Dinamika Attachment pada Korban Child Abuse di Masa Dewasa

(1)

DINAMIKA ATTACHMENT KORBAN CHILD ABUSE

MASA DEWASA

SKRIPSI

Ditujukan untuk Memenuhi Persyaratan

Ujian Skripsi

Oleh

NOVITA RYANTIKA

051301128

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan seminar skripsi ini. Salawat beriring salam ke pangkuan Nabi Muhammad SAW yang telah memperjuangkan zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan ilmu. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi ujian akhir.

Skripsi ini tentu tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis menghaturkan ribuan terima kasih kepada Ibu Josetta Maria Remila Tuapattinaja, M.Psi selaku dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing dan memberi masukan yang berarti serta penyemangat penulis selama mengerjakan seminar yang berjudul “Dinamika Attachment pada Korban Child Abuse di Masa Dewasa” ini. Alangkah bersyukur saya mendapat kesempatan dibimbing oleh dosen favorit saya. Terima kasih Ibu…

Terima kasih tak terkira untuk Papa dan Mama, kedua orang tua yang selalu mendukung penulis baik secara materi dan moril, menjadi inspirasi penulis dalam melakukan banyak hal. Juga kepada teman-teman di Pers Mahasiswa SUARA USU yang membuat perubahan besar dalam diri penulis selama ini, menanamkan idealisme yang dulu masih abu-abu. Terima kasih kepada Putri, Uni, Pristi Beby, dan Hayu atas kebersamaan dan kehangatan yang kita bina selama empat tahun ini.


(3)

Terima kasih kepada pihak-pihak yang selalu membuat penulis ‘menjadi belajar’ lebih baik lagi…

Semoga tulisan ini dapat berguna bagi pembaca, mahasiswa, dan khalayak yang tertarik dalam dunia psikologi, khususnya psikologi klinis, dalam menambah informasi dan wawasan peneliti sendiri nantinya. Dalam pengerjaannya, skripsi ini tentulah tidak sempurna. Kritik, masukan, dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan guna memperbaiki kekurangan yang ada. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan Saudara sekalian.

Medan, 21 November 2009 Peneliti


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH 1

B. PERUMUSAN MASALAH 10

C. TUJUAN PENELITIAN 11

D. MANFAAT PENELITIAN 11

E. SISTEMATIKA PENULISAN 11

BAB II LANDASAN TEORI 14

A. ATTACHMENT

1. Pengertian Attachment 14

2. Dimensi Attachment 16

3. Proses Attachment 17

4. Attachment pada Masa Dewasa 22 B. CHILD ABUSE

1. Pengertian Child Abuse 24

2. Bentuk-bentuk Child Abuse 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 27

A. PENDEKATAN KUALITATIF 27

B. RESPONDEN PENELITIAN 28

1. Karakteristik Responden Penelitian 28 2. Jumlah Responden Penelitian 29 3. Prosedur Pengambilan Responden 29


(5)

4. Lokasi Penelitian 29

C. METODE PENGAMBILAN DATA 29

1. Observasi 30

2. Wawancara 30

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA 31

1. Alat Perekam 31

2. Pedoman wawancara 32

E. PROSEDUR PENELITIAN 32

1. Tahap Persiapan Penelitian 33

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian 34

F. PROSEDUR ANALISA DATA 35

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI 42

A. PARTISIPAN I 42

1. Identitas 42

2. Gambaran Umum Partisipan I 43

3. Hasil Observasi 48

4. Hasil Analisa Wawancara 50

5. Pembahasan 88

B. PARTISIPAN II 102

1. Identitas 102

2. Gambaran Umum Partisipan II 102

3. Hasil Observasi 110

4. Hasil Analisa Wawancara 112

5. Pembahasan 158

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 180

A. KESIMPULAN 180

B. DISKUSI 185

C. SARAN 189


(6)

2. Saran Metodologis 191

DAFTAR PUSTAKA 193


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Kesamaan perilaku attachment pada bayi dengan cinta romantis 21 Tabel 2 Hubungan antara attachment style, pengasuhan, dan seksualitas 23


(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Gadis kecil berusia sembilan tahun, Idah, mengalami peristiwa yang mengenaskan. Idah disekap di dalam WC oleh orang tua angkatnya di Desa Kawat, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Saat itu, Idah yang ditinggal sendirian karena orang tuanya ke luar kota ditemukan warga dalam keadaan disekap dan tidak diberi makan. Untuk bertahan hidup, Idah meminum air di dalam WC. Kondisi Idah sangat memprihatinkan. Tubuhnya kurus kerempeng, kurang gizi, serta cedera parah. Hidung dan kaki kirinya patah (”Kekerasan”, 14 Agustus 2007).

Hampir serupa dengan Idah, Anggi Febriani, bocah empat tahun ini nyaris cacat akibat luka yang terdapat di sekujur tubuhnya. Anggi disiksa oleh ibu kandungnya sendiri, Sumarni. Dampaknya, Anggi menderita luka dari ujung rambut hingga ujung kaki. Di kepalanya terdapat luka bekas pukulan kayu. Bahkan, sang ibu tega mencopot paksa gigi Anggi dengan tang. Di bagian lehernya terdapat bekas luka jerat dan tangannya gosong dibakar lilin (Tom, 2005).

Sekelumit peristiwa di atas merupakan sedikit bagian dari rentetan besar kasus kekerasan pada anak yang terjadi saat ini. Kekerasan pada anak atau child

maltreatment atau lebih dikenal dengan child abuse merupakan tindakan yang


(10)

(Papalia, 2004). Hetherington dan Parke (1999) menyatakan bahwa lebih dari 1000 anak-anak di USA meninggal per tahun, 65% meninggal karena mendapat kekerasan fisik, dan 35% lainnya karena diabaikan. Ini relevan dengan penelitian UNICEF (2001), bahwa 23% anak-anak di Asia Pasifik mengatakan “orang tua

saya selalu memukul saya ketika berbuat kesalahan” dan 29% melaporkan

kekerasan fisik yang dilakukan keluarganya.

Anak mengalami verbal abuse, kelaparan, dipukul, dibakar, terluka, diikat, diasingkan, tidak mandi, dan meletakkan kotorannya sendiri, ataupun penganiayaan seksual, dan bukan tidak sedikit yang dibunuh (Hetherington & Parke, 1999). Fenomena seperti ini dialami oleh salah seorang korban child abuse, Hafiz Aprilaga, balita laki-laki berumur 3,8 tahun yang harus meregang nyawa di tangan ayah tirinya. Kisahnya dikutip dalam artikel (“Penganiayaan”, 3 Januari 2008). Saat itu, Ibu kandung Hafiz, Tutuk Rahayu yang bercerai dari Bambang Siswanto, ayah kandung Hafiz, menikah dengan Ilham Ahmad Fitri. Di tangan ayah barunya, anak semata wayang itu sering diperlakukan dengan keras hingga meninggal. Ilham ingin Hafiz tumbuh kuat. Caranya dengan melatih joging mulai dari 5 menit, 30 menit, hingga 50 menit. Saat membangkang, lecutan sabuk menjadi ganjaran. Merasa didikannya membuahkan hasil, porsi latihan ditambah.

Shit up menjadi menu baru. Ketika Hafiz menolak, pukulan pun mendarat di pipi

kiri bocah mungil ini. Ditambah dengan tujuh kali sentilan di telinga kiri, llham merasa belum cukup. Lelaki ini memukul dengan tangan kosong di bagian perut tiga kali. Kemudian pipi kiri Hafiz dipukul satu kali. Bahkan Hafiz juga pernah dipukul pada bagian rahang kanan. Kondisi kesehatan balita ini memburuk sejak


(11)

Jumat (28/12/2007) malam. Perut Hafiz kembung dan berkali-kali muntah. Akhirnya Senin (31/12/2007), Hafiz menghembuskan napas terakhirnya.

Sepanjang tahun 2008, Yayasan Pusaka Indonesia mencatat bahwa terdapat 239 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Negara Pancasila ini. Ironisnya, data dari Yayasan Pusaka Indonesia juga menyebutkan Kota Medan menempati urutan pertama dari banyaknya kasus kekerasan terhadap anak. Dari total 239 kasus kekerasan, 110 kasus di antaranya terjadi di Medan. Pematang Siantar menempati urutan kedua dengan 26 kasus (”Anak”, 26 Desember 2008). Angka tersebut tidak dapat digolongkan rendah. Jumlah kasus kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) bahwa kasus kekerasan anak di Sumatera Utara cenderung meningkat dari tahun ke tahun (”Kenaikan”, 26 Mei 2008). Jumlah ini diyakini lebih banyak lagi seperti fenomena gunung es (the tip of ice berg) mengingat banyak kasus yang tidak dilaporkan maupun sengaja dirahasiakan karena dianggap aib, baik oleh korban, keluarga, maupun masyarakat sekitarnya.

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki tanggung jawab pertama untuk menjaga pertumbuhan dan perkembangan anak. Seorang anak akan mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal jika kebutuhan dasarnya terpenuhi, misalnya kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan psikologis berupa dukungan, perhatian, dan kasih sayang. Sebaliknya keluarga justru menjadi sumber ancaman dan ketidaktentraman anak, karena perlakuan salah yang sering diterima anak dari keluarga, khususnya orang tua. Hal ini


(12)

relevan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Putra (dalam Ervika, 2005) melalui penelitiannya ”A Focused on Child Abuse in Six Selected Provinces in Indonesia”, menemukan bahwa hasil-hasil perlakuan salah (maltreated) terhadap anak yang terjadi dalam ranah publik dan domestik ternyata sebagian besar dilakukan oleh orang tua mereka. Adapun yang dimaksud dengan perlakuan salah dalam hal ini adalah segala jenis bentuk perlakuan terhadap anak yang mengancam kesejahteraan anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, sosial, psikologis, mental, dan spiritual (Irwanto dalam Ervika, 2005).

Child abuse memiliki dampak fisik, kognitif, emosional, dan sosial pada

anak (Papalia, 2004). Dubowitz (dalam Papalia, 2004) menyatakan bahwa

neglected children tidak tumbuh dengan baik dan sering memiliki masalah

kesehatan. Dalam Hetherington dan Parke (1999), Cichetti dan Toth mengemukakan bahwa jika anak korban kekerasan tidak meninggal, mereka akan menderita disfungsi otak, kerusakan neuromotor, kerusakan fisik, terhambat terhadap pertumbuhan, dan retardasi mental. Abuse dapat menurunkan perkembangan intelektual dan menyebabkan masalah psikososial. Pada anak yang telah bersekolah, tidak hanya menunjukkan masalah dalam hubungan antara teman sebaya, guru, dan pengasuh, namun juga masalah akademik dan self esteem rendah, menunjukkan masalah perilaku, dan menjadi depresi serta menyendiri.

