101
ini memang belum ada keluhan yang diterima dari perusahaan maupun masyarakat yang memohon ijin di BPPT Provsu.”
Sesuai dengan yang tertera pada bab I penelitian ini, terdapat dua tujuan dari penelitian ini. Pertama yakni untuk mengetahui
penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan yang kedua yakni untuk mengetahui penyebab dari pelimpahan kewenangan jenis perijinan
kepada BPPT Provsu yang masih berjumlah 56 jenis perijinan pada 13 bidang usaha. Sama halnya dengan upaya penulis untuk mengetahui
penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di BPPT Provsu, maka untuk mengetahui penyebab pelimpahan kewenangan jenis perijinan
kepada BPPT Provsu yang masih 13 bidangsektor perijinan untuk 56 jenis perijinan pada 13 bidang usaha pun dilakukan dengan wawancara.
5.1.3 Deskripsi Hasil Wawancara Tentang Pelimpahan 56 Jenis Perijinan
Sejak BPPT Provsu beroperasi tahun 2011 lalu, Gubernur Sumatera Utara masih melimpahkan kewenangan untuk mengelola ijin sebanyak 56 jenis perijinan
pada 13 bidang usaha. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan mengapa jenis perijinan yang dikelola sangat sedikit. Salah seorang informan bernama Bapak
Sulaiman Purba, SE, MAP selaku Kepala Bidang Standarisasi dan Sosialisasi BPPT Provsu juga mengatakan kewenangan menangani 56 jenis perijinan pada 13
bidang usaha belum seberapa. Menurutnya, hal tersebut menjadikan pelayanan BPPT Provsu belum maksimal. Akhirnya, penulis mencoba menelusuri dengan
melakukan wawancara dengan Kepala Bidang Pelayanan Perijinan BPPT Provsu Bapak Mustapa Pane, S.Sos. Saat ditanyakan apa penyebab kewenangan BPPT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
102
Provsu dalam mengelola ijin hanya 56 jenis perijinan pada 13 bidang usaha, beliau menanggapi :
“Berdasarkan Pergub No.37 tahun 2011 tentang Pendelegasian Kewenangan Pelayanan Perijinan Kepada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Provinsi
Sumatera Utara, BPPT Provsu memang baru mengantongi 13 bidang dan 56 ijin. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pelimpahan kewenangan
dari gubernur memang dilakukan secara bertahap. Secara bertahap dikarenakan segala sesuatu tentu membutuhkan persiapan yang matang misalnya tenaga kerja
yang harus dipersiapkan, BPPT Provsu juga tidak bisa langsung mengurus semua ijin, kalau semua ijin langsung dilimpahkan, BPPT Provsu bisa “kelabakan”
karena itulah gubernur memberikannya secara bertahap.”
Sementara itu, Kasubbid Pemantauan dan Monitoring BPPT Provsu Ibu Ir.Siti Zaleha, M.Si mengatakan :
“Pelimpahan kewenangan perijinan diberikan gubernur secara gradual tetapi seharusnya ada 22 sektor perijinan yang harus dilimpahkan ke BPPT Provsu.”
Menanggapi pernyataan tersebut, lebih lanjut penulis menanyakan bukankah jumlah tersebut masih terlalu sedikit mengingat kabupatenkota saja di
Sumatera Utara mengelola jumlah jenis perijinan yang jauh lebih banyak. Untuk hal ini Bapak Mustapa Pane, S.Sos mengatakan :
“Kalau dari segi jumlah provinsi memang lebih sedikit dari kabupatenkota tetapi ijin yang dikelola BPPT berbeda, kalau ijin kabupatenkota hanya lingkup
kabupatenkota saja, misalnya Ijin Mendirikan Bangunan hanya disekitar kabupatenkota saja yang hanya memperhatikan tata ruangnya. Karena itulah
jumlahnya sangat banyak seperti Kota Medan yang mengeluarkan IMB per tahun mencapai angka ribuan. Berbeda dengan di provinsi yang mana ijin yang dikelola
sifatnya yang pertama harus lintas kabupatenkota, lintas kabupatenkota ini juga ada banyak, misalnya jika kita ingin memasang reklame di sepanjang jalan
provinsi, itu harus ada ijinnya, berbeda dengan kabupaten yang skupnya lebih kecil, kalau BPPT lebih luas dimana seluruh 33 kabupatenkota harus dikelola,
misalnya air permukaan yang berdasarkan kebijakannya telah terbagi dua, yakni air permukaan dan air bawah tanah. Air bawah tanah yang dulunya dikelola oleh
provinsi namun karena skupnya kecil maka dilimpahkan ke kabupaten. Sementara untuk air permukaan seperti Danau Toba yang dikelilingi oleh 7 kabupaten itu
berarti lintas kabupaten yang pengelolaan ijinnya merupakan kewenangan BPPT Provsu. Contoh lain, dari segi kelas kalau kita mau membangun rumah sakit kelas
B yang tingkatannya lebih besar dan jumlahnya lebih banyak, yang mana rumah sakit ini tentu nantinya akan menjadi rujukan bagi rumah sakit di kabupaten lain,
apabila rumah sakit di kabupaten tidak sanggup maka rumah sakit kabupaten
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
103
akan mengirimkan ke rumah sakit provinsi jadi disini BPPT bertugas lebih banyak. Berbeda dengan dikabupeten yang mengiris ijin poliklinik, rumah sakit
kelas C yang jumlah kamarnya lebih kecil dan fasilitasnya lebih sedikit, tidak seperti rumah sakit kelas B yang fasilitasnya lebih besar dan sangat banyak hal
yang harus diperhatikan seperti jumlah tenaga dokternya, spesialisnya, instalasinya, rawat inapnya, para medisnya, dan masih banyak lagi.”
