Komodifikasi Budaya dalam Perspektif Media Politik-Ekonomi

commit to user 7

BAB II TELAAH PUSTAKA

A. Komodifikasi Budaya dan Teori Kritis

1. Komodifikasi Budaya dalam Perspektif Media Politik-Ekonomi

Komodifikasi diturunkan dari kosa kata Inggris, yakni commodification yang berasal dari akar kata commodity, yang artinya adalah, something produced for sale Websters New World Encyclopedia dalam Kasiyan, 2007 . Komodifikasi dapat diasumsikan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Karena nilai tukar berkaitan dengan pasar dan konsumen, maka proses komodifikasi pada dasarnya adalah mengubah barangjasa agar sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Pada proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan Mosco, 1996. Komodifikasi adalah gejala kapitalisme. Yaitu upaya untuk memperluas pasar, meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dilakukan dengan membuat produk atau jasa yang disukai oleh konsumen. Barang dikemas dan dibentuk sedemikian rupa sehingga disukai oleh konsumen. Sedangkan ciri dari komodifikasi itu sendiri commit to user 8 adalah adanya perubahan format yang menyesuaikan dengan keinginan konsumen. Konsumen atau khalayak menjadi tujuan utama, atau bahkan satu-satunya. Dengan menjangkau khalayak sebanyak-banyaknya diharapkan bisa mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Dan adapun Jenis-jenis komodifikasi dalam ekonomi politik media antara lain adalah Mosco, 1996 : a. Komodifikasi Isi Content Commodity : Komodifikasi isi yang melibatkan transformasi pesan agar pesan lebih diterima oleh pasar marketable. Misalnya, surat kabar, berita lebih memperhitungkan nilai berita agar bias diterima oleh pasar. b. Komodifikasi Khalayak Audience Commodity : Ekonomi politik memperluas lebih lanjut analoginya dengan memeriksa bagaimana hubungan antara modal dan para penonton pada titik penerimaan yang dilakukan diatas perluasan peyiaran komersial.Komodifikasi khalayak terbagi menjadi 2 yaitu : 1 Komodifikasi Intrinsik : Komodifikasi yang melekat secara langsung dari program atau acara yang dibuat oleh media. Upaya untuk mengetahui karakteristik khalayak, dan keinginan spesifik dari masing-masing khalayak. Komodifikasi ini membutuhkan prosedur dan ukuran untuk menentukkan secara akurat disemua tahapan produksi, pertukaran dan konsumsi. 2 Komodifikasi Ekstensif : Proses komodifikasi yang terjadi dan mengalami perluasan melibatkan institusi pendidikan, commit to user 9 pemerintah, budaya, telekomunikasi dsb. Komodifikasi ini memasukkan transformasi dari ruang umum menjadi kepemilikan privat seperti untuk mall dsb. Komodifikasi ini terutama diwujudkan lewat iklan-iklan komersial. 3 Komodifikasi Pekerja Labour Commodity : Transformasi proses kerja dalam kapitalisme. Buruh merupakan kesatuan konsep dari pembuahan, atau kekuatan invasi, imagine dan pekerjaan desain dan pelaksanaan, atau kekuatan untuk melaksanakannya. Dalam proses komodifikasi, tindakan modal untuk memisahkan konsepsi dari eksekusi, keterampilan atau skill dari kemampuan untuk melaksanakannya. Pendekatan terhadap realitas budaya yang ada sekarang ini yaitu budaya massa mass culture. Budaya massa dilihat sebagai sebuah bentuk fasisme karena merupakan semacam kebudayaan industri atau culture industries Fajar Junaedi dalam Kartono, 2005 : 2. Dalam artian di dalamnya terdapat aspirasi, selera, gaya hidup massa yang dikendalikan oleh sekelompok elit produser budaya. Massa digiring ke arah seni dan tontonan yang mudah untuk dicerna dan yang menimbulkan daya pesona yang diproduksi melalui corak produksi kapitalisme. Hasil penelitian Vincet Cho 2001: 399 mengatakan bahwa ”hasil perhitungan prediksi jumlah wisatawan yang berkunjung ke negara-negara yang diteliti seperti Korea, Taiwan, Singapore dan Korea commit to user 10 sangat tergantung dari pengaruh faktor ekonomi masing-masing negara, baik negara yang dituju maupun negara asal wisatawan”. Seiring laju