111 baik lagi. Namun demikian, indikator keberhasilan tindakan tetap dapat
tercapai pada Siklus II. Peningkatan pada hasil check list di atas, didukung dengan hasil
anecdotal record yang menunjukkan semakin banyaknya bentuk-bentuk perilaku prososial siswa yang muncul selama tindakan. Bentuk-bentuk
perilaku prososial tersebut adalah membantu teman merapikan hasil lukisan, membantu teman mendekatkan palet cat air, membersihkan ceceran bahan
kolase, membantu guru menempel karya seni kelompok, meminta maaf kepada teman, mengingatkan teman untuk membantu, dan mau menunggu
giliran dengan sabar. Hal tersebut juga diperkuat dengan hasil wawancara yang menunjukkan bahwa siswa telah mampu menunjukkan contoh-contoh
perilaku prososial yang dilakukan saat kegiatan berlangsung.
2. Perbedaan Peningkatan Perilaku Prososial Siswa
Besarnya peningkatan perilaku prososial seperti yang telah dibahas sebelumnya tidak berlaku untuk setiap siswa. Masing-masing siswa
menunjukkan peningkatan perilaku prososial yang berbeda-beda. Hal ini tidak hanya terlihat pada hasil observasi check list namun juga pada hasil observasi
anecdotal record dan wawancara. Beberapa siswa cenderung menunjukkan peningkatan yang fluktuatif pada skor check list yaitu Kys, Dk, Nnd, dan Shr,
sedangkan Rf, Ryv, Rv, Df, Yg, dan Sll juga menunjukkan peningkatan yang fluktuatif namun karena siswa tersebut tidak berangkat sekolah sehingga
mendapatkan penilaian 0 pada pertemuan yang tidak diikuti.
112 Dilihat dari hasil observasi anecdotal record, ditemukan beberapa
siswa dengan karakter yang unik yaitu Dk, Alv, dan Nbl. Dk sering menunjukkan perilaku prososial yang cenderung fluktuatif. Siswa ini
terkadang teramati membantu temannya dengan baik, namun kadang Dk juga tercatat marah, dan tidak mau membantu temannya sama sekali, serta justru
membuat keramaian di kelas. Alv juga tercatat memiliki konflik dengan teman kelompoknya, namun demikian Alv juga beberapa kali terlihat
membantu dan mau meminta maaf kepada temannya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa Alv masih bingung untuk merespon teman yang
menangis dan mengungkapkan bahwa Alv tidak mau berbagi pewarna dengan teman. Nbl teramati selalu diam dan tidak mau berbicara sama sekali selama
kegiatan dilakukan, namun Nbl selalu mau membantu dan berbagi kesempatan dengan teman lainnya. Nbl juga hanya diam saat kegiatan
wawancara. Hasil tersebut menunjukkan bahwa art therapy group tidak dapat
memberikan pengaruh yang sama pada setiap siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Eisenberg dkk. 2006: 646-698 yang mengungkapkan bahwa
terdapat 7 faktor yang mempengaruhi perilaku prososial anak. Art therapy group hanya salah satu faktor yang berpengaruh pada perilaku prososial anak.
Masih terdapat beberapa faktor lain yang berpengaruh pada muncul tidaknya perilaku prososial anak. Faktor-faktor inilah yang dapat menjelaskan
mengapa terdapat hasil pengamatan pada siswa yang cenderung fluktuatif.
113 Faktor yang pertama adalah faktor biologis. Faktor biologis sering
disebut sebagai faktor genetis atau keturunan. Anak biasanya akan mewarisi beberapa sifat dari orangtuannya yang diturunkan melalui gen-gen tertentu.
Sifat anak biasanya merupakan kombinasi dari sifat ayah maupun ibunya, sehingga tidak jarang anak yang prososial, biasanya memiliki orangtua yang
prososial juga. Masing-masing orang memiliki perilaku prososial yang berbeda-beda hal ini salah satunya karena unsur genetis ini. Unsur genetis ini
juga yang menyebabkan adanya perbedaan individual sehingga setiap anak cenderung akan melakukan perilaku prososial secara berbeda-beda.
Faktor kedua adalah budaya masyarakat setempat. Perilaku individu sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma yang dianut oleh anggota dalam
lingkup budaya tersebut. Seorang anak yang tinggal pada lingkungan masyarakan dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai sosial
kemasyarakatan, akan cenderung lebih prososial dibandingkan dengan anak yang tinggal di lingkungan masyarakat yang individualis.
Faktor yang ketiga adalah pengalaman sosialisasi. Interaksi anak dengan agen-agen sosialisasi seperti orangtua, teman sebaya, guru, dan media
masa memberikan pengalaman penting dalam pembentukan perilaku prososial anak. Semakin intensif interaksi anak dengan agen-agen sosialisasi
yang ada, maka hal ini akan semakin mempengaruhi pola perilaku anak tersebut. Anak yang berinteraksi dengan agen sosialisasi yang prososial
cenderung memiliki perilaku prososial yang baik.
114 Faktor yang keempat adalah proses kognitif yang meliputi intelegensi,
persepsi terhadap kebutuhan orang lain, alih peran atau empati, keterampilan memecahkan masalah interpersonal, atribusi terhadap orang lain, dan
penalaran moral. Hal ini sangat dibutuhkan untuk melakukan perilaku prososial, sehingga seorang anak melakukan perilaku prososial cenderung
berdasarkan kematangan kognitifnya. Faktor yang kelima adalah respon emosional yang mencakup adanya
perasaan bersalah dan kepedulian terhadap orang lain. Respon ini akan mempengaruhi muncul tidaknya perilaku prososial pada anak. Adanya
kepedulian anak terhadap orang lain akan membuat anak memunculkan perilaku prososialnya.
Faktor keenam adalah karakteristik individu yang berhubungan dengan perilaku prososial meliputi jenis kelamin, tingkat perkembangan yang
tercermin pada usia, serta tipe kepribadian. Masing-masing tingkat perkembangan memiliki tugas-tugas perkembangan perilaku prososial yang
berbeda. Anak usia prasekolah misalnya, yang diharapkan memiliki perilaku prososial dasar berbagai, membantu, dan menenangkan teman, sedangkan
tingkat perkembangan selanjutnya memiliki tugas perkembangan yang berbeda. Oleh karena itu, munculnya perilaku prososial seseorang berbeda
sesuai jenis kelamin, tingkat perkembangan, dan tipe kepribadiannya. Faktor ketujuh adalah faktor situasional. Tekanan eksternal dan
peristiwa sosial akan mempengaruhi respon prososial seseorang. Faktor situasional ini terkait dengan peristiwa yang terjadi baik itu dikondisikan atau
115 pun tidak dikondisikan. Peristiwa yang tidak dikondisikan misalnya ada dua
orang anak yang sedang bermain, dan salah satu anak terjatuh, tanpa pertimbangan yang lama salah satu anak lainnya langsung membantu anak
yang terjatuh. Peristiwa yang dikondisikan misalnya dengan penggunaan art therapy group, di mana dalam kegiatan tersebut siswa dapat berlatih
berperilaku prososial. Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil wawancara dengan guru
Kelompok B maka dimungkinkan karakteristik Dk yang mudah marah dan terkadang kurang prososial dikarenakan faktor karakteristik individu,
pengalaman sosialisasi dan faktor budaya masyarakat setempat. Perbedaan individual memang menjadi hal yang sangat sulit untuk dikontrol melalui
tindakan tertentu. Faktor pembawaan yang menjadikan siswa memiliki karakter tertentu, sangat tidak mungkin untuk dikendalikan apalagi hal ini
juga dipengaruhi oleh faktor pengalaman siswa bersosialisasi di masyarakat. Pengaruh budaya masyarakat juga berperan penting dalam pembentukan
karakter siswa ini. Karakteristik Alv yang juga mudah marah dan semaunya sendiri
dimungkinkan juga karena faktor karakteristik individu dan proses kognitif. Berdasarkan hasil wawancara ternyata Alv seharusnya masih di Kelompok A
secara usia namun karena alasan tertentu maka sudah masuk Kelompok B. Oleh karena itu perilaku siswa ini juga belum mampu setara dengan siswa-
siswa lainnya, di mana siswa lain sudah mampu mengendalikan diri dengan baik.
116 Karakteristik Nbl yang tidak mau berkomunikasi secara verbal sama
sekali dimungkinkan karena faktor karakteristik individu. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara yang menunjukkan bahwa sejak awal siswa tersebut
memang tidak mau berbicara sama sekali di sekolah. Faktor karakteristik individu ini juga dapat terbentuk karena pengalaman sosialisasi siswa dengan
orangtua atau keluarga di rumah dan masyarakat sekitarnya, namun hal ini belum secara pasti diketahui. Perlu adanya penelitian tersendiri untuk
memahami karakteristik siswa-siswa yang unik ini.
C. Keterbatasan Penelitian