Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan merupakan salah satu hal pokok yang dilakukan oleh setiap negara. Tiap-tiap negara melakukan pembangunan dalam berbagai bidang di daerah yuridiksinya masing-masing. Seiring majunya perkembangan zaman dan adanya tekanan kebutuhan, kerap kali suatu pembangunan menimbulkan masalah bagi kelestarian lingkungan sekitarnya. Pembangunan yang dilakukan sering kali kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup yang ada dan lebih mementingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek ekonomi. Contohnya adalah pengambilalihan lahan-lahan, seperti lahan hutan, lahan daerah resapan air, dan lahan-lahan lainnya untuk dibangun menjadi berbagai macam bangunan, tanpa memperhatikan aspek lingkungan hidupnya. Tidak hanya itu, hasil dari pembangunan yang dilakukan terkadang juga menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup, contohnya adalah pembangunan di bidang perindustrian, yang mana hasil sisa industri tersebut dapat menimbulkan polutan bagi lingkungan hidup, baik di darat, laut, maupun di udara. Pembangunan yang dilakukan oleh tiap-tiap negara pada dasarnya memiliki aspek positif dan negatif, dimana di satu sisi, pembangunan diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakatnya serta memajukan kondisi dan kualitas negara di berbagai bidang, namun di sisi lain, terkadang pembangunan yang dilakukan mengesampingkan aspek lingkungan hidup, dan 2 mendahulukan aspek-aspek lainnya, sehingga pembangunan yang dilakukan tidak berwawasan lingkungan dan merusak kondisi alam sekitarnya. Kerusakan lingkungan akibat dari adanya pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan pada umumnya dapat mencemari atau merusak kondisi di wilayah darat, air, maupun udara. Kerusakan di wilayah darat, misalnya reklamasi daerah pantai untuk pembangunan daerah parawisata yang memiliki sisi negatif, yaitu dapat merusak kondisi lingkungan hidup, baik biotik maupun abiotik, di sekitar daerah pantai tersebut, kemudian pada wilayah perairan, sering kali terdapat perusahaan-perusahaan yang membuang limbah industrinya di daerah perairan, sehingga mencemari daerah perairan tersebut, dan tidak hanya itu kerusakan yang paling sering dan terjadi setiap hari adalah pada wilayah udara, yaitu adanya polutan yang muncul akibat limbah pembuangan proses industri ke udara, asap buangan kendaraan, dan polutan-polutan udara lainnya, yang perlahan merusak kondisi lingkungan udara yang ada dan mendorong terjadinya pemanasan global Global Warming. Kondisi-kondisi lingkungan yang tidak sehat dari waktu ke waktu, dapat sangat membahayakan bagi kehidupan dan kelangsungan mahluk hidup yang ada, tidak hanya untuk masa sekarang, namun juga untuk keberlangsungan mahluk hidup di masa yang akan datang. Untuk menghindari hal-hal di atas, maka diperlukanlah suatu pembangunan yang memiliki konsep berwawasan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan Sustainable Development. Pembangunan yang dilakukan di tiap-tiap negara sekarang ini hendaknya memiliki konsep lingkungan hidup dan konsep pembangunan berkelanjutan. Kedua konsep tersebut sangatlah penting untuk diterapkan dalam banyak aspek pembangunan, sehingga faktor lingkungan hidup tidak terlupakan di dalam setiap proses pembangunan yang dilakukan. Lebih khususnya lagi, kedua konsep ini sangat berperan dalam rangka mengurangi tingkat polusi yang ada, khususnya untuk polusi udara, yang mendorong terjadinya pemanasan global Global Warming. Melihat pentingnya hal ini, maka negara-negara pun mulai membuat perjanjian tentang penggunaan konsep pembangunan ramah lingkungan itu dan juga saling bekerjasama satu sama lain dalam menerapkan kedua konsep pembanguan tersebut. Kerjasama negara-negara dalam memerangi pencemaran lingkungan memang dari sejak dulu sudah mulai dilakukan secara perlahan, baik melalui perjanjian multilateral maupun juga bilateral. Konsep pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu upaya memerangi pencemaran yang ada pun berkembang pengaturannya dalam skala global secara perlahan-lahan. Tiga puluh tahun sesudah konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm, Swedia, Juni 1972, disepakati mengendalikan pencemaran sehingga kata polusi masuk dalam perbendaharaan kamus internasional. Sepuluh tahun kemudian, Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Nairobi-Kenya, Juni 1982 menyepakati untuk mengikat negara-negara anggota PBB bekerjasama melalui konvensi internasional di bidang pencemaran udara, keanekaragaman hayati, disertifikasi, dan kelautan dan konvensi lain untuk dinegosiasikan secara terbuka dan bersama-sama. Kemudian, pada tahun 1992 berlangsung konferensi tingkat tinggi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan yang dikenal dengan Earth Summit KTT Bumi di Rio de Jeneiro, Brasil, Juni 1992. Dalam Konferensi inilah ditandatangani Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati dan Konvensi tentang Pemanasan Bumi oleh negara-negara, termasuk Indonesia. Disamping itu disepakati pula prinsip-prinsip pengelolaan hutan dan beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan yang disepakati sebagai Rio Principle yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya sebagai dasar kerjasama global, regional, dan nasional. 2 Salah satu isu permasalahan lingkungan hidup yang terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu seiring berjalannya pembangunan, hingga sampai pada tahap yang dianggap sangat membahayakan jika terus dibiarkan adalah masalah pemanasan global atau yang lebih dikenal dengan istilah Global Warming. Pemanasan Global tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur- angsur. Namun demikian, dampaknya sudah mulai kita rasakan di sini dan sekarang. Ketika revolusi industri baru dimulai sekitar tahun 1850, konsentrasi salah satu Gas Rumah Kaca GRK penting yaitu CO 2 di atmosfer baru 290 ppmv part per million by volume, saat ini 150 tahun kemudian telah mencapai sekitar 350 ppmv. Jika pola konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO 2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau dua kali lipat dari zaman pra-industri. Akibatnya, dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang suhu rata-rata Bumi akan meningkat 4,5 C dengan dampak terhadap berbagai sektor kehidupan manusia yang luar biasa besarnya. Menurunnya produksi pangan, terganggunya fluktuasi dan distribusi ketersediaan air, penyebaran hama dan penyakit tanaman, dan manusia adalah diantara dampak sosial ekonomi yang dapat ditimbulkan. Tidak semua negara industri penyebab masalah ini siap mengatasinya karena 2 Aca Sugandhy, Instrumentasi dan Standardisasi Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Universitas Trisakti, Jakarta, 2009, hal.35 masalah mitigasi yang menangani penyebabnya memerlukan biaya yang tinggi. Pada saat yang bersamaan hampir semua negara yang tidak menimbulkan masalah perubahan iklim, yaitu negara berkembang, sangat merasakan dampaknya, namun tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan adaptasi terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Memandang pentingnya masalah ini, maka pada KTT Bumi 1992 di Rio de Jeneiro disepakati suatu perjanjian internasional antar negara-negara peserta yang khusus mengatur tentang masalah ini yang dikenal dengan nama Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim United Nation Framework Convention on Climate Change, UNFCCC. Ketika pemerintah berbagai negara mengadopsi konvensi ini, mereka menyadari bahwa konvensi tersebut dapat merupakan suatu landasan peluncuran yang lebih kuat untuk tindakan di masa depan. Melalui konvensi ini juga dapat dilakukan proses peninjauan, diskusi, dan pertukaran informasi untuk mengadopsi komitmen tambahan untuk memberikan tanggapan terhadap perubahan dalam pemahaman ilmiah dan kemauan politik. Dalam tahapan selanjutnya, untuk menindaklanjuti konvensi tersebut, diadakanlah tiga kali konferensi para pihak Confrence of Parties CoP dan persidangan oleh kelompok yang ditunjuk dalam konferensi tersebut Ad-hoc Group on Berlin Mandate ABGM untuk menyusun suatu perjanjian terkait perubahan iklim ini. Setelah delapan kali bersidang, ABGM menghasilkan sebuah teks yang diajukan kepada CoP3 untuk negosiasi terakhir yang diselenggarakan di Kyoto pada tahun 1977. Dalam CoP3 ini kemudian dihasilkan konsensus berupa keputusan-keputusan, yang salah satunya menyatakan untuk mengadopsi suatu protokol yang merupakan dasar bagi negara- negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012. Komitmen yang mengikat secara hukum ini akan mengembalikan tendensi peningkatan emisi yang secara historis dimulai di negara-negara tersebut 150 tahun yang lalu. Protokol Kyoto, demikian selanjutnya protokol ini disebut, disusun untuk mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu penurunan emisi bagi negara maju. Sementara, negara berkembang tidak memiliki kewajiban atau komitmen untuk menurunkan emisinya. 3 Dalam kegiatan UNFCCC, dikenal prinsip Common but Differentiated Responsibility atau tanggung jawab yang berlaku umum namun tetap berbeda kadarnya. Prinsip ini mengacu pada kenyataan bahwa negara-negara majulah yang terlebih dahulu melepaskan gas rumah kaca secara masif ke atmosfer ketika melakukan pembangunan di negaranya masing-masing. Maka setelah manfaat pembangunan tersebut diperoleh, mereka mempunyai kadar tanggung jawab yang lebih besar untuk menurunkan emisi gas rumah kaca serta membantu negara berkembang dalam melakukan mitigasi dan adaptasi. 4 Memandang prinsip di atas, Indonesia, layaknya negara berkembang lainnya, sebenarnya tidak memiliki kewajiban yang besar dalam menurunkan tingkat emisinya, namun dalam kenyataannya Pemerintah Indonesia telah ikut serta di dalam Protokol Kyoto dan juga meratifikasinya, sehingga secara teknis Indonesia dapat ikut berpartisipasi dalam satu-satunya pelaksanaan mekanisme 3 Daniel Muniyarso, Protokol Kyoto Implikasinya bagi Negara Berkembang, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2007, hal.2-4 4 Tim Penulis Dewan Nasional Perubahan Iklim, MARI BERDAGANG KARBON Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian Perubahan, Jakarta: Sekretariat DNPI, 2013, hal.11-12 kyoto yang dapat diikutinya, yaitu Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism CDM, disamping mekanisme Implementasi Bersama Joint Implementation JI dan Perdagangan Emisi atau Emission Trading TE. Mekanisme Pembangunan Bersih yang dapat diikuti oleh Indonesia sendiri merupakan suatu bentuk mekanisme yang memperbolehkan negara-negara yang dibebani target pengurangan emisi di bawah komitmen Protokol Kyoto untuk mengimplementasikan target pengurangan emisi tersebut dalam suatu kegiatan penurunan emisi yang berlokasi di negara berkembang. Pelaksanaan Mekanisme Pembangunan Bersih ini dilakukan dengan adanya kerjasama antara negara maju dan negara berkembang, dimana negara maju berperan dalam mendanaimembeli hasil penurunan emisi gas rumah kaca dari proyek yang berlokasi di negara berkembang. Jumlah atau kuota karbon yang diperoleh dari kegiatan proyek pengurangan emisi ini kemudian akan disertifikatkan dan mendapat Certified Emmission Reduction CER, dimana 1 CER setara dengan 1 ton CO2. Kuota karbon yang telah mendapatkan CER ini kemudian dapat dijual kepada pihak lain. Hal inilah yang membentuk adanya bentuk perdagangan karbon di dalam Mekanisme Pembangunan Bersih. 5 Mekanisme yang terdapat di dalam Protokol Kyoto memang mengarah kepada pelaksanaan perdagangan karbon yang akan dilaksanakan negara-negara dalam rangka pemenuhan target penurunan emisi setiap negara maupun tujuan- tujuan lainnya, termasuk juga mekanisme pembangunan bersih yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Namun, dalam hal ini upaya pemenuhan target penurunan emisi yang dilakukan oleh negara-negara melalui perdagangan karbon 5 Kardono, Jurnal Ilmiah Info Pustanling Vol.12 , No.1, Jakarta: Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan, 2010, hal.2 tidak terpaku hanya pada mekanisme yang terdapat pada Protokol Kyoto saja. Upaya pencapaian target penurunan emisi juga dilaksanakan melalui berbagai mekanisme lainnya di luar mekanisme yang terdapat di dalam Protokol Kyoto. Salah satu contoh mekanisme alternatif, di luar mekanisme Kyoto, yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia secara nyata adalah Mekanisme Kredit Bersama atau yang dikenal dengan istilah Joint Crediting Mechanism JCM. Mekanisme Kredit Bersama atau JCM ini merupakan mekanisme perdagangan karbon alternatif yang dilakukan secara bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang. Mekanisme ini disepakati oleh kedua negara melalui perjanjian kerjasama pada tahun 2013, dimana kedua negara sepakat untuk menjalin kemitraan dalam pelaksanaan mekanisme ini. Secara garis besar pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan mekanisme JCM ini hampir sama atau serupa dengan mekanisme pembangunan bersih, dalam hal pembiayaan dan perhitungan pengurangan emisi yang terverifikasi, namun dalam pelaksanaannya prosedur yang digunakan dalam mekanisme JCM dibuat lebih mudah atau tidak ketat, seperti mekanisme CDM. Kerjasama dalam bentuk kemitraan yang disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan Jepang ini sebenarnya menguntungkan kedua belah pihak, dimana dalam kerjasama ini Pemerintah Jepang akan membantu pembangunan di Indonesia, baik dalam bentuk dana maupun teknologi ramah lingkungan, sehingga pembangunan dan hasil pembangunan dilakukan di Indonesia akan menjadi ramah lingkungan dan rendah karbon. Sedangkan, bagi pihak Pemerintah Jepang, hal ini akan bermanfaat bagi penambahan kuota karbon yang dimiliki Jepang, meskipun pada dasarnya pembangunan tersebut dilakukan di Indonesia. Bentuk kerjasama seperti ini sedang berkembang di banyak negara, karena adanya tuntutan pengurangan jumlah emisi GRK dan mekanisme kuota karbon, sehingga negara-negara saling bekerjasama satu sama lain dengan menjalin perjanjian yang saling menguntungkan. Hal ini juga dapat dipandang sebagai pendekatan lingkungan dari segi ekonomi, karena negara-negara, khusunya negara maju, menggunakan kekuatan perekonomian dan teknologinya dalam membantu investasi pembangunan rendah karbon di negara lainnya biasanya negara berkembang, dengan tujuan untuk menambah jatah kuota karbon yang dimilikinya. Dalam kesepakatan perjanjian seperti ini kedua belah sebenarnya saling diuntungkan dan mendapatkan manfaatnya masing-masing dan di sisi lain kelestarian lingkungan sekitar ikut terjaga. Sesuai dengan uraian diatas, dimana Mekanisme Kredit Bersama sebagai mekanisme alternatif yang diikuti oleh Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan pembangunan rendah karbon, maka Penulis merasa tertarik untuk mengangkat contoh bentuk kemitraan rendah karbon yang ada dan telah disepakati di Indonesia ini, sebagai bahan pembahasan skripsi. dapat dilakukan melalui suatu kesepakatan di dalam perjanjian yang dibuat antar negara, yang biasanya merupakan perjanjian antara negara maju dan negara berkembang. Dalam hal ini, perjanjaian yang akan Penulis angkat sebagai inti pembahasan skripsi ini adalah suatu perjanjian bilateral, yaitu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Implementation 2013 dalam rangka mendorong kemitraan pertumbuhan rendah karbon.

B. Rumusan Masalah