Population Attribute Risk PAR Karakteristik Responden Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

66 y = -3,111 + 2,889 konsumsi sayur + -1,508 aktifitas fisik + 2,187 merokok = 3,125 + 2,889 1 - 1,508 1 + 2,187 1 y = -0,457 Dengan nilai probalilitasnya adalah : p = 11+e -y = 1 1+2,7 --0,457 = 0,39 Dengan demikian, probabilitas untuk menderita DM tipe 2adalah 39. Artinya semakin burukkonsumsi sayur dan buah, aktifitas fisikdan Merokok maka angka kejadian DM tipe 2akan meningkat sebesar 39.

4.5. Population Attribute Risk PAR

Rumus untuk menghitung PAR : PAR = ��−1 ��−1+1 PAR = 0,63,33 −1 0,63,33 −1+1 x 100 PAR = 69 Dimana, p = proporsi kasus yang mempunyai faktor terpajan = 0,6 r = Rasio odd variabel yang paling dominan konsumsi sayur dan buah = 2,5 Sehingga dari hasil perhitungan PAR yang diperoleh dapat diambil kesimpulan bahwa hampir 69 kasus dengan DM tipe 2 dapat dicegah dengan memperbaiki faktor resiko yaitu konsumsi sayur dan buah yang kurang. 67 BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Berdasarkan Tabel 4.1. diketahui bahwa mayoritas penderita DM tipe 2 ada pada kelompok umur 50-54 tahun yaitu sebanyak 21 orang 36,8, 17 orang 29,8 pada kelompok umur 55 – 59 tahun, 11 orang 19,3 pada kelompok umur 45 – 49 tahun dan 8 orang 14 pada kelompok umur 40 – 44 tahun. Hal ini berarti bahwa seseorang yang berusia ≥45 tahun memiliki peningkatan risiko terhadap terjadinya DM dan intoleransi glukosa oleh karena faktor degeneratif yaitu menurunnya fungsi tubuh untuk memetabolisme glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin Sunjaya, 2009. Selain itu pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30. Sejumlah penelitian menunjukan bahwa terdapat peningkatan kasus hingga mencapai usia 60 tahun. Pada jenis kelamin penderita DM tipe 2mayoritas responden yang perempuan yaitu sebanyak 43 orang 61,4 dan laki-laki 27 orang 38,6. Hal ini karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan premenstrual syndrome, pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita DM tipe 2 Irawan, 2010. 67 68 5.2. Pengaruh Gaya Hidup terhadap Kejadian Diabetes Melitus DM Tipe 2 5.2.1. Pengaruh Konsumsi Sayur dan Buah terhadap Kejadian Diabetes Melitus DM Tipe 2 di RSUD Kota Padangsidimpuan Hasil penelitian tentang variabel konsumsi sayur dan buahdiperoleh bahwa responden pada kelompok kasus dengan proporsi tertinggi pada konsumsi sayur dan buahyang kurang sebesar 66 dan konsumsi sayur dan buahcukup sebesar 33. Hasil tersebut menunjukkan pada kelompok kasus ada perbedaan proporsi aktifitas fisik kategori cukup dan tidak cukup dengan selisih 33. Sedangkan pada kelompok kontrol persentase tertinggi dengan konsumsi sayur dan buahcukup sebesar 61,4. Dimana nilai p value 0,003 dengan OR sebesar 3,31 95 CI = 1,14-3,6. Uji statistik menunjukkan variabel konsumsi sayur dan buah berpengaruh terhadap kejadian diabetes melitus tipe 2. Pola makan seimbang adalah pangan yang dikonsumsi harus memenuhi kualitas maupun kuantitas dan terdiri dari sumber karbohidrat, sumber protein hewani dan nabati, lemak serta sumber vitamin dan mineral. Konsumsi sayur dan buah merupakan variabel berhubungan dengan kejadian DM Tipe 2. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Soetiarto, Farida, dkk 2010 yang menemukan ada hubungan konsumsi serat buah dan sayur terhadap kerjadian DM.Berbeda dengan penelitian lainnya, hasil temuan Wardiyati 2006 di RSU Tidar Magelang menunjukkan tidak ada hubungan asupan serat dengan kejadian DM Tipe 2. Pola makan adalah cara bagaimana kita mengatur asupan gizi yang seimbang serta yang di butuhkan oleh tubuh. Pola makan yang sehat dan seimbang bukan hanya 69 menjaga tubuh tetap bugar dan sehat tapi juga bisa terhindar dari berbagai penyakit termasuk diabetes melitus tipe 2. Pola makan yang menyebabkan terjadinya penyakit DM tipe 2karena pengkonsumsian makanan yang tidak sehat seperti