Dinamika pembentukan internalized homophobia pada orang yang mengalami gangguan identitas gender.

(1)

DINAMIKA PEMBENTUKAN INTERNALIZED HOMOPHOBIA PADA ORANG YANG MENGALAMI GANGGUAN IDENTITAS GENDER

Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma

Christiani Natalia Banik

ABSTRAK

Sebagian besar anak yang mengalami gangguan identitas gender tumbuh dewasa sebagai orang normal, tetapi tanpa bantuan professional, mereka tumbuh sebagai lesbian, gay dan biseksual. Kaum homoseksual merupakan kelompok minoritas. Kasus diskriminasi dan penolakan kepada kaum homoseksual, khususnya kaum lesbian mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Salah satu bentuk penolakan atau diskriminasi kepada kaum lesbian yaitu prasangka, stigma, maupun anggapan negatif. Penerimaan asumsi negatif mengenai lesbian, kemudian diinternalisasikan ke dalam kognitif, afektif dan tingkah laku. Fenomena ini disebut internalized homophobia. Internalized homophobia memberikan banyak dampak negatif bagi kaum lesbian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika pembentukan internalized homophobia dan dampaknya pada orang dengan gangguan identitas gender. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan metode penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan pada dua orang dengan gangguan identitas gender di Kupang. Hasil penelitian menemukan bahwa kedua informan dengan gangguan identitas gender, menginternalisasikan beberapa stigma dan anggapan negatif mengenai lesbian ke dalam kognitif, afektif dan tingkah laku, sehingga berdampak negatif terhadap kedua informan. Internalized homophobia menyebabkan kedua informan sangat tertutup, malu dan kurang percayadiri. Kedua informan juga stress dan terhambat untuk membentuk identitas diri yang positif.


(2)

THE DYNAMICS FORMATION OF INTERNALIZED HOMOPHOBIA ON PEOPLE WHO EXPERIENCED GENDER IDENTITY DISORDER

Study in Faculty of Psychology, Sanata Dharma University

Christiani Natalia Banik

ABSTRACT

Most of the children who experience gender identity disorder grow up as a normal person, but without the help of a professional, they grow as lesbian, gay and bisexual. Homosexuals is a minority group. Cases of discrimination and rejection to homosexuals, especially lesbian has increased from year to year. One form of rejection or discrimination given to lesbian are prejudice, stigma or negative assumptions. Acceptance of negative assumptions about lesbians, then internalized into the cognitive, affective and behavior. This phenomenon is called internalized homophobia. Internalized homophobia is giving a lot of negative impacts for the lesbian. This research aims to know the dynamics of formation of internalized homophobia and its effects on people with gender identity disorder. This research is a case study with qualitative research methods. Method of data collection is using a semi-structured interview. The interview was conducted on two people with gender identity disorders in Kupang. The results of the study are as follow that the two informants with gender identity disorder, internalize some of the stigma and negative assumptions about lesbians into cognitive, affective and behavior, thus negatively impact both the informant. Internalized homophobia causes the two informant is very introverted, embarrassment, fear and lack of confidence. Both informant also stress and hampered in building a positive self identity.


(3)

DINAMIKA PEMBENTUKAN INTERNALIZED HOMOPHOBIA PADA ORANG YANG MENGALAMI GANGGUAN IDENTITAS GENDER

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Christiani Natalia Banik NIM: 119114165

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2016


(4)

(5)

(6)

iv

Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang

menaruh harapannya pada Tuhan

¬Yeremia 17:17¬

DREAM, BELIEVE AND MAKE IT HAPPEN

-AgnezMo-


(7)

v

Kupersembahkan untuk sumber pemberi nafas

kehidupan, hikmat, kemampuan dan kebijaksanaan,

Tuhan Yesus.

& Mereka yang mendukung, memotivasi,

mendoakanku.


(8)

(9)

vii

DINAMIKA PEMBENTUKAN INTERNALIZED HOMOPHOBIA PADA ORANG YANG MENGALAMI GANGGUAN IDENTITAS GENDER

Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma

Christiani Natalia Banik

ABSTRAK

Sebagian besar anak yang mengalami gangguan identitas gender tumbuh dewasa sebagai orang normal, tetapi tanpa bantuan professional, mereka tumbuh sebagai lesbian, gay dan biseksual. Kaum homoseksual merupakan kelompok minoritas. Kasus diskriminasi dan penolakan kepada kaum homoseksual, khususnya kaum lesbian mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Salah satu bentuk penolakan atau diskriminasi kepada kaum lesbian yaitu prasangka, stigma, maupun anggapan negatif. Penerimaan asumsi negatif mengenai lesbian, kemudian diinternalisasikan ke dalam kognitif, afektif dan tingkah laku. Fenomena ini disebut internalized homophobia. Internalized homophobia memberikan banyak dampak negatif bagi kaum lesbian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika pembentukan internalized homophobia dan dampaknya pada orang dengan gangguan identitas gender. Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan metode penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara semiterstruktur. Wawancara dilakukan pada dua orang dengan ganggguan identitas gender di Kupang. Hasil penelitian menemukan bahwa kedua informan dengan gangguan identitas gender, menginternalisasikan beberapa stigma dan anggapan negatif mengenai lesbian ke dalam kognitif, afektif dan tingkah laku, sehingga berdampak negatif terhadap kedua informan. Internalized homophobia menyebabkan kedua informan sangat tertutup, malu dan kurang percaya diri. Kedua informan juga stress dan terhambat untuk membentuk identitas diri yang positif.


(10)

viii

THE DYNAMICS FORMATION OF INTERNALIZED HOMOPHOBIA ON PEOPLE WHO EXPERIENCED GENDER IDENTITY DISORDER

Study in Faculty of Psychology, Sanata Dharma University

Christiani Natalia Banik

ABSTRACT

Most of the children who experience gender identity disorder grow up as a normal person, but without the help of a professional, they grow as lesbian, gay and bisexual. Homosexuals is a minority group. Cases of discrimination and rejection to homosexuals, especially lesbian has increased from year to year. One form of rejection or discrimination given to lesbian are prejudice, stigma or negative assumptions. Acceptance of negative assumptions about lesbians, then internalized into the cognitive, affective and behavior. This phenomenon is called internalized homophobia. Internalized homophobia is giving a lot of negative impacts for the lesbian.This research aims to know the dynamics of formation of internalized homophobia and its effects on people with gender identity disorder. This research is a case study with qualitative research methods. Method of data collection is using a semi-structured interview. The interview was conducted on two people with gender identity disorders in Kupang. The results of the study are as follow that the two informants with gender identity disorder, internalize some of the stigma and negative assumptions about lesbians into cognitive, affective and behavior, thus negatively impact both the informant. Internalized homophobia causes the two informant is very introverted, embarrassment, fear and lack of confidence. Both informant also stress and hampered in building a positive self identity.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Yang Maha Baik,

karena atas rahmat, hikmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul Dinamika Pembentukan Internalized Homophobia pada Orang yang mengalami Gangguan Identitas Gender”

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat

memperoleh gelar sarjana psikologi program studi S1 jurusan Psikologi

Universitas Sanata Dharma. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini karena peran penting dari

beberapa pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan

hati serta rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik secara langsung

maupun tidak langsung. Pada proses penulisan tugas akhir ini, penulis ucapkan

banyak terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus, Bapaku yang baik, Juruselamatku yang telah memberikan

kemampuan, hikmat serta kebijaksanaan sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak Tuhan Yesusku.

2. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi selaku pembimbing yang

memberikan saran dan solusi dalam pengerjaan skripsi ini hingga selesai.


(13)

xi

3. Ibu Dr. Tjipto Susana, M,Si selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih

telah membantu penulis dengan memberikan saran dan solusi selama

pengerjaan dan revisi tugas akhir. Tuhan selalu menyertai Ibu.

4. Dr. A. Priyono Marwan, S.J selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih

Romo untuk bimbingan dan bantuannya selama revisi skripsi. Terima

kasih juga karena telah mengajarkan penulis untuk menyusun kata, kalimat

dan alur berpikir yang lebih baik.

5. Alberthina M. Kolloh dan Hanselmus B. Terima kasih mama dan bapa

karena tidak pernah menuntut dan menekan penulis dalam menyelesaikan

skripsi. Terimakasih atas jerih payah, keringat dan kerja keras untuk

membiayai kuliah maupun memenuhi semua kebutuhan penulis.

Terimakasih selalu mendukung, memotivasi dan mendoakan penulis.

Kiranya Tuhan selalu memberikan kesehatan dan umur yang panjang

untuk bapa dan mama.

6. Kak Waty beserta keluarga, Kak Dessy beserta keluarga, Kak Debbye dan

Kak Ay, Kak Rini beserta keluarga, Qbenk, Yosua, dan Yohan yang telah

memberikan dukungan dan doa kepada penulis dalam segala hal serta

memberikan motivasi.

7. Teman hidupku, Steven Onesimus Ratu dabbo. Terima kasih untuk cinta,

doa, dukungan dan motivasinya. Terima kasih selalu ada untuk penulis.

