commit to user
berupa benda yang berbentuk konkret, meskipun ada pula yang abstrak. Uraian kajian kompleksitas hasil budaya novel Ca Bau Ka n karya Remy Sylado disajikan secara
rinci berikut ini.
a. Kompleksitas Hasil Budaya Berbentuk Bahasa
Kompleksitas hasil budaya berupa bahasa menunjukkan beberapa temuan yang khas. Temuan bahasa baik lisan maupun tulisan terdapat dalam hasil kajian
novel Ca Bau Kan karya Remy Sylado. Sejumlah 5 data mewakili kompleksitas hasil budaya berupa bahasa tersebut. Penyederhanaan analisis dilakukan dengan
menyimbolkan temuan kompleksitas hasil budaya berbentuk bahasa menjadi KH.B.
Temuan yang pertama adalah wujud bahasa lisan yang direpresentasikan dalam bentuk tuturan Tan Peng Liang 1 dari Tangerang dan tokoh utama Tan
Peng Liang dari Semarang. Kedua tokoh tersebut menggunakan campur kode ragam bahasa daerah dalam berkomunikasi. Perhatikan paparan berikut ini.
“ Daek lu dibawa ku aing ka Sewan?” kata Tan Peng Liang ....“ Teuing berapa malam” , jawab Tang Peng Liang.“ Pokokna
sampai aing bosan siah.” KH3.TPL1.B
“ Nyanyimu ciamik tenan” .... “ O? Kalok lu bisa nyanyi kayak diak-e, lu thak bayar sepuluh kali
lipat,” kata Tan Peng Liang. KH8.TPL.B
Jika ia berkata “ dia” , yang diucapkannya adalah “diak-e; kata “ di mana” menjadi “ ada mana” atau “ dah mana” ; “ ambilkan”
ja di “ ambik-ke” ; “ tidak dapat” jadi “ ndak isa” ; “ lihat” jadi
commit to user
“ liak” ; “ cantik” jadi “ ciamik” ; “ sial” jadi “cialat” ; dan seterusnya
.KH14.N.B
Data tersebut menunjukkan pengaruh bahasa daerah dalam komunikasi masyarakat Tionghoa, yang dalam hal ini adalah tokoh Tan Peng Liang Tangerang
dan Tan Peng Liang Semarang. Campur kode bahasa Sunda dilakukan Tan Peng Liang Tangerang TPL1 sebagaimana dalam kutipan KH3.TPL.B. Penggunaan
kata ‘ daek yang menggantikan kata tanya ‘maukah’, kemudian aing sebagai pengganti ‘saya’, kemudian teuing yang bermakna tidak tahu. Campur kode
tersebut berlaku dalam kalimat yang dia ucapkan sehari-hari dalam konteks biasa atau santai, bukan formal.
Bentuk serupa tapi sedikit berbeda adalah bentuk tuturan Tan Peng Liang dari Semarang yang mencampur kode bahasa Jawa dialek Semarangan dengan
bahasa Indonesia, atau Melayu Pasar. Data KH8.TPL.B dan KH14.TPL.B menunjukkan ciri khasnya tersebut. Secara khusus bahkan telah dipaparkan dalam
narasi pengarang bahwa Tan Peng Liang memang memiliki corak khusus dalam gaya bahasa yang digunakannya. Fenomena yang terjadi pada kedua Tan Peng
Liang tersebut secara logis ditunjukkan pengarang dengan latar belakangnya sebagai Kiau Seng campuran Jawa-Tionghoa. Sedangkan Tan Peng Liang dari
Tangerang bisa jadi juga merupakan Kiau Seng, namun tidak secara rinci disinggung dalam novel Ca Bau Kan.
Temuan mengenai bentuk kompleksitas hasil berupa bahasa dalam novel tersebut juga tampak dalam dialog para tokohnya. Tokoh yang mula-mula muncul
dalam bentuk bahasa yang khas adalah Njoo Tek Hong.
commit to user
Terpatah-patah Tinung menjawab, ” Iye, Engkoh.” Njo Tek Hong gemas.Suaranya lebih nyaring.Nadanya mengejek,
bukan marah.“ Engkoh la gi.” Dan Njo Tek Hong ketawa. “ Hei, gua udah tua, ngarti nggak lu? Semuanya memanggil gua Engkong,
bukan Engkoh. Lu juga kudu ma nggil gua Engkong, ngarti nggak lu?
”KH10.NTH.B
Kutipan data tersebut menyatakan bentuk panggilan’engkoh’ dan ‘engkong’. Konsep panggilan ‘engkoh’ ditujukan pada laki-laki Tionghoa yang
berusia muda hingga setengah baya, sedangkan panggilan ‘engkong’ ditujukan pada laki-laki yang berusia lanjut, dan lazimnya telah memiliki cucu. Namun
panggilan ‘engkong’ juga dimaksudkan memberi kesan hormat kepada orang yang dituju.
Bentuk bahasan campuran Indonesia-Tionghoa juga tampak pada dialog tokoh baik anggota Kong Koan, maupun Tang Peng Liang. Pengurus Kong Koan
yang sering ditampakkan dalam novel banyak menggunakan campuran kata wo yang berarti saya, ni yang berarti kamu, lu Betawi yang berarti kamu, dsb.
Beberapa istilah khas yang muncul dalam penggunaan bahasa tokoh-tokoh dalam novel ini misalnya centeng dan cempiang yang bermakna sama dengan pengawal
atau tukang pukul, sekia yang berarti anak perempuan, ta uke yang berarti bos atau juragan, chixiang yang berarti adalah si cantik dan sebagainya.
Selain bentuk komunikasi yang berupa campur kode bahasa Melayu Pasar dengan bahasa Tionghoa, maupun campur kode antara bahasa Melayu
Tionghoa dengan bahasa daerah, juga ditemukan adanya penggunaan bahasa tulis dalam novel Ca Bau Kan. Penggunaan bahasa tulis itu terdapat dalam tulisan
commit to user
tangan Oey Eng Goan kepada Thio Boen Hiap agar tidak jadi membakar gudang Tan Peng Liang. Gambar tulisan tangan Oey Eng Goan dengan bentuk kaligrafi
Cina KH27.N.B terdapat di halaman 132. Dari bentuk tulisan tangan Oey Eng Goan tersebut tergambar bentuk kaligarafi Cina dengan menggabungkan adanya
aliran sastra Wan Yen dengan Pai Hwa. Berdasarkan temuan pada kompleksitas hasil budaya berupa bahasa
dalam novel Ca Bau Kan, diketahui bahwa bahasa yang muncul adalah bahasa Tionghoa dengan mengalami percampuran kode dengan bahasa daerah, dan
bahasa Indonesia. Namun demikian tidak ditemukan pencampuran kode bahasa Indonesia maupun Tionghoa dengan bahasa Belanda. Selain itu wujud bahasa juga
tampak secara tertulis dalam komunikasi antartokoh, yakni melalui media surat. Ada pula penggunaan kaligrafi berisi puisi Cina dalam upacara pemakaman.
b. Kompleksitas Hasil Budaya Berbentuk Sistem Pengetahuan