Muhammad Sholehuddin S841108017

(1)

KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN

NOVEL

CA BAU KAN

KARYA REMY SYLADO

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

Muhammad Sholehuddin S841108017

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2013


(2)

KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN

NOVEL

CA BAU KAN

KARYA REMY SYLADO

TESIS

Oleh

Muhammad Sholehuddin S841108017

Komisi Nama Tanda Tangan Tanggal Pembimbing

Pembimbing I Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. --- NIP 196204071987031003

Pembimbing II Prof. Dr. Herman J. Walu yo, M .Pd. --- NIP 194403151978041001

Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal ...2013

Ketua Pro gram Studi Pendid ikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196204071987031003

Januari 2013


(3)

KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN

NOVEL

CA BAU KAN

KARYA REMY SYLADO

TESIS

Oleh

Muhammad Sholehuddin S841108017

Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Ketua Prof. Dr. Andayani, M.Pd.

NIP 196010301986012002 --- Sekretaris Dr. Su yitno, M.Pd .

NIP 195201221980031001 ---

Anggota Penguji

I

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. --- NIP 19620407 1987031003

I Prof. Dr. Herman J. Walu yo, M .Pd. --- NIP 194403151978041001

Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat

pada tanggal ...20133

Mengetahui; Ketua Pro gram Studi Direktu r Program Pascasarjana UNS Pendid ikan Bahasa Indonesia

Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunu s, M.S. Prof. Dr. S arwiji Suwandi, M.Pd . NIP 196107171986011001 NIP 196204071987031003


(4)

---PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul : “KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA DAN NILAI

PENDIDIKAN NOVEL CA BAU KAN KARYA REMY SYLADO ini

adalah kar ya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmia h yang pernah diajukan o rang lain untuk memperoleh gelar akad emik serta tidak terdapat kar ya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali secara tertu lis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan d isebutkan dalam sumber acuan serta daftar pu staka. Apab ila di kemudian hari terbukti terdap at plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perund ang-und angan (P ermendiknas No 17, tahun 2010)

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seizin dan menyertakan tim pemb imbing sebagai a uthor dan PPs UNS seb agai institusin ya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam b ulan sejak pengesahan Tesis ini, maka Prodi Pendidika n Bahasa Indonesia PPs UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS. Apab ila sa ya melakukan pelanggaran dari ketentu an pub likasi ini, maka saya bersed ia mendapatkan sanksi akad emik yang b erlaku.

Surakarta, Januari 2013 Mahasiswa,

Muhammad Sholehuddin S841108017


(5)

MOTTO

Sifat orang yang berilmu tinggi adalah merendahkan hati kepada manusia


(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini kup ersembahkan untuk: 1. ibu

2. istriku tercinta dan anak-anakku 3. civitas akademika IKIP PGRI

Bo jonego ro

4. teman-teman kelas p aralel S-2 PBI UNS angkatan 2011


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syu kur ke hadirat Allah SWT atas segala kasih sayang-Nya, sehingga tesis ya ng berju du l “Ka jian An tropologi Sa stra dan Nila i P endidika n Novel C a Ba u Ka n ka r ya Remy Sylado” ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua p ihak yang memb antu dalam proses penulisa n tesis ini. Secara khusus, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepad a yang terhormat:

1. Prof. Dr. Ravik Karsid i, M.Pd., Rektor Universitas Sebelas M aret Surakarta yang telah memberikan izin p enulis untuk melaksanakan penelitia n.

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., Direktur PPs UNS yang telah memberikan iz in penyusunan tesis ini.

3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Ketua Pro gram Studi S -2 Pendidikan Bahasa Indo nesia, sekaligus pembimb ing I tesis yang telah memberi pengarahan, masukan, saran dan perbaikan dalam penyu sunan tesis ini. 4. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M .Pd., Pembimbing II tesis ini ya ng su dah

memberi pengarahan, b imbingan dan motiva si tiada henti d engan sangat sab ar. Kesab aran itulah yang akhirnya meyakinkan penu lis bahwa penu lis mampu untu k menyelesaikan penelitian ini.

5. Secara pribadi, terima kasih disamp aikan kepad a ibu (Hj. Siti M uhanik), istriku tercinta Yuli Ika Lestari dan anakku A.Musthafa Ibrahim (Baim) beserta seluru h kelu arga yang telah memb erikan motivasi yang luar biasa sehingga penu lis selalu bersemangat dalam menyelesaikan tesis ini.


(8)

Akhirnya, penulis hanya dapat mendoakan semoga Allah S WT senantiasa melimp ahkan berkah dan rahmat-Nya kepada semua pihak tersebut d i atas. Semoga tesis ini bermanfaat untu k pembaca.

Surakarta, 31 Januari 2013 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ...i

PENGESAHAN PEMBIMBING ...ii

PENGESAHAN PENGUJI TESIS ...iii

PERNYATAAN ...iv

MOTTO...v

PERS EM BAHAN ...vi

KATA PENGANTAR ...vii

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

ABSTRAK ...xii

i ABSTRACT ...xi

v BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Ru musan M asalah ...7

C. Tujuan Penelitian...8

D. M anfaat Penelitian ... ...8

1. M anfaat Teoritis ... ...8

2. M anfaat Praktis ...8

BAB II TINJAUAN P USTAKA ...10


(10)

1. Hakikat Novel ...10

a. Pengertian No vel ...10

b. Stru ktur Novel ...13

2. Hakikat Pendekatan Antropolo gi Sastra ...25

a. Pengertian Antropologi ...25

b. Pengertian Antropologi Sastra ...27

c. Langkah-langkah Penerapan Pendekatan Antropologi Sastra terhadap Novel Ca Ba u Kan ...35

d. Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Ind onesia ...39

3. Hakikat Nilai Pendidikan ... ...41

a. Hakikat Nilai ... ..41

b. Pengertian Pendidikan ... ... ...43

c. Macam-macam Nilai Pendidikan ...46

1) Nilai Agama ...47

2) Nilai Moral ...48

3) Nilai Bu daya ...49

4) Nilai Sosial ...51

B. Penelitian yang Relevan ...53

C. Kerangka Berp ikir ...56

BAB III M ETODE PENELITIAN ...59

A. Tempat dan Waktu Penelitian ...59

B. Bentuk dan Pend ekatan P enelitian ...60

C. Data dan Sumb er Data ...61

D. Teknik Pengumpulan Data...62


(11)

F. Teknik Analisis Data ... ... ...64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...66

A.Hasil Penelitia n ... ...66

1. Kompleksitas Ide d alam Novel Ca Ba u Ka n Karya Remy S ylad o ...66

2. Kompleksitas Aktivitas Tokoh dalam Novel Ca Ba u Ka n Karya Rem y Sylado...88

3. Kompleksitas Hasil Bud aya dalam Novel Ca Bau Ka n Karya Remy S ylado 113 4. Nilai Pendidikan dalam Novel Ca Bau Kan Karya Rem y S ylado …… …… .137

B. Pemb ahasan Hasil penelitian…… …… …… … …… ……… …… …… …… ..170

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN…… …… …… …… …… ….236

A. Simpu lan …… …… …… …… …… ……… …… …… …… …… ……… …236

B. Imp likasi …… …… …… …… …… ……… …… …… …… …… ……… …238

C. Saran…… …… …… …… …… ……… …… …… … …… ……… …… …...240

DAFTAR PUSTAKA…… …… …… …… …… ……… …… …… …… …… ….. 242


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Kodifikasi Data Kompleksitas Ide dalam Novel

Ca Ba u Kan Karya Remy S ylado... Kodifikasi Data Kompleksitas Aktivitas dalam Novel

Ca Ba u Kan Karya Remy Sylado... Kodifikasi Data Kompleksitas Hasil Budaya dalam Novel

Ca Ba u Kan Karya Remy Sylado... Lampiran 2 Sinop sis Novel Ca Bau Kan Karya Remy Sylado... Lampiran 3 Glosarium


(13)

Muhammad Sholehuddin. S841108017. 2013. “Kajian Antropologi Sastra dan

Nilai Pendidikan Novel Ca Bau Kan Karya Remy Sylado”. TESIS.

Pembimbing I Prof. Dr. Sarwiji Suwand i, M .Pd., II: Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. Program Studi P endidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Seb elas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Pengkajia n novel dengan pendekatan antropologi sastra merupakan seb uah pendekatan baru terhadap telaah karya sastra. Selama ini antropologi sastra banyak d igunakan untuk menelaah mitos-mito s dan folklo re. Pengkajian novel Ca Ba u Kan karya Remy S ylado denga n p endekatan antropologi sastra ini bertujuan untuk mendeskripsikan da n menjelaskan: (1) kompleksitas ide novel Ca Ba u Ka n

karya Rem y Sylad o, (2 ) komp leksitas aktivitas tokoh tokoh novel Ca Ba u Kan

karya Rem y S ylado, (3) komp leksitas hasil budaya novel Ca Ba u Ka n karya Rem y S ylado, (4) nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ca Ba u Ka n karya Rem y Sylado.

Penelitian ini menggu nakan metode kualitatif. Data penelitian ini berupa novel Ca Ba u Kan karya Remy S ylado. Penelitian ini menggunakan pendekata n antropologi sastra untuk mendeskrip sikan kompleksitas ide, aktivitas tokoh, dan hasil budaya novel Ca Ba u Ka n. Teknik pengumpu lan data yang d igunakan dalam penelitian ini adalah teknik noninteraktif dengan membaca novel dan analisis dokumen. Validasi data menggunaka n trianggulasi data. Teknik analisis data menggunakan konten analisis denga n tiga unsur kegiatan, yaitu reduksi d ata, penyajian d ata dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.

Hasil penelitian ini men yimpulkan: a) kompleksitas ide novel Ca Ba u Kan karya Rem y S ylado terdiri dari lima pandangan hidup masyarakat Tionghoa, yaitu kompleksitas id e tentang: (1) hakikat hidup manusia, (2) hakikat karya manusia, (3) hakikat kedudu kan manusia dalam ruang dan waktu, (4) pand angan manusia terhadap alam semesta, dan (5) hakikat hubungan antarmanusia, b) kompleksitas aktivitas to koh novel Ca Bau Kan karya Rem y S ylado terdiri dari: kompleksitas aktivitas tokoh yang b erhubungan dengan (1) kekerabatan, (2) ekonomi, (3) pendidikan, (4) kegiatan ilmiah, (5) estetika dan rekreasi, (6) religi, (7) politik, dan (8 ) somatis, c) kompleksitas hasil budaya novel Ca Ba u Kan karya Remy S ylad o dibagi d alam beberapa jenis, yakni kompleksitas hasil budaya berb entuk: (1) b ahasa, (2 ) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4 ) teknologi, (5) alat produksi/mata pencarian, (6 ) religi, dan (7 ) kesenian, d) nilai-nilai pendidikan yang ditemu kan dalam no vel Ca Ba u Ka n dipilah menjadi empat je nis, yakni (1) nilai religi, (2) nilai mo ral, (3) nilai sosial, dan (4) nilai budaya. Kata kunci: antropo logi sastra, novel Ca Bau Kan, nilai-nilai pendidikan.