makanan yang manis, makanan dan minuman yang didalam kaleng sarden, kornet. Hal ini dikarenakan makanan diatas tidak sesuai dengan kalori yang dibutuhkan dan mengandung banyak bahan pengawet, pola makan tersebut dapat memicu terjadinya diabetes melitus tipe 2. Adanya serat sayur, buah dan kacangan memperlambat absorbsi glukosa, sehingga dapat ikut berperan mengatur gula darah dan memperlambat kenaikan gula darah, makanan yang cepat dirombak dan juga cepat diserap dapat meningkatkan kadar gula darah, sedangkan makanan yang lambat dirombak dan lambat diserap masuk ke aliran darah menurunkan gula darah. Penggunaan gula yang terlalu banyak tidak dianjurkan, gula jika dikonsumsi berlebihan maka bisa memicu berbagai masalah seperti Diabetes dan kegemukan, satu sendok makan gula pasir sama dengan 10 gram Almatsier, 2006. Konsumsi serat terutama insoluble fiber serat tidak larut yang terdapat dalam biji-bijian dan beberapa tumbuhan, dapat membantu mencegah terjadinya diabetes dengan cara meningkatkan kerja hormon insulin dalam mengatur gula darah di dalam tubuh. Serat larut bersifat larut dalam air dan membentuk suatu materi seperti gel, yang diyakini dapat menurunkan kolesterol dan gula darah. Makanan seperti oatmeal dan biji-bijian kacang, apel, beri, dan buah lainnya sangat tinggi kandungan serat larutnya. Sedangkan serat tidak larut bersifat tidak larut dalam air 70 dan dapat melewati sistem pencernaan secara keseluruhan dapat berfungsi sebagai memberikan perasaan kenyang dan puas serta membantu mengendalikan nafsu makan dan menurunkan berat badan, membantu buang air besar secara teratur, menurunkan kadar kolesterol darah yang dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit diabetes Sukardji, 2007. Menurut Sukardji 2009, orang dengan diabetes dianjurkan mengkonsumsi 20-35gr serat dari berbagai bahan makanan. Di Indonesia, anjurannya adalah kira-kira 25 gr1000 kalorihari dengan mengutamakan serat larut. Menurut hasil review sistematis dan meta-analisis yang dilaporkan dalam British Medical Journal 2013, konsumsi sayuran berdaun hijau dapat menurunkan risiko diabetes tipe 2. Pada penelitian diabetes di Universitas Leicester, Inggris 2010, Hasil dari penelitan ini dari enam studi memenuhi kriteria inklusi; empat dari studi tersebut memberikan informasi yang terpisah tentang konsumsi sayuran berdaun hijau. Data menunjukkan bahwa konsumsi sebagian besar sayuran berdaun hijau dikaitkan dengan 14 rasio hazard 0,86, 95 confidence interval 0,77-0,97 pengurangan risiko diabetes tipe 2 P = 0,01, bahwa meningkatkan asupan harian sayuran berdaun hijau secara bermakna dapat mengurangi risiko diabetes tipe 2. Mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan dapat meningkatkan asupan serat yang mana jumlah serat yang disarankan setiap harinya adalah 20-35 gram pada penderita diabetes. 71 5.2.2. Pengaruh Aktivitas Fisik terhadap Kejadian Diabetes Melitus DM Tipe 2 di RSUD Kota Padangsidimpuan Hasil penelitian tentang variabel aktivitas fisik diperoleh bahwa responden pada kelompok kasus dengan persentase tertinggi pada aktivitas fisik yang kurang sebesar 68,4 dan aktivitas fisik yang cukup sebesar 31,6, sedangkan pada kelompok kontrol persentase tertinggi pada aktivitas fisik yang cukup sebesar 66,7 dan aktivitas fisik yang kurang sebesar 33,3. Uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan nilai p value0,001 p0,05, artinya variabel aktivitas fisik berpengaruh terhadap kejadian DM tipe 2dengan OR sebesar 8,556 95 CI = 3,976- 18,410. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa responden yang menderita DM tipe 2 8,5 kali kecenderungan dengan aktivitas fisik yang kurang dibanding dengan responden yang tidak menderita diabetes melitus tipe 2. Aktifitas fisik adalah semua gerakan tubuh yang membakar kalori, misalnya menyapu, naik turun tangga, menyeterika, berkebun dan berolahraga tertentu. Olahraga aerobik yang mengikuti serangkaian gerak beraturan akan menguatkan dan mengembangkan otot dan semua bagian tubuh. Termasuk di dalamnya jalan, berenang, bersepeda, jogging atau senam Tandra, 2007.Teori fisiologis aktivitas fisik, yaitu didalam manusia melakukan aktivitas atau kegiatan tubuh akan mengeluarkan energi, semakin berat aktivitas yang dilakukan akan mengeluarkan energi atau kalori yang semakin tinggi, sedangkan sumber kalori manusia yang paling utama adalah glukosa, setiap seseorang melakukan aktivitas maka otot akan meningkatkan pembakaran glukosa secara maksimal, dan menyebabkan penurunan 72 kadar gula darah Asdie,2006. Gaya hidup duduk terus menerus dalam bekerja menjadi penyebab nomer 1 dari 10 kematian dan kecacatan, dan lebih dari dua juta kematian disebabkan oleh kurangnya beraktivitas. Aktivitas fisik adalah pergerakan yang menghasilkan energi secara sederhana yang penting bagi pemeliharaan fisik dan mental. Duduk atau kurangnya aktivitas menjadi penyebab penyakit DM. Pada waktu melakukan aktivitas fisik, otot-otot akan memakai lebih banyak glukosa daripada waktu tidak melakukan aktivitas fisik, dengan demikian konsentrasi glukosa darah akan turun. Melalui aktivitas fisik, insulin akan bekerja lebih baik sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel untuk dibakar menjadi tenaga Soegondo, 2008. Aktivitas fisik secara teratur menambah sensitivitas insulin dan menambah toleransi glukosa. Baru-baru ini penelitian prospektif juga memperlihatkan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan berkurangnya risiko terhadap DM tipe 2. Lebih lanjut aktivitas fisik mempunyai efek menguntungkan pada lemak tubuh, tekanan darah, dan distribusi lemak tubuh berat badan, yaitu pada aspek ganda ‘sindroma metabolic kronik’, sehingga juga mencegah penyakit kardiovaskuler. Hubungan antara inaktivasi fisik dengan DM masih terlihat, bahkan setelah di-adjusted dengan obesitas, hipertensi, dan riwayat keluarga DM tipe 2. Dengan demikian olahraga memiliki efek protektif yang dapat dicapai dengan pengurangan berat badan melalui bertambahnya aktivitas fisik. Aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah. Glukosa akan diubah menjadi energi pada saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan 73 berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM Kemenkes,2010. Penelitian kasus kontrol yang dilakukan oleh Purnawati terhadap 240 orang pasien rawat jalan di RSCM tahun 1998, menyatakan bahwa orang yang memiliki aktivitas fisik kurang berisiko untuk terkena diabetes melitus 2 kali lebih mudah dibandingkan dengan orang yang memiliki aktivitas fisik cukup. Hasil penelitian di RS M. Jamil padang juga menemukan hal yang sama, bahwa orang yang memiliki aktivitas fisik kurang berisiko 3,2 kali lebih mudah untuk menderita DM tipe 2dibanding dengan orang yang memiliki aktivitas fisik cukup Yusmayati, 2008. Aktivitas fisik bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi darah, menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah.Olahraga dapat meningkatkan kepekaan insulin, mencegah kegemukan, memperbaiki aliran darah, merangsang pembentukan glikogen baru dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Anani, Sri, dkk 2012 di RSUD Arjawinangun Kab.Cirebon dengan studi cross sectional menunjukkan bahwa aktifitas fisik berhubungan dengan kadar glukosa darah p=0.012. Soegondo dan Sidartawan 2000 menuliskan sebagai usaha pencegahan penyakit Diabetes Mellitus agar tidak menjadi lebih lanjut Sebagai usaha pencegahan penyakit Diabetes Mellitus agar tidak menjadi lebih lanjut banyak orang yang 74 mengikuti aktivitas fisik seperti olahraga untuk menjaga kesehatannya. Terlebih untuk penderita DM yang tidak tergantung insulin, mengalami perubahan yang mencolok jika aktifitas fisik seperti olah raga dilakukan secara teratur gula darah akan menurun atau terkendali hal tersebut terjadi karena aktifitas fisik mampu meningkatkan perbaikan antara insulin dan sel reseptornya, sehinga gula didalam darah mampu tertransver maksimal guna untuk mencukupi kebutuhan kalori. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan olehRahmawati 2011 di RSUP Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassaryang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian DM tipe 2 di RSUP Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassar, bahwa aktivitas fisik yang kurang dapat meningkatkan kejadian DM tipe 2. Hasil penelitian hubungan antara aktivitas fisik dengan kadar gula darah sesuai dengan pengamatan yang dilakukan oleh badan kesehatandunia WHO pada masyarakat Hanoi di Vietnam, badan kesehatan dunia mengamati penduduk Hanoi memiliki perubahan gaya hidup, dari aktivitas mereka dari jalan kaki mereka berubah dalam aktivitas tersebut akibatnya penderita DM dari 10 tahun kebelakang mengalami kenaikan sebesar 90, hal tersebut berarti dapat dievaluasi bahwa aktivitas yang lebih banyak mengeluarkan kalori cenderung dapat mengendalikan glukosa darah dalam batas normal. Karena glukosa yang ada dalam darah hasil dari proses pemecahan senyawa karbohidrat mampu digunakan secara maksimal dalam proses metabolisme yang dilakukan oleh sel-sel otot guna untuk mencukupi kebutuhan kalori dalam beraktivitas. 75 Berdasarkan Penelitian di Mastrict University tahun 2009, aktivitas fisik yang minimal cendrung meningkatkan indeks glikemiks didalam darah, pernyataan tersebut dikeluarkan oleh 11 dokter dan 38 fisioterapi yang mengamati pasien DM dengan kriteria yang berbeda guna untuk memperoleh resep program aktivitas fisik, ketiga profil pasien DM dikembangkan dan diperoleh hasi mereka yang malas berolah raga karena gemuk dan biaya berdasarkan fokus diskusi yang diperoleh, mereka memiliki resiko 4X lebih tinggi gula darahnya dibandingkan dengan yang mengikuti pelatihan olah raga secara rutin Rock, 2010. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan olehTrisnawati 2013 Puskesmas Wilayah Kecamatan Denpasar Selatan yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara aktifitas fisik dengan DM Tipe 2 di Puskesmas Wilayah Kecamatan Denpasar Selatan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh aktivitas fisik yang dilakukan sehari-hari seperti jalan ke pasar, mencangkul, mencuci, berkebun tidak dimasukkan melakukan aktivitas fisik. 5.2.3. Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap Kejadian Diabetes Melitus DM Tipe 2 di RSUD Kota Padangsidimpuan Hasil penelitian tentang variabel kebiasaan merokok diperoleh bahwa responden pada kelompok kasus dengan persentase tertinggi dengan kebiasaan merokok tidak berisiko sebesar 68,4 dan kebiasaan merokok Berisiko sebesar 31,6, sedangkan pada kelompok kontrol persentase tertinggi dengan kebiasaan merokok tidak Berisiko sebesar 84,2 dan kebiasaan merokok berisiko sebesar 15,8. Uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan nilai p value = 0,047 76 p0,05 artinya variabel kebiasaan merokok berpengaruh terhadap kejadian DM tipe 2dengan OR sebesar 2,753 95 CI = 1,273-5,952. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa responden yang menderita DM tipe 2 2,7 kali kecenderungan dengan kebiasaan merokok tidak berisiko dibanding dengan responden yang tidak menderita diabetes melitus tipe 2. Terpapar asap rokok adalah merokok atau sering berada di dekat perokok. Merokok adalah salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM Tipe 2. Asap rokok dapat meningkatkan kadar gula darah. Pengaruh rokok nikotin merangsang kelenjar adrenal dan dapat meningkatkan kadar glukosa. Perokok aktif memiliki risiko 76 lebih tinggi untuk terserang DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak terpajan Irawan,2010. Kebiasaan merokok menyebabkan gangguan metabolisme glukosa dan peningkatan resistensi insulin yang menyebabkan peningkatan resiko terkena diabetes