8. Inspirator dan motivator AgnezMo, yang membuat penulis selalu

semangat ketika melihat foto atau videonya. Mungkin agak lucu, tapi


(14)

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iii

HALAMAN MOTTO ……… iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ………. v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… vi

ABSTRAK ………. vii

ABSTRACT ……….. viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………... ix

KATA PENGANTAR ………... x

DAFTAR ISI ………. xiii

DAFTAR GAMBAR ………. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………. xvii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2Rumusan Masalah ………. 6

1.3Tujuan Penelitian ……….. 6

1.4Manfaat Penelitian ………. 6

1.4.1 Manfaat Teoritis ……… 6

1.4.2 Manfaat Praktis ……….. 7


(16)

xiv

2.1 Gangguan Identitas Gender ………... 8

2.1.1 Definisi Gangguan Identitas Gender……….. 8

2.1.2 Karakteristik Gangguan Identitas Gender …….………. 8

2.1.3 Penyebab Gangguan Identitas Gender ………..………. 10

2.1.4 Terapi Gangguan Identitas Gender…...……… 12

2.2 Homophobia ……….. 12

2.2.1 Homophobia ……….. 12

2.2.2 Dampak Homophobia pada kaum homoseksual….………… 14

2.2.3 Isi Pikiran Masyarakat Homophobia ………….……… 15

2.3 Internalized Homophobia ………. 16

2.3.1 Definisi Internalized Homophobia ………. 16

2.3.2 Ciri-ciri Internalized Homophobia ………. 17

2.3.3 Dampak Internalized Homophobia ……… 17

2.4 Kerangka Berpikir ………. 20

BAB III METODE PENELITIAN ………. 23

3.1 Jenis Penelitian ……….. 23

3.2 Informan Penelitian ……… 24

3.3 Fokus Penelitian ………. 24

3.4 Metode Pengumpulan Data ……… 25

3.6 Metode Analisis Data ……….. 28

3.7 Kredibilitas Penelitian ……… 29

BAB IV HASIL DAN ANALISIS ……… 30


(17)

xv

4.2 Profil Informan ……….. 32

4.2.1 Informan Pertama ……….. 32

4.2.2 Informan Kedua ………. 49

4.3 Hasil Penelitian ………... 36

4.3.1 Informan Pertama ……….. 36

4.3.2 Informan Kedua ………. 49

4.4 Pembahasan ………. 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 66

5.1 Kesimpulan ………. 66

5.2 Kelemahan Penelitian ………. 67

5.3 Saran ……… 67

DAFTAR PUSTAKA ………. 69


(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Informan Pertama ………. 48


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Inform Consent ………... 73

Lampiran 2. Member Checking ……….. 76

Lampiran 3. Tabel Kategorisasi dan Sub-Kategori Tema ……….. 79


(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Identitas gender adalah keyakinan diri sebagai laki-laki atau

perempuan, yang tertanam sejak awal masa kanak-kanak (Davison, Neale &

Kring, 2006). Pada kondisi normal, identitas gender sesuai dengan anatomi

gender. Identitas gender dan anatomi gender merupakan ciri utama dari

perkembangan identitas masa remaja. Hal ini disebabkan tugas perkembangan

pada masa remaja adalah mencari/menemukan identitas yang cocok dengan

diri dan anatomi gendernya. Ketidak-sesuaian antara identitas gender dan

anatomi gender menyebabkan gangguan identitas gender. Gangguan identitas

gender terjadi pada anak-anak, remaja, maupun dewasa (Davison, dkk.,

2006).

Gangguan identitas gender berkaitan dengan banyaknya perilaku lintas

gender, misalnya berpakaian seperti lawan jenis, menyukai permainan lawan

jenis, dan lebih suka bermain dengan teman-teman lawan jenis (Davison,

dkk., 2006). Gangguan identitas gender menyebabkan depresi, kecemasan,

dan stress (Vries, Cohen & Delemarre, dalam Ilesanmi 2015), serta orang

yang mengalami gangguan ini mendapatkan diskriminasi dari orang-orang

homophobia/biphobia/transphobia (Tugnet, Goddard, Vickery, Khoosal &


(21)

Sebagian besar anak yang mengalami gangguan identitas gender

tumbuh dewasa secara fisik sebagai orang normal, tetapi tanpa bantuan

professional (Zucker, dalam Davison, dkk., 2006) mereka tumbuh sebagai

lesbian, gay, biseksual dan transgender (Coates & Person; Green dalam

Davison, dkk., 2006).

Seorang perempuan yang mengalami gangguan identitas gender dan

tertarik secara seksual pada sesama jenis menganggap ketertarikan tersebut

pada dasarnya adalah heteroseksual, serta menginginkan perempuan tersebut

tertarik kepadanya sebagai laki-laki (Carroll, dalam Davison, dkk., 2006).

Survei dari APA (American Psychiatric Association, 1994 dalam Davison,

dkk., 2006) menemukan bahwa gangguan identitas gender tidak terlalu

banyak, satu dari 30.000 laki-laki dan satu dari 100.000 hingga 150.000

perempuan. Kaum homoseksual merupakan kaum minoritas (Blackwell,

Ricks & Dziegielewski, 2004).

Kebanyakan orang masih memberikan penolakan dan diskriminasi

kepada mereka. Penolakan dan diskriminasi membuat kaum homoseksual

tertutup dan memilih untuk menjauhi masyarakat. Kebanyakan orang masih

menganggap bahwa kaum ini tidak normal, tabu dan menjijikkan (Blackwell

et al, 2004).

Budaya patrearkhi seperti Indonesia mempunyai pandangan negatif,

stigma dan prasangka masyarakat pada kaum homoseksual termasuk lesbian.

Fenomena inilah yang disebut dengan homophobia (Herek, et al., dalam


(22)

Heterosexism adalah masyarakat yang menganut sikap dan perilaku menolak,

mencemarkan, dan melabel segala bentuk perilaku non-heteroseksual baik

identitas, hubungan atau komunitas (Meyer, et al., dalam Frost & Meyer,

2009).

Pada umumnya, masyarakat menganut nilai-nilai heteronormativity.

Heteronormativity adalah norma dan keyakinan yang mewajibkan bahwa

hubungan seksual dan gaya hidup manusia yang saling melengkapi yaitu pria

dan wanita, serta seorang pria harus maskulin dan seorang wanita harus

feminin (Herek, et al., dalam Mariani, 2013).

Homophobia berdampak negatif bagi kaum homoseksual termasuk

lesbian, seperti adanya kecemasan, depresi, ketidaksejahteraan, masalah

dalam keintiman, dan rendahnya harga diri (Frost & Meyer; Herek, Gills, &

Cogan; Herek & Glunt; Meyer; Meyer & Dean; Rowen & Malcolm;

Williamson; dalam Barnes & Meyer, 2012). Homophobia juga menyebabkan

kaum lesbian enggan, takut dan tidak nyaman (Herek et al., dalam Mariani,

2013), serta adanya dilema sosial, yaitu menerima konflik antara kepentingan

diri sendiri dan kesejahteraan kolektif (Brewer, dalam Rondahl, 2005).

Persepsi dan stigma terkait homoseksual serta penerimaan stereotip

sosial homoseksualitas oleh masyarakat, menyebabkan homophobia semakin

bertumbuh di dalam pikiran seorang homoseksual (Herek, et al., dalam

Mariani, 2013). Fenomena ini disebut sebagai internalized homophobia

(Homofobia yang diinternaliasikan). Internalized homophobia adalah


(23)

diinternalisasikan ke dalam kognitif, afektif dan tingkah laku. Penelitian

Gilmore (2011) mengatakan bahwa internalized homophobia menghambat

identitas diri yang positif.

Penelitian (Allen & Oleson; Herek, Cogan, Gillis, & Glunt; Meyer &

Dean; Rowen & Malcolm, dalam Frost & Meyer, 2009) menunjukkan bahwa

internalized homophobia memiliki dampak negatif pada konsep diri secara

umum pada lesbian, gay dan biseksual, seperti kesehatan mental dan

kesejahteraan. Riset terbaru mengenai internalized homophobia dan

kesehatan mental menunjukkan adanya stres bagi kaum homoseksual

termasuk lesbian (DiPlacido, dalam Meyer 2003a). Oleh sebab itu, perlunya

adanya coming out. Coming out merupakan rangkaian kompleks yang dimulai

dari pengakuan individual, pengenalan dan label terhadap orientasi seksual

mereka diikuti keterbukaan kepada orang lain di luar diri mereka. Proses

coming out menjadi proses yang paling penting dalam kehidupan lesbian

(Garnets, dalam Meyer 2003a). Lesbian memulai proses coming out dari

teman-teman terdekat, teman-teman komunitas lesbian dan keluarga, serta

orang lain yang berhubungan dengan dirinya (Garnets, dalam Meyer 2003a).

Penelitian sebelumnya (Mariana, 2013) menunjukkan bahwa faktor

yang mempengaruhi internalized homophobia adalah komitmen dalam

beragama dan dukungan sosial. Agama merupakan sistem nilai yang dominan

dalam menentukan tindakan keseharian seseorang. Salah satu aspek

religiusitas adalah komitmen beragama. Komitmen beragama pada kaum


(24)

(Harris, dalam Mariani, 2013). Orang-orang yang memiliki komitmen

beragama yang tinggi cenderung mengevaluasi dunia mereka berdasarkan

nilai-nilai agama (Worthington, et al., dalam Mariani, 2013).

Kepercayaan-kepercayaan terhadap ajaran agama mempengaruhi kehidupan seseorang

dalam berpikir, berperasaan dan bertindak.

Beberapa lembaga agama dan kelompok homophobia menggambarkan

homoseksualitas sebagai hubungan tidak bermoral dan memiliki stereotip

negatif (Ryan, dalam Mariani, 2013). Dukungan sosial sangat mempengaruhi

tingkat internalized homophobia karena dukungan sosial mempengaruhi

harga diri seseorang. Dukungan sosial yang sangat mempengaruhi harga diri

bersumber dari orangtua dan teman dekat karena merekalah yang lebih

banyak berperan terhadap lingkungan individu (Ryan, dalam Mariani, 2013).

Hasil dari penelitian tersebut memaparkan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara internalized homophobia dengan komitmen beragama dan

dukungan sosial. Hal ini dikarenakan tidak adanya pengalaman traumatik dan

adanya kesalahan pada instrumen penelitian yang digunakan peneliti

sebelumnya.

Melihat permasalahan dan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk

meneliti tentang internalized homophobia pada orang yang mengalami

gangguan identitas gender di Kupang. Peneliti berasumsi bahwa masih sangat

jarang penelitian mengenai internalized homophobia dan gangguan identitas

gender di Indonesia. Kebanyakan penelitian mengenai internalized


(25)

berfokus mengenai orang dengan gangguan identitias gender yang

menunjukkan dirinya sebagai lesbian.

Internalized homophobia juga memberikan banyak dampak negatif bagi

fisik, psikologis, konsep diri dan pembentukan identitas diri. Oleh sebab itu,

peneliti merasa perlu melakukan penelitian ini agar dapat menambah

informasi kepada para pembaca. Penelitian ini berfokus untuk mengetahui

dinamika pembentukan internalized homophobia dan dampaknya pada orang

yang mengalami gangguan identitas gender.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dinamika

pembentukan internalized homophobia dan dampaknya pada orang yang

mengalami gangguan identitas gender?

1.3 Tujuan Penelitian

Peneliti ingin mengetahui dinamika pembentukan internalized homophobia

dan dampaknya pada orang yang mengalami gangguan identitas gender.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kepada ilmu

psikologi dengan memberikan gambaran mengenai dinamika


(26)

gangguan identitas gender. Penelitian ini juga memberikan gambaran

bahwa internalized homophobia berdampak negatif bagi orang dengan

gangguan identitas gender yang menunjukkan orientasi homoseksual

khususnya lesbian.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai terbentuknya internalized homophobia dan

dampaknya pada orang yang mengalami gangguan identitas gender.

