak jatidiri Kejaksaan RI, harapan kedepan untuk diperolehnya suatu kebijakan penyidikan dan penuntutan yang memenuhi rasa keadilan, kepastiian hukum, dan kemanfaatan bagi pencari keadilan, tetap akan jauh dari kenyataan, bagaikan panggang jauh dari api. Implikasinya, anggapan bahwa kejaksaan RI adalah sebagai perpanjangan tangan penguasa akan selalu mengemuka meskipun mempunyai kedudukan sentral di dalam penegakkan hukum. 219 Untuk itu hal yang dapat dilakukan untuk menjamin kedudukan kejaksaan tersebut adalah menata ulang konsep-konsep yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan peraturan yang mengatur tentang independensi Kejaksaan dan Jaksa Agung dan juga memasukkan pembahasan tersebut sebagai pembahasan utama dalam wacana perubahan UUD 220 Agar institusi Kejaksaan lebih “mumpuni” onafhandelijk dalam penegakkan hukum dan tidak terkesan sebagai alat penguasa, maka kedudukan Kejaksaan harus dikembalikan sebagai alat penegak hukum dan lepas dari , karena di dalam prakteknya pelaksanaan berbagai ketentuan yang berlaku tersebut terbukti belum dapat mewujudkan suatu bentuk yang ideal dari independensi Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. 218 Marwan Effendy, Op.cit. hlm 68 219 Ibid. 220 Ilham Mahendrra, Kekuasaan Penuntutan, diakses dari: https:ilhamendra.files.wordpress.com20080527kekuasaan-penuntutan.pdf terakhir diakses pada 11102016 pukul 10.02 wib. Universitas Sumatera Utara 112 komponen Polkam dalam kabinet. Andi Hamzah berpendapat bahwa Undang- Undang Kejaksaan harus menjamin keindependensian kejaksaan sehingga kejaksaan dapat menuntut siapa saja tanpa adanya intervensi pemerintah. 221 Selain itu Andi Hamzah berpendapat bahwa kejaksaan harus ditempatkan dan menjadi bagian dari Mahkamah Agung sebahai kekuasaan kehakiman dan tidak dicampuri oleh kekuasaan eksekutif. Dalam hal ini Andi Hamzah berpendapat 222 Mengenai wacana Amandemen UUD 1945, dalam perjalanannya UUD 1945 mengandung anasir otoriter yang artinya korup absolute power, corupt absolutely – Lord Acton. bahwa kejaksaan harus berada dibawah yudikatif, karena kemandirian dan independensi institusi Kejaksaan sangat diperlukan walau harus dengan mereposisinya sesuai dengan fungsinya agar lepas dari pengaruh eksekutif. Apalagi fungsi Kejaksaan bukan hanya di bidang pidana, melainkan juga di bidang perdata dan Tata Usaha Negara serta berbagai penugasan dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum. 223 Oleh karenanya Teori Hukum Tata Negara mulai mendapat perhatian dan berkembang pesat saat bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Salah satu arus utama dari era reformasi adalah gelombang demokratisasi. 224 Dalam perkembangannya berbagai dinamika yang timbul setelah amandemen ke-4 UUD 1945 pada tahun 2002, kembali mengundang perdebatan, mengenai apakah perlu kembali dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. . 221 Andi Hamzah, Konsep dan Strategi pembaharuan Kejaksaan Republik Indonesia, makalah disampaikan pada Workshop Governance Audit Of The Public Prosecutor Servive, Bali 21-22 Februari 2001, hlm. 6. 222 Ibid 223 Fahri Hamzah, Op.cit. hlm. 65. 224 RM Surachman dan Jan Maringka, Eksistensi … Op.cit, hlm.106. Universitas Sumatera Utara 113 Mengenai hal tersebut, menurut Prof. Mahfud Md, Guru Besar dan mantan Ketua Mahkamah Indonesia 225 Kedua, kelompok yang ingin mempertahankan UUD hasil amandemen yang ada sekarang. Arus kedua pada umumnya anggota-anggota parpol yang memiliki kursi dominan di DPR dan MPR, terutama mereka yang dulunya menjadi anggota Panitia Ad Hoc I MPR yang bertugas membahas perubahan UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai tahun 2002. Menurut mereka perubahan lanjutan itu tidak perlu dilakukan karena hasil amandemen yang ada sekarang sudah menyerap dan mengompromikan semua aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat ketika itu. Menurut mereka, perlu adanya kesadaran bahwa melakukan perubahan atas UUD itu akan menguras energy yang sangat besar dan apapun , terdapat 3 kelompok arus: pertama, kelompok yang ingin kembali pada UUD yang asli. Kelompok pertama terdiri dari tokoh terutama para purnnawirawan TNI yang dulunya memang telah bersumpah untuk menjadi Sapta Margais yang setia pada Pancasila dan UUD 1945. Pendukung arus ini tidak banyak namun tetap ada, bahkan pada acara seminar yang diselenggarakan oleh badan Wantimpres tanggal 3 April 2008 yang lalu masih ada yang menyesalkan perubahan UUD 1945 tersebut. Alasan pengikut arus ini perubahan UUD 1945 telah kebablasan, mengkhianati amanat dan hasil karya para pendiri atau founding people, emosional, terburu-buru, dan tidak menyerap aspirasi masyarakat atau disosialisasikan secara proporsional. 