30 mereka untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku
anak-anak sebagaimana dulu mereka dikontrol Santrock, 1998. Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula
memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi, dan anak yang sulit diatur cenderung mengalami child abuse, sedangkan keluarga
yang abusive biasanya mengalami isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial sehingga tidak ada yang membantu saat mereka mengalami kesulitan dan
membutuhkan nasehat. Selain itu, terdapat asosiasi antara hilangnya pekerjaan orang tua dan intrafamily violence, seperti partner abuse dan child abuse.
Physical abuse lebih mungkin muncul dalam keluarga yang terdapat kekerasan domestik baik berupa agresi fisik maupun verbal. Berns, 2004.
Selain itu, kemiskinan, pengangguran, isolasi sosial, gaya hidup yang berubah-ubah, kurangnya pemahaman mengenai hak anak, budaya yang
menerima hukuman fisik, dan keterbatasan bantuan saat keluarga dalam situasi krisis merupakan faktor lingkungan yang berkorelasi dengan abuse Garbarino
dalam Berns, 2004. Stresor yang paling sering dilaporkan berhubungan dengan perilaku abusive dalam keluarga adalah rendahnya status sosioekonomi McLoyd
dalam Berns, 2004 dan tinggal dikomunitas yang biasa melakukan kekerasan Barry Garbarino dalam Berns, 2004
II. B. 4 Dampak Child Abuse pada Adult Survivor
Universitas Sumatera Utara
31 Orang dewasa yang pernah mengalami child abuse sering disebut sebagai
survivor Herman, 1997, abuse survivor Crosson, 2002, atau adult survivor Biere, 1992.
Kata survivor sendiri berarti orang yang selamat. Survivor mengacu pada orang yang selamat atau berhasil bertahan hidup dari peristiwa abusive. Akan
tetapi, walaupun telah selamat, mereka masih harus berjuang melawan after-effect setelah mereka dewasa Crosson, 2002. Tanpa intervensi yang tepat, anak yang
merasakan penderitaan akan tumbuh menjadi orang dewasa yang menderita juga. Mereka menjalani hidup mereka dengan membawa trauma dan dampak negatif
jangka panjang dari pengalaman mereka Biere, 1992. Crosson 2002 mengatakan bahwa efek residu yang dialami survivors
hampir sama baik untuk neglect maupun abuse, antara lain: a.
Kepercayaan trust Kepercayaan merupakan aspek dasar dari sosialisasi, dan perkembangan
kemampuan mempercayai dimulai pada tahun pertama kehidupan. Anak kemungkinan pada awalnya tidak sadar bahwa ia tidak menerima
pengasuhan yang baik dari orang tua, namun sebagai orang dewasa yang mulai menyadari bahwa orang tuanya secara emosional tidak ada, atau
kalaupun ada, dirasa kurang atau tidak konsisten. Sulitnya mempercayai orang lain merupakan manifestasi dari pemahaman anak bahwa kehidupan
dan semua yang hidup di dunia ini tidak dapat diprediksi. Anak juga belajar bahwa hidup yang tidak dapat diprediksi ini menyakitkan dan tidak
Universitas Sumatera Utara
32 dapat dipercaya. Untuk menghindar dari hidup yang menyakitkan ini, anak
memilih tidak mempercayai orang lain dan mengisolasimenarik diri. b.
Merasa dikhianati Sebagai seorang anak, individu mempercayai orang tua dan merasa bahwa
kepercayaan ini dihargai dan dimengerti, namun menyakitkan dan membingungkan bagi anak ketika menyadari bahwa ia digunakan untuk
kepentingan abuser. Anak tidak hanya tumbuh dewasa sebagai orang yang sulit mempercayai, namun juga merasa dikhianati oleh orang tua yang
telah diberikannya kepercayaan. Pada orang dewasa, pengkhianatan dicerminkan dengan ketidakmampuan mempercayai orang lain, diri
sendiri, dan lingkungannya. c.
Rasa marah Rasa marah dan khayalan untuk membalas dendam merupakan respon
normal pada anak yang mengalami child abuse Herman, 1997. Kemarahan ini merupakan akumulasi dari perasaan dikhianati, dan
ketidakberdayaan yang kemudian dapat menjadi amukan yang kuat setelah anak dewasa. Gagalnya terpenuhi kebutuhan di masa kecil merubah rasa
marah dan frustrasi menjadi perilaku agresif sehingga kemarahan yang dulunya hanya ada dalam batin, diproyeksikan ke luar. Agresi juga dapat
disebabkan oleh proses belajar dari cara orang tua menyelesaikan masalah. Agresi dapat ditujukan ke benda-benda, orang lain, bahkan ke diri sendiri.
Universitas Sumatera Utara
33 d.
Harga diri rendah Anak yang di-abuse mengasumsikan bahwa hukuman yang mereka terima
disebabkan oleh perilaku mereka yang salah, tanpa melihat kebenarannya. Apalagi kalau orang tua secara langsung mengatakannya. Mereka sering
memandang dunia dari dua sisi, sebagai ‘hitam’ dan ‘putih’ atau ‘baik’ dan ‘buruk’. Mereka menganggap orang tua adalah sosok yang baik dan kalau
orang tua itu baik, maka merekalah yang buruk dan menyebabkan segala kejadian buruk terjadi. Perasaan ini terus mengikuti anak hingga ia dewasa
dan mewarnai perilaku mereka. Mereka percaya bahwa tidak seorangpun akan menemukan kebaikan dalam diri mereka karena orang tua mereka
juga tidak mampu. Beberapa survivors menggunakan humor sebagai pembenaran keberadaannya dan melindungi diri mereka dari depresi
akibat tidak dapat menjadi lebih baik. Orang dewasa korban sexual abuse memiliki harga diri rendah disebabkan
rasa malu, rasa bersalah dan stigmatisasi atau label buruk yang diberikan orang lain.
e. Ketidakseimbangan hubungan
Kegagalan mempercayai dan rendahnya self-esteem ditambah dengan kemarahan yang di-repress atau diekspresikan secara agresif, menghambat
kemampuan survivor untuk membentuk hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Mereka tidak pernah belajar strategi coping dan
problem solving yang baik, padahal hal tersebut penting dalam membina dan mempertahankan hubungan. Kesulitan membina hubungan juga dapat
Universitas Sumatera Utara
34 disebabkan karena kurangnya stimulasi sosial dari orang tua, khususnya
pada kasus pengabaian. Mereka juga memiliki harapan yang tidak realistis bahwa semua orang harus memenuhi apa yang dia butuhkan sehingga
mereka cenderung tidak pernah puas dengan orang lain. f.
Penyalahgunaan zat Obat-obatan terlarang, atau alkohol digunakan sebagai pelarian, atau
sebagai pengganti interaksi sosial yang sulit mereka bina. Penggunaan zat- zat ini dapat disebabkan karena modelling, tekanan teman sebaya, dan
sebagainya. Berns 2004 mengemukakan bahwa kurangnya pengasuhan yang normal selama masa kanak-kanak dapat menyebabkan individu
mengganti kebutuhannya akan cinta dan rasa aman yang hilang dengan obat-obatan terlarang, alkohol, makanan, objek material, seks, dan judi.
g. Masalah fisik
Pengasuhan yang salah juga berdampak buruk bagi fisik anak. Kekerasan fisik dapat menyebabkan kecacatan seperti patah tulang atau kerusakan
atau kehilangan organ tubuh. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan kerusakan organ reproduksi, tertular penyakit menular seksual, dan
kehamilan. Anak yang mengalami pengabaian dan kekerasan emosi cenderung tumbuh dengan buruk dan mengalami masalah medis karena
kekurangan nutrisi akibat tidak diberi makan atau karena gangguan makan Berns, 2004. Selain itu, masalah fisik juga disebabkan karena
penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol, dan tidak jarang masalah fisik ini muncul sebagai usaha mencari perhatian.
Universitas Sumatera Utara
35 h.
Trauma Trauma fisik dapat berupa bekas luka atau kecacatan permanen yang dapat
berimplikasi ke psikis. Trauma psikis merupakan trauma karena mengalami peristiwa yang menyakitkan hati misalnya child abuse. Anak
yang mengalami child abuse belajar mengenal situasi terjadinya peristiwa abusive, dan ekspresi wajah dan bahasa tubuh orang tua – pada situasi dan
ekspresi bagaimana orang tua akan memukul atau marah. Proses belajar ini kemudian digeneralisasikan ke semua orang dan situasi. Mengalami
kekerasan seksual atau kekerasan fisik membuat anak takut akan sentuhan. Sentuhan sering mengingatkan mereka akan peristiwa abusive yang pernah
mereka alami. Tanpa adanya sentuhan pun peristiwa tersebut dapat muncul kembali dalam mimpi bahkan setelah anak dewasa.
Berikut ini adalah skema paradigma penelitian yang menggambarkan dinamika forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse,
dibuat sesuai dengan teori proses forgiveness – unforgiveness oleh Worthington Wade 1999 :
Universitas Sumatera Utara
36
SKEMA II.2 PARADIGMA PENELITIAN DINAMIKA FORGIVENESS PADA ORANG DEWASA YANG PERNAH MENGALAMI CHILD ABUSE
- +
+ -
HUB. ORANG TUA ANAK
Child abuse
Persepsi anak
Reaksi emosi awal negatif
unforgiveness Disonansi emosi
forgiveness
pasif aktif
Respon org tua
Reaksi emosi akhir positif
diabaikan diakui
Pilih emosi awal
Pilih emosi akhir
Kualitas hub. menjadi lebih
negatif Kualitas hub.
menjadi lebih positif
KETERANGAN: :
Terjadi peristiwa
:
Menimbulkanmaka : Hub. kembali seperti sebelum terjadi
child abuse : Bentuk respon
: Maka semakin : Reaksi emosi negatif dan positif
terjadi bersamaan : Child abuse berulang
Universitas Sumatera Utara
37
BAB III METODE PENELITIAN