Penelitian ini juga diharapkan membantu lembaga atau yayasan yang

membimbing dan mengayomi orang yang mengalami gangguan

identitas gender untuk membuat strategi yang efektif dalam


(27)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gender Dysphoria (Gangguan Identitas Gender)

2.1.1 Definisi Gender Dysphoria (Gangguan Identitas Gender)

Gangguan identitas gender adalah ketidaksesuaian antara identitas

gender dan anatomi gender. Contohnya, lesbian, gay, biseksual dan

transgender (Davison, Neale & Kring, 2006).

2.1.2 Karakteristik Gender Dysphoria (Gangguan Identitas Gender)

DSM IV-TR (dalam Davison dkk., 2006) memaparkan dua

karakteristik Gender Dysphoria (Gangguan Identitas Gender), yaitu

karakteristik umum dan khusus.

1. Karakteristik umum

a. Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis.

b. Rasa tidak nyaman terus menerus dengan jenis kelamin

biologisnya.

c. Stress dalam menjalankan pekerjaan dan fungsi sosial

2. Karakteristik khusus

A.Pada anak-anak gangguan identitas gender mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut:

a. Keinginan untuk menjadi atau memaksakan diri sebagai


(28)

b. Suka memakai pakaian lawan jenis.

c. Suka berperan sebagai lawan jenis.

d. Suka melakukan permainan lawan jenis.

e. Suka bermain dengan teman-teman lawan jenis.

f. Pada anak laki-laki, merasa jijik dengan penisnya.

g. Pada anak perempuan, menolak untuk buang air kecil dengan

cara duduk, tidak suka payudara yang membesar dan

menstruasi.

B.Pada remaja dan orang dewasa gangguan identitas gender

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Keinginan untuk menjadi lawan jenis.

b. Berpindah ke kelompok lawan jenis.

c. Keyakinan bahwa emosinya sama seperti lawan jenis.

d. Ingin diperlakukan sebagai lawan jenis.

e. Keinginan kuat menghilangkan karaktersitik jenis kelamin

melalui pemberian hormon atau operasi.

f. Keyakinan bahwa ia dilahirkan dengan jenis kelamin yang


(29)

2.1.3 Penyebab Gender Dysphoria (Gangguan Identitas Gender)

Dua faktor penyebab Gangguan Identitas Gender (Davison, dkk.,

2006) sebagai berikut:

a. Faktor biologis

Secara spesifik, bukti menunjukkan bahwa identitas gender

dipengaruhi oleh hormon. Studi terhadap para anggota sebuah

keluarga batih di Republika Dominika (Imperator McGinley dkk.,

1947, dalam Davison, dkk., 2006) menemukan bahwa anggota

keluarga tersebut tidak mampu memproduksi suatu hormon untuk

membentuk penis dan skrotum pada masa pertumbuhan janin

laki-laki. Dua pertiganya dibesarkan sebagai perempuan, namun ketika

mereka memasuki pubertas dan kadar testosteronnya meningkat,

organ kelamin mereka mulai berubah. Sebanyak 17 dari 18 peserta

memiliki identitas gender laki-laki.

Penelitian lain menunjukkan bahwa ibu yang mengonsumsi

hormon seks selama hamil menyebabkan anaknya berperilaku

seperti lawan jenis dan mengalami abnormalitas anatomis.

Contohnya, anak-anak perempuan yang ibunya mengonsumsi

progestin sintesis, yang merupakan cikal bakal hormon seks

laki-laki untuk mencegah pendarahan rahim selama hamil, memiliki

perilaku tomboy (kelaki-lakian) (Ehrhardt & Money, 1967, dalam


(30)

b. Faktor-faktor Sosial dan Psikologis

Peneliti melakukan wawancara dengan orangtua yang

anak-anaknya menunjukkan tanda-tanda Gender Dysphoria (Gangguan

Identitas Gender), berulang kali mengungkapkan bahwa orangtua

tidak mencegah perilaku anaknya. Banyak kasus menunjukkan

orangtua mendorong perilaku anak untuk memakai pakaian lawan

jenis, terutama bagi anak-anak yang feminin. Kebanyakan ibu, bibi

dan nenek menganggap lucu bila anak laki-laki memakai pakaian

dan sepatu hak tinggi milik ibunya, serta sangat sering mereka

mengajari cara memakai rias wajah.

Anggota keluarga yang memberikan reaksi tersebut terhadap

anak berkontribusi besar dalam konflik antara jenis kelamin

anatomisnya dan identitas gender yang dikembangkannya (Green;

Zuckerman & Green, dalam Davison, dkk., 2006). Selain itu, para

pasien laki-laki yang mengalami Gender Dysphoria (Gangguan

Identitas Gender) menuturkan bahwa mereka tidak memiliki

hubungan dekat dengan ayahnya. Sedangkan para perempuan

menuturkan riwayat penyiksaan fisik atau seksual (Bradley &


(31)

2.1.4 Terapi Gender Dysphoria (Gangguan Identitas Gender)

Tiga intervensi untuk membantu orang-orang yang mengalami

Gender Dysphoria (Gangguan Identitas Gender). Intervensi tersebut

terdiri dari dua tipe utama. Salah satu tipe berupaya untuk mengubah

tubuh agar sesuai dengan psikologi orang yang bersangkutan; tipe yang

lain dirancang untuk mengubah psikologi agar sesuai dengan tubuh

orang yang bersangkutan (Davison, dkk., 2006).

a. Perubahan tubuh

b. Operasi perubahan kelamin

c. Perubahan identitas gender

2.2 Homophobia 2.2.1 Homophobia

Homophobia adalah ketakutan untuk berinteraksi dan

berhubungan dengan homoseksual karena kaum homoseksual dianggap

berpengaruh buruk (Polimeni, Hardie & Buzwell, dalam Rahardjo,

2007). Selain itu, sebagai Negara beragama, Indonesia menyandarkan

nilai dan norma pada agama. Terkait hal ini, sebagian besar agama di

Indonesia melarang dan mengharamkan keberadaan kaum homoseksual

(Mulyani, dalam Anggreni 2014). Agama menganggap homoseksual sebagai penyimpangan, pendosa, terlaknat, bahkan penyakit sosial


(32)

Kaum homoseksual, khususnya kaum lesbian banyak ditemukan

di Indonesia (Mariani, 2013). Kaum homoseksual mengalami

penolakan dan penerimaan. Namun, berdasarkan realitas, kaum lesbian

sering mendapatkan penolakan. Kebanyakan orang juga kurang

mengetahui mengenai homoseksual, serta banyaknya stigma negatif

yang menyebabkan keberadaan kaum homoseksual semakin sulit.

Pasangan homoseksual tidak nyaman pada hampir semua situasi sosial

sehingga mereka tetap menjaga kerahasiaan eksistensi mereka

(Kornblum, dalam Rahardjo 2007).

Phar (dalam Rahardjo, 2007) menyebutkan bahwa homophobia

terjadi pada masyarakat heterosexism. Heterosexism adalah masyarakat

yang menganut sikap dan perilaku menolak, mencemarkan, dan melabel

segala bentuk perilaku non-heteroseksual baik identitas, hubungan,

ataupun komunitas (Meyer, et al., dalam Frost & Meyer, 2009).

Masyarakat heterosexism mengidealkan heteroseksual sebagai model

yang normal. Nilai-nilai ini disebut sebagai heteronormativity.

Heteronormativity adalah norma dan keyakinan yang mewajibkan

bahwa hubungan seksual dan gaya hidup manusia yang saling

melengkapi yaitu pria dan wanita, serta seorang pria harus maskulin dan

seorang wanita harus feminin (Herek, et al., dalam Chair, Beckstead,


(33)

2.2.2 Dampak Homophobia pada kaum homoseksual

Penelitian menemukan bahwa kekerasan dan diskriminasi yang

dilakukan oleh kelompok anti homoseksual membuat para lesbian dan

gay mengalami stress dan mempengaruhi populasi gay dan lesbian

(Garnets et al, Herek & Berrill, Herek et al; Kertzner, dalam Meyer

2003a). Kelompok anti gay ada sepanjang sejarah, dan mereka sering

memberikan prasangka dan kekerasan. Beberapa homoseksual juga

mendapatkan hukuman yang tidak manusiawi, seperti penjara,

pengebirian, penyiksaan dan kematian (Adam, dalam Meyer 2003a).

Penelitian menemukan bahwa homophobia menyebabkan kaum

homoseksual menolak identitas mereka sendiri, harga diri rendah,

kebencian pada diri sendiri, ketakutan dan menimbulkan

ketidaknyamanan sebagai homoseksual (Herek, Cogan, Gillis & Glunt,

1997). Eves (2002) melakukan wawancara terhadap lesbian yang

memiliki permasalahan terkait orientasi seksualnya. Ketika seorang

lesbian menampilkan identitasnya, terutama bagi lesbian yang

berpenampilan maskulin, membuat mereka sulit mendapatkan


(34)

2.2.2.Isi Pikiran Masyarakat Homophobia

Peneliti menemukan beberapa isi pikiran masyarakat homophobia,

sebagai berikut:

a. Menurut Blackwell (2004) kebanyakan orang menganggap bahwa

kaum homoseksual tidak normal, tabu dan menjijikkan.

b. Kebanyakan orang menganggap lesbian amoral, asusila, pembawa

aib dan penyakit masyarakat (Aryanto & Triawan, 2008).

c. Dalam konteks agama beranggapan lesbian sebagai kaum pendosa

(Mulia, dalam Anggreni 2014).

d. Kebanyakan orang menganggap lesbian sebagai kejahatan yang

sangat keji dan pengkhianatan karena merugikan umat manusia

dengan melakukan hubungan seksual yang tidak menghasilkan

keturunan (Aryanto & Triawan, 2008).

e. Kebanyakan orang menganggap lesbian cacat mental (Aryanto &

Triawan, 2008).

f. Kebanyakan orang menganggap homoseksual biang atau penyebab

penyakit HIV/AIDS, atau orang-orang yang menularkan virus yang

mematikan (Aryanto dan Triawan, 2008).

g. Menurut syariat islam, homoseksual itu haram (Mulyani, dalam

Anggreni 2014).

h. Kebanyakan orang menganggap homoseksual sebagai

penyimpangan sosial karena fenomena tersebut tidak sesuai dengan


(35)

i. Kebanyakan orang menganggap tidak normal (Oetomo, 2001).

j. Menurut teori esensialisme, homoseksual merupakan abnormalitas

perkembangan dan merupakan penyakit (Oetomo, 2001).

