23 Skema II.1, box 7. Pada hubungan yang positif, secara umum atribusi akan
menjadi stabil dan lebih positif. Pada hubungan yang negatif, atribusi menjadi stabil dan kurang negatif. Orang yang memberi maaf menjadi lebih optimis
tentang hubungan dan masa depan. Baik orang yang dimaafkan maupun orang memberi maaf dapat menjadi lebih hopeful.
II. A. 4 Hal-Hal yang Mempengaruhi Forgiveness
Ada banyak tokoh dari berbagai sumber yang menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan individu memilih forgive atau tidak, antara
lain: A.
Kecerdasan emosi Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dapat memprediksi
dampak-dampak unforgiveness dan solusi yang lebih cepat untuk dilema interpersonal akibat disonansi emosi. Selain itu, kecerdasan emosi juga penting
jika dilihat dari perspektif transgresor. Transgresor yang memiliki kecerdasan emosi tinggi memiliki kapasitas yang besar untuk mengerti dan memahami
keadaan emosi korban, dengan begitu akan memicu transgresor meminta maaf, mengganti rugi, atau mendiskusikan masalah dengan korban Worthington
Wade, 1999. B.
Respon transgresor Variabel penting lain dalam forgiveness adalah ketika transgresor meminta
maaf dengan tulus atau menunjukkan penyesalan yang dalam. Permintaan maaf memiliki berkorelasi positif dengan forgiveness Lawler, 2006; Strelan, 2006;
Universitas Sumatera Utara
24 McCullough, 2000. Penyangkalan dan penolakan tanggung jawab dari
transgresor, sebaliknya, berkorelasi negatif dengan forgiveness Worthington Wade, 1999.
C. Munculnya empati
Empati adalah kemampuan untuk mengerti dan merasakan pengalaman kognitif dan afektif orang, tanpa perlu mengalami situasinya. Empati menengahi
hubungan antara permintaan maaf dan forgiveness McCullough dalam Worthington Wade, 1999. Munculnya empati ketika transgresor meminta
maaf, mendorong korban untuk memaafkan transgresor McCullough, 2000.
Empati biasanya menjadi topik dalam konseling yang didesain untuk
meningkatkan forgiveness Lawler, 2006; Strelan, 2006. Wanita lebih mudah merasakan empati daripada pria, namun tidak ada perbedaan gender terhadap
forgiveness. Empati dalam hal ini lebih mengarah pada motivasi dari pada kemampuan Toussaint, 2005.
D. Kualitas hubungan sebelum transgresi
Forgiveness paling mungkin terjadi pada hubungan yang dicirikan oleh kedekatan, komitmen, dan kepuasan McCullough, 2000. Forgiveness juga
berhubungan positif dengan seberapa penting hubungan tersebut bagi korban dan secure attachment style Lawler, 2006. Dengan kata lain, forgiveness lebih
mungkin terjadi pada kualitas hubungan sebelum transgresi yang positif. E.
Rumination Semakin sering individu ruminate merenung atau mengingat-ingat
tentang transgresi dan emosi yang dirasakan, semakin sulit forgiveness terjadi.
Universitas Sumatera Utara
25 Rumination dan usaha menekan rumination tersebut dihubungkan dengan
motivasi penghindaran avoidance dan membalas dendam revenge. Orang yang memiliki masalah dalam mengatasi pikiran-pikiran ruminatif umumnya lebih
memiliki kesulitan untuk forgive Strelan, 2006; McCullough, 2000. F.
Komitmen Agama Semua agama mengajarkan forgiveness, namun tidak menjamin semua
pemeluknya akan memberikan maaf. Pemeluk agama yang commit dengan ajaran agamanya akan memiliki nilai tinggi pada forgiveness dan nilai rendah pada
unforgiveness Worthington Wade, 1999. G.
Faktor Personal Korban Sifat pencemas, sifat pemarah, neurotik, introversion, reaktivitas terhadap
stress, dan kecenderungan merasa malu merupakan faktor penghambat munculnya forgiveness. Sebaliknya, Sifat pemaaf, terbuka, agreeable, dan kecenderungan
merasa bersalah merupakan faktor pemicu terjadinya forgiveness Tangney, dalam Worthington, 1998. Narsisme dihubungkan dengan penurunan empati, oleh
karenanya narsisme berhubungan negatif dengan forgiveness. Orang yang berbangga diri pride lebih mudah merasa diserang atau terluka perasaannya
sehingga lebih sulit untuk forgive Kecenderungan merasa malu shame- proneness akan meningkatkan rasa marah, menghambat peristiwa yang
menyebabkan disonansi emosi, sehingga mengakibatkan korban dan transgresornya terpisah secara emosional dan mungkin secara fisik.
Kecenderungan merasa bersalah guilt-proneness dapat menyebabkan disonansi emosi dan memicu terjadinya forgiveness. Worthington Wade, 1999.
Universitas Sumatera Utara
26 H.
Faktor Peristiwa Semakin parah dan sering transgresor melakukan transgresi, semakin
tinggi keinginan korban untuk membalas dan menuntut tanggung jawab sehingga semakin kecil kemungkinan terjadinya forgiveness Zechmeister, 2004;
Worthington Wade, 1999. Persepsi terhadap tujuan transgresor melakukan transgresi juga mempengaruhi korban untuk forgive Worthington, 1998.
Peristiwa yang menimbulkan rasa malu shame cenderung mengarah pada unforgiveness daripada peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah guilt. Rasa
malu membuat transgresor enggan mengaku untuk melindungi diri, dan cenderung merasa terisolasi sehingga menghambat terjadinya forgiveness. Sebaliknya,
peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah guilt memicu transgresor meminta maaf, mengganti rugi, dan berusaha memperbaiki hubungan sehingga memicu
terjadinya forgiveness Worthington Wade, 1999.
II. A. 5 Manfaat Forgiveness