Selain itu, anak tak jarang mengalami tekanan psikologis seperti takut, stres, bahkan trauma yang akan dibawa hingga individu menjadi dewasa. Seperti dikatakan oleh subjek Ima (bukan nama sebenarnya) mengenai peristiwa kekerasan yang ia alami berikut ini:


(13)

“....kena gebuk tiap hari. Kena repet, gak ada kebebasan kayak anak lain..dilibas kakiku dengan batang kayu kalo membangkang dia..pokoknya aturannya dari A sampe Z harus diturutin...gak nyaman lah di rumah. Kalo liat mamak rasanya takut, gak bebas...Aku sering takut, gak percaya diri, sampe ngaji pun aku gak bisa-bisa, padahal tiap hari dijambak. Dulu di sekolah pun aku gak PD, takut salah...”

(Ima, komunikasi interpersonal, 6 Februari 2009)

Dutton (dalam Rosenbaum & Leisring, 2003) menemukan bahwa mengalami physical abuse dan neglected dari orang tua selama masa kanak-kanak memprediksikan simptom-simptom trauma kronis pada pelaku saat dewasa. Anak-anak dapat menderita Post Traumatic Stress Disorder karena seringkali menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga ataupun mengalami penyiksaan fisik (Silva dkk, dalam Davidson, 2004).

Kehidupan masa kecil anak sangat berpengaruh terhadap sikap mental dan moral anak ketika dewasa nanti. Stucke (2008) menunjukkan bahwa pengalaman traumatis selama masa anak-anak dapat mempengaruhi individu sewaktu dewasa seperti kecanduan obat-obatan dan masalah dalam membina hubungan, sakit jantung hingga sakit jiwa (mental illness), dan meninggal lebih awal.

Lebih parahnya, Heyman dan Slep (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kekerasan menjadi seperti lingkaran atau disebut cycle of

violence. Hasil penelitian tersebut menunjukkan wanita dan pria yang mengalami abuse atau menyaksikan abuse yang dilakukan orang tua mereka semasa kecil

akan beresiko melakukan abuse saat dewasa terhadap anak ataupun pasangan mereka. Tambahan lagi, walaupun tidak menjadi korban abuse, Rosenbaum dan


(14)

O’Leary (dalam Rosenbaum & Leisring, 2003) menyatakan bahwa adanya kekerasan antar orangtua meskipun tidak melihatnya langsung, dapat menimbulkan sekumpulan masalah emosional dan perilaku pada anak dan meningkatkan resiko melakukan (memukul), khususnya laki-laki, dalam hubungan intim mereka saat dewasa. Individu yang pernah mengalami child

abuse cenderung berkembang dengan berbagai masalah serius, kerugian yang

tinggi bagi diri mereka sendiri dan masyarakat, dan melakukan kekerasan pada anak-anaknya sendiri di masa dewasa (Papalia, 2004). Namun, Egeland & Sroufe (dalam Papalia, 2004) menyatakan bahwa banyak anak-anak korban maltreatment dapat menunjukkan kegembiraan yang luar biasa, khususnya jika mereka mampu membentuk attachment pada seseorang yang dapat mendukungnya. Korban child

abuse yang menjadi nonabusing parents biasanya memiliki seseorang yang dapat

membantunya, menjalani terapi, dan memiliki hubungan pernikahan atau hubungan percintaan yang baik.

Pengalaman traumatis seperti child abuse dapat menjadikan individu mengalami suatu situasi yang tidak menyenangkan dalam hubungan dengan orang tuanya. Pervin, Cervone, dan John (2005) menyatakan bahwa pengalaman individu di awal kehidupan berdampak pada perkembangan kepribadian individu di masa yang akan datang. Menurut Bowlby (dalam Pervin, dkk, 2005), perkembangan seorang bayi berangkat melalui rangkaian fase dalam perkembangan attachment terhadap pengasuh utama (umumnya ibu) dan penggunaan attachment sebagai suatu “secure base” terhadap penyatuan dan pemisahan. Menurut Ainsworth (dalam Pervin, dkk, 2005) hubungan attachment


(15)

berkembang melalui pengalaman anak dengan pengasuh ditahun-tahun awal kehidupannya. Intinya adalah kepekaan ibu dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan anak, sesegera mungkin atau menunda, respon yang diberikan tepat atau tidak. Attachment adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Hubungan yang dibina akan bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur attachment tidak tampak dalam pandangan anak. Sebagian besar anak telah membentuk

attachment dengan pengasuh utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan

bulan dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah, dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe, 2002). Attachment bukanlah ikatan yang terjadi secara alamiah. Ada serangkaian proses yang harus dilalui untuk membentuk attachment tersebut.

Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai diri dan orang lain yang akan menjadi mekanisme penilaian terhadap penerimaan lingkungan (Bowlby, dalam Shaver & Mikulincer, 2004). Anak yang merasa yakin terhadap penerimaan lingkungan akan mengembangkan attachment yang aman dengan figur lekatnya (secure attachment) dan mengembangkan rasa percaya tidak saja pada ibu, namun juga pada lingkungan. Hal ini akan membawa pengaruh positif dalam proses perkembangannya. Beberapa penelitian membuktikan bahwa anak yang memiliki secure attachment akan menunjukkan kompetensi sosial yang baik pada masa kanak-kanak (Both dkk dalam LaFraniere, 2000) serta lebih populer di kalangan teman sebayanya di prasekolah (La Franiere


(16)

& Sroufe dalam LaFraniere, 2000). Anak-anak ini juga lebih mampu membina hubungan persahabatan yang intens, interaksi yang harmonis, lebih responsif dan tidak mendominasi (Parke dan Waters dalam LaFreniere, 2000). Sementara itu Grosman dan Grosman (dalam Sutcliffe, 2002) menemukan bahwa anak dengan kualitas secure attachment lebih mampu menangani tugas yang sulit dan tidak cepat berputus asa. Sebaliknya, pengasuh yang tidak menyenangkan akan membuat anak tidak percaya dan mengembangkan attachment yang tidak aman (insecure attachment).

Attachment yang tidak aman dapat membuat anak mengalami berbagai

permasalahan yang disebut dengan gangguan kelekatan (attachment disorder).

Attachment disorder terjadi karena anak gagal membentuk attachment yang aman

dengan figur lekatnya. Hal ini akan membuat anak mengalami masalah dalam hubungan sosial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengalami gangguan kelekatan memiliki orang tua yang juga mengalami masalah yang sama dimasa kecilnya (Sroufe dalam Cicchetty & Linch, 1995). Hal ini menjadi sebuah lingkaran yang tidak akan terputus bila tidak dilakukan perubahan.

Tidak hanya mempengaruhi hubungan antara orang tua-anak, namun kerangka attachment dapat memahami romantic relationship pada individu di masa dewasa. Perbedaan individu dalam hubungan emosional pada masa kecil berhubungan dengan perbedaan individu dalam caranya membangun hubungan emosional di masa yang akan datang (Pervin, Cervone,& John, 2005). Penelitian mengenai hubungan keluarga dalam beberapa generasi juga mencatat adanya hubungan antara kualitas attachment di masa kanak-kanak dan romantic


(17)

relationship di masa dewasa (intimate adult relationship) (Cohn, Silver, Cowan,

Cowan, & Pearson, dalam DeGenova, 2008).

Pada masa dewasa, menjalin hubungan cinta (romantic relationship) dengan pasangan merupakan hal yang penting. Pada akhirnya hubungan tersebut berlanjut pada tahap yang lebih serius seperti perkawinan. Cara individu menjalani hubungan romantisnya sangat berkaitan dengan pengalaman masa kecilnya dengan orang tuanya. Hazan dan Shaver (dalam Pervin, dkk, 2005) mengatakan bahwa hubungan cinta orang dewasa sangat dipengaruhi oleh interaksi individu dengan orang tuanya pada masa kecilnya. Bowlby mengatakan bahwa hubungan emosional seorang individu dengan orang tua pada masa kecilnya mempengaruhi kapasitas ikatan emosional individu tersebut dengan orang lain dalam kehidupan selanjutnya. Ikatan emosional ini disebut juga dengan

attachment.

Penelitian mengenai teori attachment Bowlby dalam konteks hubungan romantis masa dewasa pertama kali dilakukan oleh Hazan dan Shaver pada tahun 1987. Mereka mengatakan bahwa hubungan romantis merupakan proses

attachment. Ia juga mengatakan bahwa setiap individu dapat diklasifikasikan ke

dalam 3 pola attachment, yaitu secure, anxious-ambivalent, dan avoidant. Kemudian George, Kaplan, dan Main (dalam Shaver & Mikulincer, 2004) menemukan adanya perbedaan karakteristik pada individu yang tergolong pada pola attachment avoidant dalam hal perasaan tertekan individu dalam menjalani hubungan romantis. Perbedaan hasil penelitian ini mendorong penelitian-penelitian selanjutnya untuk menggali lebih dalam akan pola-pola attachment


(18)

individu dewasa. Bartholomew dan Horowitz adalah peneliti yang dapat menjelaskan perbedaan tersebut dan memberikan gambaran lebih mendalam akan

attachment (dalam Shaver & Mikulincer, 2004).

Bartholomew dan Horowitz menunjukkan bahwa terbentuknya pola-pola

attachment dewasa dilandasi oleh dua dimensi yaitu model of self dan model of others. Model of self dan model of others dapat bersifat positif atau negatif, dan

dua dimensi ini bersifat orthogonal (tidak berhubungan). Dua dimensi ini yang melandasi munculnya klasifikasi empat pola attachment pada individu yaitu

secure, avoidant-dismissing, avoidant-fearful, dan preoccupied.

Pengalaman child abuse yang pernah dialami oleh individu dapat mempengaruhi kualitas attachment yang terbentuk sehingga berdampak pada kualitas pola hubungan individu dengan orang lain di masa mendatang. Hal ini menjadi ketertarikan dasar peneliti untuk melihat bagaimana dinamika attachment pada individu korban child abuse pada saat dewasa.

B. PERUMUSAN MASALAH

Peneliti mencoba merumuskan pertanyaan penelitian ke dalam tema-tema utama yaitu:

1. Bagaimana attachment individu dalam keluarga di masa kecil?


(19)

C. TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara lebih mendalam bagaimana dinamika attachment pada individu yang menjadi korban child abuse di masa dewasa.

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat yang ingin didapatkan dari penelitian ini antara lain adalah: 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberi gambaran dan pemahaman mengenai bagaimana gambaran dan dinamika attachment pada individu yang menjadi korban child abuse di masa dewasa.