melitus. Hasil penelitian ini menunjukkan orang dengan kebiasaan merokok lebih Berisiko terkena DM tipe 2 Wicaksono, 2011. Merokok berhubungan dengan sensitivitas insulin dalam menarik glukosa di dalam darah dan menghambat produksi insulin sehingga kadar gula di dalam darah meningkat. Menurut Smet et.al 1999 seseorang dikatakan sebagai perokok ringan apabila merokok ≥1 batas dalam satu minggu. Sementara menurut Shiffman et.al 2004 bahwa seseorang dikatakan merokok apabila mengkonsumsi rokok 1-5 batang per hari, sedangkan yang dikatakan perokok berat apabila mengkonsumsi rokok 20- 77 40 batang per hari. Aktif merokok dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2 Carole et.al, 2007. Hal ini sejalan dengan penelitian Gabrielle,Cappri, et.al 2005 menunjukkan bahwa ada hubungan merokok dengan kejadian DM Tipe 2 p=0,001 dengan OR 2,66. Begitu pula penelitian oleh Houston juga mendapatkan bahwa perokok aktif memiliki risiko 76 lebih tinggi untuk terserang DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak terpajan Irawan, 2010. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan olehTrisnawati 2013 Puskesmas Wilayah Kecamatan Denpasar Selatan yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara rokok dengan DM Tipe 2 di Puskesmas Wilayah Kecamatan tentang bahaya rokok oleh puskesmas dan juga melalui media elektronik serta adanya perda tentang kawasan tanpa rokok di Kota Denpasar. 5.2.4. Pengaruh Konsumsi Alkohol terhadap Kejadian Diabetes Melitus DM Tipe 2 di RSUD Kota Padangsidimpuan Hasil penelitian tentang variabel konsumsi alkohol diperoleh bahwa responden pada kelompok kasus dengan persentase tertinggi tidak berisiko yaitu sebesar 73,7 dan konsumsi alkohol Berisiko sebesar 26,3, sedangkan pada kelompok kontrol persentase tertinggi dengan konsumsi alkohol tidak Berisiko sebesar 87,7 dan konsumsi alkohol Berisiko sebesar 12,3. Uji statistik regresi logistik berganda menunjukkan nilai p value 0,058 p0,05, artinya variabel konsumsi alkohol tidak berpengaruh terhadap kejadian DM tipe 2. Uji statistik menunjukkan variabel konsumsi alkohol tidak berpengaruh terhadap kejadian DM 78 tipe 2.Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa responden yang memiliki minum alkohol belum tentu akan lebih memungkinkan untuk mengalami kejadian DM tipe 2, sebaliknya bahwa responden yang tidak minum belum tentu akan mengurangi kemungkinan untuk mengalami kejadian DM tipe 2. Hal ini mungkin dapat disebabkan faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap kejadian hipertensi, seperti konsumsi sayur dan buah, aktifitas fisik dan konsumsi alkohol dengan kuantitas yang sedikit dan frekuensi yang tidak sering. Konsumsi alkohol menyebabkangangguanmetabolisme glukosa dan peningkatan resistensi insulin yang menyebabkan peningkatan risikoterkena DM. Konsumsi alkohol secara langsung meningkatkan resistensi insulin. Respon insulin pada pembebanan glukosa oral lebih banyak pada peminum alkohol dibandingkan yang tidak mengkonsumsi alkohol.Pengkonsumsi alkohol memiliki ciri khas sindrom resistensi insulin termasuk di dalamnya gula darah puasa yang meningkat. Alkohol juga dapat mempengaruhi kelenjar endokrin, dengan melepaskan epinefrin yang mengarah kepada hiperglikemia transien dan hiperlipidemia sehingga konsumsi alkohol kontraindikasi dengan diabetes Rahatta, 2009. Alkohol mengandung kalori yang sangat tinggi yaitu 7 kalori per gram alkohol Johnson, 1998. Konsumsi alkohol erat kaitannya dengan kegemukan, ketika alkohol masuk ke dalam tubuh, maka akan dipecah menjadi asetat. Hal ini membuat tubuh membakar asetat terlebih dahulu daripada zat lainnya seperti lemak atau gula. Alkohol juga menghambat proses oksidasi lemak dalam tubuh, yang menyebabkan proses pembakaran kalori dari lemak dan gula terhambat dan akhirnya berat badan akan bertambah Suyanto, 2010. 79 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan