53
2.4 Budaya THK di Penggilingan Padi
Masyarakat di Bali sebagai masyarakat sosial membudayakan budaya THK dalam mengatur kehidupannya dan mengimplementasikan dalam bentuk awig-awig.
Hal ini diperkuat dengan Perda Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
disebutkan pengertian awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman atau krama pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan THK sesuai
dengan desa mewacara dharma agama di desa pakramanbanjar pakraman masing- masing. I
ni menunjukkan bahwa implementasi budaya THK telah digunakan dan diimplementasikan di dalam setiap aktivitas termasuk usaha penggilingan padi. Filosofi
ini mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia akan dapat dicapai bila manusia mampu menjaga keharmonisankeseimbangan hubungan antara tiga faktor dari THK, yaitu
Parhyangan unsur Ketuhanan, Pawongan manusia, dan Palemahan lingkungan.
Keharmonisan merupakan nilai luhur yang harus ada dalam diri setiap individu lalu keluar diwujudkan dalam bentuk penghargaan atau toleransi tinggi terhadap sesama,
antara atasan dan bawahan, antara pengusaha dan pelanggan, antara sesama stakeholder
. Keharmonisan manusia dengan alam lingkungannya sama nilainya dengan dua keharmonisan lainnya. THK tidak hanya hubungan tunggal dengan Tuhan, manusia
dengan manusia, manusia dan alam, tapi lebih jauh merupakan interaksi dan keseimbangan antara ke tiga hubungan ini Peters dan Wardana, 2013.
Budaya THK mengajarkan bahwa kehidupan bersumber atau disebabkan oleh adanya 3 unsur utama yaitu: 1 jiwaatma ; 2 fisikangga; dan 3 tenagaprana. Ke
tiga unsur kehidupan ini, yaitu: jiwa, fisik, dan tenaga adalah Tri Hita Karana. Kebahagiaan atau keharmonisan hita dapat terwujud jika ada tiga penyebab tri
karana yaitu jiwa, fisik, dan tenaga. Hilangnya salah satu dari ke tiga penyebab
kebahagiaan ini akan menghilangkan kebahagiaan itu. Harmonis berarti melakukan hal-
54 hal yang mengandung kebaikan, kesucian yang dimulai dari pikiran, terucap dalam
perkataan dan terlihat dalam tindakanperbuatan. Hal ini berlaku juga pada aktivitas penggilingan padi di Desa Jinengdalem. Di
mana susunan kosmos atau budaya THK di penggilingan padi sebagai berikut; parhyangan
berupa sanggahpemerajan dan pelangkiran sebagai jiwa, penghuni atau pekerja sebagai tenaga penggerak adalah pawongan, dan pekaranganlingkungan
penggilingan padi sebagai tempat atau wadah fisikangganya adalah palemahan. Palemahan
sebagai unsur fisikangga dari THK mengatur keharmonisan dan keseimbangan manusia dengan lingkungan, memberikan turunan konsep ruang yang
disebut dengan Tri angga Dwijendra, 2003. Tri artinya tiga dan angga artinya badan. Tri angga
menekankan pembagian nilai fisik suatu ruang yaitu: utama angga, madya angga,
dan nista angga. Tri angga ini kemudian mendasari pembagian dan peruntukan serta tata ruang di Bali. Tri angga selanjutnya membentuk konsep Tri mandala yang
meletakkan tata nilai secara horizontal menggunakan tata nilai hulu-teben. Tri mandala dipedomani sebagai tata nilai penyelarasan bhuwana agung dan bhuwana alit. Konsep
hulu-teben memiliki tiga orientasi yaitu: 1 berdasarkan sumbu bumi berorientasi kaja-
kelod gunung-laut; 2 berdasarkan arah tinggi-rendah tegeh lebah; 3 berdasarkan
sumbu matahari yakni Timur-Barat matahari terbit dan terbenam Sulistyawati, 1985. Perpaduan orientasi gunung-laut atau kaja-kelod dan Matahari terbit dan terbenam
kangin kauh timur-barat dalam konsep hulu-teben kemudian terbentuk pola sanga
mandala , yang membagi ruang menjadi sembilan segmen. Konsep arah orientasi ruang
dan kosep sanga mandala disajikan pada Gambar 2.5. Konsep tata ruang sanga mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan
kegiatan dan tata letak bangunan dalam desa pakraman, pekarangan rumah, dan areal penggilingan padi dalam arti bahwa kegiatan yang dianggap utama memerlukan
55 ketenangan diletakkan pada daerah utamaning utama kaja-kangin, sedangkan
kegiatan yang dianggap kotorsibuk diletakkan pada daerah nistaning nista kelod- kauh.