225 Mahfud MD, Perlukan Amandemen Kelima UUD 1945?, makalah disampaikan pada Konvensi Hukum Nasional UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional Grand Design dan Sistem Politik Hukum Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional- Departemen Hukum dan HAM di Jakarta tanggal 15-16 April 2008. Universitas Sumatera Utara 114 hasilnya pasti aka nada kontra. Apabila diubah lagi pun pasti kelak aka nada persoalan lain atas hasil-hasilnya. Ketiga, kelompok atau arus yang ingin melakukan perubahan atau amandemen lanjutan yang di dalam Konstitusi ini disebut Amandemen Kedua. Arus ketiga merupakan arus yang paling kuat karena didukung oleh hampir semua akademisi hukum dan ilmuwan politik di perguran tinggi, lembaga studi Konstitusi, LSM-LSM pegiat hukum dan konstitusi, anggota-anggota Komisi Konstitusi, dan beberapa ormas besar. Alasan perlunya perubahan lanjutan menurut pengikut arus ini karena dalam kenyataannya hasil perubahan UUD 1945 memang mengandung beberapa kelemahan yang harus diperbaiki kembali sebagai tuntutan yang wajar. Prof Mahfud MD memposisikan dirinya sebagai penganut aliran yang ketiga, 226 226 Ibid. yaitu masih diperlukannya amandemen selanjutnya terhadap UUD 1945. Hal ini didasari pada pemahaman bahwa tidak ada konstitusi yang tidak berubah. Di mana pun dan kapan pun UUD adalah resultante yang disepakati berdasarkan kebutuhan pada saat dibuat, sehingga ketika situasi Poleksosbud berubah maka resultante-nya pun juga dapat diubah. Oleh karena itu, rata-rata perubahan konstitusi di dunia berjalan setelah paling lama 30 tahun. Pokok dari upaya perubahan konstitusi itu adalah membuat kesepakatan politik resultante baru karena ada perkembangan baru, ada hal-hal penting yang terlewatkan atau ditemukan masalah kekurangan pada konstitusi yang sudah ada atau sedang berlaku. Universitas Sumatera Utara 115 Kembali pada posisi ideal Kejaksaan RI terkait dengan wacana di atas, Harkristuti Harkrisnowo mengatakan bahwa kejaksaan harus independen dengan merumuskan kembali dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang organiknya demi independensi kejaksaan. 227 Beliau berpendapat bahwa independensi kejaksaan bukan berarti kejaksaan harus ditempatkan di luar lembaga eksekutif. Independensi kejaksaan dapat dicapai asalkan pimpinan eksekutif commited pada keinginan untuk mencapai supremasi hukum yang berkeadilan walaupun kejaksaan berada dalam kekuasaan eksekutif. 228 Bambang Kesowo 229 Apabila pendapat tersebut dicermati, faktor utama independensi adalah kualitas manusia yang menjalankan jabatan tersebut. Karena kualitas seorang pejabatlah yang menentukan dapat atau tidaknya seseorang diintervensi atau menginterensi proses penegakkan hukum di Kejaksaan. Maka Jaksa Agung sebaiknya tetap diangkat oleh Presiden, namun konstitusi harus menegaskan bahwa Kejaksaan dan Jaksa Agung tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan, mengatakan dalam persoalan independensi, semuanya tergantung integritas pihak yang diintervensi. Kualitas manusia yang menjadi pelaksana mekanisme internal menjadi penting. Karena tidak ada jaminan apapun, termasuk dalam peraturan perundang-undangan, yang dengan efektif dapat menangkal, kecuali dengan memperkuat integritas manusia yang mendukungnya. 227 Hakristuti Harkriswono, Kejaksaan Agung dalam Tatanan Kelembagaan: Beberapa Catatan Awal.makalah disampaikan pada Seminar Hukum dalam Konteks Perubahan ke Dua UUD 1945 yang diselenggarakan oleh MPR dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta 24-26 Maret 200, hlm. 7. 228 Ibid 229 Bambang Kesowo, Op.cit. hlm 47 Universitas Sumatera Utara 116 seperti pada negara Perancis dimana UUDnya menegaskan bahwa Presiden harus menjamin independensi dalam kekuasaan kehakiman.

B. Kedudukan Ideal Kejaksaan melalui Penguatan Kewenangan