2.3 Internalized Homophobia

2.3.1 Definisi Internalized Homophobia

Persepsi dan stigma terkait homoseksual, serta penerimaan

stereotip sosial homoseksualitas oleh masyarakat, menyebabkan

homophobia semakin bertumbuh di dalam pikiran seorang homoseksual

itu sendiri (Herek, et al., dalam Mariana 2013). Fenomena ini disebut

sebagai internalized homophobia. Internalized homophobia adalah

penerimaan asumsi negatif tentang homoseksual yang kemudian

diinternalisasikan ke dalam kognitif, afektif dan tingkah laku (Herek, et

al., dalam Mariana 2013). Semua individu dalam masyarakat yang

tumbuh dalam budaya yang sama, mengadopsi norma-norma sosial,

nilai dan keyakinan secara sama, lesbian dan pria gay juga mempelajari

stereotip tentang homoseksualitas (Innahala; Richmond & McKenna;


(36)

2.3.2 Ciri-ciri Internalized Homophobia

Plummer (dalam Rondahl 2005) mengemukakan beberapa ciri-ciri dari

internalized homophobia, sebagai berikut:

a. Kaum homoseksual termasuk lesbian tertutup, merahasiakan,

menyembunyikan orientasi seksualnya, merasa dirinya salah dan

berbeda

b. Bermasalah untuk coming out. Kaum homoseksual termasuk

lesbian takut dan enggan untuk coming out karena judgement dan

pengalaman yang menyakitkan saat melakukan coming out.

c. Kaum homoseksual terlihat depresi, cemas, bermasalah mengenai

harga diri, melukai diri sendiri, bunuh diri, penyalahgunaan

obat-obatan, dan gangguan makan. Beberapa contohnya, seperti sulit

tidur, tekanan darah tinggi, perilaku seksual beresiko, dan lain-lain.

2.3.3 Dampak Internalized Homophobia

Penelitian menunjukkan bahwa internalized homophobia

memiliki dampak negatif pada konsep diri secara umum terhadap

lesbian, gay dan biseksual, seperti kesehatan mental dan

kesejahteraan (Allen & Oleson; Herek, dkk., Meyer & Dean; Rowen

& Malcolm, dalam Frost dan Meyer, 2009). Teori stres

mengemukakan bahwa stres adalah faktor-faktor atau kondisi yang


(37)

(Dohrenwend; Lazarus & Folkman; Pearlin, dalam Frost dan Meyer,

2009).

Meyer (dalam Frost dan Meyer, 2009) menambahkan bahwa

kaum homoseksual mengalami stress karena berada dalam situasi

atau lingkungan sosial yang kurang bersahabat, sehingga

membutuhkan adaptasi yang cukup lama (Meyer, Schwartz & Frost,

dalam Frost dan Meyer, 2009).

Meyer (dalam Frost dan Meyer 2009) mengatakan bahwa

stres pada kaum homoseksual berlangsung secara terus menerus.

Kaum lesbian, gay dan biseksual mengalami stress karena adanya

kelompok homophobia yang sering memberikan stigma, prasangka

buruk dan diskriminasi. Kelompok homophobia juga menyebabkan

stress yang tinggi pada kaum homoseksual, sehingga kaum

homoseksual menganggap lingkungannya sebagai ancaman dan

memilih untuk menyembunyikan orientasi seksualnya. Stigma dan

prasangka buruk terhadap kaum homoseksual membuat mereka

bermasalah dalam keintiman, serta tidak dapat mempertahankan

hubungan yang langgeng dan sehat (Meyer & Dean, dalam Frost dan

Meyer 2009).

Internalized homophobia menyebabkan kecemasan dan

perasaan malu yang melekat pada diri lesbian, gay dan biseksual,

sehingga mereka belum dapat menampilkan hubungan dengan


(38)

Frost dan Meyer 2009). Kaum homoseksual yang mengalami

perasaan-perasaan negatif dalam konteks seksual menurunkan

kualitas dan kepuasan hubungan dengan seseorang. Lesbian

mengurangi perasaan-perasaan negatif tersebut dengan menghindari

hubungan yang langgeng dan mendalam dengan sesama jenis, serta

mencari jalan untuk mengekspresikan seksualitas tanpa keintiman

dan kedekatan antarpribadi.

Hasil penelitian dari Szymanski dan Chung (2014)

menemukan bahwa dampak internalized homophobia yaitu perasaan

jijik dengan diri sendiri. Rowen dan Malcom (dalam Eguchi 2006)

menemukan bahwa internalized homophobia juga menyebabkan

harga diri dan konsep diri yang rendah, serta berdampak negatif

kestabilan emosi. Kaum homoseksual yang mengalami internalized

homophobia menyebabkan depresi, gejala psikosomatik, kesepian

dan rasa bersalah (Alexander; Bell & Weinberg; Ross; Weinberg &

Williams, dalam Rondahl 2005).

Internalized homophobia berdampak negatif pada kondisi

psikologis tertentu, seperti putus asa, kesepian (Finnegan & Cook,

dalam Flebus & Montano 2012), kesulitan menjalin hubungan intim

(Friedmann; George & Behrendt, dalam Flebus & Montano 2012),

melakukan hubungan seksual yang tidak aman (Shidlo, dalam Flebus

& Montano 2012), kecanduan alkohol (Finnegan & Cook, dalam


(39)

Montano 2012) , dan bunuh diri (Rofes, dalam Flebus & Montano

2012).

Meyer 2003a mengemukakan bahwa internalized

homophobia mempengaruhi dan menghambat kehidupan kaum

homoseksual. Internalized homophobia menyebabkan kaum

homoseksual terus menerus hidup dalam perasaan malu, takut, stress

dan kecemasan.

Penelitian lain menemukan bahwa lesbian yang memiliki

anak, mengalami lebih banyak diskriminasi karena orientasi

seksualnya dan status mereka sebagai ibu (Gatrell, dalam DeMino,

Appleby & Fisk, 2007). Penelitian lain juga menemukan bahwa

anak-anak dari lesbian mendapatkan lebih banyak stigma daripada

ibunya. Studi menunjukkan bahwa terdapat 18% dari anak-anak

mengalami beberapa bentuk stigma oleh guru atau teman sebaya

(Gatrell, dalam DeMino, dkk., 2007). Lesbian yang berstatus sebagai

ibu mengalami tingkat internalized homophobia yang lebih tinggi

karena mereka khawatir terhadap anaknya yang juga mendapatkan

stigma sosial (Anderson & Mavis; Fassinger; Waldner & Magruder,

dalam DeMino, dkk., 2007).

2.4 Kerangka Berpikir

Identitas gender adalah keyakinan diri sebagai laki-laki atau


(40)

2006). Pada kondisi normal, identitas gender akan sesuai dengan anatomi

gender. Ketidaksesuaian antara identitas gender dan anatomi gender

menyebabkan gangguan identitas gender (Kompasiana, 2015).

Sebagian besar anak yang mengalami gangguan identitas gender

tumbuh dewasa sebagai orang normal, tetapi tanpa bantuan professional

(Zucker, dalam Davison, dkk., 2006) mereka menunjukkan diri sebagai

lesbian, gay, biseksual dan transgender (Coates & Person; Green; dalam

Davison, dkk., 2006). Kaum homoseksual merupakan kaum minoritas, serta

kebanyakan orang masih memberikan penolakan dan diskriminasi kepada

mereka. Penolakan dan diskriminasi membuat kaum homoseksual tertutup

dan memilih untuk menjauhi masyarakat. Kaum homoseksual yang berada

dalam lingkungan yang kurang bersahabat menyebabkan stress dan depresi.

Persepsi dan stigma tentang homoseksual serta penerimaan stereotip

sosial oleh masyarakat, menyebabkan kaum homoseksual

menginternalisasikan ke dalam kognitif, afektif dan tingkah laku (Herek et al,

dalam Mariani, 2013). Fenomena ini disebut sebagai internalized

homophobia. Terkait hal ini, apabila semua orang memandang bahwa kaum

homoseksual salah, lama kelamaan tentu mereka berpikir, „jangan-jangan memang saya ini salah, saya ini buruk, maka saya pantas untuk mendapatkan

perlakukan yang buruk‟. Kebanyakan kaum lesbian maupun gay mengalami hal tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut, terlihat bahwa ketika kaum

lesbian menginternalisasikan asumsi negatif terkait orientasi seksualnya


(41)

negatif bagi kaum homoseksual termasuk lesbian. Melihat hal ini, peneliti

tertarik untuk mengetahui dinamika pembentukan internalized homophobia


(42)

23

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Creswell

(dalam Herdiansyah, 2014) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah

suatu proses penelitian ilmiah untuk memahami permasalahan manusia dalam

konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks,

serta dilakukan dengan setting yang alamiah tanpa intervensi apapun dari

peneliti.

Peneliti memilih metode penelitian kualitatif karena peneliti ingin

memahami fenomena internalized homophobia terhadap orang yang

mengalami gangguan identitas gender, melalui gambaran yang menyeluruh

dan pemahaman yang mendalam. Kebanyakan orang yang mengalami

gangguan identitas gender tumbuh dewasa sebagai orang normal, tetapi tanpa

bantuan professional, mereka menunjukkan diri sebagai lesbian, gay,

biseksual dan transgender.

Penelitian ini menggunakan studi kasus (case study). Creswell (dalam

Herdiansyah, 2014) menyatakan bahwa case study adalah suatu model yang

menekankan pada eksplorasi dari suatu “sistem yang saling terkait satu sama lain” (bounded system) pada beberapa hal dalam satu kasus secara detail,

disertai dengan penggalian data secara mendalam, dan melibatkan beragam


(43)

Penelitian ini menggunakan bentuk studi kasus intrinsik. Studi kasus

intrinsik adalah bentuk studi untuk memahami secara lebih baik dan

mendalam tentang suatu individu, kelompok, peristiwa dan organisasi tertentu

(Herdiansyah, 2014). Terkait hal ini, informan penelitian adalah dua orang

dengan gangguan identitas gender yang mengalami internalized homophobia

di Kupang. Peneliti ingin mengetahui dinamika pembentukan internalized

homophobia serta dampaknya bagi orang dengan ganguan identitas gender.

3.2Informan Penelitian

Penelitian menggunakan non-probability sampling. Non-probability

sampling adalah metode sampling terhadap individu atau unit dari populasi

tidak memiliki kemungkinan (non-probability) yang sama untuk terpilih.

Peneliti menggunakan salah satu bentuk bentuk non-probability sampling

yaiut teknik purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik

sampling berdasarkan ciri yang dimiliki informan penelitian karena

ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan

(Herdiansyah, 2014). Informan penelitian adalah dua orang gangguan

identitas gender yang sedang mengalami internalized homophobia.