2. Manfaat praktisnya yaitu:

a. Sebagai bahan identifikasi attachment pada individu yang pernah mengalami child abuse sehingga dapat berinteraksi lebih baik dengan orang lain.

b. Sebagai bahan referensi atau acuan bagi kalangan yang tertarik dan terlibat dalam hal bimbingan maupun konsultasi individu secara psikologis dalam memberikan arahan-arahan dan motivasi-motivasi yang tepat lagi membangun.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini dibagi atas lima bab dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Sistematika penulisan penelitian ini adalah:


(20)

Bab I: Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II: Landasan Teori. Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian yang meliputi landasan teori dari

attachment dan child abuse.

Bab III: Metodologi Penelitian. Bab ini membicarakan tentang metode kualitatif yang digunakan termasuk teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini serta metode pengambilan data. Selain itu juga memuat subjek penelitian dan lokasi penelitian.

Bab IV: Analisis data dan Interpretasi. Bab ini berisikan analisis dan interpretasi data hasil wawancara yang dilakukan, mencakup deskripsi data, pengorganisasian (rekontruksi) data, dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan.

Bab V: Kesimpulan, diskusi dan saran. Kesimpulan berisikan hasil penelitian yang dilaksanakan, dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. ATTACHMENT

1. Pengertian Attachment

Istilah attachment atau kelekatan untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969 (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Attachment merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002).

Bowlby (dalam Haditono dkk,1994) menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Ainsworth mengenai attachment. Ainsworth (dalam Hetherington dan Parke, 2001) mengatakan bahwa attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu. Ainsworth menjelaskan bahwa hubungan attachment pada ibu sebagai salah satu hal penting dalam pembentukan hubungan dengan orang lain sepanjang kehidupan. Ia menyebutkan hal ini sebagai affectional bonds.

Affectional bonds yaitu ikatan yang secara relatif kekal dimana pasangan


(22)

Hubungan ini ditandai dengan adanya kebutuhan untuk mempertahankan kedekatan, distress yang tidak dapat dipahami saat perpisahan, senang atau gembira saat bertemu, dan sedih saat kehilangan. Ikatan ibu-anak, ayah-anak, pasangan seksual, dan hubungan saudara kandung dan teman dekat adalah contoh

affectional bonds (dalam Lemme, 1995).

Selain itu, Durkin (1995) menyatakan bahwa Attachment merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut. Cicirelli (dalam Lemme, 1995) mendefinisikan attachment sebagai suatu ikatan emosional antara dua orang; yang pada dasarnya untuk diidentifikasi, mencintai, dan memiliki hasrat dengan orang lain, dan merepresentasikan keadaan internal individu.

Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut

attachment. Adapun ciri afektif yang menunjukkan attachment adalah: hubungan

bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain, dan kelekatan dengan figur lekat akan menimbulkan rasa aman (Ainsworth dalam Shaver & Mikulincer, 2004).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan attachment adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan dapat bertahan cukup lama, timbal balik, dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak.


(23)

2. Attachment pada Masa Anak-anak

A. Proses Attachment

Interaksi yang intens antara ibu dan anak biasanya dimulai saat proses pemberian ASI (air susu ibu). Melalui proses pemberian ASI diharapkan akan berkembang attachment dan attachment behavior karena dalam proses ini terjadi kontak fisik yang disertai upaya untuk membangun hubungan psikologis antara ibu dan anak. Berkaitan dengan attachment behavior, Ainsworth (dalam Papalia dan Old, 1986) menyebutkan ada mekanisme yang disebut dengan “working

model” atau istilah Bowlby disebut dengan “internal working model”.

Menurut Bowlby (dalam Shaver & Mikulincer, 2004), manusia dilahirkan dengan suatu innate psychobiological system (the attachment behavioral system) yang mendorong mereka untuk mendekat dengan sifnificant others (figur lekat) pada waktu dibutuhkan. Tujuan sistem ini adalah pencapaian seutuhnya atau mendapat perlindungan dan rasa aman. Sistem ini akan diaktivasi saat ancaman secara nyata atau berpotensi pada rasa aman individu. Individu secara otomatis cenderung mencari perlindungan dan kenyamanan pada figur lekat nyata atau menginternalisasikan representasi mereka, dan mempertahankan attachment baik secara nyata atau simbolik dengan figur tersebut hingga tahap perlindungan dan keamanan dicapai.

Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai diri (self) dan orang lain (others) yang akan menjadi prototip dalam hubungan sosial


(24)

(Bowlby dalam Pervin et al., 2005). Bolwby (dalam Shaver & Mikulincer, 2004) menyatakan bahwa tidak ada orang di usia berapapun secara sempurna bebas dari ketergantungan dengan orang lain secara nyata dan bahwa sistem attachment akan tetap aktif dalam seluruh rentang kehidupan.

Mc Cartney & Dearing (2002) menyatakan bahwa pengalaman awal akan menggiring dan menentukan perilaku dan perasaan melalui internal working

model. Adapun penjelasan mengenai konsep ini adalah, “Internal” : karena

disimpan dalam pikiran; “working” : karena membimbing persepsi dan perilaku dan “model” : karena mencerminkan representasi kognitif dari pengalaman dalam membina hubungan. Anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu hubungan, khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan bahaya. Model ini selanjutnya akan menggiring mereka dalam interaksi di masa yang akan datang. Interaksi interpersonal dihasilkan dan diinterpretasikan berdasarkan gambaran mental yang dimiliki seorang anak.

Konsep working model selanjutnya dikembangkan oleh Collins dan Read (dalam Ervika, 2005) yang terdiri dari empat komponen yang saling berhubungan, yaitu;

a) Memori tentang kelekatan yang dihubungkan dengan pengalaman b) Kepercayaan, sikap, dan harapan mengenai diri dan orang lain yang dihubungkan dengan attachment

c) Attachment dihubungkan dengan tujuan dan kebutuhan (goal and needs) d) Strategi dan rencana yang diasosiasikan dengan pencapaian tujuan


(25)

Model ini diasumsikan bekerja di luar pengalaman sadar (Mc Cartney & Dearing, 2002). Pengetahuan anak didapatkannya dari interaksi dengan pengasuh, khususnya ibu. Anak yang memiliki orang tua yang mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya akan mengembangkan model hubungan yang positif yang didasarkan pada rasa percaya (trust). Selanjutnya secara simultan anak akan mengembangkan model yang paralel dalam dirinya. Anak dengan orang tua yang mencintai akan memandang dirinya “berharga”. Model ini selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari orang tua pada orang lain. Sebaliknya anak yang memiliki pengasuh yang tidak menyenangkan akan mengembangkan kecurigaan (mistrust) dan tumbuh sebagai anak yang pencemas dan kurang mampu menjalin hubungan sosial.

Menurut Bowlby (dalam Shaver & Mikulincer, 2004) internal working

model dan figur lekat saling melengkapi serta saling menggambarkan dua sisi

hubungan tersebut. Anak yang diasuh dengan kehangatan, sensitifitas, dan responsifitas akan mengembangkan internal working model yang positif pada orang tua dan diri sendiri. Internal working model merupakan hasil interpretasi pengalaman secara terus-menerus dan interaksinya dengan figur lekat.

Ada dua faktor yang dapat meningkatkan kestabilan internal working

model, yaitu :

1) Familiar, yaitu pola interaksi yang berulang, cenderung akan menjadi kebiasaan yang terjadi secara otomatis

2) Dyadic Pattern, merupakan pola yang timbal balik dan cenderung akan mengubah pola individual karena harapan yang timbal balik


(26)

memerintahkan masing-masing pasangan untuk mengartikan perilaku pihak lainnya.

Bowlby juga menjelaskan pentingnya perbedaan individu dalam keberfungsian sistem attachment bergantung pada availability, responsiveness, dan supportiveness dari figur lekat pada waktu yang dibutuhkan. Interaksi dengan figur lekat yang available dan responsiveness dapat memudahkan sistem

attachment berfungsi optimal dan mengembangkan sense of attachment security –

perasaan bahwa dunia pada dasarnya merupakan tempat yang aman, figur lekat pada umumnya membantu dan berguna saat dibutuhkan, dan memungkinkan menjelajahi lingkungan dan menjalin hubungan dengan orang lain. Sebaliknya, jika figur lekat tidak dipercaya available dan suportif, rasa aman menjadi tidak diperoleh. Individu mengalami keraguan dengan self efficacy dan tujuan orang lain.

Working model diri dan orang lain dilihat oleh Bowlby sebagai faktor

penyebab utama kelancaran antara pengalaman attachment awal dengan kognitif, perasaan, dan perilaku dalam hubungan selanjutnya. Memberi sebuah pola yang hampir konsisten dari interaksi dengan figur attachment selama masa kanak-kanak dan remaja, sebagian besar representatif atau bentuk dasar working models dari interaksi ini mengeras dan menjadi bagian pengetahuan individu yang harus diikuti kemudian. Seperti skema mental lainnya, sebagian besar working model yang diperoleh secara kronis menjadi inti dari karakteristik kepribadian, cenderung diaplikasikan dalam situasi dan hubungan baru, dan mempengaruhi


(27)

fungsi sistem attachment pada umumnya dan rangkaian interaksi sosial serta close

relationship berikutnya.

B. Aspek Attachment

Menurut Cassidy (dalam Wilson dan & Daveport, 2003), Bowlby membedakan tiga aspek attachment menjadi:

a. Attachment Behavior

Attachment behavior atau perilaku attachment adalah tindakan untuk

meningkatkan kedekatan pada figur lekat. Anak akan membuat kontak mata, menangis, atau membuat gesture (sikap tubuh) sebagai cara untuk mendekati orang tua mereka.

b. Attachment Bond

Attachment bond merupakan suatu ikatan afeksi; ikatan ini bukan diantara

dua orang, namun suatu ikatan yang dimiliki seorang individu terhadap individu lainnya yang dirasa lebih kuat dan bijaksana. Individu dapat melekat pada seseorang yang tidak terikat dengannya. Affectional bonds yaitu ikatan yang secara relative kekal dimana pasangan merupakan seseorang yang unik dan tidak dapat tergantikan oleh orang lain. Hubungan ini ditandai dengan adanya kebutuhan untuk mempertahankan kedekatan, distress yang tidak dapat dipahami saat perpisahan, senang atau gembira saat bertemu, dan sedih saat kehilangan. Ikatan ibu-anak, ayah-anak, pasangan seksual, dan hubungan saudara kandung serta teman dekat adalah contoh affectional bonds. Hubungan ini digerakkan oleh


(28)

sistem perilaku tambahan, seperti reproduktif, pengasuhan, dan sociable system (Ainsworth, Greenberg, & Marvin dalam Lemme, 1995).

c. Attachment Behavioral System

Attachment behavioral system merupakan suatu rangkaian perilaku khusus

yang digunakan individu. Bowlby melihat bahwa attachment berakar dalam sebuah sistem yang disebut dengan attachment behavioral system yang ia yakini berkembang secara universal di semua spesies. Tujuan attachment system adalah untuk mencapai kedekatan antara orang tua dan anak, meningkatkan perlindungan dan kelangsungan hidupnya. Bowlby berpendapat bahwa attachment behavioral

system memberikan sebuah fungsi evolusioner karena dapat menyarankan

perlindungan anak yang bergantung pada orang dewasa demi keselamatan.

