26 H.
Faktor Peristiwa Semakin parah dan sering transgresor melakukan transgresi, semakin
tinggi keinginan korban untuk membalas dan menuntut tanggung jawab sehingga semakin kecil kemungkinan terjadinya forgiveness Zechmeister, 2004;
Worthington Wade, 1999. Persepsi terhadap tujuan transgresor melakukan transgresi juga mempengaruhi korban untuk forgive Worthington, 1998.
Peristiwa yang menimbulkan rasa malu shame cenderung mengarah pada unforgiveness daripada peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah guilt. Rasa
malu membuat transgresor enggan mengaku untuk melindungi diri, dan cenderung merasa terisolasi sehingga menghambat terjadinya forgiveness. Sebaliknya,
peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah guilt memicu transgresor meminta maaf, mengganti rugi, dan berusaha memperbaiki hubungan sehingga memicu
terjadinya forgiveness Worthington Wade, 1999.
II. A. 5 Manfaat Forgiveness
Rasa marah kronis dan permusuhan dihubungkan dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh, depresi, penyalahgunaan zat, status kesehatan yang buruk
Zechmeister, 2004, tingginya tekanan darah, dan masalah jantung Enright, 2005. Worthington dalam Lucia, 2005 juga mengatakan bahwa setiap kali
seseorang merasa tidak memaafkan, ia menjadi lebih beresiko terkena masalah kesehatan.
Di sisi lain, forgiveness, dapat menurunkan anxiety dan depresi, serta bermanfaat bagi kesehatan fisik Enright, 2005; Zechmeister, 2004. Forgiveness
Universitas Sumatera Utara
27 dapat mengurangi resiko terkena masalah jantung serta mengurangi permusuhan
dan distress yang dirasakan seseorang Lucia, 2005. Forgiveness juga bermanfaat sebagai mekanisme penyembuhan dan resiliensi terhadap trauma Orcutt dalam
Worthington, 1999. Orang yang forgive lebih mungkin mempunyai hubungan romantis dan
persaudaraan yang stabil daripada orang yang unforgive Worthington, 1998. Perasaan dendam dan sakit hati dalam suatu hubungan intim atau hubungan dekat
dengan orang lain dapat mengganggu hubungan tersebut. Melepas rasa tidak senang dan usaha untuk forgive merupakan satu hal yang penting untuk
mempertahankan kedekatan dan hubungan intim dengan orang lain CoreyCorey, 2006.
Memiliki fisik, emosi, dan sosial yang sehat menuntun seseorang ke arah hidup yang lebih bahagia seperti yang dikemukakan oleh Konstam 2000 bahwa
selain dapat memperbaiki hubungan interpersonal, forgiveness dapat meningkatkan kesejahteraan well-being.
II. B CHILD ABUSE II. B. 1. Definisi Child Abuse
Peristiwa penganiayaan anak lebih dikenal masyarakat dan para profesional dengan istilah child abuse, akan tetapi, banyak ahli perkembangan
yang lebih suka menggunakan istilah child maltreatment Manly, dalam Santrock, 1998.
Universitas Sumatera Utara
28 Barnett dkk. dalam Berns, 2004 mendefinisikan child abuse sebagai
tindakan yang merusak atau membahayakan anak, meliputi tidak bersikap baik pada anak, kasar pada anak, menolak anak, merampas hak anak,
menyalahgunakan anak, danatau melakukan kekerasan pada anak. Child maltreatment meliputi perilaku abuse dan neglect. Abuse mengarah
pada perilaku atau tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang
merusak anak Papalia, 2004. The Child Abuse Prevention and Treatment Act CAPTA dalam
McDonal, 2007 mendefinisikan child abuse sebagai suatu tindakan atau tidak ada tindakan sama sekali yang dapat menyebabkan kematian, kerusakan fisik atau
emosi yang serius; melibatkan seorang anak; dan dilakukan oleh orang tua atau caregiver yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa child abuse adalah tindakan misalnya menolak, melakukan kekerasan pada anak atau tidak
ada tindakan sama sekali misalnya lalai dalam pemeliharaan anak yang dilakukan oleh orang tua atau caregiver sehingga menimbulkan kerusakan harm
baik fisik maupun emosi, bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak.
II. B. 2. Tipe-Tipe Child Abuse