3.3Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada dinamika pembentukan internalized

homophobia dan dampaknya pada dengan gangguan identitas gender. Orang


(44)

normal, tetapi tanpa bantuan professional, mereka tumbuh menjadi lesbian,

gay, biseksual dan transgender (Zucker dkk, dalam Davison, dkk., 2006).

Persepsi, stigma serta penerimaan stereotip sosial terkait homoseksual oleh

masyarakat, menyebabkan kaum homoseksual menginternalisasikan ke dalam

kognitif, afektif dan tingkah laku (Herek et al, dalam Mariani, 2013).

Fenomena ini disebut sebagai internalized homophobia.

3.4Metode Pengumpulan Data

Metode utama penggumpulan data adalah wawancara. Wawancara

adalah suatu komunikasi dua arah dengan pertukaran/sharing aturan,

tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif, dan informasi (Stewart dan

Cash dalam Herdiansyah, 2015). Peneliti memilih wawancara sebagai metode

utama pengumpulan data karena topik penelitian ini cukup sensitif. Peneliti

ingin mengetahui dan memahami pembentukan internalized homophobia

serta dampaknya pada orang dengan gangguan identitas gender.

Penelitian ini menggunakan bentuk wawancara semiterstruktur.

Wawancara semiterstruktur menggunakan pertanyaan terbuka, fleksibel,

terkontrol, dan pedoman wawancara sebagai patokan untuk mengatur alur

pembicaraan. Wawancara bertujuan untuk memahami suatu fenomena

(Herdiansyah, 2015).

Peneliti melakukan wawancara dengan persetujuan dari informan dan

menjaga kerahasiaan data informan. Alat perekam dipergunakan untuk


(45)

Tabel 1

Panduan Wawancara

Aspek Pertanyaan

Latar belakang keluarga Bagaimana latar belakang keluarga anda

Masa kecil informan Coba ceritakan mengenai masa kecil anda?

Pandangan terhadap diri

sebagai lesbian

 Bagaimana anda memandang diri anda saat ini?

 Coba ceritakan kehidupan anda sebagai lesbian?

Anggapan masyarakat

mengenai lesbian

 Bagaimana anggapan masyarakat di Kupang mengenai lesbian?

 Mengapa kebanyakan orang menganggap lesbian seperti itu?

 Apakah anggapan tersebut menganggu anda sebagai lesbian? Mengapa?

 Bagaimana perasaan anda ketika

mendapatkan anggapan-anggapan tersebut?

 Bagaimana pandangan anda mengenai orang-orang disekitar yang mendiskriminasi

dan menolak kaum homoseksual?

Internalized Homophobia

 Peneliti memberikan 10 isi pikiran


(46)

Aspek Pertanyaan

dan meminta informan memilih pemikiran

mana yang ia dapatkan di Kupang?

 Bagaimana pendapatnya mengenai pemikiran tersebut?

 Apakah pemikiran tersebut menganggu anda sebagai lesbian?

 Mengapa anda memilih pemikiran tersebut?

 Apakah anda menginternalisasikan atau meyakini atau membenarkan anggapan

tersebut? Mengapa?

 Bagaimana perasaan dan pikiran anda akibat menginternalisasikan pemikiran tersebut?

 Jelaskan dampaknya untuk perilaku anda?

 Kepada siapakah anda memberitahu

mengenai orientasi seksual anda? Mengapa?

 Jika saya memberikan angka 1-10, seberapa yakin anda dalam menjalani orientasi

seksual yang anda pilih?

3.5Metode Analisis Data

Analisis data merupakan sebuah proses pengolahan data dari proses


(47)

untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Beberapa tahapan pengolahan data

(Miles & Huberman, 1994) sebagai berikut:

1. Tahap pengumpulan data yaitu mengumpulkan atau mendapatkan data

yang cukup, sesuai dengan topik penelitian dan dapat dianalisis.

2. Tahap reduksi data

Reduksi data adalah proses penggabungan dan penyeragaman segala

bentuk data menjadi satu bentuk tulisan (script). Kemudian, peneliti

menganalisis bentuk tulisan (script) tersebut. Hasil rekaman wawancara

diubah menjadi bentuk verbatim wawancara.

3. Tahap Display Data.

Display data adalah mengolah data setengah jadi yang seragam ke dalam

bentuk tulisan dan memiliki alur tema yang jelas (membuat tabel

akumulasi data). Setelah itu, peneliti membuat matriks kategorisasi sesuai

kategori atau kelompok tema-tema. Tema-tema tersebut dipecah dalam

bentuk yang lebih konkret dan sederhana, yang disebut dengan subtema.

Setelah itu, memberikan kode (coding) dari subtema sesuai dengan

verbatim wawancara.

4. Kesimpulan atau verifikasi

Kesimpulan atau verifikasi merupakan tahap terakhir dalam rangkaian

analisis data kualitatif (Miles & Huberman, 1984). Terdapat tiga tahapan

yang harus dilakukan dalam tahap kesimpulan/verifikasi. Pertama,

menguraikan subkategori tema dalam tabel kategorisasi dan pengodean


(48)

temuan penelitian dengan menjawab pertanyaan penelitian berdasarkan

fokus penelitian. Ketiga, membuat kesimpulan dari temuan dengan

memberikan penjelasan dari jawaban pertanyaan wawancara.

3.6Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas penelitian menggunakan prosedur member checking.

Informan memeriksa kembali data yang dilaporkan oleh peneliti (Creswell,

2007). Informan memberikan klarifikasi dan konfirmasi terhadap data yang


(49)

30

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS

4.1 Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian berlangsung pada kurun waktu Juli 2015 sampai

dengan September 2015. Peneliti menggunakan wawancara sebagai metode

utama pengumpulan data. Peneliti mewawancarai dua orang dengan

gangguan identitas gender, yang menunjukkan orientasi homoseksual,

khususnya lesbian. Peneliti mengalami kesulitan mencari informan penelitian

yang sesuai dengan kriteria, karena kaum lesbian di tempat penelitian masih

sangat tertutup, namun peneliti bisa mendapatkan informan penelitian yang

sesuai kriteria dengan bantuan dari beberapa orang. Awalnya peneliti

mendapatkan tiga informan penelitian, dan peneliti telah melakukan

pendekatan kepada ketiga informan. Akan tetapi, salah satu informan

menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

Peneliti menjelaskan secara garis besar mengenai topik penelitian, tujuan

dan manfaatnya. Setelah itu, peneliti meminta informan agar menjawab

pertanyaan dengan terbuka. Peneliti juga menyampaikan bahwa informan

memiliki hak untuk berhenti bercerita kapanpun informan inginkan. Apabila

terdapat pertanyaan yang membuat informan merasa tidak nyaman, maka

informan memiliki hak untuk tidak menjawab pertanyaan itu.

Sebelum melakukan wawancara formal, peneliti juga meminta persetujuan


(50)

data informan. Peneliti juga meminta persetujuan untuk menggunakan alat

perekam. Alat perekam dipergunakan untuk merekam pembicaraan dari awal

hingga akhir wawancara. Alat perekam juga membantu peneliti mengerjakan

verbatim wawancara.

Peneliti melakukan pendekatan dengan informan penelitian sebelum

wawancara formal, agar saat wawancara berlangsung, informan penelitian

merasa nyaman, terbuka dan tidak sungkan memberikan informasi kepada

peneliti. Peneliti melakukan wawancara formal pertama dan kedua secara

langsung. Akan tetapi, peneliti melakukan wawancara formal ketiga melalui

handphone karena jarak yang jauh antara tempat tinggal informan dan

peneliti. Berikut adalah urutan pelaksanaan wawancara yang dilakukan:

Tabel 2

Pelaksanaan Wawancara

Waktu Kegiatan Tempat

25 Juli 2015 Wawancara pertama „B‟ Taman, Kupang

25 Juli 2015 Wawancara pertama „D‟ Taman, Kupang

07 September 2015 Wawancara kedua „B‟ Taman, Kupang

07 September 2015 Wawancara kedua „D‟ Taman, Kupang

21 Oktober 2015 Wawancara ketiga „B‟ (via telepon)

-

26 Oktober 2015 Wawancara ketiga „D‟ (via telepon)


(51)

Tabel 3

Member checking

Waktu Kegiatan Jawaban Informan

12 Januari 2016 Pelaksanaan member

checking informan pertama

“Benar semua informasi yang telah saya berikan

saat wawancara”.

26 Januari 2016 Pelaksanaan member

checking informan kedua

“Iya seperti itulah kisah

hidup saya sebagai

seorang lesbian, yang telah

saya ceritakan saat

wawancara”.

4.2 PROFIL INFORMAN 4.2.1 Informan Pertama

Informan pertama adalah seorang lesbian yang bernama Bona.

Bona berasal dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bona merupakan

anak yatim piatu. Ibunya meninggal sejak Bona masih kecil, dan

ayahnya meninggal sejak Bona memasuki usia remaja. Bona berusia 29

tahun. Bona merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Bona

memiliki tiga saudara perempuan dan satu saudara laki-laki. Namun

saudara laki-lakinya juga telah meninggal, sehingga saat ini Bona hidup

dengan ketiga orang saudara perempuannya. Sejak ibunya meninggal,


(52)

menyebabkan Bona dan saudara-saudaranya sering berpindah tempat

tinggal. Ayah dari Bona bekerja sebagai pengawas proyek.

Saat ayahnya meninggal, status ekonomi Bona dan adik-adiknya

sangat rendah. Bona tidak tahu bagaimana cara mendapatkan uang

untuk membiayai kehidupannya dan adik-adiknya. Bona bingung harus

bekerja dimana dengan jenjang pendidikannya yang hanya tamat SMP.

Bona terpaksa memutuskan untuk bekerja di dunia malam. Bona

bertugas untuk menemani laki-laki minum minuman keras. Saat bekerja

di Bar, Bona menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Namun,

pada saat yang bersamaan Bona juga menjalin hubungan dengan

laki, bahkan ia rela melakukan hubungan seksual dengan seorang

laki-laki karena laki-laki-laki-laki itu membiayai kehidupannya.

Bona hamil tanpa status menikah dengan laki-laki tersebut, Bona

memiliki tiga orang anak dari laki-laki itu. Bona mengatakan bahwa ia

mau berhubungan dengan laki-laki itu hanya karena uang atau materi.

Kejadian ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat ini, Bona

menjalani kehidupannya sebagai lesbian. Bona juga sedang menjalin

hubungan dengan sesama jenis. Bona mengatakan bahwa rasa sayang

dan cinta hanya kepada pasangan sesama jenis.