(14)

Muhammad Sholehuddin. S 841108017. 2013. “Literary Anthropology Study

and Education Value of Novel Ca Bau Kan Authored by Remy Sylado”.

THESIS . Advisor: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Co-Adviso r: Prof. Dr. Herman J. Walu yo, M.Pd. The Stud y Program of Ind onesian Language Educatio n, Postgraduate Program, Sebelas Maret University Surakarta.

ABSTRACT

Novel stud y with literary anthropolo gy app roach is a new approach toward literature stud y. So far, literary anthro pology is frequently used to review myths and folklore. The stud y aims at describing and explaining: (1) the idea co mplexity o f novel Ca Bau Kan authored by Rem y S ylado; (2) the characteristics co mplexity activity of novel Ca Bau Kan authored by Rem y Sylado; (3) the cu ltural comp lexity resu lt of novel Ca Ba u Ka n authored b y Remy S ylado ; and (4) the edu cation values that lay in novel Ca Bau Kan au thored b y Rem y Sylado.

The study methodology is a qualitative research. The data o f this research is a novel entitled Ca Ba u Ka n. This research used literary anthropology app roach to know about the idea co mplexity, characteristics complexity activity, cultural co mplexity result of no vel Ca Ba u Ka n authored by Rem y S ylado . Techniq ues of co llecting data are reading novel and analyzing do cument. The validatio n o f the data applied trianggulation d ata. Techniques of the data analysis is content analysis with the three elements of activity, namely data reduction, d ata presentation and conclusio n or verification.

The research resu lt shows that: a) the idea complexity of novel Ca Ba u Ka n authored b y Rem y S ylado divid ed into five Chinese way of life idea co mplexity about the essence of: (1) human life, (2) human creation, (3) human position in space of time, (4 ) hu man point of view to the universe, and (5) human relationship, b) the characteristics complexity activity of novel Ca Ba u Ka n

au thored by Remy S ylado co nsists o f some resultants such activity complexity that related to: (1) the fraternity, (2) economy, (3) education, (4) scientific activities, (5) the aesthetic and recreation, (6) religion, (7) politic, and (8) somatic, c) the cultu ral complexity result of novel Ca Ba u Ka n au thored by Rem y Sylado divided into some kind, such complexity of cultural results in (1) language, (2) knowledge system, (3) so cial organization, (4) technolog y, (5) production too ls or occup ation, (6) religio n, and (7) arts. d) Education values that fou nd in no vel Ca Ba u Ka n authored b y Rem y S ylad o divided into four kinds, such as: (1) religious value, (2) mo ral value, (3) social valu e, and (4) cu ltural value.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya fiksi merupakan sebuah rep resentasi gamb aran kehidupan manusia. Berbagai problematika dan dinamika kehid up an disajikan melalui jalinan kisah kehidupan para tokoh di dalamnya. Selain seb agai sebuah karya dengan struktur pembentuk sebagai unsur artistik, di d alam karya fiksi ju ga tercermin berbagai asp ek ke hidup an manu sia. Berb agai aspek kehidupan tersebut tergambar, baik secara fisik, psikolo gis, maupun sosial budaya.

Berdasarkan pandangan terseb ut, kajian sastra tidak lagi hanya difokuska n pada aspek keindahan struktur fisiknya. Akan tetapi, kajian sastra secara interdisipliner dapat bersinergi denga n berbagai kajian ilmu sosial humaniora la innya. Berbagai pendekatan interdisipliner diperkenalkan, di antaranya bidang psikologi, sosial, sampai aspek antropologisn ya. Semua pendekatan tersebut diharapkan mampu menjadi media memaham i kedalaman khazanah sastra sebagai miniatu r kehidupan manusia yang d ihadirkan oleh pengarang.

Dari berbagai pendekatan yang ada, p enelitian sastra ini akan difokuska n pada pemahaman aspek antropologi seb uah karya fiksi. Ditinjau dari pendekatan antropologis, mencari hubungan antara antropologi budaya dan sastra atau seb aliknya tidaklah b egitu sulit, terleb ih setelah munculnya Struktu ralisme Levi-Strauss dan Posmodernisme. Semenjak itu, kesalingberhubungan antara antropologi budaya dan sastra, baik pada tataran teoretis maupun pada tataran


(16)

kajian fenomena empiris, menjadi semakin jelas dan ku at. Sebagai sebuah disip lin yang perkemb angannya sangat ditentukan oleh data yang ditampilkan dalam bentuk etnografi, maka antropologi b ud aya memang tidak p ernah terlepas dari sastra, b aik secara langsung maupun tidak langsung.

Sebagaimana halnya sastra lisan, sastra d alam bentuk yang tertulis (dalam hal ini novel) juga dapat diperlakukan seb agai ob jek material, baik seb agai “pintu masuk” untuk memahami kebudayaan tertentu, maupun sebagai salah satu unsur kebuda yaan yang sed ang dipelajari. M elalui penelusuran atas dimensi-dimensi dan implikasi-imp likasi antropologis te ks-teks sastra, tidak hanya bisa ditemukan model-model interpretasi tertentu, melainkan juga dap at diperoleh kemungkinan jawaban atas pertanyaan sep utar masalah kebudayaan masyarakat tertentu.

Dalam disiplin antropologi, p engkajian atas su mber-su mber literer sep erti mitos-mito s, dongeng, riwayat hid up , dan jenis-jenis sastra lisan lainnya merupakan su atu praktik yang sudah secara u mum d iterima (a ccepta ble). Suatu hal yang lazim apabila dalam kasus mas yarakat yang “melek huru f”, para ahli antropologi beralih kep ada sumber-sumb er tertulis seperti berita-berita di su rat kabar atau karya-karya sastra. Tidak heran kalau novel-novel pu n d iperlaku kan pula sebagai sumb er data antropologis. Kajian-kajian antropolo gis semacam ini selalu mengasumsikan b ahwa p ersepsi-persepsi pengarang terhadap dunia (terhadap alam, terhadap relasi-relasi sosial) telah terbentuk oleh lingkungan budayanya.

Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para p emerhati antropologi sastra adalah citra arketipe dan atau citra primordial. Secara historis,


(17)

ciri-ciri arketipe masuk d alam analisis karya sastra melalui dua jalur. Pertama, melalui p sikologi analitik Jung, kedua melalui antropologi kultural. Psikologi analitik Jung menelusuri jejak-je jak p sikologis, tipolo gi pengalaman yang tampil secara berulang, sebagai ketaksadaran rasial, sep erti mito s, mimpi, fantasi, dan agama, termasuk karya sastra. Sedangkan antropolo gi kultural menelusuri pola-pola elemental mitos dan ritual yang pada umu mnya terkandung d alam lege nda dan seremoni. Dalam karya sastra gejala ini tamp ak melalu i deskripsi pola-pola naratif, tipologi to koh-tokoh (Nyo man Kutha Ratna, 2009:354).

Berpijak dari pendap at Nyoman Ku tha Ratna tersebut, kajian antropologi sastra berkaitan erat dengan psiko logi dan perilaku budaya manusia. Pendapat tersebut juga membuka kemungkinan adanya variasi dan p erkembangan budaya seb agai hasil interaksi ke dalam dan keluar kebudayaan, yang salah satunya berwujud karya sastra. Karya sastra sebagai salah satu bentuk hasil budaya manusia terpengaru h aspek kesukuan, geografis d an nilai-nilai yang berkemb ang seb agai wujud pemikiran b ud aya masyarakat. Hal itu d idukung o leh kondisi geografis Ind onesia sebagai ne gara kep ulauan yang memiliki beragam suku. Setiap suku memiliki sistem budaya dan bahasanya masing-masing. Kekayaan budaya ini semakin bertambah d engan ko ndisi geografis Nusantara yang menjadi ja lur p erdagangan dan pela yaran sejak berabad-abad lalu, sehingga menimbulkan persinggungan budaya dengan kedatangan para perantau b aik d ari Timur Tengah, Ind ia, China, maupun Eropa, yang datang ke Indonesia dengan berbagai tuju an. Di situlah muncul proses akulturasi, bahkan asimilasi, yang pad a akhirnya memunculkan ragam tradisi dan hasil-hasil bud aya yang baru .


(18)

Dalam bidang sastra fakta-fakta b udaya tersebut menjadi salah satu sumber inspirasi bagi para penulis untuk menghasilkan karya-karyanya. Di antara karya yang berusaha memo tret hasil-hasil budaya beserta sejarahnya adalah novel “Ca Ba u Ka n” karya Remy S ylado. Novel terseb ut b erusaha mengangkat sejara h dan warisan b ud aya Tiongho a di Indonesia. Novel Ca Bau Ka n karya Rem y Sylad o mencoba mengangkat kehid up an masyarakat Tionghoa di wila yah Batavia atau Jakarta pada masa akhir pend udukan Be landa atau sekitar tahun 1 930-an sampai masa awal kemerdekaan atau sekitar tahun 1950-an.

Hal yang menarik d ari pencip taan novel tersebu t terletak p ada latar belakang penu lis novel yang bukan keturunan Tionghoa. Remy S ylado, penulis novel Ca Ba u Ka n, lahir d i Makassar 12 Juli 1945. Dia dikenal sebagai salah satu sastrawan Indonesia yang cu kup produktif. Nama sebenarnya adalah Yapi Panda Abdiel Tambayo ng (Japi Tambajong). Dia menghabiskan masa kecil d an remaja di Solo dan Semarang. Sejak usia 1 8 tahun Remy S ylado sudah menulis kritik, puisi, cerp en, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman popu ler, juga buku-buku mu sikologi, d ramaturgi, bahasa, dan teologi. Dalam penulisan karya-karyan ya ia memiliki sejumlah nama samaran seperti Dova Zila, Alif Dana M unsyi, Ju liana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel.

Dalam karya fiksin ya, sastrawan ini sering mengenalkan kata-kata Ind onesia lama yang sudah jarang d ip akai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain ku alitas tu lisannya yang sud ah tid ak diragukan lagi. Penulisan no velnya pun didukung dengan riset yang mend alam. Bahkan u ntu k riset karya-karyanya, Rem y S ylado juga rajin ke Perpustakaan Nasional untuk


(19)

membo ngkar arsip tu a, d an menelusuri pasar buku tua. Rem y S ylado dikenal seb agai penu lis yang produktif. Ha l ini terbukti dari kar ya-karya yang dihasilkan antara lain Orexa s, G a li Loba ng Gila Lobang, Siau Ling , Kerudung Mera h Kirmizi (2002). Kembang J epun (2003), Ma ta ha ri Melbourne, Sa m P o Kong

(2004), Rumahku di Ata s Bukit, 9 da ri 10 Ka ta Baha sa Indonesia ada lah Bah a sa Asing, dan D ra ma Musika lisa si Ta r ragon “ Born To Win “ , dan lain-la in.