perkembangan kapitalisme, budaya lokal yang lebih ironisnya upacara religi agama dikomodifikasi sebagai sesuatu yang mudah dicerna oleh semua orang melalui ikon-ikon yang mudah menarik perhatian massa. Budaya massa tidak bisa dipisahkan lagi dari budaya industri yang telah menjadi wacana dominan dalam budaya kontemporer. Industrialisasi yang lengkap dengan peran kapitalisme di dalamnya mengharuskan proses pe-massa-an atau komodifikasi segala sesuatu agar sebuah industri dapat terus berlangsung. Secara umum, definisi tent ang ”komodifikasi” dapat ditarik dengan menguraikan kata komoditas dan modifikasi. Komoditas artinya barang dagangan atau barang niaga dan modifikasi artinya perubahan, pengubahan Adiwimarta, 1993. Dari kedua arti kata tersebut maka dapat disimpulkan arti komodifikasi adalah proses pengubahan menjadi barang dagangan. Dalam ruang komodifikasi upacara realigi dalam kemasan pariwisata berarti upacara religi menjadi sumber daya yang dikomodifikasi untuk dieksploitasi yakni melalui kegiatan komunikasi pemasaran. Akhirnya muncul suatu upacara komoditas, yakni upacara yang didalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tapi demi profit atau keuntungan. Industri budaya inilah yang menandakan proses industrialisasi dari budaya yang diproduksi secara massif dan commit to user 11 komersialisasi yang mengendakilan sistem. Industri budaya ditampilkan dalam ciri yang sama dengan produk lainnya dalam produksi massa yaitu komodifikasi, standarisasi dan massifikasi. Kellner 1998 : 29 mengungkapkan sebagai berikut : The critical theorists analized all mass mediated cultural artifact within the context of industrial production, in which the arthifact of the culture industries exhibited the same features as other product of mass production; commodification, standardization, and massification. The product of the culture industries had the specific function, however, of providing ideological legitimation of the existing capitalist societies and of integrating individual into the framework of mass culture and society. Komodifikasi awalnya ditentukan adanya standarisasi oleh sekelompok pemilik modal dalam industri budaya dengan parameter hukum pasar, dimana produk yang dianggap standar jika berlaku di pasar dan memungkinkan proses produksi budaya dalam jumlah yang massif yang mengakibatkan segala jenis budaya apapun dijadikan suatu komunitas. Karya budaya yang mengalami revolusioner ini kemudian mengalami perubahan yang memiliki keunikan, keistimewaan dibanding lainnya. Dalam hal ini komunikasi pemasaran baik periklanan atau bentuk lainnya secara khusus mampu mengeksploitasi kondisi ini dan memberi citra image yang lebih baik. Jadi yang mengendalikan industri budaya adalah segelintir kelas kapitalis yang mengemasnya melalui komodifikasi menjadi budaya massa yang afirmatif. Melalui berbagai programnya, media massa telah menjadi alat transfer nilai dari suatu system social ke system social yang lain. Media massa telah menjadi wahana periklanan utama yang menghubungkan commit to user 12 produsen dan konsumennya. Media menjadi mediator penting antara Negara dan rakyatnya, sehingga media tidak hanya menjalankan fungsi social namun juga fungsi ekonomi dan politis ideology. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Jurowski 2001: 359 mengatakan bahwa perkembangan ekonomi suatu Negara dapat diindentifikasikan dengan perkembangan pariwisata yang ada dinegara tersebut. Semakin tinggi tingkat minat wisatawa dalam sebuah Negara, maka ekonomi Negara tersebut juga akan semakin meningkat. Dalam perspektif politik ekonomi, komodifikasi biasanya mengejawantah dalam bentuk-bentuk komersial dimana negara menempatkan bentuk aturan didasarkan standar pasar dan menetapkan aturan pasar. Komodifikasi menjadi alat utama untuk mengubah relasi sosial menjadi relasi ekonomi Curran, 1996 : 16. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komodifikasi isi media berarti mengubah pesan menjadi produk yang dipasarkan. Sebagaimana pendapat Mosco dalam Kartono, 2005 : 177, ”Commodification processes analysed included media centent as commodity, the sale of audiences to advertisers, the collection and sale of personal information, and intrusion of advertising into public spaces”. Jadi, komodifikasi budaya upacara religi berarti mengubah upacara religi menjadi produk yang dapat dipasarkan. Komodifikasi yang didukung oleh media massa dalam bentuk komunikasi pemasaran periklanan dapat mengecam berbagai bentuk norma, nilai, identitas dan symbol-simbol budaya local. Lambat laun commit to user 13 nilai-nilai budaya local seperti juga yang terdapat dalam upacara religi tersebut, akan mengalami pergeseran dan bisa dimungkinkan oleh nilai- nilai budaya baru. Dalam dinamika kapitalisme lanjut, relasi antara masyarakat , penonton dan media berjalin dalam lingkup “masyarakat komoditas”. Hilangnya identitas, keterasingan, dan ketidaktahuan norma mana yang harus dipegang menyebabkan masyarakat begitu mudah dipengaruhi media. Media menjadi sarana pemberi identitas, menyediakan kawan, menampilkan penafsiran tentang kejadian-kejadian, dan secara tidak langsung mengarahkan massa pada pengambilan keputusan. Di samping itu, media memberi pemuasan akan kebutuhan manusia dan mempengaruhi cara berpikir. Dalam konteks ini, perlu diwaspadai pengaruh buruk media dalam konteks kemurnian sebuah ajaran agama. Penyampaian sebuah tata laku hidup yang disajikan dalam bentuk hiburan seringkali menjadikan hiburan itu sendiri sebagai substansi utama dan bukan pada nilai-nilai yang hendak disampaikan. Bias-bias pemahaman agama menjadi fakta tak terbantahkan manakala ide-ide tentang kesucian ajaran bercampur aduk dengan representasi yang sekadar menghibur dan menarik perhatian. Meminjam pemikiran Adorno pula, Wuryanta dan Handayani http:ekawenats.blogspot.com menggambarkan bahwa masyarakat komoditas ditandai dengan empat aksioma penting. Pertama, masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, commit to user 14 bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tetapi demi profit dan keuntungan. Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang massif dan luar biasa yang memungkinkan penyelubungan operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan ini akan benar-benar terjadi, terutama terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi oleh masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus menerus, sebagai kecenderungan dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka sebarkan sendiri. Dan keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan- hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas “sarat dengan antagonisme” full of antagonism . Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada “wilayah ekonomi” economic sphere tetapi juga ke “wilayah budaya” cultural sphere. Sebagaimana dikemukakan Adorno dan Horkheimer, industri budaya dapat dimengerti sebagai budaya yang sudah mengalami komodifikasi serta industrialisasi, diatur dari atas maksudnya kalangan teknisi serta industriawan yang bekerja di media massa, misalnya surat commit to user 15 kabar dan stasiun televisi, dan secara esensial memang diproduksi semata-mata untuk memperoleh keuntungan making profits. Dengan kata lain, industri budaya ditandai oleh proses industrialisasi dari budaya yang diproduksi secara massal serta memiliki imperatif komersial, sehingga proses yang berlangsung dalam industri budaya ini adalah komodifikasi, standardisasi, serta masifikasi. Komodifikasi berarti memperlakukan produk-produk budaya sebagai komoditas yang tujuan akhirnya adalah untuk diperdagangkan. Standardisasi berarti menetapkan kriteria tertentu yang memudahkan produk-produk industri budaya itu mudah dicerna oleh khalayaknya. Adapun masifikasi berarti memproduksi berbagai hasil budaya dalam jumlah massal agar dapat meraih pangsa pasar seluas-luasnya.

2. Teori Kritis