Bona menyadari bahwa ia menyukai sesama jenis dan bergaya

seperti laki-laki (tomboy) sejak duduk di bangku SD. Bona lebih banyak

berinteraksi dengan laki-laki daripada perempuan. Penampilan fisik


(53)

baju dengan ukuran besar, dan gaya rambut yang pendek. Bona

mengatakan bahwa ia sangat menyayangi pasangannya. Akan tetapi,

Bona takut menampilkan hubungan dengan pasangannya di depan

umum karena Bona berada di lingkungan yang masih menolak kaum

lesbian.

Bona memandang dirinya mendekati laki-laki daripada perempuan.

Artinya Bona merasa bahwa dirinya mirip dengan laki-laki, walaupun

secara biologis, Bona mengetahui bahwa jenis kelaminnya perempuan,

namun dalam menjalani kehidupan sehari-sehari dari kecil hingga saat

ini, Bona lebih nyaman berperan sebagai seorang laki-laki daripada

perempuan. Secara fisik, Bona mirip seperti laki-laki, dan dalam

menjalin hubungan dengan sesama jenis, Bona cenderung berperan

sebagai laki-laki.

4.2.2 Informan Kedua

Informan kedua adalah seorang lesbian yang bernama Dewi. Dewi

berusia 20 tahun, dan merupakan anak ke-4 dari lima bersaudara. Dewi

memiliki dua saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki. Dewi

berasal dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dewi melanjutkan

pendidikan hingga jenjang SMA. Dewi menyadari bahwa ia menyukai

sesama jenis sejak duduk di bangku SMA. Sekolahnya merupakan

sekolah khusus perempuan, dan Bona tinggal di asrama, sehingga Dewi

lebih banyak berinteraksi dengan perempuan dan jarang bertemu


(54)

Saat itu, Dewi tertarik dengan seorang perempuan, yang

merupakan kakak kelasnya. Dewi tertarik dengan perempuan tersebut

karena perhatian yang berlebihan dari perempuan itu. Dewi melakukan

pendekatan dengan perempuan itu. Dewi berpacaran dengan perempuan

itu setelah beberapa pendekatan. Dewi menjalin hubungan yang sangat

tertutup karena adanya peraturan di sekolah yang sangat ketat yang

membuatnya merasa takut apabila orang mengetahui hubungan mereka.

Akan tetapi, akhirnya Dewi tertangkap basah sedang mandi bersama

pasangannya.

Dewi bergaya seperti laki-laki sejak kecil. Dewi lebih banyak

bermain dengan laki-laki. Dewi tidak pernah menyentuh dan

mengenakan pakaian perempuan yang dibeli oleh ibunya, karena ia

tidak menyukai barang-barang yang berkaitan dengan perempuan.

Penampilan Dewi masih seperti laki-laki, yaitu bagian dadanya rata,

sering mengenakan baju dengan ukuran besar, dan gaya rambut yang

pendek. Dewi juga memiliki cara berjalan yang sama seperti laki-laki.

Dewi menolak bahwa dirinya menyukai sesama jenis saat duduk di

bangku SMA. Namun, seiring berjalannya waktu, ia bisa menerima

mengenai dirinya yang lesbian. Dewi memiliki ketakutan yang besar

terhadap diskriminasi dan penolakan, sehingga Dewi belum pernah

menampilkan dirinya sebagai lesbian. Dewi juga mengalami trauma


(55)

lesbiannya mendapatkan penolakan dari orang-orang di lingkungan

tempat tinggalnya.

Dewi mengetahui bahwa secara biologis dirinya berjenis kelamin

perempuan. Akan tetapi, Dewi mengatakan bahwa dirinya mendekati

laki-laki. Artinya, Dewi merasa bahwa dirinya lebih mirip laki-laki

daripada perempuan, karena dalam menjalani kehidupan sehari-hari dari

kecil hingga saat ini, Dewi lebih nyaman berperan sebagai laki-laki.

Secara fisik, Dewi bergaya seperti laki-laki. Bahasa tubuhnya pun sama

seperti laki-laki.

4.3 HASIL PENELITIAN

4.3.1 Informan pertama, Bona a. Gangguan identitas gender

Sejak kecil Bona lebih banyak bermain dan berinteraksi dengan

laki-laki, daripada perempuan. Bona juga tidak menyukai

barang-barang perempuan.

“Kebanyakan saya bergaul dengan laki-laki. Saya lebih senang bermain dengan laki-laki daripada perempuan. Saya juga tidak suka barang perempuan (B, W1, 25-07-2015, 241-243). Nah, dulu waktu saya masih kecil kalo ayah saya pergi kerja proyek, saya selalu diajak. Bawa saya ikut kerja proyek, suruh saya naik truk, jalan-jalan dengan sopir-sopir di tempat proyek (B, W1, 25-07-2015, 244-246 & 252-254)”.

Orangtua Bona menginginkan agar anak pertamanya laki-laki,

sehingga sejak kecil orangtuanya membentuk karakternya seperti


(56)

“Iya, karakter seperti laki-laki sudah dibentuk dari kecil. Bukan dari kecil, dari dalam kandungan sudah dibentuk laki-laki karena mungkin ayah saya pengennya saya anak laki-laki (B, W1, 25-07-2015, 246-248 & 257-261)”.

Bona juga mengatakan bahwa secara biologis, ia adalah seorang

perempuan, namun ia terbiasa berperan seperti laki-laki, serta saat

menjalin hubungan ia berperan sebagai laki-laki untuk menjaga dan

melindungi pasangannya.

“Kalo secara biologis sudah pasti saya ini perempuan, hanya dari kecil sudah terbiasa bermain dengan laki-laki, jadi saya nyaman seperti laki-laki. kalo pacaran juga saya biasa berperan sebagai laki-laki yang jaga dan lindungi pasangan saya. Saya juga nyaman dengan gaya saya yang tomboy”.

Bona tetap bertumbuh dengan normal, meskipun mengalami

gangguan identitas gender, dan memilih homoseksual sebagai orientasi

seksualnya.

b. Awal menyadari diri sebagai lesbian

Bona menjelaskan bahwa awal menyadari dirinya menyukai

sesama jenis sejak duduk dibangku SD. Bona tidak mengetahui

mengapa ia bisa tertarik dengan sesama jenis. Saat itu, Bona menyukai

seorang anak perempuan yang merupakan tetangganya, Bona mengirim

surat cinta untuk anak perempuan itu, dan anak perempuan itu juga

membalasnya surat dari Bona. Akan tetapi, mereka tertangkap basah

oleh orangtua anak perempuan itu, sehingga orangtuanya datang ke

rumah Bona dan melaporkan apa yang terjadi. Berikut ungkapan Bona

“Mula-mula saya mulai rasa suka sesama jenis itu dari SD saya tau. Dari SD saya sudah mulai suka sesama jenis (B, W1, 25-07-2015, 20-23). Trus pas tamat SD, saya sekolah tapi tidak tamat


(57)

SMA, hanya sampai SMP saja. Karena sekolah main-main, ikut orangtua kerja proyek. Jadi saya pacaran yang pertama dengan perempuan bar, itu tahun…kira-kira tahun 98 kayaknya, pokoknya antara 97 atau 89. Itu pertama kali saya mulai menjalani hidup sebagai lesbi, tahun 97 atau 98 (B, W1, 25-07-2015, 25-34).

Tidak tau juga kenapa bisa suka perempuan, dari SD sudah suka-suka dengan perempuan, pokoknya waktu SD tu masih kirim surat biasa kalo yang tetangga. Kirim surat dengan perempuan-perempuan (W1, 25-07-2015, 42-46). Kalo dulu saya pernah pacaran dengan yang namanya Lusia, jarak rumah kami mungkin sekitar 15 meter. Dia juga balas surat saya, tapi setelah itu ketangkap basah oleh orangtua. Orangtua datang ke rumah, beritahu sama tantenya saya. Waktu itu saya tinggal dengan tante karena bapa kerja proyek. Saat itu, saya kena marah dari orangtuanya dia dan saya karena masih terlalu kecil, masih SD (W1, 25-07-2015, 48-58)”.

Ayah dari Bona telah meninggal, Bona memutuskan untuk bekerja

di Bar. Bona menjalin hubungan dengan sesama jenis, saat bekerja di

Bar. Namun, bukan hanya dengan satu perempuan saja, Bona juga

sering gonta-ganti pasangan sesama jenis, dan cukup banyak

perempuan yang pernah menjalin hubungan romantis dengan Bona.

Saat ini, Bona sedang menjalin hubungan yang cukup lama dengan

seorang perempuan yang merupakan tetangganya. Bona mengatakan;

“Waktu itu mulai pacaran pertama dengan lesbi yang di Sasando. Itu tahun sekitar 97 atau 98. Itu kalo saya masih sekolah, mungkin sudah SMA, SMA kelas 2 atau 3 (W1, 25-07-2015, 58-63). Sampai sekarang pacaran dengan sesama jenis, tapi ganti-ganti tidak dengan perempuan yang pertama melulu. Kurang tau saya sudah pacaran dengan berapa banyak perempuan. Pertama dengan Sinta, setelah itu Ance, setelah itu kembali dengan Sinta lagi, setelah itu dengan yang sekarang Merlin, yang tadi duduk di teras” (W1, 25-07-2015, 65-72)”.

Kaum lesbian tentu merasakan dampak negatif yang

berbeda-beda terhadap pilihan orientasi seksualnya. Bona mengatakan bahwa


(58)

bully dari orang disekitarnya. Bona juga biasanya memikirkan

mengenai orientasi seksualnya, yang membuatnya sulit tidur dan kurang

napsu makan, serta ia merasa tidak mampu berbuat apa-apa.

“Iya kadang-kadang juga orang-orang suka ngejekin Ichal, kadang-kadang panggil saya „meme..meme‟. Saya bilang ini pasti orang sudah bully Ichal karena saya (B, W1, 25-07-2015, 326-330). Jadi ada tetangga yang panggil dia trus bilang kalo mama kamu tuh tomboy (B, W2, 07-09-2015, 708-709). Saya pikiran, biasa kalo malam-malam mau tidur, saya tidak bisa tidur, saya juga tidak makan. Saya pikiran. Ya itu pikiran, tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa tidur juga (B, W1, 25-07-2015, 485-487 & 627-628)”.

Bona juga memutuskan untuk tidak ingin terlalu dekat dengan

anak pertamanya, karena anaknya akan mengetahui mengenai orientasi

seksual Bona apabila melihat gaya hidup dan sikap Bona. Tentu

anaknya merasa sakit hati, jika mengetahui dirinya lesbian. Oleh sebab

itu, Bona memilih untuk menitipkan anaknya ke keluarganya. Bona

melakukan hal tersebut karena menurut pengalamannya, teman-teman

sesama lesbian yang mendidik anaknya sendiri mengakibatkan anak

mereka bertumbuh menjadi anak yang memiliki perilaku negatif.

Berikut adalah ungkapan Bona;

“Tidak saya juga tidak mau juga karena dia sudah besar, sudah mengerti, saya tidak mau dia terlalu sering dekat-dekat dengan saya, pasti ketika dia lihat sikapnya saya pasti dia sakit hati juga, saya tidak mau. Apalagi dia perempuan (B, W2, 07-09-2015, 1060-1065). Karena sudah lihat yang sebelum-sebelumnya ada teman-teman saya yang juga punya anak dan mereka didik sendiri. Kadang baik juga mereka didik sendiri, mereka tidak mau berjauhan dengan anaknya. Tapi malah anak mereka jadinya rusak. Kebanyakan rusak (menjadi anak-anak yang tidak baik). Yang saya temui teman-teman saya seperti lesbian dan pekerja seks. Kebanyakan anak mereka kadang-kadang makin cerdik. Jadi saya titip anak saya disana, saya tidak mau anak


(59)

saya jadi kayak begini, kayak saya ini, saya tidak mau (B, W2, 07-09-2015, 1068-1082)”.

Bona memperoleh reaksi negatif dari orang-orang di sekitarnya

karena penampilannya seperti laki-laki, dan orang-orang di sekitarnya

juga membicarakan Bona. Berikut adalah ungkapan Bona;

“Karena biasanya kalo saya lagi dijalan, orang pasti melihat saya dengan tatapan yang bagaimana begitu karena gaya saya yang sedikit tomboy jadi mereka suka mengatakan bahwa ihh ini ni lesbian (B, W3, 21-10-2015, 1141-1145). Kalo di lingkungan tempat tinggal, pasti orang bicarakan sayalah kayak bisik-bisik begitu kalo liat saya. Saya terganggu sekali dengan hal tersebut (B, W2,07-09-2015, 753-756)”.

Bona juga mendapatkan sindiran dari keluarga dan orang-orang di

sekitarnya, sehingga ia merasa sakit hati. Berikut ungkapan Bona;

“Dengan gaya saya yang tomboy trus jalan dengan perempuan juga pasti dibicarakan sama mereka. Pernah, malahan sering. Kalo saya lagi jalan dengan perempuan, dengan gaya saya yang sedikit laki-laki pasti orang akan omong seperti itu. Di angkot atau di jalan pasti diomongin orang (B, W3, 21-10-2105, 1146-1148 & 1165-1169). Sesama ibu-ibu biasa liat kalo saya lagi bersama Merlin, mereka sindir saya katanya hey suami, sayang, bapak, dan lain-lain (B, W2. 25-07-2015, 799-803). Padahal itu sesama ibu-ibu, bisanya bilang kayak begitu (B, W2. 25-07-2015, 799-803)”.

Bona merasa bersalah kepada Tuhan, anak-anaknya dan orangtua

pasangannya. Bona memohon maaf kepada Tuhan karena ia merasa

telah berbuat salah. Bona tidak bisa jika harus kehilangan pasangan

sesama jenisnya. Bona juga memikirkan sampai kapan ia seperti ini,

anak-anaknya semakin hari semakin bertumbuh dan semakin mengerti.


(60)

anak-anaknya pernah mendapatkan stigma dan anggapan negatif tentang

dirinya.

“Terkadang hanya di hati kecil saya berkata aduuh Tuhan maafkan saya, saya tau saya salah. Saya tidak tau kapan bisa berubah tapi saya juga tidak bisa kehilangan Merlin (B, W1, 25-07-2015, 630-634). Saya tidak bisa. Saya juga ada rasa bersalah dengan anak-anak saya, mau sampai kapan saya begini, mereka semakin hari makin besar. Saya bisa kehilangan Merlin. Saya juga minta maaf kepada anak-anak saya (B, W1, 25-07-2015, 307-311 & 634-635). Kalo saya merasa bersalah karena saya sudah ada anak. Nah anak-anak tentunya makin hari makin besar, makin mengerti. saat itu saya juga dengar apa yang dibicarakan sehingga saya langsung merasa bersalah (B, W2, 07-09-2015, 679-681 & 710-712). Saya pikiran. Rasa bersalah dengan orangtuanya Merlin yang sudah terlanjur baik dengan saya. Orangtuanya sudah baik dengan saya tapi malah saya buat begini. Kalo ketahuan saya harus bagaimana. Saya merasa bersalah, kalo mereka tau kami begini, sikap saya harus seperti apa (B, W1, 25-07-2015, 487-489, 495-499). Nah saya juga merasa bersalah dengan orangtuanya Merlin karena mereka sudah terlanjur baik dengan saya (B, W2, 07-09-2015, 712-715)”.

c. Terbentuknya Internalized Homophobia

Anggapan negatif mengenai lesbian

Bona menceritakan bahwa kebanyakan masyarakat di Kupang

menganggap bahwa kaum lesbian adalah orang-orang yang

menjijikkan, tidak normal, sampah dan orang tidak waras. Lesbian

juga dianggap menyimpang. Selain itu, masyarakat di Kupang sangat

terpaku terhadap ajaran agama, sehingga kebanyakan masyarakat

belum menerima kaum homoseksual, dan menganggap bahwa kaum

homoseksual itu melanggar ajaran dalam Alkitab. Berikut ungkapan


(61)

Iya kebanyakan orang jijik (B, W1, 25-07-2015, 342). Kebanyakan orang masih menganggap kalo hubungan sesama jenis itu sangat melanggar alkitab (B, W2, 07-09-2015, 721-724) Iya omong bilang mereka ini lesbian, menyimpang (B, W3, 21-10-2015, 1183-1184). Orang gila, sampah (B, W2. 07-09-2015, 941). Mereka tidak normal, jijik karena perempuan suka dengan perempuan (B, W3, 21-10-2015, 1186-1187).

Bona menuturkan bahwa kebanyakan masyarakat menganggap

pasangan sesama jenis itu melanggar agama, melanggar perintah

Tuhan, dan telah bersalah terhadap Tuhan. Bona merupakan orang

beragama, dan ia membenarkan ajaran dalam Alkitab bahwa adam

diciptakan dengan hawa, dan hawa harus mendampingi adam.

Menurut Bona, yang disebut pasangan adalah perempuan dan

laki-laki, bukan perempuan dengan perempuan.

“Jadi mereka anggap kalo perempuan dengan perempuan itu sudah melanggar agama, melanggar perintah Tuhan, sudah bersalah dengan Tuhan makanya mereka tidak terima. Kalau misalkan ada di alkitab tidak tertulis kalau perempuan harus dengan pasangannya laki-laki, saya rasa lesbian bukan hanya diterima di kota Kupang saja, dimanapun pasti orang terima lesbian (B, W2, 07-09-2015, 946-955). pemikiran no.5. Inikan dilarang agama, nah saya juga orang beragama, memang di alkitab, saya kan agama Kristen. Di alkitab itu kan bilang kalo adan diciptakan dengan hawa, dan hawa harus dengan mendampingi adam. Saya membenarkan juga, karena memang di alkitab, tidak ada tulis begitu, adam harus dengan hawa (B, W3, 21-10-2015, 1257-1262 & 1325-1327). Dalam kitab suci kan pasangan tu kan, perempuan harus berpasangan dengan laki-laki dan laki-laki juga harus berpasangan dengan perempuan. Nah makanya kebanyakan kalo perempuan dengan perempuan hidup bersama, pasti sudah salah. Atau laki-laki dengan laki-laki hidup sama-sama salah karena dalam kitab suci tidak pernah tertulis kalo perempuan berpasangan dengan perempuan (B, W2, 07-09-2015, 736-746)”.


(62)

Informan pertama menginternalisasikan asumsi negatif terkait orientasi seksualnya kedalam kognitif, afektif dan tingkah laku.

Bona menginternalisasikan beberapa asumsi negatif terkait

orientasi seksualnya, yaitu kebanyakan orang menganggap lesbian

tidak normal, tabu dan menjijikkan.

“O iya no. 5 dan no. 1. Nomor 5 itu yang dalam konteks agama beranggapan bahwa lesbian itu berdosa kah kak?Iya..iya.. terus kebanyakan orang menganggap kaum homoseksual tidak normal, tabu dan menjijikkan (B, W3, 21-10-2015, 1111-1119)”

Bona menginternalisasikan anggapan agama yang mengatakan

bahwa lesbian merupakan kaum berdosa. Hal ini dikarenakan Bona

juga merupakan orang beragama dan dalam Alkitab tidak tertulis

mengenai homoseksual. Bona juga menginternalisasikan anggapan

tersebut karena dalam Alkitab tertulis bahwa hawa harus

berpasangan dengan adam, bukan hawa dengan hawa.

“Iya saya yakini hal yang sama atau saya masukkan ke dalam diri saya omongan-omongan tersebut, kalo saya tidak memasukkan saya tidak mungkin menghindar dari mereka (B, W3, 21-10-2015, 1210-1214). Inikan dilarang agama, nah saya juga orang beragama, memang di alkitab, saya kan agama Kristen. Di alkitab itu kan bilang kalo adan diciptakan dengan hawa, dan hawa harus dengan mendampingi adam. Saya memasukkan omongan orang dan saya rasa ada benarnya juga (B, W3, 21-10-2015, 1257-1264). Ya memang betul dalam alkitab tertulis kalo harus hawa dengan adam, bukan hawa dengan hawa (B, W3, 21-10-2015. 1316-1318). Saya membenarkan omongan tersebut (B, W3, 21-10-2015, 1327-1328)”.

Bona memandang dirinya salah. Ia merasa bersalah dengan


(63)

Bona tidak bisa meninggalkan pasangan sesama jenisnya. Bona telah

berusaha melepaskan pasangannya tetapi ia tidak bisa.

“Saya juga rasa bersalah dengan diri yang saat ini. Sebenarnya saya rasa bersalah karena sudah terlanjur ada anak (B, W1, 25-07-2015, 295-298). Rasa bersalah karena anak dapat ejekan, saya ini mau bagaimana, sampai kapan hidup saya begini, akankah saya berubah?. Pasti ingat-ingat begitu hanya ihh tidak bisa (B, W1, 25-07-2015, 330-334)”.

