b. Transduksi Adalah kejadian dimana suatu bakteri menjadi resisten karena mendapat
DNA dari bakteriofag virus yang menyerang bakteri yang membawa DNA dari bakeri lain yang memilki gen resisten terhadap antibiotik
tertentu. Bakteri yang sering mentransfer resistensi dengan cara ini adalah S. aureus.
c. Transformasi Transfer resistensi terjadi karena antibiotik mengambil DNA bebas
yang membawa sifat resisten dari sekitarnya. Transformasi sering menjadi transfer resistensi terhadap penisilin pada Pneumococcus dan
Neisseria. d. Konjugasi
Resistensi terjadi secara langsung antara 2 bakteri dengan suatu “jembatan” yang disebut pilus seks. Konjugasi adalah mekanisme
transfer resistensi yang dapat terjadi pada dua bakteri dengan spesies yang berbeda. Transfer resisteni dengan cara konjugasi lazim terjadi
antara bakteri gram negatif. Sifat resisteni dibawa oleh plasmid. Faktor yang memudahkan berkembangnya resistensi bakteri
terhadap antibiotik di klinik adalah Setiabudy, 2009: penggunaan antibiotik yang sering, penggunaan antibiotik yang irasional, penggunaan
antibiotik baru yang berlebihan, dan penggunaan antibiotik untuk jangka waktu lama.
2.3 Extended Spectrum Beta-Lactamase ESBL
ESBL Extended Spectrum Beta-Lactamase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis penicillin, cephalosporin generasi pertama,
kedua, ketiga dan aztreonam kecuali cephamycin dan carbapenem Pajariu, 2010. ESBL adalah hasil mutasi dari enzim beta-laktamase
TEM-1, TEM-2, dan SHV-1 yang biasa ditemukan pada plasmid Enterobacteriaceae Behrooozi, 2010. Isolasi dari ESBL ini pertama kali
dilakukan pada tahun 1983 dari kuman K. ozaenae di Jerman Kuntaman
Universitas Sumatera Utara
et al, 2011.Bakteri yang paling banyak memproduksi ESBL adalah bakteri dari famili Enterobacteriaceae, terutama Escherichia coli dan
Klebsiella pneumonia Winarto, 2009.
2.3.1 Karakteristik Biologi ESBL Gen beta-laktamase bla biasanya ditemukan pada kromosom
meskipun dapat juga ditemukan di plasmid. Gen pengkode ESBL berada di plasmid yang mudah dipindahkan ke kuman lain sehingga terjadi
penyebaran resistensi Winarto, 2009. Hal ini membedakan ESBL dengan AmpC tipe beta-laktamase yang biasa dikode di dalam kromosom. Selain
itu, berbeda dengan ESBL, Amp C tipe beta-laktamase tidak dapat diinhibisi oleh asam klavulanat ataupun betalaktamse inhibitor Tham,
2012. Kebanyakan ESBL terdiri dari serin pada sisi aktifnya dan
merupakan enzim kelas A menurut klasifikasi molekular oleh Ambler. Enzim kelas A adalah enzim yang memiliki serin pada sisi aktifnya, berat
molekul 29.000 Dalton dan memiliki kecenderungan dapat menghidrolisis penicillin Bradford, 2001. Enzim beta-laktamase yang termasuk kelas A
adalah TEM-1, SHV-1 dan penisilinase yang ditemukan pada Staphylococcus aureus Bradford, 2001.
Sampai saat ini klasifikasi molekular tetap dilakukan, meskipun untuk membedakan setiap enzim yang termasuk klasifikasi grup A belum
terlalu jelas. Oleh karena itu, Richmond dan Skyes menerapkan sistem klasifikasi yang baru berdasarkan profil substrat dan lokasi gen yang
mengkode beta-laktamase. Sekarang ini, klasifkasi yang lazim dipakai adalah klasifikasi oleh Bush, Jacoby dan Medeiros dengan menggunakan
karakteristik biokimia dari enzim dan struktur molekular serta nucleotide sequence dari gen yang mengkode beta-laktamase. Dengan menggunakan
klasifikasi ini, ESBL adalah enzim beta-laktamase yang dapat menghidrolisis oxymino-cephalosporin serta dapat diinhibisi oleh asam
Universitas Sumatera Utara
klavulanat sehingga secara fungsional dimasukkan kedalam grup 2be Paterson dan Bonomo, 2005.
2.3.2 Tipe ESBL Kebanyakan ESBL berasal dari turunan enzim TEM dan SHV.
Sekarang ditemukan lebih dari 90 enzim beta laktamase tipe TEM dan 36 enzim beta-laktamase tipe SHV.
a. ESBL tipe TEM ESBL tipe TEM terdiri dari TEM-1 dan TEM-2. TEM-1 pertama
kali ditemukan pada tahun 1966 dari E.coli yang diisolasi dari seorang pasien bernama Temoneira di Yunani hal ini menyebabkan enzim ini
disebut sebagai TEM Bonomo dan Paterson, 2005. TEM-1 beta- laktamase adalah enzim yang bertanggungjawab atas resistensi bakteri
terhadapat ampicillin, penicillin dan cephalosporin generasi pertama dan dapat diinhibisi oleh asam klavulanat. ESBL menyebabkan sekitar 90
resistensi E.coli terhadap ampicillin dan juga resistensi H. influenza dan N. gonorrhoeae terhadap penicillin. Mutasi spesifik yang terjadi pada
bla
tem-1
yang dimediasi melalui proses seleksi antibiotik menyebabkan kemampuan enzim untuk menghidrolisis cephalosporin berspektrum luas
dan azteronam meningkat Rupp dan Fey, 2003. ESBL tipe TEM paling banyak ditemukan pada E.coli dan K. pneumoniae Bradford, 2001.
b. ESBL tipe SHV ESBL tipe SHV lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan tipe
ESBL lainnya Paterson dan Bonomo, 2005. SHV berasal dari kata sulfhidril variabel. SHV tipe-1 beta-laktamase yang ditemukan pertama
kali pada Klebsiella pneumoniae merupakan enzim yang dikode pada plasmid yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap penicillin
dan cephalosporin generasi pertama Rupp dan Fey, 2003. Seperti pada TEM-1, mutasi yang terjadi bla
shv-1
menyebabkan kemampuan hidrolisis SHV-1 meningkat sehingga dapat menghidrolisis cephalosporin
berspektrum luas dan juga monobactam. ESBL tipe SHV paling banyak
Universitas Sumatera Utara
ditemukan pada K. pneumoniae meskipun juga ditemukan pada Citrobacter diversus, E.coli dan P. aeruginosa. Sekarang ini telah
ditemukan 36 ESBL tipe SHV Rupp dan Fey, 2003. c. ESBL tipe lain
Pada beberapa tahun terakhir, ESBL tipe lain ditemukan pada isolasi E. coli. Enzim baru ini dinamakan CTX-M karena kemampuannya
dalam menghidrolisis cefotaxime. CTX-M banyak ditemukan pada Salmonella enterica dan juga E.coli, meskipun dapat juga ditemukan pada
spesies lain dari famili Enterobacteriaceae Bradford, 2001.
2.3.3 Epidemiologi ESBL Secara epidemiologi, ESBL didapatkan di beberapa negara dengan
prevalensi berbeda-beda tergantung dari pola pemakaian antibitiotik. a. Eropa
ESBL pertama kali ditemukan di benua Eropa tepatnya di Jerman pada tahun 1983 Rupp dan Fey, 2013. Survei yang dilakukan di Perancis
menunjukkan terdapat 40 K. pneumoniae yang mengalami resistensi terhadap ceftazidim. Hal yang berbeda ditemukan di Belanda dengan
prevalensi ESBL positif pada E.coli dan K. pneumoniae 1. Perbedaan prevalensi di benua Eropa ini belum diketahui penyebabnya Rupp dan
Fey, 2003. b. Amerika
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh CDC Centers for Disease Control and Prevention pada tahun 2013, setiap tahunnya terjadi 26.000
infeksi yang disebabkan oleh Enterobacteriaceae penghasil ESBL dan sekitar 1.700 diantaranya meninggal dunia.
c. Asia Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Study for
Monitoring Antimicrobial Resistance Trends SMART pada tahun 2007, prevalensi E.coli dan Klebsiella spp. penghasil ESBL yang berasal dari
Universitas Sumatera Utara
infeksi intra-abdominal secara berturut turut adalah 42, 27 dan 35,8 Kang dan Song, 2013.
Di Indonesia sendiri, beberapa penelitian urnuk mengetahui prevalensi ESBL telah dilakukan meskipun belum dilakukan secara
terpusat. Penelitian yang dilakukan di RS. Ciptomangunkusumo, Jakarta pada bulan Januari-Desember 2011, menunjukkan prevalensi ESBL
mencapai 58, 42 pada pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit Saharman dan Lestari, 2011. Penelitian lain yang dilakukan pada Januari
2010 sampai April 2010 di 3 rumah sakit besar di Indonesia yaitu RS. Dr. Sutomo, Surabaya;RS. Dr. Kariadi, Semarang; dan RS. Dr. Saiful Anwar,
Malang didapatkan 300 sampel yang dinyatakan positif ESBL Kuntaman et al, 2011. Selain itu, pada tahun 2009 penelitian yang sama juga
dilakukan kembali di RS. Kariadi Semarang selama dua tahun, dimana dari 901 sampel yang ditumbuhi oleh bakteri gram negatif, 50,6 nya
dinyatakan positif ESBL Winarto, 2009. Tidak hanya di pulau Jawa, penelitian serupa telah dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan,
didapatkan dari 91 isolat E.coli, 53 diantaranya dinyatakan positif ESBL.
