tuannya. Apabila tuan meninggal tetapi anak buah tidak ada yang beranin mengikuti kematian tuannnya, maka bushi daerah tersebut disebut dengan bushi
pengecut. Hal ini biasanya menimbulkan rasa malu bagi keturunan bushi tersebut. Oleh karena itu para bushi akan memilih bunuh diri. Bunuh diri mengikuti
kematian dalam masyarakat bushi disebut dengan Junshi.
2.2.2 Moral Pengabdian Diri Bushi Periode Akhir Zaman Edo
Pembagian kelas masyarakat di Jepang berakhir pada Meijii restorasi 1868. Dalam dekrit Meijii ditetapkan bahwa seluruh masyarakat Jepang
mempunyai hak yang sama dalam memilih pekerjaan yang sesuai baginya. Dengan demikian bushi, kelas petani, kelas pedagang dan kelas tukang yang
dibuat pada zaman feodal dihapuskan. Sebelum restorasi Meiji pemerintahan keshogunan berada di tangan
keluarga Tokugawa 1603-1867. Dalam masa ini Tokugawa memantapkan ide pengabdian diri berdasarkan ajaran Konfusionis. Yaitu mengajarkan pengabdian
bertingkat yang akhirnya seluruh masyarakat Jepang pada waktu pengabdiannya bertumpu di tangan Shogun.
Pemerintah Tokugawa melarang adanya pengabdian yang tidak rasional dari anak buah terhadap tuannya di daerah. Seperti melakukan Junshi bunuh diri
mengikuti kematian tuannya dan juga melakukan Adauchi melaksanakan balasa dendam terhadap musuh tuannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi
kesetiaan anak buah terhadap tuan, dan supaya tuan daimyo tidak menjadi kuat sehingga mampu melakukan perlawanan bagi Shogun. Dengan peraturan Shogun
Tokugawa ini membuat kesan bahwa melakukan Junshi adalah perbuatan Inujini
mati konyol. Sehingga dengan demikian dapat dilihat sangat kontras perbedaan pengabdian diri bushi pada periode awal feodalisme dengan pengabdian diri
ajaran keshogunan Tokugawa. Sehingga pada zaman Edo lahirlah pengabdian diri bushi yang khas yang merupakan perpaduan dari kesetiaan pengabdian diri bushi
keshogunan Tokugawa. Dengan demikian dapat dilihat unsur-unsur pengabdian diri bushido lama
dan unsur-unsur pengabdian diri bushido baru bushido Tokugawa, Watsuji dalam Situmorang, 2006:91.
Samurai dianggap sebagai golongan ksatria militer yang terpelajar dan memiliki derajat yang tinggi di masyarakat, namun semasa Keshogunan
Tokugawa berangsur-angsur samurai kehilangan fungsi ketentaraan mereka. Pada akhir era Tokugawa, samurai secara umumnya adalah kakitangan umum bagi
daimyo, dengan pedang mereka hanya untuk tujuan istiadat. Samurai di zaman Edo menjalankan kewajiban melayani tuan tanah feodal
masing-masing dengan dua cara, yaitu menjalankan tugas keprajuritan pada masa damai, yakni men
jaga benteng daimyō, mengawal daimyō ketika ia pergi ke Edo dan pulang dari Edo16, dan menyediakan pasukan yang dapat digunakan daimyo
untuk menjaga tanahnya. Namun, setelah Tokugawa berhasil mewujudkan ketertiban di Jepang pada
abad ke-17, para samurai ini kebanyakan menjalankan tugas administrasi, dalam hal ini adalah administrasi keuangan seperti menghimpun pendapatan dalam
bentuk beras atau uang tunai untuk membayar tunjangan, merawat rumah resmi di Edo, dan membayar biaya perjalanan ke Edo setiap tahunnya.
Karena para samurai tidak dapat lagi diandalkan untuk bertempur, shogun dan daimyō tidak ingin menghilangkan nilai kesetiaan dan keberanian samurai,
tetapi perkelahian dan balas dendam turun temurun, sering terjadi dan merupakan bagian dari kehidupan samurai yang tidak sesuai dalam masyarakat aman dan
damai yang sedang mereka bangun. Bakufu kemudian menindak tegas pelaku perkelahian dan melarang balas dendam. Untuk mendorong agar para samurai
mau menerima perubahan, maka disediakan imbalan. Pada abad ke-18, pejabat mendapat tunjangan tambahan untuk menambah gaji. Pekerjaan yang baik
menjadi salah satu pertimbangan untuk naik pangkat, yang membuka kemungkinan untuk naik jabatan.
Selain itu pendidikan moral, etika, dan pengetahuan umum mulai dikenalkan. Sampai saat itu sebagian besar samurai terutama samurai berpangkat
tinggi mendapat pendidikan secara individual. Pendidikan tersebut antara lain pengetahuan mengenai etika selain keahlian menggunakan senjata, berikut
pengetahuan membaca dan menulis. Peran birokrasi dalam kehidupan telah menjadi norma, para atasan menginginkan nilai-nilai lebih dari seorang samurai.
Seperti kaum bangsawan di zaman Nara dan Heian, mereka harus memiliki sikap moral yang “benar” jika mereka ingin mendapat peranan dalam pemerintahan.
Terutama harus memahami ajaran-ajaran klasik Konfusius, oleh karena itu bakufu dan para daimyō mulai mendirikan tempat-tempat pendidikan dimana hal-hal
tersebut dapat dipelajari. Terdapat lima belas tempat-tempat pendidikan yang didirikan pada tahun 1700.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa adanya pergeseran sasaran kesetiaan bushi dari tuan kepada keshogunan dalam zaman Edo 1603-
1868 di Jepang. Shido sebagai etos pengabdian diri yang didasarkan pada prinsip gorin etika Konfusionis yang berisikan lima macam hubungan antar pribadi
telah bekerja dalam lembaga moralitas giri dan chu. Konsep chu membawa pengertian balas budi kepada shogun dalam loyalitas bertingkat, dan konsep giri
berubah makna menjadi giri yang membalas kebaikan kepada tuan setulus hati yang memperhitungkan untung dan ruginya. Dengan demikian rasa berhutang
anak buah terhadap atasan tertumpu pada puncak birokrasi yaitu kesogunan. Hal inilah yang mengakibatkan perubahan kesetiaan kesetiaan anak buah kepada tuan
menjadi kepada keshogunan Situmorang, 1995:83.
2.3 Setting Novel “Pembunuhan Sang Shogun”