Bona menganggap bahwa orientasi seksualnya adalah pilihan

gaya seks. Bona juga tidak menganggap orientasi seksualnya sebagai

penyakit karena Bona pernah berpartisipasi dalam sebuah LSM, dan

ia mendapatkan banyak pengetahuan, serta informasi mengenai

orientasi seksualnya. Akan tetapi, Bona mengalami dilema karena

kebanyakan orang menganggap lesbian sebagai penyakit.

Iya itu pilihan, pilihan gaya seks. Kalo saya mungkin kalo tentang lesbian saya rasa tidak karena saya sudah banyak dapat dari YTB kan. Saya punya orientasi seksual bukan penyakit” (B, W1, 25-07-2015, 351 & B, W2, 07-09-2015, 966-969)

Bona merasa malu untuk menampilkan dirinya sebagai lesbian

karena kebanyakan masyarakat masih memberikan penolakan

kepada kaum lesbian. Jika Bona menampilkan dirinya sebagai

lesbian, maka orang akan membicarakannya.

“Malu karena orang-orang belum mau terima kami. Malu kalo

diomongin orang, nanti pasti kalo kemana-mana, kesana kesini, mulai diomongin orang. Kadang-kadang saya malu juga dengan omongan mereka jadi saya pergi dari tempat itu, saya juga tidak mau ingat omongan tersebut” (B, W1, 25-07-2015, 608-609)

Bona merasa sakit hati dan malu. Bona mengatakan bahwa


(64)

Bona juga merasa sakit hati dan malu karena ia merasa telah berbuat

salah. Bona merasa bahwa pilihan orientasi seksualnya merupakan

sesuatu yang salah.

“Sakit hati hmm dan malu juga. Manusia tu pasti wajar ada perasaan kayak begitu. Saya rasa sakit hati dan malu karena saya merasa bersalah. Saya salah (B, W2, 07-09-2015, 767 & B, W2, 07-09-2015, 769-771)”.

Bona menceritakan bahwa ia pernah ke gereja dan saat itu

pendeta sedang menyampaikan khotbah tentang pasangan, sebagai

seorang lesbian, Bona merasa tidak nyaman mendengarkan khotbah

tersebut.

Apalagi kalo pas pendeta khotbah tentang pasangan begitu. Hmmm.. saya jarang ke gereja karena dari cara berpakaian saja sudah jadi omongan orang. Itu menganggu sekali (B, W2, 07-09-2015, 911-912 & 920-926).

Bona juga takut apabila orang di sekitarnya mengetahui bahwa

dirinya lesbian. Bona merasa takut kepada orangtua pasangannya,

karena Bona dan orangtua pasangannya telah menjalin hubungan

yang sangat baik, serta orangtua pasangannya sering membantunya.

“Kalo saya, saya takut orangtuanya Merlin tau kalo saya dengan dia pacaran karena saya dan orangtuanya hubungan kami sangat baik, dan orangtuanya sudah terlanjur baik dengan saya. Itu saja yang saya takutkan, kalo orangtua tau (B, W1, 25-07-2015, 470-476).

Bona memikirkan anak-anaknya yang semakin hari semakin

bertumbuh dan semakin mengerti. Kelak mereka akan mengetahui

diri Bona yang sebenarnya. Bona takut apabila anak-anaknya


(65)

“Trus saya juga memikirkan anak-anak saya nanti kalo mereka besar seperti apa. Kehidupannya saya seperti, saya harus bagaimana. Itu yang saya takutkan (B, W1, 25-07-2015, 476-480). Saya juga pikirkan anak-anak, makin hari mereka makin besar, dan mereka juga tentunya makin mengerti. (B, W1, 25-07-2015, 655-657)”.

Bona merasa malu karena orang akan membicarakannya. Bona

merasa takut, orang akan mengusirnya dari lingkungan tempat

tinggalnya.

“Malu kalo diomongin orang, nanti pasti kalo kemana-mana, kesana kesini, mulai diomongin orang (B, W1, 25-07-2015, 612-614). Kalo seandainya ketahuan pasti kena usir (B, W2, 07-09-2015, 822-823)”

Bona memberitahukan bahwa ia malas untuk ke gereja karena ia

merasa bahwa orang di gereja pasti akan membicarakannya. Bona

juga tidak berani untuk jalan bersama perempuan didepan umum.

Bona lebih memilih untuk menyembunyikan orientasi seksualnya.

“Memang betul, memangkan betul saya seperti ini. Mau ke gereja juga, orang suka omongin saya, jadi saya rasa seperti bagaimana begitu. Untuk mau jalan dengan perempuan di tempat umum saja saya tidak berani (B, W3, 21-10-2015, 1236-1240)”.

d. Dampak terbentuknya Internalized Homophobia

Bona menjadi tertutup dan tidak bebas mengekspresikan dirinya

sebagai lesbian. Bona mengatakan bahwa ia juga merasa was-was,

sangat menutup diri, selektif dalam bergaul dengan sesama jenis, harus

menyembunyikan diri dan takut akan keramaian, serta takut ke gereja.

Bona juga merasa tersiksa.

“Saya juga bingung, saya was-was, saya juga bingung, saya juga was-was makanya saya sangat menutup diri. Untuk mau jalan


(66)

dengan perempuan di tempat umum saja saya tidak berani (B, W3, 21-10-2015, 1236-1240). Karena saya memasukkan atau membenarkan makanya saya tidak bisa sembarangan jalan dengan pasangan saya didepan umum. Saya sembunyi-sembunyi kalo mau berhubungan dengan lesbian (B, W3, 21-10-2015, 1245-1249). Karena itu saya sembunyi-sembunyi, kalo mau gaya sebagai tomboy saya juga diam-diam. Kalo ditempat umum saya tidak bisa terbuka (B, W3, 21-10-2015, 1266-1269). Orang omong seperti itu berarti yang jelas saya harus tertutup, saya tidak bisa menunjukkan kalo saya ini lesbian. Saya juga kalo mau bergaul dengan perempuan saja saya liat-liat tempat yang bagaimana dulu. Saya juga takut keramaian. Mau ke gereja saja saya takut, takut dengan omongan orang. Iya. Perasaan-perasaan saya ini yang membuat saya tidak berani untuk mau jalan dengan pasangan saya di keramaian. Saya tidak berani menunjukkan, kalo saya ingin berpegangan tangan atau mau buat apa begitu tidak bisa ditempat ramai. Mau buat begitu, tapi liat lokasi juga (B, W3, 21-10-2015, 1309-1316 & 1335-1341). Karena saya membenarkan makanya buat saya jadi tertutup, tidak sembarangan dan sembunyi-sembunyi (B, W3, 21-10-2015, 1328-1331). Saya merasa tersiksa. Sebenarnya menantang jiwa saya juga (B, W3, 21-10-2015, 1306-1307)”.

Bona bertanya-tanya dan memikirkan mengenai orientasi

seksualnya. Bona memikirkan mengenai orientasi seksualnya. Bona

juga bingung apakah ia harus meninggalkan pasangan sesama jenisnya.

Bona bertanya dalam dirinya, apakah karena dirinya yang lesbian

sehingga Tuhan menghukumnya? Bona pun bertanya dalam dirinya

bahwa akankah kelak anak-anaknya dapat menerima keadaannya? atau

haruskah ia yang mengalah?

“Pikiran..pikiran, bingung, apakah saya harus meninggalkan dia? (B, W1, 25-07-2015, 619-620). . Ini mungkin Tuhan hukum saya kah? Saya begini makanya Tuhan hukum saya kah? (B, W1, 25-07-2015, 621-624). Akankah nanti mereka menerima keadaan saya yang seperti ini, atau saya yang harus mengalah. Saat ini saya hanya ingin jalani saja (B, W1, 25-07-2015, 658-671)”.


(1)

lesbian dan ia juga menginternalisasikan omongan tersebut, sehingga membuatnya tidak berani menampilkan diri sebagai lesbian. Informan sama sekali belum pernah menampilkan dirinya sebagai lesbian. Hal ini membuat informan sangat takut, malu dan minder untuk menunjukkan dirinya sebagai lesbian karena pasti orang akan membicarakan yang negatif mengenai dirinya

(D, W3, 26-10-2015, 1081-1092)

Informan mengatakan bahwa ia memikirkan mengapa dirinya bisa seperti


(2)

Berpikir dan bertanya-tanya apakah hidupnya sudah benar atau salah, wajar atau tidak wajar

ini, ia merasa serba salah. (D, W1, 25-07-2015, 380-382)

Informan mengatakan bahwa terkadang ia memikirkan dan bertanya dalam dirinya apakah kehidupannya sudah benar atau salah.

(D, W1, 25-07-2015, 318-319)

Informan mengatakan bahwa terkadang ia berpikir dan bertanya dalam dirinya mengenai wajar atau tidak jatuh cinta dengan perempuan.


(3)

Terkadang informan juga memikirkan mengapa ia bisa seperti ini, akankan kelak ia bisa berubah atau tidak, ia tidak tahu mengenai hal itu.

(D, W1, 25-07-2015, 595-598) (D, W3, 26-10-2015, 1069-1071) 19 Anggapan agama mengenai

lesbian

Ajaran berdasarkan kitab suci Informan mengatakan bahwa dalam agama yang dianutnya yaitu agama kristen, tidak ada tertulis dalam kitab suci mengenai perempuan boleh menyukai perempuan. (D, W3, 26-10-2015, 972-975)

20 Harapan atau keinginan informan sebagai lesbian

Ingin adanya perubahan Informan mengatakan bahwa ia ingin merubah dirinya. Menurutnya perubahan


(4)

itu harus ada, apalagi jalan yang ia ambil sudah sangat salah. Namun untuk mau merubah diri butuh proses yang tidak tahu kapan bisa dilakukan.

(D, W1, 25-07-2015, 325-329, 472-473)

Informan merasa jalan yang ia ambil salah, sehingga ia meminta bantuan Tuhan untuk berubah.

(D, W1, 25-07-2015, 598-600)

Informan ingin berubah menjadi wanita pada umumnya karena ia merasa dirinya saat ini bukan merupakan wanita pada


(5)

Keinginan untuk diterima

umumnya.

(D, W1, 25-07-2015, 551-552)

Informan ingin berubah menjadi wanita pada umumnya agar dapat diterima oleh banyak orang.

(D, W1, 25-07-2015, 555-558)

Informan mengatakan bahwa ia ingin adanya penerimaan dari orang-orang disekitarnya sehingga kaum lesbian tidak perlu tertutup atau menyembunyikan diri. (D, W1, 25-07-2015, 204-206, 558-462) (D, W3, 26-10-2015, 1128-1131)


(6)

Ingin bebas mengekspresikan diri Informan mengatakan bahwa ia ingin bebas mengekspresikan dirinya sebagai lesbian.