Penempatan dan pembangunan pura parhyangan ditempatkan di hulu atau utama mandala dengan pintu masuklawang menghadap kejalan.
Gambar 2.5 Konsep Arah Orientasi Ruang dan Kosep Sanga Mandala Budihardjo, 1986
Di hulu dibangun pura sebagai parhyangan. Selain sebagai tempat suci untuk bersembahyang dan mebanten saiban setiap hari fungsi Pura dan sanggahpemrajan
berkembang menjadi beberapa fungsi ikutan yaitu: 1.
Pemelihara persatuan pada saat ulang tahunodalan tumpek landep pada penggilingan padi, semua pekerja dan pengusaha berkumpul.
2. Pemelihara dan pembina kebudayaan pada saat odalan dipentaskan tari-
tarian sakral, kidung-kidung pemujaan, seni karawitangambelan, seni upakara
sesajen, wayang, dan lain-lain.
56 3.
Pendorong pengembangan pendidikan di bidang agama, adat, dan etikasusila; ketika mempersiapkan upacara odalan, ada kegiatan gotong royong membuat
tetaring tenda, menghias tempat pemujaan pelinggih, majejahitan, masak
bersama mebat, dan lain-lain. Kegiatan keduniawian berupa kegiatan sosial antara pekerja dan pengusaha, ekonomi, ditempatkan pada madya mandala
yaitu ditengah di sekitar wilayah penggilingan padi Gambar 2.5. Dalam kebudayaan Bali juga terdapat nilai-nilai toleransi dan persamaan yang
didasarkan atas konsep tat twam asi aku adalah kamu. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya konsep tri kaya parisudha, yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang baik dan
benar. Hubungan sesama manusia dalam masyarakat Bali dikenal pula dengan konsep nyama braya
. Bila dilihat dari ergonomi pada aspek budaya THK Sutajaya dan Ristiati, 2011,
maka dapat dijabarkan sebagai berikut: 1.
Antropometri yaitu pemanfaatan ukuran tubuh pekerja dalam mendesain alat kerja mengacu kepada konsep asta kosala-kosali.
2. Konsep geometri dalam ergonomi yaitu penentuan jarak antar tempat kerja
menggunakan konsep asta bumi. 3.
Istirahat panjang, istirahat pendek, dan kerja lembur mengacu pada konsep pamali
dalam bekerja di siang hari tengai tepetrikala tajeg Sang Hyang Surya dan bekerja sandikala menjelang malam serta bekerja malam hari.
4. Bonus kerja dalam ergonomi mengacu pada konsep sarin pegae
5. Kenyamanan kerja dalam ergonomi mengacu pada penempatan pelangkiran di
setiap tempat kerja relevan dengan konsep spirit dan kenyamanan dalam bekerja.
6. Motivasi kerja dalam ergonomi mengacu pada rasa jengah dalam berkarya.
57 7.
Kerjasama tim yang kondusif dalam ergonomi mengacu pada konsep sagilik- saguluk, salunglung-sabaya-antaka
dan menyama-braya. 8.
Upaya maintenance peralatan kerja dalam ergonomi mengacu pada upacara tumpek landep.
2.5 Ergo THK dalam Konsep Keseimbangan Ergonomi