Itu berarti sesungguhnya BPPT Provsu dapat mengelola lebih dari 56 jenis perijinan dan 13 bidang usaha. Untuk menelusuri hal ini, peneliti mengajukan
beberapa pertanyaan lebih lanjut kepada Bapak Mustapa Pane, S.Sos, beliau berkomentar :
“Ratusan sebenarnya bisa. Kalau sekarang dikarenakan BPPT Provsu masih baru beroperasi jadi pelimpahannya diserahkan secara bertahap sehingga BPPT
Provsu bisa mengantisipasi masalah – masalah yang kemungkinan terjadi, ibarat air yang langsung dituang satu ember tentu akan meluber walaupun ke tanah
sementara kalau dipercik akan cepat meresap.”
Berdasarkan hasil wawancara, sejak tahun 2011 ijin yang dikelola oleh BPPT Provsu memang belum pernah bertambah namun BPPT Provsu sudah
mengusulkan penambahan jumlah jenis perijinan yang mereka kelola sekitar 20 jenis ijin dan non ijin, dua diantaranya ijin penyalur alat – alat kesehatan,
distribusi pedagang farmasi pabrik obat. Bagi BPPT Provsu sendiri memang tidak ada ketentuan dalam hal penambahan ijin ini, hal tersebut tergantung dari
BPPT Provsu. Lantas ketika ditanyakan bagaimana alur pengajuan penambahan ijin, Bapak Mustapa Pane, S.Sos selaku Kepala Bidang Pelayanan Perijinan BPPT
Provsu mengatakan : “Kalau BPPT mau menambah ijin yang dikelola, BPPT mengajukan permohonan
untuk disetujui oleh gubernur, sejauh ini masih dipelajari dan diverivikasi oleh gubernur dan BPPT masih menunggu arahan dari gubernur. Permohonan ini
sudah diajukan sejak awal 2013 lalu yakni sekitar 6 bulan. Proses ini cukup lama dikarenakan dampaknya banyak, seperti dampak pertumbuhan ekonomi, iklim
usaha, ada juga dampaknya terhadap tenaga kerja, dan banyak pertimbangan lagi dari gubernur karena itu harus dipelajari betul – betul oleh gubernur, di
samping itu tugas gubernur pun tidak hanya itu, konsentrasinya terpecah – pecah. Karena itu pula, terkadang ada peraturan yang prosesnya lambat karena
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
104
mekanismenya namun terkadang ada pula yang harus cepat apabila sudah diperintahkan oleh pusat. Kalau pelimpahan kewenangan ini dirasa masih ada
kelonggaran waktu untuk sungguh – sungguh dipelajari oleh gubernur selaku pimpinan yang harus hati – hati mengambil keputusan. Dalam hal ini tidak ada
jangka waktu yang diberikan kepada gubernur, namun sejauh ini presentasi masih dilakukan dihadapan sekretaris daerah selanjutnya BPPT masih tetap
menunggu untuk dipresentasikan juga di hadapan gubernur tapi berkas permohonan memang sudah ada di tangan gubernur.”
Sementara itu, untuk pertanyaan yang sama, Bapak Yoyon Haryono selaku pegawai penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu ini menyatakan pelimpahan
tahap kedua saat ini masih di biro hukum provsu dan masih di eksaminasi dan sudah berlangsung sejak pertengahan tahun lalu dan belum selesai hingga saat ini.
