Kondisi Sosial Zaman Edo

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONDISI SOSIAL ZAMAN EDO DAN

KESETIAAN SAMURAI

2.1 Kondisi Sosial Zaman Edo

Zaman ini berlangsung dari tahun 1603-1868. Tokugawa Iemitsu adalah daimyo dari Mikawa, sebuah daimyo kecil, kemudian mampu mengalahkan Hideyoshi pada perang Sekigahara di tahun 1600. Kemudian menjadi seiitaishogun pada tahun 1603 dengan pusat pemerintahan Bakufu di Edo. Selama zaman pemerintahan Tokugawa di Edo berlangsung kira-kira 260 tahun ini disebut zaman Edo Situmorang 2006:17 Sistim pemerintahannya disebut sistim bakuhantaisei yaitu sistem pemerintahan bakufu dan han. Bakufu adalah pemerintahan pusat dan memiliki pusat pemerintahan sendiri. Sedangkan wilayah Han adalah wilayah yang diperintah oleh Daimyo, dan untuk urusan kedalam bebas tanpa campur tangan Shogun. Namun demikian banyak sekali peraturan Keshogunan untuk memperlemah kedaimyoan atau wilayah Han. Bakufu menguasai kira-kira seperempat wilayah jepang secara langsung. Selain itu kota-kota besar seperti Kyoto, Osaka, Nagasaki juga dikuasai secara langsung. Daimyo yang merupakan keluarga Shogun disebut dengan Shinpan, dibuat menjadi penguasa wilayah Han dekat dengan Edo. Sedangkan Daimyo yang membantu Tokugawa dalam perang Sekigahara disebut dengan Fudai, yaitu daimyo yang menjadi penguasa Han mengantarai Daimyo yang musuh Tokugawa dalam perang sekigahara. Kemudian Daimyo yang menjadi musuh Tokugawa dalam perang sekigahara disebut Tozama Daimyo yang ditempatkan jauh disebelah barat daya atau juga di sebelah utara Jepang. Untuk mempertahankan kekuasaan Tokugawa membuat berbagai kebijaksanaan. Diantaranya, Sankinkoutai yaitu peraturan bahwa setiap Daimyo harus membuat tempat tinggal keluarganya di Edo. Oleh karena itu, para daimyo shimpan dan fudai wajib tinggal selang 6 bulan di Edo dan 6 bulan lagi tinggal di wilayah kedaimyoannya. Sedangkan bagi daimyo Tozama, wajib tinggal selang 1 tahun di Edo dang 1 tahun tinggal di wilayah kedaimyoannya. Kemudian ada kebijaksanaan Tokoku, yaitu kebijaksanaan menutup diri dari luar negri. Oleh karena itu pada zaman Edo ini dianggap sebagai zaman pembentukan kebudayaan Jepang secara Universal. Kemudian ada peraturan Kugeshohatto dan Bukeshohatto. Kugeshohatto adalah larangan berkomunikasi dengan keluarga kaisar, sedangkan Bukeshohatto adalah larangan sesama daimyo membentuk ikatan, maupun perkawinan. Untuk menjaga supaya tidak ada usaha destruktif dari para petani, maka diadakan juga peraturan Katanagari yaitu larangan memiliki senjata atau pedang bagi para petani. Oleh karena berbagai peraturan ini dilaksanakan dengan sangat ketat. Maka pada zaman Edo ini dalam negri Jepang sangatlah tenang dan stabil. Keamanan daerah kekuasaan sangat lah terjamin. Itu yang diharapkan Tokugawa untuk para pengikut klannya agar Jepang yang diperintah nya saat itu menjadi negara yang kuat. Kondisi sosial di zaman edo dapat dilihat dari awal munculnya Feodalisme di Jepang dengan pembagian kekuasaan antara Tennou yang hanya memegang kekuasaan simbolik semata dan kekuasaan Shogun yang memegang keuasaan praktis. Selama hampir 700 tahun feodalisme di Jepang berkembang sampai ke ranah masyarakat yaitu pembentukan strata masyarakat yang sangat tegas dan kaku. Karena peraturan dan kebijaksanaan Shogun tersebut maka pada zaman Edo adalah zaman yang aman, tetapi rakyat sangatlah menderita dalam kemiskinan. Untuk membiayai keluarga Daimyo yang berada di Edo, dan untuk perjalanan para samurai ke Edo memakan biaya yang cukup besar. Sedangkan penghasilan yang dapat diharapkan pada zaman itu adalah terutama dari hasil padi. Oleh karena itu pada zaman Edo, pajak pertanian hingga mencapai 60 dari hasil panen. Petani hanya mendapat 40 dari hasil panennya. Diperkirakan pada zaman Edo jumlah kaum samurai kurang lebih 10 dari jumlah penduduk Jepang saat itu. Namun, dalam jumlah yang kecil ini kaum samurai harus mampu memerintah dan menguasai penduduk. Untuk itu Tokugawa memberlakukan sebuah sistem hirarki sosial yang didasarkan Konfusianisme yang dikenal dengan shi- nō-kō-shō 士農工商 , sehingga struktur masyarakat pada zaman ini terbagi menjadi dua, yaitu yang memerintah dan diperintah. Dari istilah tersebut dapat dilihat kelas mana yang memiliki kedudukan tinggi dan mana yang memiliki kedudukan rendah. Urutannya adalah sebagai berikut : 1. Shi : bushi – 武士 samurai 2. Nō : nōmin – 農民 petani 3. Kō : kōsakunin – 工作人 pengrajin 4. Shō : shōnin – 商人 pedagang Pembagian serta susunan kelas ini berdasarkan fungsi dari setiap kelas di dalam masyarakat. Bushi sebagai penguasa negara dengan sendirinya berada di tingkatan paling atas, kemudian kaum petani nōmin dianggap sebagai kelas yang produktif yang merupakan tiang atau sumber ekonomi negara dan menghasilkan bahan makanan, yaitu padi-padian dan hasil ladang lainnya. Pengrajin kōsakunin merupakan kelas masyarakat yang memproduksi alat-alat kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kelas pedagang shōnin dianggap memiliki status rendah, karena mereka hanya dapat memperoleh keuntungan dari hasil yang telah diproduksi orang lain. Pembagian hirarki sosial ini tergantung pada pertimbangan kelahiran dan status keturunan. Salah satu pemikiran konfusius yang diterapkan pemerintahan Tokugawa adalah pemahaman terhadap hakekat takdir yang mengatakan,”manusia harus menerima takdir semenjak lahir. Tidak dapat menggugat takdir”. Dengan adanya pemikiran ini, rakyat secara tidak langsung dipaksakan untuk menerima keadaan serta status yang dimilikinya dan tidak dapat mengusahakan kenaikan atau perbaikan statusnya ke tingkat yang lebih tinggi. Pada kekuasaan shogun ke-3, Tokugawa Iemitsu, sistem hirarki sosial ini semakin ketat dan diskriminasi antar kelas semakin jelas. Hirarki sosial ini ditetapkan dengan tujuan tertentu, agar kelas penguasa tetap dapat mempertahankan kedudukannya dan memiliki kekuatan untuk menekan kelas yang berada di bawahnya. Susunan resmi yang ditetapkan Tokugawa mengenai hirarki ini diperkuat dengan perbedaan penampilan pakaian, tutur bahasa, etika, dan tata rambut serta pemakaian jenis pedang bagi kelas samurai. Selain kelas yang terdapat dalam sistem hirarki shi- nō-kō-shō, di dalam masyarakat feodal zaman Edo terdapat pula kelas masyarakat terendah yang disebut Eta – Hinin. Kelas ini dianggap sebagai masyarakat yang berasal dari keturunan orang-orang buangan. Pembagian kelas yang secara vertikal ini telah disusun secara ketat dan kaku oleh pemerintah, namun sesungguhnya dalam setiap lapisan kelas itu sendiri masih ada tingkatan-tingkatannya lagi. Tingkatan tersebut dipengaruhi oleh jabatan, wewenang, kekuasaan, atau peranannya di dalam masyarakat tersebut. Dengan demikian timbul hubungan antara atasan dan bawahan yang di pengaruhi oleh ajaran Konfusianisme. Pada mulanya hubungan ini hanya terdapat di dalam kelas samurai saja, tetapi kemudian hubungan “atasan dan bawahan” tersebut merata pula ke dalam masyarakat umum. Golongan masyarakat pada zaman Edo diterapkan sangat ketat. Setiap kelas golongan tidak diperbolehkan pindah kegolongan masyarakat lainnya. Pada zaman Edo jumlah golongan bushi militer sebanyak 9,8, petani sebanyak 7,6 dan sisanya adalah golongan pendeta, pedagang dan tukang. Alasan populer pemerintah Jepang menerapkan pembagian kelas masyarakat dari mulai kelas yang paling suci sampai kelas yang paling bawah, salah satunya adalah antisipasi pemberontakan kelas bawah. Namun, pemantapan posisi bakufu dan pengkerdilan kekuasaan kaisar juga mungkin bisa dijadikan alasan. Fakta – fakta menunjukkan bahwa hal tersebut mungkin terjadi. Tennou dan bangsawan – bangsawan kaisar yang digaji oleh bakufu, Tennou yang hanya boleh setahun sekali mengunjungi rakyatnya, sampai pengangkatan pejabat kaisar yang harus dengan persetujuan bakufu adalah bukti nyata bahwa bakufu berusaha mendominasi pada saat itu. Kelas – kelas sosial pada masa Edo juga membuat masyarakat terkotak – kotak. Hal ini secara tidak langsung juga akan menjauhkan masyarakat dari kaisar. Masyarakat yang berada di kelas bawah telah terdoktrin bahwa dirinya tidak pantas menemui kaisar, dan kaisar yang berada di kelas paling atas mungkin juga akan merasa tercemar jika menemui rakyatnya. Hal ini secara alami akan mengurangi peran kaisar dalam proses kehidupan sosial masyarakat dan penentuan kebijakan. Bisa dikatakan pada saat itu, memang benar bahwa kaisar tidak dapat diganggu gugat tetapi, pada saat itu pula kaisar hampir seperti tidak punya keuasaan. Dalam kondisi masyarakat yang terkotak – kotak seperti itu pula pemerintah dalam hal ini bakufu lebih leluasa melakukan apa saja kepada rakyatnya. Kasus yang terjadi pada saat itu orang – orang dari kelas samurai dapat membunuh seseorang yang kelasnya lebih rendah, walaupun hanya karena alasa sepele. Kondisi pemerintahan dan masyarakat yang bisa dikatakan tidak sehat ini akhirnya menemui keruntuhannya. Tidak adanya perang membuat peranan para samurai mulai dipertanyakan. Samurai – samurai yang saat itu menganggur mulai banyak yang terlilit hutang. Hal ini secara tidak langsung merusak respect masyarakat kepada kaum samurai. Selain masalah tersebut juga terjadi pemberontakan yang justru tidak muncul dari rakyat jelata, tetapi dilakukan oleh kaum samurai sendiri. Konflik horisontal yang terjadi di kalangan samurai ini semakin membuat situasi kacau dan melemahkan bakufu. Akhirnya kekacauan – kekacauan yang terjadi tersebut membawa bakufu ke titik kulminasi.Yaitu ketika kaisar sebagai kepala negara sudah tidak percaya lagi kepada bakufu dan meminta keuasaan pemerintahan kembali diampu oleh istana.

2.2 Kesetiaan Samurai Bushi

Dokumen yang terkait

Analisis Psikologis Tokoh Utama Suguro Dalam Novel Skandal karya Shusaku Endo Endo Shusaku No Sakuhin No “Sukyandaru” No Shousetsu Ni Okeru Shujinkou No Shinrinteki No Bunseki

2 79 64

Analisis Konsep Kazoku Dalam Novel “Kitchen” Karya Banana Yoshimoto (Banana Yoshimoto No Sakuhin Daidokoro No To Iu Shosetsu Ni Okeru Kazoku Ni Gainen No Bunseki)

7 71 54

Analisis Psikologis Tokoh Utama Dalam Novel “1 Liter Of Tears” Karya Aya Kito Aya Kito No Sakuhin No “1 Rittoru Namida” To Iu Shosetsu Ni Okeru Shujinko No Shinrigakutekina Bunseki

4 68 81

Analisis Kesetiaan Samurai Dalam Novel Kaze Karya Dale Furutani

0 62 67

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 1 8

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 1

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 7 8

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 15

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 2

Analisis Nilai Pragmatik Dalam Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami Haruki Murakami No Sakuhin “Noruwei No Mori” To Iu Shousetsu Ni Okeru Puragumatikku Kachi No Bunseki

0 0 5