Dari sekian banyak karya Remy Sylado, peneliti memilih novel Ca Ba u Ka n seb agai sumber data kajian antropologi sastra. Hal ini karena novel Ca Bau Ka n dianggap mampu menampilkan wujud interaksi antarbudaya di Ind onesia, khusu sn ya budaya Tio ngho a dan budaya lo kal di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah, pasang surut hu bungan masyarakat pribumi dengan mas yarakat Tionghoa peranakan kerap terjadi. Bahkan tidak jarang sampai berujung p ad a kerusuhan dan pembantaian etnis Tionghoa d i Indonesia. Hal ini mungkin terjadi karena buruknya komunikasi budaya antara etnis Tiongho a dan p enduduk lokal. Kondisi ini diperp arah dengan ad anya berbagai peratu ran ya ng cenderung menyu dutkan posisi etnis Tio nghoa di Ind onesia, b aik pada zaman penjajahan maupun pad a masa pemerintahan orde baru.

Pascatragedi kerusuhan Mei 1998 yang merenggut b anyak korban, khusu sn ya etnis Tionghoa, kehadiran novel ini seakan men yegarkan kembali hubungan ke-Bhineka-an masyarakat. Kehad iran novel ini seolah ingin menajam kan kembali ingatan masyarakat, bahwa etnis Tionghoa adalah bagian dari keragaman nusantara yang telah ada sejak beb erap a abad lalu. Keberad aan etnis Tionghoa telah mewarnai dinamika b udaya Ind onesia dengan p roses


(20)

akulturasi dan asimilasi. Bahkan di masa p erang maupun pergerakan kemerdekaan, tidak sedikit warga keturunan Tionghoa yang turut and il dalam mewujudkan kedaulatan negara.

Kemunculan novel ini u ntuk pertama kalinya pada tahu n 1999 mendap at ap resiasi yang cukup positif dari mas yarakat. Sampai 3 tahun penerbitannya, tepatnya pada tahun 2002, novel ini sud ah mengalami 7 kali cetak ulang. Bahkan pada tahu n tersebut, cerita novel ini diangkat ke layar leb ar, d iproduksi sebagai film dengan judul yang sama, yaitu Ca Ba u Ka n. Kehad iran film yang dibintangi aktor Ferry Salim dan aktris Lo la Amaria serta aktor-aktor film nasio nal ini pu n mendapatkan sambutan positif dari masyara kat, khu susnya masyarakat Tionghoa yang telah mendapatkan persamaan kedudukan dan kebebasan di awal era refo rmasi. Film Ca Ba u Ka n ini sekaligus menjadi tonggak lahirn ya film-film berlatar etnis Tionghoa d i Indonesia.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang id eal tentang keka yaan khazanah budaya Tio ngho a di Ind onesia. Kesalingpahaman antarbudaya memungkinkan terjadinya toleransi antarseluruh warga negara, sehingga masyarakat dapat hidup saling berdampingan dan menghargai keberagaman budaya yang ad a.

Dengan semakin p ud arnya kearifan lokal d i Indonesia akibat kuatnya pengaruh globalisasi, maka perlu dilakukan usaha untuk melestarikan ragam budaya Indo nesia, termasuk dalam bidang sastra. Perlu lebih banyak karya sastra yang mampu mend eskripsikan kekayaan dan keragaman budaya. Selain itu, tentunya dib utu hkan pu la penelitian-penelitian yang mampu memb antu


(21)

masyarakat menginterpretasi fakta-fakta b ud aya yang terkandung dalam karya sastra. Oleh karena itu, penu lis memandang perlunya dilakukan kajian yang tepat untuk membantu masyarakat mengapresiasi karya sastra tersebut.

Berdasarkan pend ekatan-pendekatan yang ada peneliti tertarik mengkaji novel melalui p endekatan antropologi sa stra. Pemilihan pendekatan tersebut did asari banyaknya temuan aspek b ud aya yang terd apat d alam novel. Aspek budaya tersebut selanjutnya dianalisis secara menda lam yang meliputi kompleksitas ide, ko mpleksitas aktivitas maupun kompleksitas hasil budaya. Fokus kajian dalam penelitian ini melipu ti aspek antropologi serta nilai pendidikan yang terkandung dalam no vel.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan kajian latar belakang masalah yang telah penulis uraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah kompleksitas id e dalam novel Ca Ba u Kan karya Rem y Sylado?

2. Bagaimanakah kompleksitas aktivitas toko h dalam novel Ca Ba u Ka n karya Remy S ylado?

3. Bagaimanakah kompleksitas hasil budaya dalam nove l Ca Ba u Kan karya Remy S ylado?

4. Bagaimanakah nilai pendidikan d alam no vel Ca Ba u Ka n karya Rem y Sylado?


(22)

C. Tujuan Penelitian

1. M endeskrip sikan dan menjelaskan kompleksitas ide dalam novel Ca Ba u Ka n

karya Remy S ylado .

2. M endeskrip sikan d an menjelaskan kompleksitas aktivitas tokoh dalam novel

Ca Ba u Ka n karya Remy S ylado.

3. M endeskrip sikan dan menjelaskan kompleksitas hasil b udaya dalam novel Ca Ba u Ka n karya Rem y Sylado.

4. M endeskrip sikan dan menjelaskan nilai-nilai pend idikan yang terkandung dalam novel Ca Bau Ka n karya Rem y Sylado.

D. Manfaat Penelitian

1. M anfaat Teoritis

a. Memp erka ya khasanah ilmu pengetahu an d i bidang sastra.

b. Menambah khasanah pustaka Ind onesia agar nantinya dapat digunaka n seb agai penunjang kajian yang relevan dan bahan perbandingan bagi penelitian selanju tnya.

2. M anfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat kep ada pembaca d an p enikmat kar ya sastra, khususnya guru, siswa, dan peneliti selanjutnya untuk memahami dan mengapresiasi novel Ca Bau Ka n karya Remy S ylado.


(23)

a. Bagi Guru

Penelitian ini memberi gambaran bagi guru d alam memb imbing siswanya untuk menganalisis no vel dengan pendekatan antropo logi sastra. Selain itu, kekayaan nilai dalam novel ini d apat menjadi bahan ajar guru dalam menanamkan rasa toleransi sekaligus dalam menanam kan karakter positif pada siswa.

b. Bagi S iswa

Siswa dapat mempero leh pengetahu an tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Ca Bau Ka n karya Rem y Sylad o, sehingga dapat mengimplementasikan nilai-nilai pendidika n tersebut dalam ke hidupan sehari-hari.

c. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini dap at memberikan b ahan referensi bagi para p eneliti yang ingin meneliti lebih lanjut tentang novel Ca Ba u Ka n karya Rem y Sylado.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori 1. Hakikat Novel

a. Pengertian Novel

Karya fiksi meru pakan salah satu genre sastra yang kian berkernbang dan ban ya k digemari masyarakat. Hal ini d isebabkan dalam karya fiksi disuguhkan berbagai masalah kehidupan d alam hubungannya dengan sesama dan lingkungan. Fiksi dapat membuat pembaca menghab iskan waktu untuk ikut berinteraksi dengan berbagai persoalan kehidupan.

M enuru t Herman J. Walu yo (2002: 136-137 ) "Cerita rekaan/fiksi dibangun oleh dua unsur poko k, yakni: a pa yang dicer ita ka n dan teknik (metode) pencerita a n. Isi atau materi yang diceritakan tidak dap at dipisahkan dengan cara penceritaan, Bahasa yang digunakan untuk bercerita disesu aikan dengan isi, sifat, perasaan, d an tujuan apa cerita itu. Cerita rekaan adalah wacana yang dib angun o leh beberapa unsur. Unsu r-unsur itu memb angu n suatu kesatuan, kebulatan, dan regulasi d iri atau membangun sebuah struktur. Unsur-unsur itu bersifat fungsional, artinya dicipta pengarang untuk menduku ng maksud secara keseluruhan, dan maknanya ditentukan oleh keselu ruhan cerita itu ".


(25)

Suminto A. Sayuti men ya ndingkan cerita rekaan/fiksi dan novel pada deretan kata yang memiliki makna yang sama. Dia menjelaskan "Novel (cerita rekaan) dap at dilihat dari beberapa sisi. Ditinjau dari panjangnya, nove l p ada u mumnya terd iri dari 45.000 kata atau lebih. Berdasarkan sifatnya, novel (cerita rekaan) b ersifat expa nd s, 'meluas' ya ng menitikberatkan pad a co mplexity. Sebuah no vel tidak akan selesai dibaca sekali dudu k, hal ini b erbeda dengan cerita pendek. Dalam novel (cerita rekaan) ju ga dimungkinkan adanya penyajian panjang lebar tentang tempat atau ruang (2000: 5-7)".

Bila dib andingkan dengan roman, no vel memiliki beberapa perbed aan. Pengertian tentang keduanya sering dipertentangkan. Sebutan roman dan no vel di Indo nesia diartikan berbeda (Jakob Su mardjo, 1984: 65). Roman diartikan sebagai cerita berbentuk p rosa yang panjang, b anyak tokoh dan banyak penjelajahan tentang kehidupan yang meliputi waktu sep anjang hidup to kohn ya. Kehidupan to ko hnya diceritakan sejak kecil sampai kematiannya. Novel d iartikan sebagai cerita tentang sebagian kehidupan to kohnya saja, seperti masa m enjelang perkawinannya setelah mengalami masa percinfc ia n atau bagian kehidupan seorang tokoh mengalami krisis dalam jiwanya.

Herman J. Walu yo (2002: 37) mengemukakan bahwa novel mempu nyai ciri: (1) ada perubahan nasib d ari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode d alam kehidup an tokoh utamanya; (3) b iasanya tokoh


(26)

utama tidak sampai meninggal. Dan dalam novel tidak dituntu t kesatuan gagasan, impresi, emosi, dan setting seperti dalam cerita pendek.

Berpijak dari berbagai p endapat di atas dap at disimpulkan bahwa novel atau cerita rekaan adala h satu genre sastra yang d ib angu n oleh unsur-unsur pembangun sebagai seb uah struktur yang secara fungsional memiliki keterjalinan di antaranya; untuk membangun totalitas makna dengan media bahasa sebagai penyamp ai/gaga san pengarang tentang hidup dan selu k b elu k kehidup an manusia. Novel adala h salah satu bentuk d ari seb uah kar ya sastra. Sebuah no vel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam b erinteraksi d engan lingkungan dan sesamanya. Dalam seb uah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pemb aca kepad a gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.

Menurut Muchtar Lu bis (d alam Henry Guntur Tarigan, 1985: 165) cerita novel itu ada bermacam-macam, antara lain (1) novel a vontur, yaitu bentuk novel yang dipusatkan pada seorang lakon atau tokoh utama, (2) novel psikologi, merupakan no vel yang penuh d engan peristiwa-peristiwa kejiwaan para to koh, (3) novel detektif, yaitu novel yang merup akan cerita pembongkaran rekayasa kejahatan untuk menangkap pelakunya dengan cara p enyelid ikan yang tepat dan cermat, (4) novel p olitik atau novel sosial, yaitu bentuk cerita tentang kehidupan golongan dalam masyarakat dengan segala permasalahannya, misalnya antara kaum masyarakat dan buruh d engan kaum kapitalis terjadi pemberontakan, (5 ) novel kolektif,


(27)

yaitu novel yang menceritakan pelaku secara ko mp leksitas (menyeluruh) dan se gala seluk beluknya. Novel kolektif tid ak mementingkan individu masyarakat secara kolektif.

b. Struktur Novel (1)Unsur Intrinsik

Novel merup akan sebuah totalitas, suatu keseluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempu nyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat d an saling menggantu ngkan. Jika no vel dikatakan sebagai su atu to talitas, u nsur, kata, bahasa, misalnya menjadi salah satu bagian d ari totalitas itu, salah satu unsur pembangu n cerita itu, sala h satu subsistem o rganisme itu. Kata inilah yang menyebabkan novel, juga sastra p ada umumnya, menjadi berwujud (Burhan Nu rgiyantoro, 2010: 23).

Herman J. Walu yo dan Nu graheni Eko Wardani (2008 : 10) membagi unsur-unsur intrinsik prosa fiksi terdiri dari: tema cerita, plot

atau kerangka cerita, penokohan dan p erwatakan, setting atau tempat cerita atau latar, sudut pengarang atau poin t of view, latar b elakang atau ba ck ground, dialog atau percakap an, gaya b ahasa atau gaya cerita, waktu cerita dan waktu penceritaan, serta amanat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diuraikan unsur intrinsik pembangu n nove l terdiri d ari unsur berikut.


(28)

(a)Tema

Tema ad alah gagasan poko k d alam cerita fiksi. Suminto A. Sayuti (2000 : 97) menyatakan bahwa tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Pend apat yang hampir sama diu ngkap kan oleh Panuti Sud jiman (1988: 51) yang men yatakan bahwa tema adalah gagasan yang mendasari karya sastra.

Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1985: 125) menyatakan sebu ah definisi tentang tema. M enurutnya, tema ad alah pandangan hid up tertentu atau p erasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yeng membentuk dan membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra. Secara lebih khusus d alam prosa fiksi. Aminuddin (2004: 91) menambahkan bahwa tema adalah ide yang mendasari su atu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Tema pada intinya merupakan dasar cerita, dasar tersebu t bisa b erupa pandangan tertentu seorang penulis terhadap kehidupan atau nilai-nilai dalam kehidupan.

Berpijak d ari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpu lkan bahwa u ntuk menemukan tema dalam seb uah karya fiksi haru s dapat menyimpulkan isi seluruh cerita, tidak hanya mengetahui sep oto ng-poto ng bagian tertentu dari cerita. Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit d an merasuki keseluruhan cerita,


(29)

inilah yang menyebabkan kemungkinan kecil terjadinya p elu kisan la ngsung. Hal ini menyebabkan su litn ya menafsirkan tema.

Ada beberapa hal yang harus dip erhatikan seorang pembaca dalam melakukan analisis tentang tema. Aminuddin (2004 : 91) menyebutkan bahwa tema merupakan kaitan hu bu ngan antara makna dengan tu juan pemaparan prosa fiksi oleh pengarang. Sehubu ngan d engan pendapat tersebut, ia me nyatakan p embaca terleb ih dahulu harus memahami unsur-unsur signifikan yang membangun cerita, menyimpulkan makna yang dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan tuju an penciptaan pengarangnya. Tiga hal terseb ut yang harus d ilakukan seorang pembaca dalam memahami tema sebu ah karya sastra khu susnya prosa fiksi.

(b)Alur atau Plot

Alur merupakan unsu r fiksi yang penting, bahkan b anyak orang yang berpendapat sebagai hal ya ng terpenting diantara unsur fiksi yang lain. Kejelasan alu r, berkaitan erat dengan kejelasa n yang b erkaitan antar peristiwa yang dikisahkan secara linier, yang akan mempermudah p emahaman pembaca terhadap cerita yang dibacanya (Bu rhan Nu rgiyanto ro, 2010: 110 ).

Menurut Brooks (dalam Henry Guntu r Tarigan, 1985: 126) alur adalah struktur gerak yang terd ap at dalam fiksi atau drama. Aminu dd in (2004: 83) menambahkan bahwa alur adalah rangkaia n


(30)

cerita yang dib entu k oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menja lin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Secara lebih singkat, Jakob Su mardjo (2005: 15) menyatakan “plot ialah yang menggerakkan kejadian cerita”. Dari beb erapa pendapat tersebu t dap at disimpulkan b ahwa plo t atau alur adalah sebuah struktur yang dibentuk dari sejumlah peristiwa dan berfu ngsi menggerakkan peristiwa yang dihadirkan oleh p elaku, sehingga menjad i jalinan penggerak d alam sebuah cerita fiksi.

Terdapat beberapa versi dalam p enggamb aran alur. Henr y Guntur Tarigan (1985: 126) menggambarkan alur b ergerak dari suatu p ermu laan (beginning) melalui su atu pertengahan (middle) menuju suatu akhir (en ding), yang dalam dunia sastra dikenal dengan eksposisi, komplikasi, d an resolusi (denoument). Pendap at senada, namu n dengan versi berbed a dinyatakan Loban (dalam Aminu dd in, 2004: 84) yang menggambarka n gerak tahapan alur la yaknya gelombang. Tahap tersebut antara lain: (1) eksposisi, (2) komplikasi, (3 ) klimaks, (4) revelasi atau penyingkapan tabir suatu problema, dan (5 ) denouement atau penyelesaian.

Lebih lanju t, Adelstein & Pival (dalam Herman J. Waluyo, 2011: 12) menjelaskan b ahwa pada prinsipnya alur cerita terdiri dari tiga bagian, yaitu: (1) alur awal, terdiri dari pap aran (eksposition), rangsangan (inciting moment), dan penggawata n (rising a ction); (2) alur tengah, terd iri atas pertikaian (conflict),


(31)

peru mitan (co mplica tion), dan klimaks atau puncak penggawatan (clima x); (3) alur akhir, terdiri dari perleraian (fa lling a ction), dan penyelesaian (denoument). Alur cerita tersebut dapat d igambarkan sebagai b eriku t:

Clima x

Co mplica tion

Conflict fa lling

Rising a ction fa lling a ction

In citing moment

Exposition denouement Gambar 1: Plot Prosa Fiksi

(Adelstein & Pival dalam Herman J. Waluyo, 2011: 12)

Exsposition atau eksp osisi ad alah paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik, dan tokoh-to koh cerita. Inciting moment adalah peristiwa mulai terjad inya problem-problem yang ditampilkan pengarang kemu dian ditingkatkan mengarah pada p eningkatan problem. Rising a ction


(32)

ad alah peningkatan ad anya permasalahan yang dap at meningkatkan konflik. Co mplica tion adalah konflik yang terjadi semakin genting. Permasalahan seb agai sumber konflik sudah saling berhadapan. Clima x adalah puncak dari terjadinya konflik cerita yang berasal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi seb elumnya. F a lling a ction adalah peredaan konflik c erita.

D enou ement adalah penyelesaian yang dip aparkan oleh pengarang dalam mengakiri penyelesaian ko nflik yang terjad i.

(c) Tokoh dan Penokohan (1)Tokoh

Tokoh adalah para p elaku yang terdapat dalam sebuah cerita, no vel atau cerita fiksi. Burhan Nu rgiyantoro (2010: 65) menggunakan istilah toko h untuk menunju k pada orangnya, pelaku cerita, sed angkan watak, p erwatakan, dan karakter menunjuk sfat d an sikap para tokoh yang d itafsirkan para pembaca.

Bedasarkan peran d alam sebuah cerita tokoh dap at terbagi menjadi dua, yaitu protagonist d an antagonis (Herman J. Walu yo dan Nugraheni Eko Wardani, 2 008: 28). To koh protagonis ad alah tokoh yang mend ukung jalannya cerita ya ng mendatangkan rasa simpati atau baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh pantago nis yang menentang alur cerita yang menimbulkan perasaan b enci pada si pembaca.


(33)

(2)Penokohan

Penokohan dalam cerita rekaan tid ak dap at d ilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah to koh menu njukan pad a pelaku dalam cerita, sed angkan p enokohan menunjukan pada sifat, wata k atau karakter yang melengkapi dari tokoh tersebut. Penokohan adalah pelukisan gamb aran yang jelas tentang seseo rang yang ditampilka n dalam sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 165).

Ada beberap a cara pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-toko hnya. Menurut Herman J. Walu yo dan Nugraheni Eko Wardani (2008: 32) cara p enggambaran watak toko h antara lain: (1 ) penggamb aran secara langsu ng, (2) secara la ngsung dengan diperindah, (3) melalu i pernyataan ole h toko hnya sendiri, (4) melalui dramatisasi, (5 ) mela lu i pelu kisan terhadap kead aan sekitar pelaku, (6) melalui analisis psikis pelaku, dan (7) melalui dialog pelaku-pelakunya.

Lebih lanjut, Aminuddin (2004: 80) cara penggambaran watak tokoh antara lain: (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingku ngan kehidupann ya, maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana perilaku nya, (4) melihat b agaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya send iri, (5) memahami bagaimana jalan pikrannya, (6) melihat


(34)

bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat bagaimana to koh lain berbincang d engann ya, (8 ) melihat bagaimana tokoh-tokoh lain itu memberikan reaksi terhadapnya, dan (9 ) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh lainnya.

(d)Latar atau Setting

Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani (2011: 23) pengertian seting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejad ian cerita dap at berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namu n seting dapat dikaitkan denga n tempat dan waktu. Senad a dengan pendapat tersebut, latar atau

setting, menu rut Aminuddin (2004: 68) terbagi menjadi dua jenis, yakni latar fisik dan latar psikologis. Latar fisik berhubungan dengan tempat, waktu dalam lingkungan tertentu . Sedangkan latar psiko logis ad alah lingkungan atau benda-benda dalam lingkunga n tetentu yang mampu mengajak emo si p embaca. Setting fisikal han ya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik, sedangkan setting

psiko logis dapat berupa suasana maupun sikap, jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu.

Sedangkan Burhan Nurgiyantoro (2010: 216) menyatakan bahwa latar adalah segala keterangan petunjuk, pengacauan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjad inya peristiwa dalam cerita. Berdasarkan beberapa pendapat d i atas dap at


(35)

disimpulkan bahwa latar merupakan su atu tempat terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan waktu , ru ang, dan suasana dalam cerita.

Latar dalam cerita berfu ngsi sebagai pendukung cerita. Wahyud i Siswanto (2008: 151) menyebutkan fungsi latar yang berguna untuk mengembangkan cerita, penjelas temp at, waktu dan suasana, sebagai simbol atau lambang peristiwa, menggambarkan watak tokoh, suasana cerita atau atmosfer, alur, d an tema cerita. Latar secara oto matis akan mengikuti perub ahan peristiwa yang membentuk sebuah alu r. Latar ju ga seringkali dideskripsika n sebagai bagian eksposisi d alam sebuah cerita fiksi. Latar secara otomatis akan mendukung p enceritaan seorang tokoh dalam sebuah fiksi. Misalnya ketika akan menceritakan tokoh petani yang rajin, pengarang akan memilih latar yang sesuai, misa lnya di sebuah sawah, pada pagi hari, dan sebagain ya. Oleh sebab itu, peran latar baik latar tempat, latar waktu, maupun latar suasana sangat menentukan keindahan dalam cerita fiksi.

(e) Sudut Pandang Pengarang (Point of View)

Sudu t pandang merup akan salah satu unsur fiksi yang penting, dan menentukan. Sudut p andang mempunyai hubunga n psiko logis dengan pembaca. P emb aca membutuhkan persepsi yang jelas mengenai sudut pand ang mengenai cerita, karena


(36)

pemahaman sebuah no vel dapat dipengaruhi o leh kejelasan dari sudut pandang.

Ship ley sep erti yang diku tip Herman J. W alu yo dan Nugraheni Eko Wardani (2008: 38) menyebu tkan ad anya 2 jenis

poin t of view, yaitu inter na l po int of view dan externa l point of view. Internal point of view terdiri dari dua macam, yaitu: (1) toko h yang bercerita; (2) pencerita menjad i salah seo rang pelaku; (3) sudut pand ang akuan; (4) pencerita seb agai tokoh sampinga n dan bukan tokoh hero. Sementara untuk gaya ekternal point of view ada dua jenis, yaitu; (1) gaya diaan; d an (2) penampila n gagasan dari to koh-tokohnya.

Henry Guntur Tarigan (1985: 139) menyatakan bahwa sudut pandang dinamakan juga pusat narasi. Ia membagi pusat narasi menjadi empat, yakni (1) tokoh utama dapat menceritaka n ceritanya sendiri, dalam hal ini pusat tokoh identik dengan pusat narasi, (2 ) cerita disampaikan oleh peninjau yang merupakan partisipan dalam cerita itu, (3) observer au thor dimana p engarang cerita b ertind ak seb aga i peninjau saja, dan (4) cerita dapat dituturkan o leh pengarang orang ketiga atau omniscient a uthor. Sela njutnya, Aminuddin (2004 : 90) menyatakan bahwa sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan p ara pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Sudut pandang meliputi (1) na rra tor


(37)

omniscien t, (2) na rra tor obser ver, (3) na rra tor observer omniscien t, dan (4) na rra tor th e third person omniscient.

Dengan demikian d apat disimpulkan b ahwa sudut pandang pengarang adalah cara pandang pengarang untuk dapat menjelaskan dalam menyampaikan sebu ah cerita agar dap at dip ahami pembaca.

(f) Gaya Bahasa atau Gaya Penceritaan

Gaya penceritaan, atau style menurut Aminuddin (2004: 22) ad alah cara seorang pengarang menyampaikan gagasann ya dengan menggunakan med ia bahasa. Dalam wacana sastra pengarang akan menggunakan kata yang bermakna pad at, reflektif, asosiatif, dan bersifat ko notatif. Oleh karena itulah, masalah gaya berka itan dengan masalah gaya dalam bahasa itu send iri. W ah yudi Siswanto (2008 : 162) menyebutkan gaya penceritaan mencaku p teknk penulisan dan teknik penceritaan. Teknik penu lisan adalah teknik yang d igu nakan pengarang dalam menulis karya sastranya. Teknik penceritaan adalah cara yang digunakan pengarang untuk menyajikan karya sastranya seperti teknik pemandangan, teknik ad egan, teknik montase, teknik kolase, dan teknik asosiasi.

Menurut Aminuddin (2004: 23), gaya memiliki u nsur-unsur, yaitu (1) pilihan kata dari setiap pengarang, (2) penataan kata dan kalimatnya, dan (3) nu ansa makna serta suasana penuturan yang d isamp aikannya. Ga ya p engarang tentunya


(38)

berkaitan langsung dengan ekspresi. Ga ya menjad i alat seorang pengarang dalam menyampaikan gagasannya. S ehingga meskipu n pada tema yang sama, seorang pengarang akan memiliki ga ya yang berbeda dalam menceritakannya.

(2) Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah u nsur-unsur yang berada di lu ar karya sastra, tetapi secara tidak langsung memengaru hi bangunan atau sistem organisme kar ya sastra. Unsur ekstrinsik berperan sebagai u nsur yang memengaruhi bangunan sebu ah cerita. Unsu r ekstrinsik novel adalah unsur pembentuk cerita yang berasal dari luar karya sastra, sep erti karya sastra dengan lingkungan, karya sastra dengan pembaca, karya sastra dengan p engarang dan karya sastra d engan penerb itn ya. Selain itu, unsur ekstrinsik juga lebih banyak berko nsentrasi p ada peristiwa dan sudut pandang penceritaan.

M enuru t Bu rhan Nu rgiyantoro (2007: 24), unsur ekstrinsik novel adalah unsur yang berad a di lu ar karya sastra, tetap i secara tidak langsung mempengaruhi bangunan sistem organisme kar ya sastra. Sementara itu Wellek d an Austin Warren (dalam Burhan Nu rgiyanto ro, 2007: 24) menjelaskan b ahwa unsur yang dimaksud antara lain adalah subjektivitas individu pengarang ya ng memiliki sikap, keyakinan dan


(39)

pandangan hidup yang semuanya itu akan berpengaruh pada karya sastra yang ditulisnya.

Unsur sosiolo gi, b iografi pengarang, keadaan masyarakat pengarang, lingkungan ekonomi, sosial dan budaya pengarang dapat menentukan ciri karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Unsur ekstrinsik lain misalnya p andangan hidup su atu bangsa. Jadi dapat ditarik ke simp ulan bahwa unsu r ekstrinsik sangat berpengaruh besar terhadap wujud dan roh cerita yang dihasilkan karena melibatkan sudu t pand ang p engarang yang memiliki perbedaan lingkungan ekonomi, sosial dan budaya.

2. Hakikat Pendekatan Antropologi Sastra a. Pengertian Antropologi

Berbincang mengenai antropologi maka kit tidak dapat dilepaska n dari fase-fase perkembangannya. Dalam buku P enga nta r Ilmu Antropo logi, Koentjaraningrat membaginya menjadi empat fase perkembangan (2002:1-6). F a se perta ma di mulai sebelu m abad ke-18, sekitar akhir ab ad ke-15 d an permulaan abad ke-16. Pad a fase ini terkumpul berbagai bahan pengetahuan berupa buku-buku mengenai kisa h perjalana n, laporan dan seb againya, buah tangan musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani, p enerjemah Kitab Injil, dan pegawai pemerinta h ja jahan. F a se ked ua sekitar pertengahan abad ke-19, ditandai dengan


(40)

timbu lnya karangan-karangan yang menyusun bahan etnografi berdasarkan c ara b erpikir evolu si masyarakat. F a se ketig a terhitung pada permulaan abad ke-20. Pada fase ini antropologi telah menjadi ilmu praktis dengan tujuan ‘memp elajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Erop a gu na kep entingan pemerintah kolonial d an mend apat pengertian tentang mas yarakat masa kini yang komp leksitas’. Fase yang terakhir muncul sekitar tahu n 1 930, yang ditandai d engan perluasan objek kajian dari antropolo gi yaitu masyarakat pedesaan pada umumnya.

Sementara itu , dalam ilmu antropologi terdap at perbed aan-perbedaan mengenai istilah yang d igunakan (Koentjaraningrat, 2002: 10-12). Di Eropa Barat digunakan istilah Ethnograp y berarti ‘pelukisan tentang b angsa-bangsa’. Ethnology yang berarti ‘ilmu bangsa-bangsa’, termasuk istila h yang telah lama dipakai sejak permulaan antropologi. Di Eropa Tengah digu nakan istilah Volkerku nd e berarti ‘ilmu bangsa-bangsa’. Istilah Kulturkunde berarti ‘ilmu kebudayaan’, pernah d ipakai oleh L. Frobeniu s dan G. J. Held. Anthropolog y berarti ‘ilmu tentang manusia’, merupakan istilah yang sangat tu a. Cultura l a nthr opology mengacu pad a bagian ilmu antropologi d alam arti luas yang tid ak mempelajari manusia dari segi fisiknya, lawan dari physica l an th ropology. Di Inggris familiar dengan istilah socia l a nth ropology, untuk menyebut antropologi dalam fase ketiganya.

Dari berbagai uraian tersebu t dap at ditarik kesimpulan bahwa antropologi mengkaji mengenai sifat-sifat khusus badani dan cara-cara


(41)

produ ksi, tradisi-tradisi d an nilai-nilai yang membuat pergau lan hidup yang satu b erbeda d engan pergaulan hidup lainnya. Oleh karenanya, antropologi dap at dimaknai sebagai ilmu pengetauhan yang mengkaji manusia sebagai b agian dari masyarakat.

b. Pengertian Antropologi Sastra

Kedudukan karya sastra sebagai hasil budaya manusia belum secara kokoh ditempatkan d alam kajian yang disebut antropolo gi sastra. Pandangan mengenai kemungkinan adanya keterkaitan antara karya sastra dan p end ekatan antropologi din yatatan o leh Iser (dalam Matthews, 2010: 366) sebagai berikut.

Iser writes: “ Litera ture is not self-sufficient, so it could ha rdly bea r its own o rigin within itself. Wha t it is, is the result of its function” In suggesting this or igina r y perspective, he a nticipa tes a turn to the function of litera ture a s a pa rt of wha t would become a n increa sing ly ela bor ated a nth ropologica l a pproa ch. Simu lta neously war ning a ga inst discovering a nthropologica l con stants in human na tur e.”

Dalam pandangannya tersebut Iser menyata kan bahwa karya sastra tdak berdiri sendiri (not self-sufficient) sehingga karya sastra tidak mampu menelusuri asalnya tanp a perannya sendiri. Hal itu adalah hasil dari fungsi seb uah karya sastra. Iser juga mengantisipasi adanya kemu ngkinan bahwa pada gilirannya fungsi kar ya sastra sebagai bagian dari sesu atu yang tergabu ng dalam pendekatan antropologis. Hal itu sekaligus juga akan


(42)

memberikan peringatan terhadap penemuan antropolo gi yang konstan dalam sifat alam iah manusia selama ini.

Pengkajian karya sastra dari sudut antropolo gi sastra merupakan hal yang baru dalam penelitian kar ya sastra. Pendekatan antropologi terhadap sebuah karya sastra sebenarn ya sudah pernah d ilaku kan, sep erti yang dilakukan ole h Claude Levi-Strauss (1963: 206). Toko h ini p ada awaln ya banyak m embaca buku -buku filsafat. Ia tertarik pada ilmu Antropologi setelah membaca buku P rimitive Society karya Robert Lo wie (Ahimsa Putra, 1997 : xii). Ia melakukan p enelitian secara struktu ral terhadap mitos dengan teo ri oposisi b inernya. Sebenarnya, hal yang sama bisa ju ga d iterapkan pada karya-karya sastra moderen, seperti: prosa, puisi, atau d rama. Akan tetapi, khusus penelitian tentang antro po logi sastra adalah suatu penelitian yang b elum banyak berkemb ang, khususnya di Ind onesia.

Nyo man Kutha Ratna (2011: 35) mengungkapkan bahwa Isu mengenai antropologi sastra pertama kali muncul dalam kongres ’F olklo re a nd Litera ry Anthropolog y’ (Po yatos, 1988 : xi-xv) yang berlangsung d i Calcutta (1978 ), diprakarsai oleh Universitas Kahyani dan Mu seum India. Meskipun demikian P oyatos mengaku i bahwa sebagai istilah antropologi sastra p ertama kali dikemukakan dalam tu lisannya yang ya ng dimuat dalam Semiotica (1977).


(43)

Senad a dengan Nyoman Kutha Ratna terseb ut, M enicucci (2010 : 12) menyata kan:

In his introduction to the volume Litera ry Anthropolog y (P oya tos, 1988: xi-xxiii), F ernando P oya tos provides a nea t outline of wha t methodologica l stra tegies a nd epistemologica l intentions a re to b e a pplied to litera tu re so a s to extra ct a nthropolog ica l mean ing from it. (Men icucci, 2010: 12).

Dari pernyataan tersebut, tampak bahwa d alam tu lisannya, Po yatos (1988) telah memperkenalkan strategi-strategi metodologis serta ep istemo lo gis yang dapat diterap kan dalam mengikhtisarkan makna antropologis dari karya sastra.

Secara definitif, antro po logi sastra diartikan seb agai stud i mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (a nthr opos). Dengan melihat pembagian antropolo gi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra d ibicarakan d alam kaitannya dengan antropolo gi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan manu sia, sep erti bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiad at, dan karya seni, khusu sn ya karya sastra (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 351). Berkaita n dengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleksitas ide, ko mpleksitas aktivitas, dan komp leksitas bend a-benda, maka antropolo gi sastra memusatka n perhatian pad a kompleksitas ide kebudayaan.


(44)

Pengkajian karya sastra dengan p endekatan antropologi sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini mengingat seb uah karya sastra tid ak hanya mengand ung unsur yang bersifat naratif dengan segala pirantinya, tetapi juga mengand ung hal-hal yang bersifat sosio logis, psikis, histo ris, mau pun antropologis. Hipotesis ini d iperkuat oleh argumentasi bahwa karya sastra sifatnya terbuka. Artinya, seorang pengarang memiliki kebeb asan yang lu as untu k mengekspresikan segala aspek kehid up annya atau kehidupan masyarakat d i sekitarnya melalui media bahasa.

Sebuah karya sastra bisa d ib ahas atau diteliti melalui berbagai pendekatan yang berkaitan dengan segala hal yang menyangkut kehidupan manusia atau masyarakat. Sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra, seb agai ilmu sosial humaniora jelas mempermasalahkan manusia. Perb ed aanya, so siologi sastra mempermasalahkan masyarakat, psikologi sastra pada aspek-aspek kejiwaan, sedangkan antropologi sastra pada kebudayaan (Nyoman Kutha Ratna, 2009:353).

Lahirnya pendekatan antropolo gi sastra did asarkan atas kenyataa n bahwa: (a) baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek yang penting; (b) baik sastra maupu n antropologi mempermasalahkan relevansi manusia dengan budaya, dan (c) baik antropologi maupun sastra sama-sama mempermasalahkan trad isi lisan atau sastra lisan, seperti: mitos, dongeng, dan legenda me njad i o bjek penelitiannya (Nyoman Kutha Ratna, 2009:352). Tradisi lisan yang


(45)

merupakan hasil budaya dan berkembang d alam suatu masyarakat, bisa diteliti melalui pendekatan sastra maupun pendekatan antropolo gis. Jadi titik temu antara antropolo gi d an sastra adalah pada b ahasa seb agai objeknya.

Sejala n dengan pendap at di atas, Suwardi Endraswara (2006:107) menyatakan bahwa p enelitian antropo logi sastra dapat menitikberatka n pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berb au sastra untuk melihat estetikanya. Kedu a, meneliti karya sastra d ari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat. Jad i, selain meneliti aspek sastra dari tu lisan etnografi, fo kus antropologi sastra adalah mengkaji asp ek budaya mas yarakat d alam teks sastra.

Antropologi dibedakan menjadi antropologi fisik dan antropologi kebuda yaan, ya ng sekarang menjadi stud i kultu ral. Dalam kaitannya dengan sastra, antropolo gi keb ud ayaan d ibedakan menjad i dua bidang, yaitu antropologi dengan objek verbal d an nonverbal. Pedekata n antropologi sastra lebih banyak berkaitan dengan objek verbal (N yoman Kutha Ratna, 2009: 63).

Lebih lanjut, Nyoman Kutha Ratna menu turkan bahwa pokok-pokok bahasan yang ditawarkan dalam pendekatan antropologis ad ala h bahasa sebagaimana dimanfaatkan dalam karya sastra, sebagai struktur naratif, yaitu:


(46)

2) Penelitian aspek naratif sejak epic yang paling awal hingga novel yang paling mod ern.

3) Bentuk-bentuk arkhais dalam kar ya sastra, baik d alam konteks karya ind ividual maupun generasi.

4) Bentuk-bentuk mitos dan system religi dalam karya sastra.

5) Pengaru h mitos, sistem religi, dan citra primo rdial yang lain dalam kebudayaan popular.

Sebagai sebuah kajian interd isipliner yang relatif baru, dalam antropologi sastra muncul Istilah antropologi sastra berdekatan d engan istilah liter a ry a nthr opolog y. Istilah ini dimunculkan o leh Iser (dalam Sumara, 2002: 239), seb agaimana d alam kutipan berikut.

“ Iser (1989, 1993) ha s na med inter pretive pra ctices a ssocia ted with reader/text rela tions a “ litera ry a nthropology.” With this ph ra se h e suggests tha t wh ile the rea der will a lwa ys ha ve an inter preta tion of the text she or he is rea ding, the in terp reta tion itselfpa rticipa tes in th e on going development of the rea der ’s self identity.”

Dalam ku tipan tersebut Iser menamai kajia n yang menekankan penafsiran karya sastra yang berhubungan d engan teks d an pembaca seb agai “litera ry a nthr opology”. P ada penjelasan lebih lanjut, ia menekankan bahwa ketika pembaca memiliki penafsiran terhadap karya sastra yang dibaca, p enafsiran terseb ut memiliki peran d alam proses pengemb angan identitas pribadi pembaca itu sendiri (while the r ea der will


(47)

a lwa ys ha ve a n interpreta tion o f th e text she or he is r ea ding, th e interp reta tion itself par ticipa tes in the ongoing development of th e rea der ’s self id en tity).

Pemahaman terhadap p emb aca yang menafsirkan karya sastra tentunya, tidak terlepas dari pemahaman atas perannya seb agai individu yang berkontribusi dalam masyarakat kebudayaan, dalam hal ini ia juga akan memb entuk dimensi-dimensi antropolo gi. Identifikasi peran pribadi pembaca ketika ia membaca dan menafsirka n karya sastra, sebagaimana dikata kan Iser terseb ut, tentunya perlu dilakukan d engan menggu nakan instrumen yang menggabungkan antara dua disiplin ilmu, yakni kajian sastra dan kajian antropologi. Dengan kata lain, istilah antropolo gi sastra lebih mengacu pada kajian d engan menekankan pada analisis karya sastra dengan menggu nakan instrumen antropologi, yang nantin ya akan menghasilkan sebu ah p emahaman terhadap kaitan antara karya sastra dengan kebudayaan.

Secara lebih spesifik kajian antropologi sastra akan m enghasilkan perpaduan du a bidang ilmu yakni sastra d an antropolo gi. P emahaman utama dalam kajia n antropologi sastra adalah bahwa karya sastra b erad a dalam konteks, bukan hanya vakum dan b ersifat seb agai data oto nom (Nyo man Ku tha Ratna, 2 011: 33). Poyatos (dalam Nyo man Ku tha Ratna, 2007: 33) menyatakan bahwa antropologi sastra juga berarti analisis sastra antarbudaya, kebudayaan yang berbeda-bed a akan menghasilkan sastra


(48)

mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya keb ud ayaan tertentu dalam masyarakat tertentu. Oleh karena itu, kajian antropologi sastra dibatasi sebagai sebuah kajiian yang menganalisis karya sastra sebagai produ k budaya, yang ditelaah dengan su dut pandang antropo logis.

Kedudukan kajian antro pologi sastra dirumuskan oleh Nyo man Kutha Ratna, (2011: 68) yakni, “Pertama antropologi sastra berfungsi untuk melengkapi analisis ekstrinsik di samping sosio logi sastra dan psikologi sastra. Kedu a, antropologi sastra berfungsi untu k mengantisip asi kecenderungan-kecenderungan baru hasil-hasil kar ya sastra yang di dalamnya ban yak dikemukakan kearifan lokal....”. Dari paparan tersebut diketa hui bahwa antropologi sastra berpu sat p ada tataran kajian u nsu r ekstrinsik dan mengako modasi adanya kearifan lokal yang terkandung dalam karya sastra.

Analisis antropolo gis dalam sastra adalah upaya untuk mencoba memberikan id entitas terhadap karya sastra tersebut, d engan menganggap nya mengandu ng aspek tertentu , dalam hubungannya d engan ciri-ciri kebudayaan (Nyoman Kutha Ratna, 2011:39). Sebagai sebuah analisis antropologi dan sastra memiliki perbedaan mendasar. Antropologi seb agai disiplin ilmiah dan karya sastra adalah hasil kreativitas dan imajinatif. Oleh karena itu, keduanya perlu memadukan aspek-aspek yang bersinggungan dan memb erikan batasan kajian.


(49)

Sep erti telah d iketahu i, bahwa pend ekatan antropologi sastra dalam penelitian sastra adalah suatu hal yang baru. Oleh karena itu, masih sed ikit sekali ditemui teori-teori tentang antro po logi sastra tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh dominasi pendekatan sosiologi sastra karena menganggap bahwa hal-hal ya ng bersifat antropologis dalam sebu ah karya sastra merup akan wilayah kajian sosiologi sastra.

Antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan mengenai manu sia dalam masyarakat (N yoman Kutha Ratna, 2009: 63). Manusia dalam konteks ini tentu saja manusia sebagai individu yang memb entu k suatu kebudayaan, bukan manusia sebagai mahluk so sial dalam masyarakat yang nantinya melahirkan p endekatan sosisolo gi sastra. Antropo lo gi sastra memberi perhatian p ada manusia seb agai agen kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainn ya. Artinya, antropologi sastra menganalisis seb uah karya sastra d engan memperhatikan teo ri dan data-data yang bersifat antropologis yang ada di dalamnya (Nyo man Kutha Ratna, 2009: 353 -357). Dalam konteks yang lebih opersional, dap at disimp ulkan bahwa penelitian antropolo gi sastra terhadap sebuah karya sastra adalah berusaha melihat perjalanan atau sikap individu tokoh cerita yang mewarnai dan p engungkap budaya masyara kat tertentu yang terkandu ng dalam kar ya sastra itu send iri.


(50)

c. Langkah-langkah Penerapan Pendekatan Antropologi Sastra terhadap Novel Ca Bau Kan

Kajian antropologi dimanfaatkan untu k mengungkap nilai-nilai budaya dalam Ca Bau Ka n yang terbagi dalam wu jud-wujud budaya. Menurut Ko entjaraningrat (2002: 186-187) kebudayaan terb agi dalam tiga wujud, yakni (1) kompleksitas id e, gagasan, nilai, no rma, d an peraturan; (2) komp leksitas aktivitas serta tindaka n berpola dari manu sia dalam masyarakat; dan (3) wu jud fisik atau benda karya manusia.

Wu jud pertama atau kompleksitas ide merupakan wujud kebudayaan yang bersifat abstrak. Lokasinya berada dalam alam pikiran warga masyarakat yang memiliki kebudayaaan tersebut (Koentjaraningrat, 2002: 187). Ide-ide d an gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup dalam masyarakat dan memb eri jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan tersebu t selalu b erkaitan menjad i satu sistem. Para ahli antropologi dan sosio logi menyebut sistem terseb ut seb agai sistem b ud aya atau cultura l sistem. Wu jud ideal budaya ini dalam bahasa Indonesia juga dikenal sebagai a da t, atau a da t-istiada t untuk bentuk jamaknya.

Terkait wujud ideal dari kebudayaan ini, C. Kluckhohn dan F. Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 2002 :191) mengungkapkan bahwa tiap sistem nilai budaya dalam tiap keb udayaan itu mengenai lima m asalah dasar dalam kehidupan manusia. Atas d asar konsepsi tersebut, ia menyatakan bahwa tiap sistem nilai b udaya dalam tiap kebudayaan itu mengenai lima masalah dasar d alam kehidupan manusia. Lima masalah


(51)

dasar tersebut adalah 1) masalah mengenai hakika t dari hidup manusia, 2) masalah mengenai hakikat dari karya manusia, 3) masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu, 4) masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan 5) masalah mengenai hakikat dari hubu ngan manusia dengan sesamannya. Berdasarkan teori tersebut, kajian terhadap kompleksitas ide dalam novel

Ca Ba u Ka n selanjutnya akan diarahkan pada lima masalah dasar tersebut. Wu jud kedua dari kebudayaan atau disebu t sistem sosial terkait dengan tindakan berpola dari manusia itu sendiri (Koentjaraningrat, 2002: 187). Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, b erhubu ngan, serta bergaul satu sa ma lain d ari waktu ke waktu , selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan ad at tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manu sia dalam su atu masyarakat, sistem so sial itu bersifat konkret, terjad i di sekeliling kita sehari-hari, b isa diobservasi, difoto, dan dido kumentasi.

Kajian tentang kompleksitas aktivitas ini selanjutnya diperdalam dengan memfokuskan kajian pad a “pranata” yang menjadi pola aktivitas manusia. Menuru t Koentjara ningrat (2002: 163), pranata adalah suatu sistem norma khusu s yang menata suatu rangkaian tindakan berpo la mantap guna memenuhi suatu keperlu an khu sus dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Istilah pranata, yang d alam bahasa Inggris disebut


(52)

Penggunaan istilah pranata ini b ertujuan untuk membedakan tindakan interaksi antarind ividu dalam rangka kehidupan masyarakat menurut pola-pola resmi maupun tid ak resmi.

Para ahli sosiolo gi telah menggolongkan pranata berd asarkan fungsi dari pranata-pranata u ntuk memenuhi keperluan hidup manusia seb agai warga masyarakat (Koentjaraningrat, 2002: 166). Pranata-pranata tersebut ad alah (1) pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kekerab atan, yaitu yang sering disebut kinship atau domestic institution s, (2) pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia untuk mata pencaharian hidup, memproduksi, menimbun, menyimpan, mendistribusi hasil p roduksi dan harta adalah economic institution s, (3) pranata yang berfungsi memenuhi keperluan p enerangan dan pend idikan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna adalah educa tiona l institutions, (4) pranata yang b erfungsi memenuhi keperluan ilmiah manusia, me nyelami alam semesta sekelilingnya, adalah

scientific institu tions, (5) pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk menghayatkan rasa keind ahannya dan rekreasi adalah

a esthetic a nd recrea tiona l institutions,(6) pranata yang berfungsi memenuhi keperlu an manusia untuk berhu bu ngan dengan dan b erb akti kepad a Tuhan atau dengan alam gaib, adalah religiou s institutions,(7) pranata yang b erfungsi memenuhi keperluan manusia untuk mengatur dan mengelola keimbangan kekuasaan dalam kehidupan masyarakat ad ala h


(53)

dan kenyamanan hid up manusia adalah soma tic institutions.Semua pranata di atas walau pu n mungkin tidak lengkap, tetap i diharap kan mampu mewakili semua kompleksitas aktivitas manu sia yang dinamis. Wujud ketiga dari keb ud ayaan disebu t kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 2002: 188).

Wu jud ketiga atau hasil keb udayaan itu mungkin tidak memerlukan banyak penjelasan karena berupa seluru h total hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling ko nkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba dan dilihat. Akan tetapi, klasifikasi konkret tetap dipand ang perlu u ntuk lebih memfokuskan kajian.

Sebagai bahan untuk memfokuskan kajian terhadap hasil kebudayaan, d igunakan tujuh unsur kebudayaan universal. Hal ini berdasarkan pernyataan Koentjaraningrat, (2002:189) yang menyatakan bahwa semu a unsur kebudayaan d apat dipandang d ari sudut ketiga wujud kebudayaan. Ketujuh unsur kebudayaa n tersebu t melip uti bahasa, sistem pengetahuan, o rganisasi sosial, sistem peralatan hidup dan tekno lo gi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 2002: 203 -204).

Ketiga wujud dari kebudayaan di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tak terpisah satu d engan yang lain. Kebudayaan ideal dan adat istiad at mangatur dan memberi arah kepada tindakan d an kar ya manusia. Baik pikiran-pikiran d an ide-ide, maupun tindakan dan karya


(54)

manusia, menghasilkan b end a-benda kebudayaan fisikn ya. S sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suat lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara b erpikirnya.

d. Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Indonesia

Tiongho a di Indo nesia merupakan kelompok masyarakat yang memiliki keistimewaan diband ingkan dengan Tionghoa di negara-negara di luar China lainnya. Masyarakat Tionghoa di Indonesia mema ng sudah menjadi bagian yang integral dalam perjalanan bangsa dan negara, namun sampai saat ini masyarakat Tionghoa d i Indonesia masih menghadapi berbagai masalah yang komp lek dan rumit. Menurut Priyanto Wibowo (2012: 654) label yang mengikat itu tidak lepas dari pro ses histo ris masuknya peradaban S inic yang terus menerus berlangsung sepanjang masa yang berbeda d engan pro ses masuknya peradaban Indic yang berhenti p ad a sekitar abad ke 10.

Permasalahan yang komp leksitas yang d ialami masyarakat Tiongho a Ind onesia menjadikan mereka d ilarang untuk menampakka n simb ol-simb ol yang yang berb au etnis Cina. Memasuki era reformasi saat ini baru lah tamp aknya seluruh simbol-simbol yang berbau etnis Cina sudah dapat dipertontonkan kepada khayalak ramai. Robert Siburian (2010 : 12). Pertunjukka n barongsai yang tidak mungkin dinikmati oleh masyarakat Indo nesia selama rezim Orde Baru, kini secara beb as


(55)

sudah dapat disaksikan oleh seluru h lapisan masyarakat, karena pemerintah tidak lagi melarangnya. Bahkan, hari perayaan tahun baru Imlek mulai tahun 2003 dinyatakan oleh Presiden M egawati sebagai hari lib ur nasiona l.

Masayarakat Tionghoa memiliki b erb agai adat istiadat. Mereka mengenal bermacam-macam perayaan atau festival tradisional. Ad at istiadat ini merup akan suatu bentu k penggamb aran kebiasaan sehari-hari, tradisi, dan mitos yang berkembang di mas yarakat. Salah satu perayaan yang dilaksanakan setiap awal tahun seb agai wujud syukur atas segala rahmat yang dib erikan Tuhan adalah perayaan Imlek. Sistem ritual keagamaan yang dilakukan secara khusus mengand ung empat aspek yaitu tempat upacara, saat -saat upacara keagamaan, benda-benda atau alat-alat upacara dan orang-orang yang memimpin up acara (Koentjaraningrat, 1990 : 378).

Pasudi Suparlan (2003: 3) pembelajaran kebudayaan juga dap at ‘dipaksakan’ dari pelajaran agama dari orangtua, keluarga, dan komunitas sukub angsa tersebut. Agama ad alah teks suci yang berisikan petunjuk-petunjuk Tu han tentang sesu atu yang wajib diikuti, yang sebaiknya dihindari, dan yang dilarang untuk dila kukan menjad i op erasional dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, kebudayaan jad i sulit terpisahka n dalam ritual keagamaan. Mayoritas a gama masyara kat Tinghoa yang masih mencerminkan budaya Cina adalah Ko nghucu. Dalam agama


(56)

Sartini (2010 : 13) perayaan Imlek adalah ritual simbolis yang sangat diyakini o leh pemeluknya dapat memberi berkah d an kebahagiaan pada tahun mendatang d an atas segala harapan itu pemelu k agam a Konghucu selalu mengucapkan gong xi fa cai ‘bahagai d engan limpahan rejeki’.

Berpijak dari beberapa p endap at di atas, dap at disintesiskan b ahwa kebuda yaan ma syarakat Tinghoa di Ind onesia lebih tampak di era pascareformasi dan ritual keb udayaan terseb ut terintegrasi pad a p erayaan-perayaan ritual keagamaan yang mayo ritas pemelu k agama konghucu.

3. Hakikat Nilai Pendidikan

a. Hakikat Nilai

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan ku alitas, dan berguna bagi manu sia. Sesuatu itu bernilai berarti sesu atu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang independen akan memiliki ketetap an ya itu tidak berubah yang terjadi pad a objek yang dikenai nilai. Persahabatan sebagai nilai (positif/baik) tidak akan berubah esensinya manakala ad a pengkhianatan antara du a yang bersahabat. Artinya nilai adala h suatu ketetapan yang ada bagaimanapu n keadaan di sekitarnya berlangsu ng.

Sastra d an tata nilai merupakan d ua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam hakikat mereka sebagai sesuatu yang eksistensial. Sastra


(57)

seb agai produk kehid up an., mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan sebagainya baik yang bertolak dari p engungkap an kemb ali maupun yang m empeunyai penyod oran konsep baru (Suyitno, 1986: 3). Sastra tidak hanya memasuki ruang serta nilai kehidupan personal, tetapi juga nilai-nilai kehidup an manu sia dalam arti total.

Menilai oleh Elly M. Setiadi (2006: 110) dikatakan sebagai ke giata n menghubungkan sesu atu dengan sesuatu yang lain sehingga diperoleh menjadi suatu keputusan yang men yatakan sesu atu itu berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, b aik, atau buruk, manusiawi atau tidak manusiawi, religius atau tidak religius, berdasarkan jenis tersebutla h nilai ad a.

Sedangkan Soerjono Soekanto (1983: 161) menyatakan, nilai-nilai merupakan abstraksi daripada pengalaman-pengalaman p rib adi seseo rang dengan sesamanya. Pada hakikatn ya, nilai yang tertinggi selalu berujung pada nilai yang terdalam dan terabstrak b agi manusia, yaitu menyangkut tentang ha l-hal yang bersifat hakiki. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan pengertian nilai seb agai sesuatu yang bernilai, berharga, bermutu, yang akan menunju kkan su atu kualitas dan akan berguna bagi kehidupan manusia.

b. Pengertian Pendidikan

M. Ngalim Pu rwanto (1986: 11) menyatakan bahwa pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam p ergaulannya dengan ana k-ana k untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah


(1)

budaya yang bersifat abstrak. Kong Koan mewakili organisasi politik pra kemerdekaan atau nama lainnya adalah Raad van Chinezen. Di sisi lain NV Bankvereeniging Oey Eng Goan adalah bank yang mewakili organisasi dalam bidang ekonomi, sedangkan Baperki adalah organisasi politik masyarakat Tionghoa dan bangsa asing pada masa pasca kemerdekaan. Ketiganya merupakan organisasi sosial masyarakat Tionghoa sebagaimana secara eksplisit tergambar dalam novel.

Berdasarkan temuan terhadap hasil budaya dalam hubungannya dengan organisasi sosial, disimpulkan bahwa bentuk hasil budaya yang teewujud dalam novel Ca Bau Kan terbagi dalam dua jenis, yakni berbentuk konkret dan abstrak.

Secara konkret terwakili oleh keberadaan benda-benda pendukung aktivitas keorganisasian, sedangkan secara abstrak hasil budaya berupa adanya organisasi yang menaungi kepentinngan masyarakat Tionghoa terutama dalam bidang politik dan ekonomi.

d. Kompleksitas Hasil Budaya Berbentuk Teknologi

Sebuah ciri peradaban yang maju adalah adanya teknologi dalam kehidupan manusia. Bangsa Cina telah dikenal dengan peradaban yang maju dan hasil teknologi yang telah diadopsi oleh bangsa lain di dunia. Teknologi dalam kompleksitas hasil budaya yang dikaji pada penelitian ini membatasi pada bentuk teknologi yang dihasilkan oleh masyarakat Tionghoa sebagai pelaku budaya. Secara khusus pada kajian ini ditemukan 18 data yang mewakili konsep tersebut. Untuk mempermudah pembahasan data disimbolkan dengan kode KH.Tk.

Temuan data yang pertama adalah adanya kompleksitas hasil budaya berupa ramuan Cina yang digunakan untuk menghentikan nyala api.


(2)

“ Iya, Koh Peng Liang. Sebelumnya owe sudah siramin gudang Thio Boen Hiap pakek ‘ting-zhi’.”

“ Apa itu ‘ting-zhi’?”

“ Itu ramuan baru dari Chung Kuo yang bisa berentiin nyala api,

sejenis obat bahan kimia yang ampuh. Itungannya satu sendok dicampur dengan satu ember air.” (KH28.TT.Tk)

Konteks situasi data tersebut adalah ketika Tjoen Tjoen (TT) tertangkap tangan oleh Tan Soen Bie akan membakar gudang Tan Peng Liang. Dalam interogasinya, Tjoen Tjoen yang mengaku disuruh Thio Boen Hiap, mengatakan penggunaan ramuan ting-zhi. Adapun ting-zhi yang dalam ilmu kimia adalah

cairan yang menghasilkan karbon dioksida merepresentasikan adanya teknologi bangsa Cina dalam bidang kimia.

Data kedua adalah teknologi penggunaan bahan kimia berupa bubuk mesiu yang dalam hal ini terwujud dalam mercon dan kembang api. Perhatikan kutipan data berikut ini.

Bersamaan dengan bunyi mercon dan kembangapi yang dipasang orang menyambut Sin Cia, terbakarlah gudang Tan Peng Liang bersama yang lain-la innya, kecuali memang gudang Thio Boen

Hiap.(KH29.N.Tk)

Pada data tersebut diketahui bahwa penggunaan mercon dan kembang api lazim digunakan dalam perayaaan khas masyarakat Tionghoa, khususnya tahun baru atau Sin Cia. Telah diketahui umum bahwa penemuan mesiu pertamakali oleh

bangsa Cina dan menyebar penggunaanya baik untuk persenjataan maupun hiburan seperti mercon dan kembang api.


(3)

Data ketiga sedikit berbeda dengan konsep data yang pertama dan kedua. Jika kedua data sebelumnya membahas teknologi hasil kebudayaaan masyarakat Tionghoa, maka data ketiga adalah bentuk teknologi luar yang dimanfaatkan oleh masyarakat Tionghoa. Secara eksplisit penggunaan teknologi tersebut berupa gramafon dan mesin cetak untuk produksi uang kertasnya. Masing-masing data tersebut dapat diamati dalam kutipan data berikut ini.

…lalu ia memutar selinger fonografi yang oleh orang Belanda biasa disebut gramafoon, atau orang Melayu menyebutnya ‘mesin piring hitam’.(KH20.N.Tk)

Di ruang bawah tanah ini ada mesin cetak dan pelbagai peralatan lain. Di tengahnya ada peti-peti. Isinya uang-uang kertas.(KH26.N.Tk)

Data tersebut mewakili konsep masuknya kebudayaan asing terutama Eropa dalam bentuk kompleksitas hasil budaya yang melingkupi kehidupan masyarakat Tionghoa dalam novel Ca Bau Kan karya Remy Sylado. Kesamaan ketiga data

tersebut ditujukan pada subjek pelaku yang sama yakni Tan Peng Liang. Pada data tersebut kebudayaan modern diwakili oleh tokoh Tan Peng Liang yang memanfaatkan hasil teknologi asing dan terbaru di masa itu untuk menjadi sarana pendukung kebutuhan ekonominya, selain kebutuhan rekreasinya.

Kompleksitas hasil budaya yang berkaitan dengan teknologi juga ditemukan dalam bentuk pakaian. Beberapa data yang mewakili temuan tersebut dapat dilihat di bawah ini.


(4)

Para ca-bau-kan itu umumnya dikelola oleh Tauke-Tauke dengan memberi mereka kostum model opera, berbahan sutera dengan warna-warni menyolok disertai bordir-bordir yang bermutu.(KH1.N.Tk)

Dia berpakaian cara Belanda: stelan jas dan dasi sutra serta topi laken, sementara masih banyak Tionghoa lain yang bertocang, yaitu model kepang yang dikuncir dengan ikatan sutra berwarna khas, misalnya sutra hitam untuk lelaki dewasa, sutra merah untuk remaja, sutra putih untuk yang berkabung.(KH7.N.Tk)

Di saat itulah Tan Peng Liang masuk ke kamar, dan keluar lagi membawa kebaya dan sarung berhias gambar burung hong.(KH21.N.Tk)

Kutipan data tersebut menunjukkan adanya bentuk penemuan atau teknologi pemintalan kapas dan pemintalan kepompong ulat sutra menjadi kain sutera. Sutera telah lama dikenal berasal dari Cina. Selain teknologi berupa kain sutera, juga ada bentuk teknologi dalam bentuk kain bordir. Temuan teknik bordir merupakan bentuk pemanfaatan teknologi dalam bidang pakaian.

Selain bentuk teknologi dalam pemintalan benang sutera, juga ditemukan data dalam bentuk adanya teknologi dalam transportasi. Alat transportasi yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa pada masa itu menunjukkan adanya perkembangan teknologi, baik sebagai hasil budaya mereka maupun interaksi mereka dengan kebudayaan lain. Perhatikan beberapa data di bawah ini.

Dengan kapal tradisional Tiongkok, jung, ia ke selatan, ke Siam (kini Thailand) terlebih dulu, satu-satunya negara di Asia Tenggara yang


(5)

merdeka, sebab di sini Jepang tidak mendirikan pemerintahan militernya.(KH38.N.Tk)

Tan Peng Liang ditemani Tan Soen Bie mengendarai mobil sedang mereka hanya menunggang sepeda saja. (KH33.N.Tk)

...Dengan membawa kereta dagangan berisi segala macam keperluan dilengkapi sebuah alat musik sejenis bonang, terbuat dari besi dengan penconnya yang ditabuhkan dan dianggap suaranya berbunyi ‘klontong-klontong’.(karuan dari bunyi itulah pendekar -pendekar Shan Tung ini lantas disebut pedagang klontong).(KH5.N.Tk)

Alat transportasi yang merupakan hasil teknologi adalah adanya kapal tradisional Cina yang bernama Jung. Kapal ini memiliki layar, sehingga umumnya

digunakan dalam pelayaran laut dan untuk menempuh jarak yang cukup jauh. Jika hanya untuk kepentingan pelayaran di perairan darat, cukup menggunakan perahu saja. Hal itu sebagaimana terjadi pada sarana mesum di Kali Jodo yang menggunakan perahu beserta tukang perahu yang menggerakkannya. Bentuk transportasi yang juga dimanfaatkan oleh masyarakat Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang kelontong adalah kereta dagangan dengan dilengkapi bonang sebagai alat pukul sekaligus sarana komunikasi keberadaan pedangan kelontong tersebut (KH5.N.Tk).

Alat teknologi lain yang dimanfaatkan tokoh dengan latar belakang Tionghoa adalah mobil. Diketahui bahwa mobil bukan ditemukan dari kebudayaan Tionghoa, namun Tan Peng Liang menggunakan mobil sebagai sarana transportasi mewah dan langka pada masa itu. Kebutuhan akan sarana transportasi dan prestise

-nya sebagai pengusaha, membuta-nya memilih mobil meski bukan murni dari hasil kebudayaan Cina.


(6)

Sesuai dengan beberapa temuan tersebut, disimpulkan bahwa kompleksitas hasil budaya yang berbentuk teknologi dalam novel Ca Bau Kan karya Remy

Sylado meliputi penggunaan teknologi bangsa Cina dan teknologi asing oleh masyarakat Tionghoa. Adapun penggunaan teknologi Cina berupa bahan-bahan kimia (thing zi dan mesiu), pakaian sutera, dan alat transportasi asli Cina. Di sisi lain teknologi adopsi budaya asing di luar budaya asli Cina adalah penggunaan mesin cetak, alat pemutar piringan hitam (gramafon), dan kendaraan berupa mobil.

e. Kompleksitas Hasil Budaya Berbentuk Alat Produksi/Mata Pencarian

Analisis tentang adanya kompleksitas hasil budaya berupa alat produksi atau alat yang berhubungan dengan mata pencarian, difokuskan pada penggunaan benda-benda yang digunakan dalam bidang pekerjaan tertentu. Penelitian ini menghasilkan 3 data yang dianggapa mampu memotret data tentang penggunaan alat-alat tersebut. Adapun dalam pembahasannya data diberi kode KH.MP.

Data pertama menunjukkan adanya kompleksitas hasil budaya berupa alat yang berhubungan dengan mata pencarian salah seorang tokoh dalam novel Ca Bau Kan,

yakni Njoo Tek Hong. Alat yang digunakan adalah teh yan, yakni alat musk gesek

tradisional Cina yang digunakannya dalam bekerja sebagai seniman gambang kromong.

Njoo Tek Hong memegang teh-yan, sejenis alat gesek khas dalam

waditra gambang-kromong asli Tiongkok (yang kini diterima sebagai kesenian rakyat Betawi).(KH11.N.MP)

Selain itu, juga ditemukan data tentang penggunaan mesin cetak oleh Tan Peng Liang sebagai alat kerjanya dalam membuat uang palsu.