Mengenai alurnya, beliau menyampaikan: “Pertama BPPT Provsu mengajukan ke biro hukum selanjutnya mereka yang
akan mengurus sampai kepada gubernur, saya memang tidak bisa menceritakan proses disana secara detail seperti apa tetapi proses itu ada. Masalah waktu kita
pun tidak tahu pasti karena eksaminasi ini ada hubungannya dengan instansi lain. Jadi BPPT Provsu pun harus tetap koordinasi dengan SKPD teknis terkait
lainnya dan prosesnya memang lama bisa 2 bulan atau mungkin sampai setahun atau dua tahun.”
5.1.4 Deskripsi Hasil Wawancara dengan Informan di BPPT Provsu tentang Kritik dan Saran terhadap penyelenggaraan PTSP
Terlepas dari pertanyaan – pertanyaan mengenai prinsip dan asas penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, ternyata saat ditanyakan oleh
peneliti, selama ini para informan dalam penelitian ini juga memiliki saran maupun kritik terhadap Peraturan Pemerintah tentang penyelenggaraan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu ini, beberapa dari informan mengemukakan kritik dan saran terhadap peraturan tersebut, salah satunya Bapak Edo Manurung,S.Sos, MAP
selaku pegawai bidang perijinan BPPT Provsu yang menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu menganjurkan:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
105
“Sebaiknya diberikan insentif khusus kepada pegawai penyelenggara PTSP namun tergantung keuangan daerah.”
Sementara itu Bapak Yoyon Haryono, Amd yang juga sebagai salah satu pegawai penyelenggara PTSP mengemukakan :
“Sebetulnya PTSP ini baik, seperti yang saya kemukakan sebelumnya dimana PTSP ini berfungsi untuk menyederhanakan pelayanan perijinan dan
memudahkan masyarakat namun pada kenyataannya belum 100 artinya belum semua perijinan dilimpahkan kepada BPPT Provsu, masyarakat masih tetap
harus mengurusnya ke instansi - instansi terkait. Jadi harapan saya dengan terbentuknya lembaga ini, semua perijinan bisa ditangani disini, jadi masyarakat
pun tidak perlu lagi datang ke berbagai instansi namun cukup datang dan berurusan dengan BPPT Provsu.”
Hampir sama dengan kritik diatas, Bapak Sulaiman Purba, SE, MAP selaku Kepala Bidang Standarisasi dan Sosialisasi BPPT Provsu mengatakan
kekurangan dari PTSP berikut ini : “Gubernur seharusnya segera melimpahkan kewenangan penambahan ijin untuk
ditangani oleh BPPT Provsu. Sebab selama ini, anggaran dalam badan ini banyak, gedung yang ada pun cukup baik, Standar Pelayanan Minimal SPM
dan teknologi yang digunakan juga baik tetapi tidak ada yang mau dikerjakan.”
5.I.5 Deskripsi Hasil wawancara dengan Pemohon Izin di BPPT Provsu
Sebagai perbandingan atas jawaban dari informan kunci dan informan utama dalam penelitian ini, maka peneliti juga melakukan wawancara kepada dua
buah perusahaan dan sebuah badan usaha terbuka yang pernah mengurus ijin dan merasakan pelayanan dari BPPT Provsu. Untuk memperoleh data yang valid,
peneliti melakukan wawancara kepada 3 orang pemohon yang mengurus ijin sejak BPPT Provsu didirikan tahun 2011 akhir, pemohon tersebut mengurus ijin pada
tahun 2012, 2013, dan 2014. Namun wawancara dengan informan tambahan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan telepon seluler dikarenakan
keterbatasan akses antara peneliti dan informan, dimana kedua perusahaan dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
106
satu badan usaha terbuka, masing – masing berada di Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Labuhan Batu Utara dan Kabupaten Tapanuli Utara.