Bowlby juga menyatakan bahwa terdapat dua behavioral system lainnya yang berinteraksi dengan attachment behavioral system. Pertama adalah

exploratory behavioral system yang meningkatkan kelangsungan hidup karena

rasa ingin tahu membantu anak untuk belajar dan beradaptasi pada lingkungan mereka. Sistem ini mengurangi perilaku attachment. Kedua, fear behavioral

system menunjukkan keamanan dan sebagai hasilnya, membentuk sistem attachment.

Cassidy menjelaskan beberapa hal mengenai teori attachment yaitu: 1. Affectional bond hanya mengutamakan hubungan orang tua dan anak

2. Anak akan mendemonstrasikan perilaku attachment dengan seorang yang tidak berada dalam attachment bond.


(29)

3. Anak mengalami multiple attachment tapi kualitas affectional bond berbeda di masing-masing hubungan. Kualitas ikatan (bond) dipengaruhi oleh jumlah interaksi, kualitas pemberian kasih sayang, dan emosional yang ditanamkan oleh pengasuh.

C. Pola Attachment pada Anak

Pola attachment dikelompokkan berdasarkan hasil penelitian Mary Ainsworth dengan menggunakan Strange Situation (SS). Ainsworth membagi dalam tiga pola menjadi secure, avoidant, dan resistant atau ambivalent

attachment. Kemudian Main dan Solomon menambahkan kategori keeempat yaitu disorganized/disoriented attachment.

a. Pola Secure Attachment

Anak dengan pola secure attachment menunjukkan distress pada saat ditinggalkan pengasuh dan ketika bertemu kembali, pengasuh dan anak terlihat senang melihat satu dan lainnya serta langsung memulai berinteraksi.

Karakteristik interaksi orang tua dan anak dalam pola ini antara lain:

1. Komunikasi pengasuh dan anak terlihat hangat dan sensitif. Anak tidak kelihatan takut untuk menunjukkan rasa marah.

2. Pengasuh membolehkan autonomi sesuai dengan usia dan kesempatan untuk bereksplorasi. Terdapat fleksibilitas dalam kedekatan: anak dan pengasuh beraktifitas secara independen dan saling bersentuhan satu dan lainnya dari waktu ke waktu.


(30)

3. Pengasuh terlihat memiliki pandangan yang logis mengenai attachment dan mengetahui pentingnya hal tersebut bagi anak.

4. Pengasuh dan anak terlihat senang dalam berinteraksi. b. Pola Avoidant Attachment

Anak dengan pola avoidant terus-menerus menunjukkan tanda-tanda psikologis adanya kecemasan. Anak sering menghindar dari pengasuh. Pengasuh juga tidak terlalu memperhatikan anak dan lebih fokus dengan situasi sekitar. Strategi untuk menarik diri dari pengasuh meskipun psychological arousal menyarankan anak untuk berusaha meniadakan perasaan-perasaan tidak aman dengan fokus pada objek sekitar.

Beberapa karakteristik hubungan antara orang tua dan anak dalam pola ini antara lain:

1. Pengasuh merespon secara negatif saat anak berusaha membuat kontak: pengasuh menghindar saat anak merasa sedih.

2. Pengasuh terlihat menunjukkan perilaku menolak (rejecting) pada anak. 3. Anak lebih menunjukkan rasa marah di rumah

4. Perilaku bermain menunjukkan adanya gangguan dari kebutuhan-kebutuhan attachment.

c. Pola Resistant atau Ambivalent Attachment

Anak terlihat sangat lengket dengan pengasuh karena pengalamannya yang sebentar-sebentar ditinggal oleh pengasuh. Namun begitu, anak tidak terlihat tenang dengan hadirnya pengasuh, malahan tampak marah dan pasif.


(31)

1. Pengasuh terlihat melakukan tugas mengasuhnya namun sering tidak tampak secara emosional.

2. Anak mempelajari bahwa pengasuhnya mampu berespon jika ia terus memperlihatkan perhatian sehingga anak tetap berada dalam jarak yang dekat dengan pengasuh.

3. Beberapa anak berhati-hati terhadap orang tua mereka seperti jalan untuk membentuk interaksi.

d. Disorganized/disoriented Attachment

Dengan adanya kehadiran pengasuh, anak dengan pola attachment seperti ini akan:

1) Membeku dengan ekspresi kosong 2) Bangkit saat pengasuh datang 3) Jatuh ke lantai

4) Teringat pada pengasuh saat jauh dari pengasuh

Disorganized attachment umumnya berhubungan dengan sejarah child abuse dan neglect. Disorganized attachment berasal dari rasa dilema atau

kebingungan yang dihadapi anak untuk mengetahui bagaimana seharusnya berkelakuan pada pengasuh yang memenuhi kebutuhan attachment anak dengan memberi siksaan (abusing).

3. Attachment pada Masa Dewasa


(32)

Mengikuti internal working model Bowlby, Bartholomew & Horowitz (dalam Pervin, Cervone, & John, 2005) membagi dimensi attachment ke dalam dua bagian, yakni:

a. internal working model of self

Bagian positif diri menjelaskan perasaan bahwa diri bernilai dan berharap orang lain merespon individu secara positif.

b. internal working model of others

Bagian positif orang lain menjelaskan harapan bahwa orang lain akan ada dan mendukung, menjalin kedekatan dengan diri mereka.

Masing-masing dimensi tersebut meliputi akhir yang positif dan negatif. Selanjutnya, dimensi ini dihubungkan dengan empat pola attachment seperti yang terdapat dalam gambar di bawah ini.

Gambar 1. Bortholomew’s Dimensions of Self and Other Internal Working Models and Associated Attachment Patterns (Sumber: Pervin, Cervone, & John,

2005)

Secure (comfortable

with intimacy and autonomy)

Preoccupied

(preoccupied with relationship)

Dismissing

(dismissing of intimacy; counter-dependent)

Fearful (fearful of

intimacy socially avoidant)

Positive Others

Negative Self Positive Self


(33)

B. Pola Adult Attachment (Close Relationship)

Penelitian ini melihat proses attachment pada individu dewasa. Peneliti

attachment yang meneliti remaja dan dewasa fokus pada attachment style – pola

sistematis dari harapan dan emosi, dan perilaku hubungan yang dihasilkan dari pengalaman attachment sebelumnya (Frales, Saver, & Mikulincer, dalam Shaver & Mikulincer, 2004). Bortholomew & Horowitz (dalam Shaver & Mikulincer, 2004) mengelompokkan attachment style pada dua bagian pada hubungan orang dewasa. Bagian attachment style tersebut adalah:

a. Attachment Avoidant Style

Menggambarkan tingkatan dimana individu tidak percaya kebaikan dari pasangannya dalam suatu hubungan, berusaha untuk mempertahankan kepercayaan diri, dan jarak emosional dari pasangan dan secara kronis menggunakan strategi deactivation untuk sejalan dengan attachment insecurity.

b. Attachment Anxiety Style

Menggambarkan tingkat dimana seorang individu cemas jika pasangan tidak ada saat dibutuhkan dan secara kronis menggunakan strategi

hyperactivation.

Individu biasanya menggunakan dua bentuk strategi dalam menghadapi situasi seperti ini. Strategi tersebut (Mikulincer & Shaver, dalam Shaver & Mikulincer, 2004) meliputi:

1. Hyperactivation

Yaitu usaha intens untuk memperoleh kedekatan dengan figur lekat dan memastikan perhatian dan dukungan mereka. Individu yang menggunakan strategi


(34)

hyperactivation secara paksa mencari kedekatan dan perlindungan, menunjukkan hypersensitive jika ditolak atau diabaikan, dan cenderung mengalami personal deficiencies, dan mengancam hubungan.

2. Deactivation

Deactivation merupakan kegagalan untuk bertindak mendekat. Individu yang menggunakan strategi ini cenderung memperbesar jarak dengan orang lain, mengalami kegelisahan dengan kedekatan, berusaha menguatkan diri, self

reliance, dan menekan pikiran-pikiran dan ingatan buruk.

Individu yang dinilai rendah dalam kedua attachment style tersebut dikatakan menjadi aman atau memiliki rasa aman yang kuat dan dikelompokkan dalam secure attachment style.

C. Persamaan Attachment Masa Anak-anak dan Attachment Masa Dewasa

Aplikasi teori attachment pada hubungan cinta romantis dikembangkan oleh Cindy Hazan dan Philip Shaver (1987), yang menegakkan bahwa gaya

attachment yang berasal dari interaksi antara anak dan orang tua mempengaruhi

hubungan ini dalam cara-cara penting. Mereka memandang bahwa cinta romantis merupakan sebuah proses biologis yang mengembangkan pencapaian attachment antara pasangan seksual dewasa yang akhirnya menjadi orang tua dari seorang anak yang membutuhkan pengasuhan mereka (Hazan & Shaver, dalam Lemme, 1995). Tabel di bawah ini menjelaskan kesamaan antara perilaku attachment pada anak dan cinta romantis orang dewasa.

Tabel 1. Kesamaan perilaku attachment pada anak dengan cinta romantis orang dewasa


(35)

Attachment Romantic Love

Pembentukan dan kualitas attachment bergantung pada sensitivitas dan respon dari figur attachment.

Cinta romantis meliputi suatu hasrat tinggi untuk tertarik pada pasangan (baik nyata maupun dalam imajinasi) dan timbale-balik.

Perasaan senang dan sedih pada anak bergantung pada keberadaan dan respon dari figur attachment.

Mood orang dewasa yang sedang

mencintai bergantung pada persepsinya saat ini mengenai balasan atau penolakan dari pasangan.

Jika hubungan attachment pada anak yang secure, ia akan merasa senang, memiliki batasan terhadap kesedihan, dan lebih berinteraksi pada lingkungan yang tidak dikenal, juga pada orang asing.