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabakan terjadinya kolonisasi ESBL pada manusia adalah Rupp dan Fey, 2003:
a. Tingkat keparahan penyakit b. Lamanya tinggal di rumah sakit dan di intensive care unit ICU
c. Prosedur invasif d. Penggunaan akses intravascular seperti kateter arterial dan juga
kateter sentral e. Pemakaian nasogastric tube, mechanical ventilator, kateter urin
f. Usia
g. Penggunaan antibiotik seperti cephalosporin spektrum luas, aztreonam, fluoroquinolon, cotrimoxazole trimethoprim
sulfamethoxazole, aminoglycosida, dan metronidazole
Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik golongan beta-laktam Mekanisme resistensi bakteri penghasil ESBL terhadap antibiotika
terjadi karena adanya mutasi titik point mutation pada gen yang dikode pada plasmid bakteri Ejaz et al, 2011. Mutasi ini menyebabkan
peningkatan aktivitas enzimatik beta-laktamase sehingga
dapat menghidrolisis cephalosporin dan aztreonam Pajariu, 2010. Terdapat
empat mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya resistensi bakteri terhdapat antibiotik beta-laktam Fauziyah, 2010:
a. Inaktivasi antibiotik beta laktam melalui enzim beta-laktamase b. Produksi penicillin binding protein yang baru disertai dengan
penurunan afinitas terhadap antibiotik c. Menurunkan permeabilitas antibiotik pada dinding sel bakteri dengan
mengubah channel porin. d. Mengkatifkan pompa efflux sehingga dapat membuang antibiotik dari
sel bakteri
2.3.5 Deteksi ESBL Metode yang digunakan untuk skrining ESBL dikeluarkan oleh
NCCLS National Committee for Clinical Laboratory Standards yang sekarang berganti nama menjadi CLSI Clinical Laboratory Standard
Institute. Berikut adalah 2 jenis uji yang dapat digunakan untuk skrining ESBL:
a. Uji Double Disk Synergy Metode ini pertama kali ditemukan oleh Jarlier et.al pada tahun
1988 dengan menggunakan agar Mueller Hinton Rupp dan Fey, 2003. Skrining dengan metode uji Double Disk Synergy memiliki tingkat
kesulitan yang tidak tinggi dan menggunakan alat dan bahan yang cukup sederhana Rupp dan Fey, 2003. Uji double disk synergy dilakukan
dengan menggunakan cakram augmentin 20 µg amoxicillin dan 10 µg asam klavulanat dan cakram cefotaxim 30 µg, ceftazidime 30 µg serta
cefpodoxime 30 µg yang diletakkan di sekitar cakram augmentin sekitar
Universitas Sumatera Utara
16-20 mm. Seperti yang diketahui, ESBL adalah enzim yang mampu menghidrolisis antibiotik golongan pencillin, cephalosporin golongan
I,II,III serta aztreonam. Dengan pemberian asam klavulanat sebagai inhibitor beta laktamase maka enzim beta laktamase dapat dihambat. Oleh
karena itu, interpretasi hasil yang positif ESBL dari metode uji Double Disk Synergy adalah dengan adanya peningkatan zona hambat dari
cephalosporin ke arah cakram asam klavulanat. Dikarenakan hasil positif dari uji Double Disk Synergy ini tidak memakai satuan angka yang pasti
sebagai batasan hasil positif dan negatif, tingkat subjektivitas dalam menginterpretasikan hasil merupakan kelemahan dalam metode in Rupp
dan Fey, 2003. Meskipun memiliki kelemahan, metode double disk synergy
memilki tingkat sensitivitas yang cukup baik yaitu berkisar 79-96 Giriyapur et al, 2011. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Giriyapur 2011 dari 313 sampel Enterobacteriaceae, 176 sampel 56,23 merupakan bakteri penghasil ESBL yang diskrining dengan
metode double disk synergy, sementara 200 sampel 63,89 dinyatakan bakteri penghasil ESBL dengan metode uji phenotypic confirmatory. Hal
ini menunjukkan bahwa metode double disk synergy dapat diandalkan untuk skrining bakteri penghasil ESBL.
Gambar 2.2 Hasil positif uji Double Disk Synergy Dhara et al, 2011
Universitas Sumatera Utara
b. Uji Phenotypic Confirmatory Metode ini menggunakan cefotaxime, ceftazidime, cefotaxim yang
dikombinasikan dengan asam klavulanat dan juga ceftazidime yang dikombinasikan dengan asam klavulanat. Biakan bakteri yang telah
disesuaikan kekeruhannya 0,5 McFarland diinokulasikan ke dalam agar Muller Hinton. Cefotaxime dan cefotaxime klavulanat diletakkan dengan
jarak 20 mm diantara keduanya. Hal yang sama juga dilakukan pada ceftazidime dan ceftazidime klavulanat. Isolat bakteri dinyatakan positif
ESBL jika setelah diinkubasi 1 malam pada suhu 37
o
C, terdapat peningkatan diameter 5 mm pada zona inhibisi dengan cakram antibiotik
cefotaxim, ceftazidim yang dikombinasikan dengan asam klavulanat dibandingkan dengan zona inhibisi dengan cakram antibiotik tanpa
kombinasi Umadevi et al, 2011.
2.4. Infeksi Saluran Kemih