Diawali dari wawancara dengan Bapak Bayu Hardianto dari PT. Binsar Natorang Energi dimana perusahaan ini merupakan perusahaan yang bergerak di
bidang pembangkit listrik yang berlokasi di Kabupaten Toba Samosir dan telah mengurus ijin di BPPT Provsu sebanyak dua kali yakni Ijin Pemanfaatan Air
Permukaan yang diurus tahun 2013 lalu dan Ijin Lingkungan yang diurus bulan Februari 2014 lalu. Saat melakukan wawancara dengan informan tambahan,
beberapa pertanyaan terkait dengan tanggapan mereka terhadap pelayanan BPPT Provsu dalam menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu diajukan oleh
peneliti agar nantinya dapat memudahkan penulis dalam menganalisis apakah jawaban dari para penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu di BPPT Provsu
sesuai dengan tanggapan dari mereka yang pernah mengurus ijin di BPPT Provsu. Pertanyaan pertama yang peneliti ajukan yakni tanggapan dari Site
Manager PT.Binsar Natorang Energi terkait dengan prosedur mengurus ijin di BPPT Provsu. Menurut beliau prosedur dalam mengurus ijin di BPPT Provsu
sudah bagus, ketika pemohon datang menyerahkan berkas permohonan ijin, BPPT Provsu dengan segera membentuk tim teknis dengan dinas terkait. Hal ini juga
dibenarkan oleh Bapak Dedi Syamsur Riza Nasution,SH dari bagian HRD Humas dan Legal PT.Sinar Sawit Lestari yakni perusahaan yang bergerak di bidang
perkebunan dan berlokasi di Damuli, Kabupaten Labuhan Batu Utara dimana perusahaan ini sudah pernah mengurus ijin di BPPT Provsu sebanyak satu kali
yakni Ijin Penggunaan Air Permukaan pada tahun 2012 lalu. Baginya, prosedur pengurusan ijin di BPPT Provsu memang sudah bagus dan tidak bertele – tele
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
107
seperti di instansi pemerintah lainnya. Guna semakin memperkuat jawaban dari kedua informan ini, peneliti pun melakukan wawancara serupa dengan seorang
informan tambahan bernama Ibu Melva Samosir dari BUT.SOL Sarullo Operation Limited yakni Badan Usaha Terbuka yang bergerak di bidang
pembangkit listrik tenaga panas bumi dan berlokasi di Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara dimana BUT ini sudah mengurus ijin sebanyak tiga kali di BPPT
Provsu namun untuk yang ditangani langsung oleh Ibu Melva hanya satu saja yakni penerbitan Ijin Lingkungan pada tahun 2013 silam. Beliau mengatakan
prosedur mengurus ijin di BPPT Provsu memang sudah baik dan tidak berbelit – belit.
Berdasarkan jawaban dari informan kunci dan informan utama dalam penelitian ini, waktu dalam mengurus sebuah ijin adalah 15 hari, 1 hari sudah
terhitung penyerahan berkas permohonan. Ketika peneliti menanyakan lama pengurusan ijin yang mereka ajukan kala itu, PT.Binsar Natorang Energi hanya
menunggu waktu selama 1 minggu sedangkan Bapak Dedi Syamsur Riza Nasution,SH mengatakan penanganan dalam memproses sebuah ijin dilakukan
secara profesional yakni sesuai dengan jadwal bahkan lebih cepat sebelum 14 hari sejak dari penyerahan surat permohonan sampai turun ke lapangan. Sementara itu,
BUT.SOL sendiri juga tidak menunggu waktu yang lama dalam menanti proses penerbitan ijin yang dimohonkan yakni kurang lebih selama 2 minggu.
Berkaitan dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon, bagi PT.Binsar Natorang Energi, syarat dalam mengurus sebuah ijin di BPPT Provsu
tergolong normatif,artinya . Jawaban ini senada dengan apa yang dikemukakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
108
oleh Bapak Dedi Syamsur Riza Nasution,SH dan Ibu Melva dari BUT. SOL yang mengatakan
“Persyaratan yang harus dipenuhi masih wajar dan tidak sulit dipenuhi, terkadang ada persyaratan yang pernah saya temui di instansi lain yang tidak
masuk akal dan tidak jelas kegunaannya untuk apa dan tidak relevan namun di BPPT Provsu persyaratan yang harus dipenuhi masih standar.”
Pertanyaan masih seputar pelayanan di BPPT Provsu, berdasarkan pernyataan dari informan kunci dan informan utama, BPPT Provsu sama sekali
tidak memungut biaya bagi pemohon yang mengurus ijin. Hal ini ternyata dibenarkan oleh Bapak Dedi Syamsur Riza Nasution,SH dari PT.Sinar Sawit
Lestari, Ibu Melva Samosir dari BUT.SOL dan juga Bapak Bayu Hardianto dari
PT.Binsar Natorang Energi sebagai pihak yang pernah mengurus ijin di BPPT Provsu. Beliau mengatakan :
“Biaya penerbitan ijin memang tidak ada dipungut. Hanya ada biaya operasional dari perusahaan ketika melakukan survey untuk mendampingi pihak
BPPT Provsu dan Tim Teknis.”