Saat orang dewasa sedang jatuh cinta, mereka sering menyatakan perasaannya lebih tenang, tidak bimbang, tidak

defensive, lebih kreatif dan spontan, dan

lebih berani.

Perilaku attachment meliputi: pemeliharaan kedekatan dan kontak – memeluk, menyentuh, membelai, mencium, mengayun-ayun, tersenyum, membuat kontak mata, mengikuti, dan lainnya.

Cinta romantis orang dewasa diindikasikan oleh pelukan, sentuhan, belaian, ciuman, ayunan, senyuman, melakukan kontak mata, mengikuti, dan lain-lain.

Perpisahan dengan figur attachment menyebabkan distress tinggi, ditandai dengan perilaku yang berlebihan, perhatian sebagai usaha untuk bertemu kembali, dan mengakibatkan keputus-asaan jika ternyata tidak memungkinkan untuk bertemu.

Perpisahan yang tidak diinginkan dengan pasangan menyebabkan distress tinggi, berusaha untuk bersatu kembali, dan mengakibatkan kesedihan jika tidak memungkinkan untuk bersatu.

Hasrat tinggi untuk saling bertemu dan bereaksi dengan figur attachment.

Hasrat tinggi untuk berbagi penemuan, perasaan, pendapat, dan lainnya serta


(36)

memberikan hadiah bagi pasangan kekasihnya.

Anak mengoceh, ”menyanyi”, berbicara bahasa bayi, dan figur attachment berbicara dengan ”bahasa ibu”.

Pasangan kekasih dewasa berbicara, bernyanyi, berbicara bahasa bayi, dan menggunakan nama seperti bayi sebagai wujud kasih sayang satu dengan yang lain.

Shaver dan Hazan menyatakan bahwa pada dasarnya attachment

behavioral system mendasari dua sistem lainnya yakni sistem pengasuhan dan

seksualitas. Tabel di bawah ini menyimpulkan adanya hubungan antara

attachment style, pengasuhan, dan seksualitas.

Tabel 2. Hubungan Antara Attachment Style, Pengasuhan, Dan Seksualitas

Attachment Style Pengasuhan Seksualitas

Secure Memberi dan menerima

perhatian dengan senang.

Berusaha keras untuk saling dekat dan merasa senang.

Anxious/Ambivalent Memberikan perhatian dalam pengorbanan diri, cara yang kompulsif, tidak merasa puas dengan perhatian yang diterima.

Mencoba untuk memuaskan kebutuhan

akan rasa aman dan cinta dengan kontak seksual.

Avoidant Tidak mampu atau

enggan untuk memberi atau menerima perhatian.

Menjaga jarak emosional. Tidak memilih-milih.


(37)

B. CHILD ABUSE

1. Pengertian Child Abuse

Pada awalnya terminologi tindak kekerasan pada anak atau child abuse berasal dari dunia kedokteran. Sekitar tahun 1946, seorang radiologist Caffey (dalam Tower, 2003) menyebutkan kasus ini dengan Caffey Syndrome. Henry (dalam Fitri, 2008) menyebut kasus penelantaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome, yaitu setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap anak oleh orangtua atau pengasuh lain. Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang dialami anak-anak adalah

Maltreatment Syndrome, meliputi gangguan fisik seperti diatas, juga gangguan

emosi anak, dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai, ekploitasi seksual dan ekonomi, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Gelles dalam Fitri, 2008).

Papalia (2004) menyatakan bahwa child maltreatment atau lebih dikenal dengan child abuse merupakan tindakan yang disengaja dan membahayakan anak baik dilakukan oleh orang tua atau orang lain. Maltreatment sendiri terdiri dari beberapa bentuk. Abuse mengarah pada tindakan yang mengakibatkan kerusakan, dan neglect merupakan tidak adanya tindakan atau pengabaian pengasuhan yang dapat mengakibatkan kerusakan.


(38)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan pada anak.

2. Bentuk-Bentuk Child Abuse

Terdapat empat bentuk child abuse (Tower, 2003): 1. Physical Abuse

Kekerasan yang menyebabkan luka-luka di seluruh tubuh melalui pukulan, gigitan, tendangan, dan pembakaran.

2. Sexual Abuse

Aktivitas seksual yang melibatkan anak dan orang lain.

Menurut Child Abuse Prevention Act (dalam Tower, 2003) sexual abuse meliput i: (i) mempekerjakan, menggunakan, membujuk, merangsang, mengajak, atau memaksa anak untuk ikut dalam perilaku seksual secara nyata (atau berupa rangsangan perilaku) untuk tujuan menghasilkan gambaran visual dari perilaku tersebut

(ii) pemerkosaan, penganiayaan, prostitusi, atau bentuk lain dari eksploitasi seksual pada anak, ataupun incest pada anak di bawah kondisi yang mengindikasikan bahwa kesehatan atau kesejahteraan anak dirugikan atau terancam oleh hal-hal tersebut

3. Emotional Abuse

Meliputi tindakan abuse atau neglect yang menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, emosional, atau mental (Papalia, 2004). Garbarino, dan kolega


(39)

(dalam Tower, 2003) memisahkan emotional abuse dalam dua bagian, yaitu

emotional/psychological abuse (meliputi serangan verbal atau emosional,

ancaman membahayakan, atau kurungan tertutup) dan emotional/psycological

neglect (meliputi pengasuhan yang tidak cukup, kurang kasih-sayang, menolak

memberikan perawatan yang cukup, atau dengan sengaja membiarkan perilaku maladaptif seperti kejahatan ata penggunaan obat-obatan).

Selanjutnya Garbarino, Guttman, dan Seeley (dalam Tower, 2003) menyatakan bahwa emotional maltreatment atau yang disebut dengan

psychological maltreatment merupakan bentuk perilaku merusak secara fisik yang

meliputi:

1) rejecting (orang dewasa menolak untuk mengakui anak berharga dan memenuhi kebutuhan anak)

2) isolating (orang dewasa memisahkan anak dari pengalaman sosial normal, mencegah anak membentuk persahabatan, dan membuat anak yakin bahwa ia sendirian di dunia ini)

3) terrorizing (orang dewasa menyerang anak secara verbal, menciptakan suasana takut, mendesak dan menakuti anak, dan meyakini anak bahwa dunia berubah-ubah dan bermusuhan)

4) ignoring (orang dewasa menghilangkan stimulasi dan respon yang diperlukan sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan intelektual)

5) corrupting (orang dewasa ‘mis-socializes’ pada anak, memancing anak untuk melawan dalam perilaku yang merusak dan antisosial, menguatkan


(40)

penyimpangan, dan membuat anak tidak mampu mengikuti aturan sosial pada umumnya)

Tower (2003) mengemukakan bahwa psychological abuse merupakan perilaku merusak yang terus-menerus, berulang, dan tidak sesuai ataupun berkurang esensinya, dan dapat mempengaruhi kemampuan atau proses mental anak yang meliputi inteligensi, ingatan, pengenalan, persepsi, perhatian, bahasa, dan perkembangan moral. Sedangkan emotional abuse merupakan respon emosional yang terus-menerus, berulang, dan tidak sesuai terhadap ekspresi emosi anak dan beriringan dengan perilaku ekspresif.

4. Neglect

Depanfilis dan koleganya (dalam Tower, 2003) menyebutkan bahwa

neglect sebagai tindakan kelalaian yang dibagi menjadi tiga kategori, yakni physical neglect, educational neglect, dan emotional neglect. Sedangkan Zuravia

dan Taylor membagi neglect menjadi delapan bentuk kelalaian orang tua dalam hal:

a. physical health care, gagal memberi atau menolak menyediakan kebutuhan fisik

b. mental health care, gagal atau menolak untuk memenuhi kebutuhan psikis c. supervision, pengawasan yang tidak cukup di dalam dan luar rumah

d. substitute child care, meninggalkan anak atau tidak kembali selama 48 jam untuk memberikan perawatan

e. housing hazard, tidak melindungi anak dari bahaya seperti obat-obatan atau benda berbahaya


(41)

f. household sanitation, tidak memastikan anak terlindung dari makanan basi, sampah, atau kotoran manusia, meliputi toilet yang tidak berfungsi, dan sebagainya

g. personal hygiene, tidak menjaga pribadi anak dan kebersihan pakaian, serta bebas dari kotoran

h. nutrition, gagal untuk memberikan makanan yang cukup dan teratur, serta tidak melindungi anak dari makanan basi atau diet yang dapat menyebabkan masalah kesehatan fisik.


(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 1996), mendefinisikan “pendekatan kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar individu tersebut secara holistik. Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

Menurut Cassel dan Symon (dalam Poerwandari, 2007), penelitian kualitatif bersifat fleksibel, dimana kesesuaiannya tergantung dari tujuan penelitian. Meskipun demikian peneliti tetap mengikuti suatu pedoman, tetapi bukan merupakan aturan kaku. Pendekatan ini lebih berorientasi pada “proses” penelitian daripada “hasil”. Moleong (1996) menyebutkan hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses.

Alwasilah (2008) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, perilaku responden dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku tersebut. Peneliti kualitatif lazimnya berkonsentrasi pada sejumlah orang atau situasi yang relatif sedikit dan perhatiannya terkuras habis-habisan pada analisis kekhasan kelompok atau situasi itu saja. Setiap informasi, kejadian, perilaku,


(43)

suasana, dan pengaruh baru adalah ‘berharga’ dan berpotensi sebagai data untuk mendukung hipotesis kerja.

Apabila merujuk kembali pada masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif dipandang lebih sesuai untuk mengetahui Dinamika Attachment pada Korban Child Abuse di Masa Dewasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Bogdan dan Taylor (dalam Irmawati, 2002), salah satu kekuatan pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala-gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab-akibat yang dipaksakan. Penelitian kualitatif berfokus pada fenomena tertentu yang tidak memiliki generalizability dan comparability, tetapi memiliki validitas internal dan pemahaman kontekstual (Alwasilah, 2008).

B. RESPONDEN PENELITIAN

1. Karakteristik Responden

Karakteristik yang digunakan untuk memilih responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Usia di atas 20 tahun. Menurut Papalia (2004), individu memasuki masa dewasa pada usia 20 tahun dan mulai membina intimate relationship.

b. Pernah mengalami child abuse oleh anggota keluarga berulang kali di masa anak-anak


(44)

2. Jumlah Responden

Dalam penelitian kualitatif, sampel tidak diarahkan pada jumlah yang besar, tidak ditentukan secara baku sejak awal tetapi dapat berubah sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian (Sarakantos dalam Poerwandari, 2007). Strauss (dalam Irmawati, 2002) mengatakan juga bahwa tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah minimal yang harus dipenuhi. Apabila data yang dikumpulkan telah cukup mendalam maka dapat diambil dengan jumlah sampel yang kecil.

Dalam penelitian ini, subjek berjumlah dua orang.

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini berdasarkan prosedur penentuan sumber data oleh Patton (dalam Alwasilah, 2008) yaitu

purposeful sampling yakni penentuan responden yang betul-betul diupayakan

terpilih atau tersertakan untuk memberikan informasi penting mengenai kejadian tertentu.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan. Data dari Yayasan Pusaka Indonesia menunjukkan kasus child abuse paling banyak ditemukan di Kota Medan.

C. METODE PENGAMBILAN DATA

Teknik pengambilan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti.


(45)

Namun dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam (depth interview).

Wawancara

Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Melalui wawancara, peneliti bisa mendapatkan informasi yang mendalam (in-depth information).

Pendekatan wawancara yang digunakan adalah wawancara informal dan wawancara dengan pedoman umum. Proses wawancara sepenuhnya berkembang dari pertanyaan-pertanyaan spontan dalam interaksi alamiah. Meskipun begitu, wawancara dalam penelitian ini juga mencantumkan pedoman wawancara yang sangat umum yakni mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Dengan demikian, responden yang menjadi subjek penelitian tidak menyadari dirinya sedang mengalami situasi wawancara yang kaku dan formal untuk menggali data.

Selain wawancara, peneliti nantinya akan mengamati beberapa aspek komunikasi nonverbal yang diperlihatkan oleh responden dalam penelitian. Observasi ini digunakan untuk mengidentifikasi adanya kesenjangan, pesan-pesan yang bercampur, ketidakcocokan, dan konflik pada responden (Minauli, 2006). Observasi juga digunakan dalam rangka mengetahui bagaimana repon responden


(46)

dalam mengungkapkan peristiwa yang telah dialaminya. Lewat observasi ini, peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang tidak terucapkan (tacit

understanding), bagaimana teori digunakan langsung (theory-in-use), dan sudut

pandang responden yang tidak tergali lewat wawancara.

D. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis didasarkan atas “kutipan” hasil wawancara dan observasi. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan denga cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit, untuk itu diperlukan instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 1996).

Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah alat perekam yaitu tape recorder dan pedoman wawancara.

1. Alat Perekam (Recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulangi kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga responden yang diwawancarai dapat dihubungi kembali. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan memperoleh persetujuan responden terlebih dahulu. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subjek, alat


(47)

perekam dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, serta sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data nantinya.

E. PROSEDUR PENELITIAN

1. Tahap Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian:

a. Mengumpulkan informasi tentang child abuse

Peneliti mengumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan child

abuse dan kasus-kasus child abuse yang terjadi di Indonesia. Kemudian peneliti

mengumpulkan informasi mengenai dampak child abuse pada korban yang telah dewasa untuk selanjutnya terkait dengan pembentukan attachment pada pasangan romantisnya. Selanjutnya peneliti akan menentukan karakteristik responden yang akan disertakan dalam penelitian ini.


(48)

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, sebelum wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu menyiapkan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori yang ada.

c. Menghubungi calon responden yang sesuai dengan karakteristik responden Setelah peneliti memperoleh beberapa orang calon responden, peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Apabila calon responden bersedia, peneliti kemudian menyepakati waktu wawancara bersama calon responden.

d. Melaksanakan rapport

Menurut Moleong (1996), rapport adalah hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian yang sudah melebur sehingga seolah-olah sudah tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya. Dengan demikian, subjek dengan sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberi informasi yang diberikan oleh peneliti.

Dengan membangun rapport, peneliti telah mendapatkan kepercayaan dari responden untuk mengungkapkan kepada peneliti dengan perasaan nyaman mengenai informasi yang diperlukan. Rapport merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi jarak psikologis, mencairkan ketegangan, dan membangun kepercayaan responden terhadap peneliti (Alwasilah, 2008).

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.


(49)

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dari tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara yang telah dilakukan.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani Lembar Persetujuan Wawancara yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Dalam melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan observasi terhadap responden.

c. Memindahkan hasil rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim

Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding yaitu membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2006).


(50)

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai, kemudian dibuat salinannya dan diserahkan kepada pembimbing. Pembimbing membaca verbatim berulang-ulang untuk mendapat gambaran yang jelas. Setelah itu, verbatim wawancara disortir untuk memperoleh hasil-hasil yang relevan dengan tujuan penelitian dan diberi kode.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Dengan memperhatikan hasil penelitian, kesimpulan data dan diskusi yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.

F. PROSEDUR ANALISA DATA

Data penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, cerita, dokumentasi tertulis dan tidak tertulis (gambar atau foto) ataupun bentuk-bentuk non angka lainnya. Penelitian kualitatif tidak memiliki rumusan atau aturan absolut untuk mengolah dan menganalisis data (Poerwandari, 2007).

Moleong dan Poerwandari (dalam Irmawati, 2002) menjelaskan prosedur analisis data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:

1. Mengelompokkan data menjadi bentuk teks.

2. Mengelompokkan data dalam kategori-kategori tertentu sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang ingin dijawab. Dalam hal ini pertama-tama dilakukan sorting data untuk memilih data yang relevan dengan pokok


(51)

permasalahan dan tahap kedua dilakukan coding atau pengelompokkan data dalam berbagai kategori.

3. Melakukan interpretasi awal terhadap setiap kategori data. Dari hasil interpretasi awal ini peneliti dapat kembali melakukan pengumpulan data dan melakukan kembali proses 1 sampai 3. Hal ini merupakan keunikan lain dari penelitian kualitatif, dimana selalu terjadi proses “bolak-balik” dari pengumpulan data dan proses interpretasi atau analisis.

4. Mengidentifikasikan tema utama atau kategori utama dari data yang terkumpul. Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran apa yang paling utama tampil dan dirasakan oleh subjek penelitian.


(52)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini menguraikan hasil wawancara peneliti dengan partisipan penelitian. Pada bab ini akan dikemukakan deskripsi gambaran umum partisipan, data observasi selama berlangsungnya wawancara, data wawancara, dan interpretasi hasil dari wawancara. Dengan demikian akan diperoleh dinamika psikologis partisipan untuk menjawab pertanyaan penelitian.

A. PARTISIPAN I

1. Identitas

Gambaran Umum Subjek I Tabel IV.A

Dimensi Deskripsi Subjek

Nama (bukan sebenarnya) Langit

Usia 46 tahun

Jenis Kelamin Laki-laki

Suku Bangsa Jawa

Agama Islam

Pendidikan Terakhir SMP

Pekerjaan Wiraswasta

Status Menikah

Urutan dalam Keluarga Anak ke dua dari tiga bersaudara (kandung)

Jumlah anak 5 (lima) orang Usia awal terjadi child abuse 7 (tujuh) tahun


(53)

neglected

Pelaku child abuse Ayah (tiri) dan ibu (kandung)

2. Gambaran Umum Langit

Empat puluh enam tahun lalu, Langit lahir dari keluarga sederhana dan taat beragama. Ayah kandung Langit dipandang warga kampung sebagai orang yang rajin beribadah dan giat bekerja. Mereka memiliki beberapa hektar sawah dan ladang yang digunakan sebagai mata pencaharian sehari-hari. Ibu Langit juga ikut membantu suaminya menggarap ladang . Langit memiliki dua orang saudara kandung laki-laki, seorang abang dan seorang adik.

Langit menikmati masa kecilnya dengan bermain bersama abang dan adiknya di rumah yang terletak jauh dari kota. Sesekali ia juga berjalan-jalan ke ladang. Ketika Langit berusia enam tahun, ayah pergi meninggalkan mereka untuk selamanya. Usai wafatnya ayah, ibu Langit terpaksa membanting tulang demi menghidupi ketiga anaknya. Kala itu, setiap hari ibu harus ke pasar untuk menjual hasil ladang mereka. Langit dan kedua saudaranya sering ditinggal ibu dari pagi hingga petang. Abang Langit ditugaskan untuk menjaga adik saat ibu tidak ada di rumah. Meski begitu, Langit dan saudaranya tidak merasa kekurangan. Sebelum ke pasar, ibu selalu membuatkan nasi samin untuk disantap ketiga putranya. Resep khas nasi samin ibu masih dikenang Langit sampai ia dewasa kini.

Setahun kemudian, ibu menikah lagi. Langit kurang suka dengan sosok ayah barunya. Perawakannya terkesan menyeramkan dan dikenal sebagai pengguna ilmu hitam oleh orang kampung. Namun Langit berpikir bahwa


(54)

kehadiran seorang ayah di dalam keluarganya mungkin saja dapat membantu ekonomi keluarga yang selama ini dipikul ibu seorang.

Pernikahan ibu dengan ayah tiri ternyata tidak seperti yang diharapkan Langit. Hari-hari yang ia lewati bersama ayah penuh dengan ancaman, suruhan, dan pukulan. Bukannya malah ikut meningkatkan kesejahteraan keluarga, ayah malah menghabiskan harta benda yang ditinggalkan almarhum ayah kandung Langit di meja judi dan mabuk-mabukan. Saat ibu bekerja di ladang dan berjualan di pasar, ayah hanya bermalasan di rumah. Kebahagiaan Langit dan kedua saudaranya pun terancam. Ayah selalu menghadiahi mereka dengan bentakan dan pukulan. Bahkan, adik Langit yang belum genap berusia dua tahun pun menjadi sasarannya. Sering ayah menyuruh si adik kecil untuk berjoget sambil menggendong bantal untuk membuatnya senang sambil menenggak minuman keras. Langit dan abangnya diperintahkan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang biasa dilakukan oleh orang dewasa, seperti mencuci piring dan menyapu halaman. Jika tidak dikerjakan, maka pukulan tak segan-segan mendarat ke tubuh mungil mereka. Mereka sering tidak dibolehkan makan jika pekerjaan tidak selesai.

Para tetangga di sekitar rumah tahu apa yang terjadi. Meski merasa iba, mereka tidak berani untuk menolong Langit dan kedua saudaranya. Sosok ayah tiri begitu menakutkan warga, jangankan untuk berbicara, menyapa saja rasanya takut. Tetangga-tetangga akhirnya melaporkan perbuatan ayah mereka ke nenek dan sanak saudara Langit. Mengetahui hal itu, nenek Langit yang merupakan ibu dari ayah kandungnya tidak setuju jika mereka harus diasuh lagi oleh ayah tiri.


(55)

Kejadian ini membuat Langit harus berpisah dengan kedua saudaranya. Abang Langit diambil asuh oleh nenek, sedangkan adik Langit diasuh oleh mak cik (tante), adik dari ayah kandung Langit. Langit sendiri diputuskan untuk tetap diasuh ibu dan ayah tirinya. Sejak itu, rumah bagi Langit dirasakan seperti neraka.

Langit kecil jarang tidur di rumah. Jam 12 malam, ia selalu dibangunkan paksa oleh ayah untuk berjualan ke pasar. Pasar yang berjarak sekitar lima kilometer ia tempuh dengan berjalan kaki. Sambil menjinjing hasil kebun seperti tebu dan sayur-mayur, Langit berusaha menembus gelap dan dinginnya malam untuk tiba di pasar. Langit merasa ia tidak mampu menjinjing tebu yang berat sambil menahan rasa kantuknya. Akan tetapi, jika ia teringat ayah akan marah jika ia tidak membawa uang hasil berjualan, ia langsung mempercepat langkahnya.

Di pasar, Langit merasa tiada berbeda dengan anak-anak gelandangan. Ia sering tidur di pasar sambil menunggu pembeli yang menanyakan barang dagangannya. Ayah sudah membuat target harga untuk setiap ikatnya. Langit diharuskan menjualnya sesuai dengan harga tersebut. Jika matahari mau terbit, Langit mulai merasa gelisah. Barang dagangannya harus habis. Maka seringkali ia menjualnya dengan harga di bawah ketentuan ayah pada orang-orang yang iba dengannya. Begitu terus setiap hari meskipun Langit sudah mulai masuk sekolah.

Langit tahu resiko yang akan selalu diterimanya pulang dari pasar dengan uang yang di bawah ketentuan, namun Langit ingin mengejar jam masuk sekolah. Maka itu, berapapun hasil dagangannya, ia langsung berlari pulang. Ayah marah besar setiap kali Langit pulang dengan uang yang sedikit jumlahnya. Tendangan di dada, pukulan, hantaman, sudah seringkali ia rasakan. Langit kemudian


(56)

diperintahkan untuk bekerja di ladang, memotong rumput, atau mencari belut untuk makan. Pekerjaan ini membuat Langit terpaksa tidak masuk sekolah. Meski ayah melarang Langit untuk bersekolah, ia tetap berkemauan keras untuk menempuh pendidikan.

Langit memiliki prestasi gemilang di sekolah. Ia selalu menjadi juara kelas. Ia pun dipercaya menjadi ketua kelas oleh gurunya. Di sekolah, ia juga bisa bertemu dengan teman-temannya. Langit merasa berbeda dengan anak-anak seusianya. Pakaian yang ia kenakan sangat lusuh dan bau, jauh dari rapi. Namun begitu, teman-temannya tidak pernah mengacuhkannya. Prestasi dan jabatan ketua kelas yang ia sandang membuat Langit disegani.

Langit selalu merasa cemas saat jam pulang sekolah hampir tiba. Ayah sudah berpesan agar cepat pulang untuk bekerja di ladang. Ia ingat harus tiba di rumah tepat waktu yakni pada tengah hari. Langit harus buru-buru sampai di rumah. Ajakan teman-temannya untuk bermain terpaksa ia abaikan. Jika telambat sedikit saja, maka cambuk ekor ikan pari siap menyambutnya. Langit harus menyelesaikan tugas yang diperintahkan oleh ayah, seperti memotong rumput di seluruh ladang. Langit tidak kuat untuk menyelesaikan pekerjaannya, maka lagi-lagi ia menerima hantaman. Perlakuan keras dari ayah yang dialami Langit menjadi makanan sehari-hari baginya. Ia bahkan pernah direndam di dalam sumur yang penuh racun pestisida. Langit tidak pernah mengadu pada siapapun. Pernah sekali waktu ia memberi tahu ibu, akibatnya malah ibu juga ikut menerima pukulan dan tendangan dari ayah.


(57)

Langit tidak memiliki teman bermain dan bercerita. Selain sekolah, Langit harus selalu mengikuti perintah ayah. Tubuh Langit yang penuh luka dan lebam tidak membuatnya istirahat dari siksaan ayah. Terkadang, timbul keinginan Langit untuk bermain bersama anak laki-laki sebayanya. Pernah ia mencuri waktu pulang sekolah untuk merealisasikan niatnya tersebut. Ayah ternyata melihatnya asyik bermain. Ia pun ditarik paksa pulang ke rumah dan mendapat tendangan bertubi-tubi. Tak pernah sehari pun ia lewati tanpa lecutan ekor pari dan tendangan.

Usia 15 tahun, akhirnya Langit memutuskan untuk lari dari rumah. Ia tidak mau terus-terusan mengalami perlakuan kasar ayah. Langit sempat hidup di terminal bersama para preman. Disana ia mulai bekerja mencari sesuap nasi untuk mengganjal perut. Tak lama kemudian, Langit diajak oleh seorang supir bus ke Pekanbaru untuk diberikan pekerjaan. Langit bekerja di sebuah toko dan diperlakukan seperti anak sendiri oleh pemilik toko. Ia pun diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di jenjang SMP.

Langit semakin hari menjadi mandiri dalam ekonomi. Pernah sewaktu-waktu ia pulang kampung untuk melihat kabar ibunya. Sering juga Langit membeli perlengkapan rumah untuk ibu karena tidak tega melihat kondisi rumah yang semakin memprihatinkan. Ladang mereka tinggal sepetak kecil, rumah pun tinggal seperempatnya saja. Semua dijual ayah untuk keperluan judi. Sayangnya, ketika Langit kembali ke kampung kedua kalinya, barang-barang pemberiannya ntuk ibu pun habis dijual lagi.

Kembali ke daerah asalnya, Langit meminang Nisa (bukan nama sebenarnya), adik dari temannya. Hubungan mereka sempat tidak direstui orang


(58)

tua Nisa karena melihat latar belakang keluarga Langit. Mereka pun memutuskan untuk kawin lari ke Rantau Prapat. Selang waktu kemudian, ibu Nisa merasa rindu dengan putrinya dan memohon mereka untuk kembali ke rumah. Mertua Langit ini mengutus orang suruhan untuk mencari mereka agar pulang ke rumah.

Meski Langit sudah diterima dalam keluarga Nisa, hubungan Langit tidak berjalan mulus dengan ayah Nisa. Kerenggangan antara ayah Nisa dan Langit kemudian berjalan baik. Berkat usaha pendekatan yang dilakukan Langit, ayah Nisa pun akhirnya menerima keberadaan Langit sebagai menantu. Langit yang gigih dalam bekerja juga dapat membantu perekonomian keluarga Nisa yang pada saat itu mengalami kemerosotan.

Saat ini, Langit dan Nisa tengah menjalankan beberapa usaha sambil membesarkan anak-anak mereka yang telah beranjak dewasa. Langit selalu berusaha bijaksana mengambil keputusan dalam bertindak terhadap anak-anaknya. Ia tidak ingin perlakuan yang pernah diterimanya dulu semasa kecil juga menimpa anak-anaknya. Meski begitu, Langit juga tak memanjakan mereka. Ia akan bersikap tegas, bila memang dirasa anak-anaknya melakukan kesalahan.

3. Hasil Observasi

Langit memiliki tinggi sekitar 170 cm dan berat 70 kilogram. Sewaktu wawancara, laki-laki berkulit gelap ini selalu menggunakan kemeja lengan pendek yang dipadu dengan celana panjang. Wawancara selalu berlangsung di rumah Langit. Rumah Langit yang terletak di tepi jalan raya merupakan tempat Langit dan keluarganya tinggal sekaligus menjadi tempat usaha ponsel keluarganya.


(59)

Peneliti dan Langit selalu melakukan wawancara di ruang tamu yang berukuran kira-kira 5 x 6 meter. Ruang tamu ini sebenarnya adalah area toko ponsel. Ada beberapa buah etalase yang berisi beberapa buah ponsel, kartu, dan pernak-pernik pelengkap ponsel. Letak rumah di pinggir jalan raya menimbulkan suara bising kendaraan yang lewat. Namun, hal ini tidak menimbulkan distorsi bagi Langit ketika menjawab pertanyaan dari peneliti.

Saat menjawab pertanyaan, Langit terlihat antusias. Suaranya besar dan jelas, apalagi saat menceritakan apa yang dialaminya ketika bersama ayah tiri. Perlakuan abuse yang dialami Langit, ia ceritakan sambil sesekali menelan ludah dan menaikkan alis. Sesekali matanya juga menerawang ke depan. Saat menjelaskan hal yang berhubungan dengan sosok ayah tiri, pupil mata Langit membesar. Ia terlihat lebih emosional. Langit merasa lebih rileks ketika bercerita saat ia bersekolah dan perilaku anak-anaknya.

Dalam wawancara dengan Langit, terkadang istri Langit, Nisa, ikut masuk dalam percakapan. Meski lebih banyak diam dan memperhatikan suaminya saat bicara, sekali waktu ia ikut menimpali apa yang ia ketahui. Langit bersifat kooperatif dengan peneliti. Ia fokus pada pertanyaan dan sering bertanya “apalagi?” yang dimaksudkan untuk menanyakan apa saja yang ingin peneliti ketahui selanjutnya.

Langit seringkali menegaskan bahwa kisah masa kecil yang ia alami adalah fakta. Langit sering mengajak peneliti untuk berkunjung ke tempat dimana ia dulu menghabiskan masa kanak-kanak hingga remaja. Dikarenakan jarak yang jauh dan masalah cuaca, Langit dan peneliti belum juga tiba di tempat yang


(60)

dimaksud. Langit juga berulang kali menegaskan bahwa tiada anak yang paling menderita seperti dirinya.

Langit orang yang cukup komunikatif. Pertanyaan peneliti dijawab dengan jawaban yang panjang dan detil. Langit menyatakan dirinya dengan kata ganti “saya”, “aku”, dan “awak”. Langit sering mengulang kata “apa” , “itu kan”, dan “ya kan”.

4. Hasil Wawancara

Usia enam tahun, Langit masih tengah menikmati masa kecilnya dengan bermain bersama kedua saudara laki-lakinya. Abang Langit berusia delapan tahun dan adik Langit berusia satu tahun. Ayah dan ibu Langit bermata pencaharian sebagai petani. Setiap harinya, mereka saling membantu menggarap sawah dan ladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun, tiba-tiba Ayah Langit sakit keras dan akhirnya wafat. Langit tidak begitu jelas mengingat seperti apa sosok ayah kandungnya. Orang-orang mengatakan bahwa ayahnya memiliki sifat terpuji, giat bekerja, dan taat beribadah. Langit dan kedua saudaranya pun tidak memiliki sosok pemimpin keluarga lagi. Peran dan pekerjaan ayah digantikan oleh ibu.

Dari pagi hingga sore hari, ibu bekerja di ladang dan berjualan ke pasar. Langit dan kedua saudaranya sering ditinggal ibu untuk bekerja. Mereka dituntut untuk dapat mengurus diri sendiri saat ibu sedang tidak di rumah. Abang Langit juga mengurus adik mereka yang masih kecil.


(61)

“ ... jadi begitu bangun, dimandiin adekku itu, kalo nenek kan sibuk juga. Orang nenek pun masih ada anak kecilnya waktu itu kan. Subuh mandi, kami sama-sama mandi itu kan...”

(P1W2/b.042-048/160909)

Sebelum berangkat untuk berjualan di pasar, ibu terlebih dahulu menyiapkan makanan untuk ketiga anaknya. Selesai mandi, abang Langit akan mengambilkan makanan yang sudah disiapkan ibu untuk kedua adiknya. Bersama kedua saudara laki-lakinya, mereka bermain di rumah sambil menunggu ibu pulang.

Rutinitas seperti ini tidak berlangsung lama. Setahun sejak ayah meninggalkan mereka untuk selamanya, ibu menikah lagi. Ayah tiri pun menjadi anggota keluarga baru di rumah. Langit berpikir, sosok ayah baru akan dapat melindungi keluarga. Langit memiliki harapan besar dengan hadirnya sosok ayah di dalam keluarga. Namun ternyata sebaliknya. Ayah tiri terus-terusan menyiksa Langit dan saudaranya.

“...Ituuu…ayah tiri saya itu orangnya gak ..gak apa..gak sayang kepada anak...”

(P1W1/b.017-019/130909)

“ ...ya kita pikir udah ada pelindung, udah ada bapak, udah ada apa, udah menjaga gitu. Jadi orang itu, adanya dia itu, ternyata kena siksaan. Kena siksa terus...”

(P1W2/b.163-167/160909)

Kehadiran ayah bagi Langit ternyata tidak meringankan beban ibu sebagai pencari nafkah keluarga. Sebaliknya, ayah merupakan seorang yang malas bekerja, suka berjudi, dan mabuk-mabukan. Penghasilan ibu dari berjualan dihabiskan ayah di meja judi dan menenggak minuman keras.

“... (ibu) udah jualan, sampek terakhir mamak saya tumpur (bangkrut). Kenapa tumpur (bangkrut), ya itu tadi. Dia gak kerja, berjudi aja. Minum.


(62)

Jadi mamak saya pagi jam 5 udah ke pajak (pasar). Dia di rumah, apa gak ada duit...”

(P1W2/b.106-111/160909)

“...mana ada dia cari makan. Kalo ada pun menjudi. Sampek-sampek rumahnya itu taruhannya judi..”

(P1W1/b.547-550/130909)

Saat ibu bekerja, Langit dan kedua saudaranya tinggal dengan ayah di rumah. Siksaan pun dimulai. Jam lima pagi, Langit dibangunkan untuk menyapu halaman rumah. Abang Langit diperintahkan untuk mencuci piring. Adik Langit yang masih kecil pun ikut menjadi sasaran. Ayah menyuruh adik untuk berjoget dan bernyanyi untuk membuatnya senang saat bermabuk-mabukan. Jika mereka tidak menurutinya, Ayah tak segan memukul ketiganya. Setelah perintahnya dikerjakan, baru mereka dapat menikmati makan pagi.

“...adek saya tu saya masih inget, adek saya tu dulu, makanya diambil apa, apa tu kan disiksa dulu. Sekecil itu digendongin bantal, disuruh joget-joget. Dia udah mabuk. Ha itulah, udah mabuk. Kalo ga mau kena pukul, semua kena pukul..”

(P1W2/b.111-118/160909)

“...nanti disuruh joget, baru dikasih makan pagi. Disuruh nyanyi. Adek awak ya tau dia tau. Adek kandung saya itu waktu baru-baru berumah tangga (ibu dan ayah tiri), kalo mau dikasi makan, disuruh joget. Kalo saya, disuruh nyapu halaman. Pagi jam 5 tu udah disuruh nyapu halaman. Gak boleh, jangan..jangan bangun jam 6. Saya masih 6 tahun 7 tahun lah. Nanti dah jaga adek, kalo abang saya nyuci piring..”

(P1W2/b.126-138/160909)

Para tetangga yang menyaksikan ketiga anak kecil ini mendapat perlakuan keras dari ayah tiri mereka kemudian melaporkan kejadian tersebut pada nenek (ibu dari ayah kandung Langit) dan sanak keluarga. Nenek yang mendengar hal itu kemudian memutuskan anak-anak tidak diasuh lagi oleh ayah tiri. Kejadian ini membuat Langit harus berpisah dengan kedua saudara kandungnya. Abang Langit


(1)

1. Selalu mendukung individu yang pernah mengalami child abuse untuk membuatnya merasa bernilai dan berharga di mata pasangan dan keluarganya.

2. Perlunya interaksi dan komunikasi yang baik untuk membangun hubungan positif dengan individu yang pernah mengalami child abuse.

d. Bagi Masyarakat

1. Perlunya dukungan masyarakat bagi individu yang mengalami abuse untuk memberikan rasa aman dan perlindungan sehingga kasus child

abuse tidak terselubung dalam domestik saja.

2. Perlunya interaksi yang baik dengan individu yang mengalami abuse dan tidak menganggap bahwa child abuse merupakan sesuatu hal yang harus dijauhi atau aib dalam suatu keluarga sehingga individu yang pernah mengalami abuse tidak merasa malu dan menarik diri dalam pergaulan dengan masyarakat sekitar.

2. Saran Metodologis

1. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik, peneliti selanjutnya sebaiknya tidak hanya menggunakan metode kualitatif untuk menggali data, namun perlu juga disandingkan dengan metode kuantitatif untuk mengukur attachment style pada individu yang mengalami child abuse. 2. Peneliti selanjutnya diharapkan agar tidak hanya mendapatkan data dari


(2)

3. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggali attachment pada subjek yang mengalami sexual abuse.

4. Perlunya uji keabsahan data untuk penelitian lanjutan dengan menggunakan alat bantu lain seperti heteroanamnesa, yaitu mengumpulkan informasi tambahan dari pihak-pihak lain yang terkait seperti keluarga, teman, serta dokumentasi pribadi seperti surat ataupun catatan harian subjek, agar data yang diperoleh lebih akurat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A.C. (2008). Pokoknya kualitatif: dasar-dasar merancang penelitian

kualitatif. Cetakan keempat. Jakarta: Pustaka Jaya

Anak jadi korban terbesar di Sumut. (2008). [On-Line]. htpp://www.kompas.com. Tanggal akses 25 Maret 2009

Cicchetti, D. & Linch, M. (1995). Failure in expectable environment and their

impact on individual development: the case of child maltreatment. USA:

John Willey and Sons Inc

Davidson, Gerald C. (2006). Psikologi abnormal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

DeGenova, Maty Kay. (2008). Intimate relationship, marriages, & families. 7th Edition. New York: Mc Graw-Hill.

Durkin, K. (1995). Developmental social psychology. Massachussets: Blackwell Publisher Inc

Ervika, Eka. (2005). Kelekatan (attachment) pada anak. [On-Line].


(4)

Fitri. (2008). Kekerasan terhadap anak. [On-Line]. Tanggal akses 29 April 2009

Haditono, S.R., dkk, (1994). Psikologi perkembangan pengantar dalam berbagai

bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Hetherington&Parke. (1999). Child psychology. New York: McGraw-Hill

Heyman, Richard. E & Slep, Amy.M.S. (2002). Do child abuse and intraparental marriage and violence lead to adulthood family violence?. Journal of

Marriage and Family. [On-line], 4, 864-870.

(http://www.proquest.com/pqdauto). Tanggal akses 5 Februari 2009.

Irmawati (2002). Motivasi berprestasi dan pola pengasuhan pada suku bangsa

batak toba dan suku bangsa melayu. [Tesis]. Jakarta: Fakultas Pasca

Sarjana UI.

Kekerasan terhadap anak (child abuse). (2007). [On-Line]. htpp://bluefame.com. Tanggal akses 1 April 2009

Kenaikan harga BBM picu kekerasan terhadap anak. (2008). [On-Line].

htpp://kompas.com. Tanggal akses 26 Maret 2009

LaFraniere. (2000). Emotional development. New York: Mc Graw Hill

Lemme, Barbara H. (1995). Development in adulthood. United States of America: Allyn & Bacon

Mc Cartney, K. & Dearing, E. (2002). Child development. USA: Millan Refference


(5)

Moleong, Lexy J. (1996). Metodologi penelitian kualitatif. Cetakan ketujuh. Bandung: PT. Remaja Rostakarya Offset

Papalia, Diane E. (2004). Human development. 9th Edition. New York: Mc Graw

Hill

Parker, J.G., Rubin, K.H., Price, J.M., DeRosier, E.M., (1995). Child development and adjustment : a developmental psychology perspective dalam Cicchetty,D & Cohen, D.J., Developmental psychopatology Volume 2.

Risk Disorder and Adaptation. Halaman 96-161. USA: John Willey and

Sons Inc

Penganiayaan anak tiri hingga tewas, telinga kiri hanya disentil tujuh kali. (2008). [On-line]. htpp://surya.co.id. Tanggal akses 1 April 2009

Padgett, D.K (1998). Qualitative methods in social work research: challenges. Stage Publication Inc

Pervin, L.A, Cervone D, & John, O.P. 2005. Personality theory and research. 9th edition. United States of America: John Wiley & Sons

Poerwandari, E. Kristi (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Cetakan II. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.

Rosenbaum, Alan & Leisring, Penny. (2003). Beyond power and control: towards an understanding of partner abusive men. Journal of Comparative Family

Studies. [On-Line], 1, 7-23. (http://www.proquest.com/pqdauto). Tanggal


(6)

Shaver, Philip R & Mikulincer, Mario. (2004). Attachment theory and research: resurrection of the psychodinamic approach to personality. Journal of

Research in Personality. [On-Line], 39, 22-45.

Stucke, John. (2008). Early trauma tied to adult problems. Business News. [On-Line]. 2009.

Sutcliffe, J., (2002). Baby bonding, membentuk ikatan batin dengan bayi. Jakarta: Taramedia & Restu Agung

Tom. (2005). Ibu siksa anak kandung sendiri yang berusia 4 tahun. [On-line].

htpp://indosiar.com/patroli. Tanggal akses 1 April 2009.