2.2.1 Moral Pengabdian Diri Bushi Periode Awal
Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang 2006:87 dikatakan pada zaman Heian 793-1185 di daerah pertanian muncul penguasa baru yang disebut
dengan bushi. Pada awalnya untuk membedakan arti dengan petani. Pada awalnya mereka hidup di daerah pertanian kemudian berubah menjadi masyarakat Kota.
Berbeda dengan masyarakat Kizoku bangsawan pekerjaan sehari-hari mereka adalah menbidangi seni. Tetapi Bushi berprofesi sebagai ahli perang, dan mereka
bekerja sebagai abdi pada Kizoku tersebut. Pada zaman berikutnya, zaman Kamakura dan Muromachi belum dikenal
nama bushido, yang dikenal adalah “tsuwamono no michi”, hal ini mempunyai arti yang lebih sempit daripada bushido. Hal tersebut berisi makna “bujo”, yaitu
keterampilan menggunakan alat dan pandangan meremehkan jiwa, hal ini berbeda dengan pemikiran bushi zaman Edo.
Ada dua hal yang mempengaruhi kesetiaan bushi periode awal ini, yaitu : a.
Ikatan yang didasarkan pada perjanjian tuan dan pengikut. b.
Ikatan yang didasarkan pada hubungan darahkeluarga dan wilayah Ie. Ikatan yang didasarkan pada perjanjian tuan dan pengikut.
Hal ini berisikan pertukaran antara “onko” pemberian dengan “hoko” pelayanan di pihak lain. Pertukaran antara kedua hal ini melahirkan kekuatan
kelompok. Tetapi walaupun dikatakan pertukaran, derajat kedudukan mereka tidak sama, kedudukan mereka berbentuk atas bawah atau bukan merupakan kelas
yang sama. Pemberi “onko” sebagai tuan dan pemberi “hoko” sebagai pengikut. Pengertian “onko” mengandung muatan makna sebagai berkah, dan di dalam
“hoko” mengandung muatan makna pengabdian yang mempunyai warna “mujoken” tidak abadi.
Pada masa itu, di dalam kesadaran bushi pelayanan ditujukan sebagai hubungan pertukaran antara “hoko” dan “onsho”.
Bentuk dan batas “onsho” dan “hoko”
Dalam kumpulan cerita Konjaku Konjaku Monogatarishu dikatakan tidak ada batas untuk membalas “onsho”, untuk membalas onsho harus siap
mengorbankan diri melewati batas hidup dan mati. Pelayanan bushi melewati batas hidup dan mati tersebut dilaksanakan dalam bentuk “gunchu” pengabdian
dalam bentuk kesatrian, berusaha mempersembahkan kemenangan di medan perang kepada tuan.
Ikatan hubungan tuan dan pengikut diawali dengan pemberian hadiah oleh tuan, dan jikalau ada perang tuan harus menyediakan hadiah. Kadang-kadang
janji pemberian hadiah ini dilaksanakan. Iklanan seperti ini ada pada tahun 3 tensho, berisi bahwa Odanobunaga menyediakan 23 wilayah Echizen bagi orang
yang membantu perang. Sebelum berangkat ke medan perang, terlebih dahulu diberi hadiah dan pujian, hal ini membuat bushi malu jikalau tidak bertempur
sebaik-baiknya di medan perang. Dalam hal seperti ini dipentingkan bukti melakukan keberhasilan, sehingga dalam hal seperti ini menjadi diperlukan saksi
diperlukan saksi di medan perang. Dikatakan jikalau pergi ke medan perang sendirian dan apabila mati tidak dilihat orang sebagai saksi maka hal seperti ini
disebut “Inijini” mati konyol. Sebaliknya jikalau mati pada waktu dalam barisan kawan, maka nama sendiri menjadi terkenal dan anak cucu mendapat hadiah. Jadi
untuk melakukan “chu” pengabdianpenghormatan anak buah kepada tuan, yang dipentingkan adalah harus mengetahui tempat dan waktu untuk mengabdi yang
tepat. Karna yang penting adalah bukti pengorbanan chu tersebut. Dalam pemikiran seperti di atas, ada kalanya tuan tidak mampu
menyediakan hadiah yang banyak, hal ini mengakibatkan kesetiaan bushi berkurang. Oleh karena itulah dalam hal ini tuan perlu menambah suatu elemen
lain, yaitu elemen rasa kasih sayang. Elemen ini muncul karena adanya hubungan tuan dengan pengikut yang sudah lama, yaitu dari generasi ke generasi. Oleh
karena itu hubungan Tuan dan Pengikut menjadi hubungan keluarga Ie. Sedangkan pemikiran dunia kematian, pada saat itu bushi di Jepang
menganut agama Budha Zen. Dalam agama Budha Zen dijelaskan adanya reinkarnasi antara hidup dan mati.
Pemikiran ini juga dijelaskan dalam Watsuji Tetsuro 1976 dalam Situmorang 2006:89 yang mengatakan, bahwa pandangan bushi akan adanya
reinkarnasi mengakibatkan bushi mempunyai cita-cita menjadi abdi tuannya selama tujuh kali dalam reinkarnasi tersebut. Hal inilah yang melahirkan
pengabdian yang mutlak dari anak buah terhadap tuan. Dijelaskan pula bahwa wujud daripada pengabdian yang mutlak ini adalah, keberanian mengorbankan
jiwa raganya bagi tuan Tetapi kemudian diseluruh daerah Jepang sangat dipuji keluarga bushi
yang berani mengabdikan jiwa raga terhadap tuannya. Jadi bushi yang disegani bukan hanya bushi yang hebat di medan tempur tetapi adalah juga bushi yang
setia terhadap tuannya.Kesetiaan tersebut adalah kesetiaan mengabdikan jiwa raga termasuk juga kesetiaan untuk melakukan bunuh diri karena kematian
tuannya. Apabila tuan meninggal tetapi anak buah tidak ada yang beranin mengikuti kematian tuannnya, maka bushi daerah tersebut disebut dengan bushi
pengecut. Hal ini biasanya menimbulkan rasa malu bagi keturunan bushi tersebut. Oleh karena itu para bushi akan memilih bunuh diri. Bunuh diri mengikuti
kematian dalam masyarakat bushi disebut dengan Junshi.
2.2.2 Moral Pengabdian Diri Bushi Periode Akhir Zaman Edo