Kualitas pelayanan publik yang prima tentu tidak terlepas dari perilaku para penyelenggara pelayanan publik. Sikap melayani yang baik tentu akan
memberikan kesan yang baik pula bagi mereka yang menerima pelayanan, begitu pun sebaliknya, ketika mereka yang menerima pelayanan merasa dikecewakan,
hanya keluhan yang akan terdengarkan. Sama halnya dengan kualitas pelayanan di BPPT Provsu, sikap maupun perilaku dari penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu
Pintu merupakan salah satu penentu utama Pelayanan Terpadu Satu Pintu sudah berjalan sebagaimana mestinya atau masih belum.
Sebagai pihak yang telah pernah merasakan pelayanan dari penyelenggara
Pelayanan Terpadu Satu Pintu di BPPT Provsu, Bapak Bayu Hardianto dan Bapak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
109
Dedi Syamsur Riza Nasution,SH berpendapat sikap petugas baik dan ramah, pelayanan dari petugas BPPT Provsu juga bagus, ketiga pemohon sama sekali
tidak mengalami kendala selama mengurus ijin di BPPT Provsu. Ibu Melva Samosir juga merasakan hal yang sama, beliau berpendapat :
“Sikap petugas BPPT Provsu ramah dan sopan, mereka juga koperatif. Selama mengurus ijin, kami mengikuti aturan sehingga kami pun tidak mengalami
kendala.”
Secara keseluruhan, peneliti menemukan jawaban maupun penilaian
positif dari Bapak Bayu Hardianto dari PT. Binsar Natorang Energi, dan Bapak
Dedi Syamsur Riza Nasution,SH dari PT. Sinar Sawit Lestari serta Ibu Melva Samosir dari BUT. SOL atas pelayanan yang diberikan oleh BPPT Provsu.
Meskipun demikian, belum pernah ada penyelenggaraan kebijakan pemerintah yang memuaskan setiap pihak sama halnya dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
ini. Untuk itu, peneliti mengajukan pertanyaan kepada informan untuk mengetahui kritik dan saran terhadap penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu khususnya di BPPT Provsu dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan
publik yang prima, Bapak Bayu Hardianto menyarankan:
“Kalau bisa instansi lain khususnya di Sumatera Utara ini dapat meniru BPPT Provsu. Perijinan yang ditangani oleh BPPT Provsu juga kalau bisa ditambah
karena sudah terbukti pelayanan dari mereka bagus.”
Tidak jauh berbeda dengan tanggapan dan saran dari Bapak Dedi Syamsur Riza Nasution,SH tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di BPPT Provsu, beliau
mengatakan : “Pelayanan Terpadu Satu Pintu mempermudah kami sebagai perusahaan swasta
dalam mengurus ijin. Pasalnya, tentu lebih enak, praktis, efisien ketika mengurus ijin hanya dilakukan di satu tempat. Kalau bisa, semua ijin dilimpahkan ke BPPT
Provsu. sebagai pelayan publik, pelayanan di BPPT Provsu juga lebih
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
110
ditingkatkan lagi. Dalam arti, kami sebagai pemasok untuk keuangan daerah harapannya dapat dibantu dan tidak dipersulit”
Dukungan serupa datang dari Ibu Melva Samosir, beliau mengemukakan : “Pelayanan Terpadu Satu Pintu ini cukup efektif, usahakn supaya BPPT Provsu
selalu memberikan pelayanan sesuai Standar Pelayanan Minimal. Untuk kritik, sesungguhnya saya belum bisa sampaikan karena saya juga baru sekali mengurus
ijin disana dan itu baik – baik saja. Sarannya, pelayanan di BPPT Provsu lebih ditingkatkn lagi. Sebagai bagian dari publik, berharap agar apa yang sudah baik
ditingkatkan dan dipertahankan.”
BAB VI ANALISIS DATA
Untuk menganalisis penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di BPPT Provsu, penulis menggunakan analisis kebijakan restrospektif yakni analisis
yang dilakukan sesudah aksi kebijakan dilakukan dengan menggunakan dua tipe analis yang berorientasi pada masalah yang menerangkan sebab – sebab maupun
konsekuensi dari kebijakan dan analis yang berorientasi pada aplikasi yang mengidentifikasi tujuan dan sasaran kebijakan dari para pembuat dan pelaku
kebijakan dimana tujuan dan sasaran kebijakan memberi landasan bagi pemantauan, dan evaluasi hasil kebijakan yang spesifik, yang dapat digunakan
untuk merumuskan masalah – masalah kebijakan, mengembangkan alternatif- alternatif kebijakan baru, dan merekomendasi arah tindakan untuk memecahkan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA